Melihat dari jauh ada sebuah perdebatan didekat dermaga, seorang wanita memutuskan mendatangi mereka.
"Bisa saya bantu? Apa kalian cari tumpangan?"
Alan menoleh melihat wanita itu mendekat. Melihat keseluruhan penampilannya yang terkesan tertutup. Wanita itu memakai jaket jins, celana hitam panjang. Memakai topi dan juga masker. Wajah atasnya tertutup oleh bayangan topi dikepalanya. Alan memperhatikan gerak-gerik wanita itu.
"Al, ngapain kamu kesini? Sudah sana pergi. Ini urusan bibi. Jangan ganggu deh." bisik Bu Suli ditelinga wanita itu.
Wanita itu melirik Bu Suli seraya menghela nafas kecil. Merasa jika dua pria didepannya akan jadi korban kegenitan tetangganya itu.
"Kalian butuh tumpangan? Saya bisa antar." tanya wanita itu mengacuhkan perkataan Bu Suli.
"Saya mencari kendaraan ini, dua hari yang lalu sudah saya pesan." Felix mengulurkan ponsel miliknya kepada wanita itu. Menampilkan kendaraan yang sudah pria itu pesan.
"Oh, jadi kalian pelanggan Pak Misdi?"
"Kamu kenal pemiliknya?"
"Iya, dia tetanggaku. Kebetulan juga hari ini tidak narik bentor." ucap Wanita itu, lalu sedikit mendekat. "Kambing kesayangannya mati tadi sore." kekehnya sedikit berbisik. Alan melihat wanita itu yang ingin tertawa tapi ditahan.
"Benarkah? Lalu bagaimana kami dapat kendaraan?" tanya Felix bingung.
"Sudah sama saya saja. Tuh bentornya udah nungguin. Nanti saya duduk ditengah. Bibi kasih tumpangan gratis." kikik Bu Suli penuh maksud.
"Bibi ini ya, mana kuat bentor dinaiki 3 orang? Tuh lihat badan mereka, besar-besar seperti itu. Kasihan tukang bentornya, besok gak narik gara-gara ban bocor." canda wanita itu tertawa geli.
"Hush! Jangan asal ngomong deh Al. Udah sana kamu cari pelanggan lain. Biarkan mereka jadi urusan bibi." bibir Bu Suli mencebik kesal.
"Ya sudah, aku pergi. Selamat menikmati perjalanan kalian." ucap wanita itu hendak pergi. Melirik Alan dan Felix dengan sorot mata lucu. Berharap kedua pria itu selamat dari pesona kembang layu desa.
"Tunggu!"
"Eh?" Alana berbalik.
Alan berjalan mendekati wanita itu. Berdiri didepannya. "Kamu bisa antar kami? Tidak ada kendaraan lain yang cocok disini. Aku akan kasih uang."
"Anda benar pak. Berkendara 3 orang sangat berbahaya." Felix ikut-ikutan mendekat. Wajahnya terlihat geli dengan godaan Bu Suli.
"Eh, tapi kalian-"
"Dimana kendaraanmu?" Alan bertanya tak sabar.
"Itu disana..." menunjuk bentor yang terpakir dibelakang mereka.
"Good! Ayo Felix." Alan buru-buru ngacir bersama sang Asisten.
"Lho lho kalian mau kemana?" Bu Suli ingin menghampiri, tapi langsung dicegah wanita itu.
"Bibi pulang saja ya, suami bibi sudah menunggu dirumah. Apa mau ku adukan padanya, yang bibi lakukan?" ucap wanita itu sedikit mengancam diselingi canda, namun masih terdengar sopan. Jika saja maskernya dibuka, wajah gadis itu akan penuh dengan ekpresi lucu.
Bu Suli mendengus kesal. Ia terpaksa menuruti perkataan wanita itu. Kembali ke bentor yang sudah menunggunya.
^
"Kalian dari mana?" tanya wanita itu saat mereka sudah dalam perjalanan melewati jalan sepi di tengah persawahan.
"Jakarta Nona." jawab Felix. Ia menoleh kebelakang karena sedikit kagum dengan wanita yang kini bisa menyetir becak motor. Bukankah pekerjaan itu diperuntukkan bagi seorang lelaki, tapi wanita itu sungguh beda. Sedangkan Alan, ia diam ditempat dengan memangku jas mahalnya yang dilepas. Tak terlalu peduli percakapan mereka.
"Oh, jauh sekali. Kesini mau cari siapa? Oh ya, sebenarnya kalian mau kemana? Maaf aku sampai lupa menanyakan." kikik wanita itu. Gara-gara berdebat dengan bu Suli, ia sampai lupa harus membawa pelanggannya kemana.
"Benar juga, kami belum memberitahumu." Felix mengambil ponselnya, lalu memperlihatkan alamat tempat tinggal keluarga Ellyasvega.
Cekit!!!
"Astaga!!!"
"****!"
Teriak Felix dan Alan bersamaan. Mereka terkejut saat bentor itu di Rem mendadak. Hampir saja mereka melompat saking kerasnya bentor berhenti.
"Apa kamu sudah gila?!!" sembur Alan sambil melirik kesal pada wanita itu.
"Ma-maaf. Saya tidak sengaja. Maaf." ucap wanita itu merasa bersalah.
"Nona, ada apa? Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanya Felix.
"Emb, tidak apa-apa. Sebenarnya kalau boleh tahu, ada perlu apa kalian kesana?"
"Bukan urusanmu! Cepat bawa kami pergi." potong Alan tak sabar. Hari ini sungguh hari melelahkan yang tidak bisa membuatnya tenang. Hampir sampai ke tempat tujuan saja sudah dibuat jantungan seperti sekarang.
"Ba-baik." wanita itu akhirnya diam dan memilih melajukan kembali kendaraannya.
Selama perjalanan, hanya Felix yang cukup banyak bertanya. Namun wanita itu hanya menjawab seperlunya. Tidak seceria awal tadi.
Cekitt!
Bentor telah sampai disebuah rumah sederhana berbahan kayu. Suasana cukup sepi, karena memang disana habis turun hujan yang membuat jalanan becek.
Kedua pria itu turun, begitupun dengan wanita itu. Mendekat pada mereka.
"Terima kasih sudah mengantar kami. Ini uang transportnya." Felix memberikan 3 lembar uang ratusan. Cukup banyak untuk biaya bentor.
"Terima kasih. Saya akan masuk unt-"
"Tidak perlu. Kamu bisa pergi." tukas Alan. Pria itu langsung berjalan ke arah pintu rumah. Diikuti Felix.
Tok Tok!
"Permisi?"
Tok Tok!
Alan berusaha memanggil pemilik rumah. Alan seperti sedang berada digubug. Rumah-rumah disana sangat sederhana khas pedesaan. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa wanita yang akan ia nikahi tinggal disini.
Ceklek!
"Ya? Cari siapa?" Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Memandang bingung pada Alan dan Felix bergantian.
"Maaf, apa benar ini rumah Bapak Heri Ellyasvega?" tanya Felix.
"Benar, itu suami saya. Ada perlu apa ya?" jawab wanita itu.
"Boleh kami bertemu?" ucap Alan.
"Bo-boleh. Mari silahkan masuk."
Alan dan Felix masuk kedalam, sedangkan wanita paruh baya tadi langsung ke belakang. Alan duduk di kursi. Memandang isi rumah itu. Tampak sederhana. Tidak ada foto apapun disana. Ia jadi semakin penasaran dengan sosok gadis bernama Alana.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang pria menghampiri mereka bersama dengan wanita paruh baya tadi. Tuan dan Nyonya Ellyasvega, calon mertua Alan.
"Selamat malam, apa Anda Bapak Heri?" Alan berdiri seraya menjabat tangan Pria itu.
"Ya, kalian siapa?"
"Perkenalkan saya Alan Giovano, putra dari Jeremy Giovano." ucap Alan.
Kedua pasangan suami-istri itu seketika kaget mendengar perkataan Alan. Mereka saling pandang, lalu kembali menatap pria didepannya.
"Jadi kamu putra Jeremy? Begitu?" tanya Pak Heri.
"Benar."
"Lalu dimana dia? Saya tidak melihatnya bersama kalian?" Pak Heri terlihat celingukan mencari sesuatu.
"Ayah saya tidak bisa datang kemari. Beliau sudah meninggal. 13 tahun yang lalu." jawab Alan.
"Ya Tuhan!! Benarkah itu?!" Pak Heri tampak syok terduduk di kursi. Tidak menyangka jika temannya telah pergi lebih dulu. Sungguh, ia merasa sedih mendengar itu.
Alan melihat reaksi Pak Heri, raut wajahnya terlihat terpukul atas kepergian ayahnya. Alan jadi penasaran bagaimana hubungan pertemanan mereka sebenarnya.
"Maaf sebelumnya, kedatangan kami kemari juga atas keinginan Bapak Jeremy. Anda pasti tahu, hari ini akan terjadi." ucap Felix.
"Jadi, Jeremy benar-benar menepati janjinya?" tanya Pak Heri. "Ia akan membawa Putri kami?"
"Benar. Kami datang dengan alasan itu. Pak Alan akan membawa calon istrinya bersamanya. Pernikahan akan dilakukan bulan ini. Nona Alana harus menikah dengan Pak Alan segera." ucap Felix.
Prang!
Sebuah pot didekat pintu jatuh ke lantai. Disampingnya berdiri wanita pemilik bentor yang ditumpangi Alan dan Felix. Nyonya Ellyasvega berdiri.
"Alana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments