Surat Wasiat Ayah

Pertemuan keluarga Giovano diadakan di rumah besar, dimana ibu Alan tinggal. Setelah kepergian Ayahnya, Alan memilih tinggal ditempat lain. Terkadang ketika sang Ibu menghubunginya, Alan akan datang menemani sesekali.

Mobil Mercedes-benz miliknya memasuki gerbang rumah besar yang menjulang tinggi. Disekeliling rumah itu terdapat pagar-pagar beton yang dibaliknya dijaga oleh beberapa penjaga yang sengaja dikerjakan oleh Alan. Karena Alan bukan orang sembarangan dan sering bertemu orang-orang bermasalah, ia tak ingin jika keluarganya dalam bahaya. Ia memilih proteksi terbaik yang bisa diberikan kepada mereka.

Penjaga depan membukakan gerbang yang dijaga oleh 5 orang berbadan besar. Mereka menunduk hormat ketika Alan datang. Mereka tahu, siapa pemilik rumah besar sesungguhnya, dan mereka akan selalu hormat dan patuh kepada seorang Alan Giovano.

Rumah dengan 3 tingkatan lantai menjulang mewah diantara rimbunan pepohonan sekitar. Rumah megah berarsitektur campuran Indo-Eropa. Didesain sendiri oleh sang Ayah ketika masih hidup.

Alan turun dari mobil, merapikan sedikit jasnya. Felix berdiri disampingnya. Bersiap mengikuti kemana sang Bos pergi.

"Mereka sudah datang Pak. Silahkan Anda masuk." ujar Felix ketika ekor matanya menangkap deretan mobil dihalaman rumah besar. Sepertinya memang mereka adalah orang terakhir yang datang.

"Hm. Ayo kita masuk."

Pelayan rumah besar menyambut hangat kedatangan mereka. Berjejer rapi di kanan dan kiri membentuk jalan tanpa halang ditengah. Alan tak terlalu memperdulikan sapaan itu. Ia terus melangkah menuju tempat yang telah dijadikan pertemuan itu.

Sebuah ruangan besar dengan deretan sofa dan kursi telah tertata rapi. Ketika Alan datang, tempat itu telah dipenuhi oleh keluarga besar. Suara candaan mereka menggema diruangan.

"Selamat malam." Ucap Alan pada mereka.

Ketika mereka menyadari kedatangan Alan, bibir mereka kompak tertutup rapat. Beberapa diantaranya menunduk dengan wajah takut.

Seorang wanita berumur kurang lebih 50 tahun datang menghampiri Alan. Wajah penuh senyumnya menyapa kedatangan sang putra.

"Alan, kamu sudah datang."

"Iya Ma. Maaf terlambat." Alan langsung memeluk sang ibu dengan hangat.

"Tidak apa. Ayo masuk kedalam." Mama Alan menggandeng sang putra tunggal memasuki ruangan. Memintanya duduk disampingnya.

"Selamat malam Pak Alan. Senang bertemu dengan Anda." ucap seorang pria yang berprofesi sebagai pengacara. Memiliki tubuh tambun dan tidak terlalu tinggi. Dia adalah Tomi, pengacara keluarga Giovano.

"Hm, apa yang kamu bawa." ucap Alan langsung ke inti, tak ingin berlama-lama berada disana.

"Haha, Anda selalu to the point ya." tertawa kikuk, sudah tahu akan ditanyakan seperti ini oleh sang putra mahkota. Tomi segera mengeluarkan surat didalam tas kerjanya.

"Saya mewakili almarhum Bapak Jeremy Giovano akan memberitahu tentang isi warisan yang ditulisnya."

Semua orang saling menahan nafas. Bertanya-tanya apa isi dalam surat wasiat yang selama ini belum pernah diketahui. Beberapa orang yakin jika kekayaan Jeremy akan jatuh ke tangan Alan. Putra tunggalnya.

"Ada 2 poin penting dalam isi surat Bapak Jeremy. Poin pertama, seluruh harta yang dimiliki beliau akan diberikan kepada putra satu-satunya yaitu Bapak Alan Giovano tanpa kurang satupun."

Semua orang menghela nafas kecewa, hal ini sudah pasti terjadi. Senyum tipis terukir dibibir Alan. Ia merasa menjadi pemenang.

"Poin Kedua, kekayaan yang mencakup perusahan Giovano Group, Hotel, Resort, Rumah, Mall, serta beberapa aset lainnya sekaligus tabungan di bank, akan diserahkan kepada Tuan Alan Giovano selaku ahli waris sah. Namun, semua kekayaan yang tercantum diatas akan diberikan, apabila Tuan Alan Giovano bersedia menikahi seorang wanita bernama Alana Ellyasvega. Jika hal itu tidak dilakukan, maka harta warisan diatas akan ikut dibagikan kepada saudara kandung Tuan Jeremy secara rata. Demikian isi surat wasiat ini. Sekian."

Alan terkejut dengan isi surat wasiat itu. Tak disangka sang ayah memberikan sebuah syarat gila yang harus ia lakukan. Kesal? Ya! Dia tak bisa terima syarat itu!

"Apa-apaan itu? Aku harus menikahi wanita pilihan ayahku?? Apa kamu sudah gila?!!" seru Alan tak terima.

"Saya hanya menyampaikan apa yang tertulis di surat wasiat Pak Alan. Dan semuanya memang asli tulisan tangan Almarhum Bapak Jeremy. Semua asli." Kembali menegaskan.

"Berikan padaku!!" Alan langsung merampas surat ditangan Tomi dan membacanya dengan cermat. Kedua matanya membelalak saat menyadari kebenaran isi surat itu dengan apa yang disampaikan oleh sang pengacara.

"Kenapa kamu biarkan ayahku menulis hal gila seperti ini?! Siapa wanita itu? Kenapa aku harus menikahinya?! Apa kamu pikir aku mau menikahi wanita yang tidak kukenal?! Yang benar saja!!" teriak Alan murka. Menarik baju Tomi dengan kasar.

"Jangan marah-marah terus, kamu menakuti pengacara kita. Terima kenyataan jika harta itu akan dibagi rata kepada kami." ucap pria bernama Jhon, adik dari Ayah Alan. Tersenyum merendahkan.

Alan melirik tajam pada pamannya. Sorot matanya terlihat tak suka dengan pria yang menyandang adik kandung dari sang ayah.

"Biarkan sebagian harta ayahmu dibagikan pada kami. Tidak ada salahnya berbuat baik bukan." ujar Paman Jhon tertawa culas.

Alan mendesis pelan, tak terima dengan perkataan itu. Pamannya memang licik, sejak dulu selalu menginginkan harta Ayahnya. "Paman benar, berbuat baik sama sekali tidak merugikanku. Tapi kenapa harus pada kalian? Aku justru lebih senang jika memberikannya pada orang miskin dijalan. Setidaknya sebagian dari mereka masih berusaha mencari uang lebih baik dibanding yang ada disini?" sindir Alan tersenyum miring. Melempar senyum merendahkan. 'Memangnya siapa kalian!' dalam hati berkata kesal.

"Jaga bicaramu Alan! Kami kesini bukan untuk mengemis!" seru Bibi Paula, istri Paman Jhon.

"Benarkah? Sayangnya aku melihatnya seperti itu Bibi. Bukankah harta ayahku akan tetap jadi milikku? Lalu kenapa kalian ikut datang dan mendengarkan omong kosong ini?" Ujar Alan tersenyum kecut. Menyindir saudara ayahnya yang selalu serakah.

"Kamu dengar sendiri apa isi warisan itu bukan, Tomi mengundang kami karena memang pertemuan ini penting. Wasiat itu juga melibatkan kami. Apa aku salah?" ujar Paman Jhon tertawa kecil.

"Sekarang katakan saja pada kami, apa kamu bersedia menikahi gadis entah dari mana asalnya itu atau menyerahkan sebagian harta ayahmu pada kami. Bukankah masalah akan selesai?" imbuhnya.

Pandangan Alan semakin tajam, ia lupa dengan siapa sosok gadis itu. Kenapa ayahnya mengajukan syarat pernikahan kepadanya. Ia tidak pernah mengenal nama itu bahkan bertemu pun tak pernah ia lakukan. Lalu haruskah ia menerima persyaratan gila dari sang Ayah?

"Alan, pikirkan baik-baik keinginan ayahmu. Cobalah cari dan dekati gadis pilihannya." saran Mama Alan.

"Aku tidak akan menikahi siapapun! Warisan ayah milik kita, bukan mereka! Tomi!!"

"I-iya pak?" Sang pengacara langsung mendekat.

"Kapan warisan itu terealisasi?"

"Anda harus menikahi gadis bernama Alana Pak. Baru warisan itu jatuh pada Anda." ucap Tomi.

"****!! Kamu mau kuhabisi?! Jelaskan isi wasiat itu pada Felix, aku tidak menerima apapun isi wasiat bodoh itu!!"

Alan berjalan pergi keluar dari ruang pertemuan. Menghampiri Felix yang berdiri di depan pintu.

"Cari tahu, apa surat wasiat itu bisa dirubah! Aku tidak mau menikahi gadis manapun! Tidak ada wanita yang berhak bersanding denganku apalagi dengan cara pemaksaan seperti ini!"

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Aq mampir nih

2023-10-25

0

tri indriastuti

tri indriastuti

penasaran

2023-10-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!