Rahim Yang Dikontrak
Tanah makam itu masih mengunduk merah. Bunga yang bertabur di atasnya juga masih segar. Karena baru kemarin sore Ayah dimakamkan. Duka yang menggumpal dalam rongga Wena dan Wigati, ibunya juga belum cair.
Tapi pagi ini seorang wanita dengan dandanan mewah sudah datang menagih hutang yang belum dibayar oleh Ayah.
Perempuan kaya raya itu akhirnya pergi dari hadapan Wigati, Wena dan kakaknya Agung dengan tangan hampa. Mulutnya yang lancip mengomel mencabik-cabik perasaan tiga orang tersebut. Minggu depan uang sebesar limaratus juta plus bunganya itu harus sudah ada dalam genggaman tangannya.
Limaratus juta bukan uang kecil bagi keluarga orangtua Wena. Uang itu telah habis seluruhnya digunakan untuk biaya operasi Ayah di rumah sakit.
"Lima bulan lalu Ayah pinjam uang itu kepada Nyonya Hellen. Sebagian untuk biaya pesta pernikahan kakakmu. Sebagian lagi untuk keperluan lainnya. Ayah berjanji akan mengembalikan usai hajatan. Kalau setelah itu ayahmu tidak jatuh sakit mungkin hutang sudah dikembalikan. Tapi akhirnya uang pinjaman itu seluruhnya diperlukan ayahmu untuk biaya operasi jantung."
Wena malas mendengarkan ibunya menjelaskan perjalanan uang sebesar limaratus juta yang terasa begitu singkat menguap di hadapannya.
Selain ibunya mestinya kakaknya Mas Agung merasakan juga keresahan yang sedang melanda keluarga ini. Tapi rupanya dia tidak mau tahu. Malah meminta Wena yang harus membantu ibunya mengembalikan seluruh hutang Ayah kepada wanita yang berprofesi sebagai broker itu.
"Kamu masih muda, Wena. Masih sendiri, belum banyak yang menjadi tanggunganmu. Kamu pasti bisa membantu Ibu mengembalikan uang sebesar itu," kata Mas Agung seolah hutang yang harus dikembalikan itu jumlahnya kecil cuma seratus duaratus ribu rupiah saja.
"Gila kamu, Mas. Gaji aku di kantor berapa? Andaikan dicicil dengan seluruh gajiku pun tidak mungkin lunas sampai aku tua."
"Ya jangan dibayar dengan gajimu. Kamu itu kan masih muda, cantik, sudah pantas bila saat ini kamu menikah."
"Aku tidak paham omonganmu, Mas! Masa aku disuruh menikah, dan rasanya nista sekali bila hasil sumbangan pernikahanku untuk membayar hutang!" Wena jadi emosional.
"Mbok jangan terlalu lolol kamu, Dik! Nanti Ibu yang akan bicara denganmu soal itu."
"Bicara apa lagi?! Ibu ini tidak bisa berbuat apa-apa tahu!"
Mas Agung cuek. Tidak meladeni Wena yang sudah sampai ke ubun-ubun amarahnya.
Agung pergi meninggalkan Wena dan ibunya begitu saja. Benar-benar tanpa beban perasaan apa pun anak tertua itu melihat ibunya dan adiknya sedang dirundung keresahan karena ditinggali hutang Ayah yang besarnya seperti gajah hamil.
"Biarkan kakakmu pergi dia kan punya urusan sendiri dengan rumah tangganya yang baru saja berdiri. Kalau kita recoki dengan menuntut ini itu kepadanya kasihan nanti."
"Tapi kan dia ikut memakai uang pinjaman itu, Bu. Seharusnya ikut memikirkan solusinya. Jangan masa bodoh apalagi malah menyuruh aku yang suruh melunasi."
"Sudahlah, Wen. Kalau kamu keberatan biar Ibu sendiri yang menanggung beban hutang itu....," kata Wigati dengan memendam perasaan duka yang amat dalam.
Wena menjadi tak tega melihatnya....
Kepergian Ayah dengan meninggalkan hutang yang setumpuk gunung itu jelas membuat hidup ibunya selanjutnya akan lebih berat. Selama ini Wena belum pernah melihat ibunya mengenyam kebahagiaan yang berarti mendampingi ayahnya. Bagaimana bisa bahagia bila gaji ayahnya cuma bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tanpa ada sisa yang bisa ditabung.
"Aku bukannya tidak mau membantu, Bu. Ibu tahu sendiri selama ini separuh gajiku sudah saya berikan untuk membantu kehidupan keluarga ini."
"Ibu mengerti jerih payahmu, Wen. Selama ini kamu sudah banyak membantu Ibu dibandingkan kakakmu," kata Wigati dengan mimik sedih.
"Tapi cuma sekecil itu yang bisa kuberikan untuk membantu Ibu. Wena tidak bisa membantu yang lebih besar lagi. Apalagi kalau harus melunasi hutang Ayah sebesar limaratus juta!"
Ibunya duduk di kursi pantil sambil menunduk. Kedua matanya memandang ke lantai rumah yang sudah retak-retak dan lembab. Seperti sedang mencari-cari jalan yang terbaik. Atau justru Wigati sedang berkhayal. Bahwa di balik lantai rumah yang sudah rapuh itu tersimpan emas berlian yang bisa untuk membayar hutang suaminya.
"Tapi kepada siapa lagi Ibu minta bantuan. Kalau Ayah masih hidup Ibu pasti tidak mau menanggung hutang sebesar itu. Tetapi harus bagaimana lagi. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan yang pahit seperti ini."
"Wena tidak tahu bagaimana caranya Ibu membayar hutang sebesar itu? Apakah Ibu punya kenalan atau famili yang bisa membantu kesulitan kita ini?"
"Sebaiknya hutang jangan dibayar dengan hutang lagi. Nanti malah hutang kita semakin menumpuk dan menumpuk. Salah-salah bisa mengubur kita hidup-hidup."
"Bagaimana bila rumah dan sepeda motor yang ada kita jual saja untuk membayar hutang itu, Bu," usul Wena semangat.
"Tidak akan cukup, Wen. Rumah ini paling harganya tigaratus juta, ditambah dua sepeda motor itu. Sementara Nyonya Hellen pasti akan membebani lagi dengan bunga pinjaman yang tidak kecil."
Kepala Wena terasa pening seketika mendengar penjelasan ibunya. Rasanya ada batu besar yang menghadang di depan. Tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah yang maha rumit itu.
"Sebenarnya ayahmu meninggalkan pesan atau semacam wasiat yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ini, Wen. Tapi Ibu merasa berat hati untuk menyampaikannya kepadamu."
"Wasiat apa, Bu?! Apakah Ayah punya simpanan harta karun untuk membayar hutang tersebut?"
"His! Ngawur kamu... Begini, Wen. Sebelum Ayah meninggal atasanmu Tuan Densbosco mananyakan apakah kamu sudah punya pacar atau belum."
"Terus apa hubungannya dengan hutang itu?"
"Sudahlah soal hutang itu kita lupakan sejenak. Kita bicarakan soal pesan Tuan Os kepada Ayah dulu."
"Hanya satu minggu Nyonya Hellen memberi waktu kita untuk membayar lho, Bu. Kita tidak bisa tidak serius memikirkannya."
"Tuan Os mungkin juga bisa sebagai solusi mengatasi hutang itu, Wen."
"Maksudnya apa, aku tidak paham."
"Makanya dengarkan dulu Ibu bicara."
"Ayah dan Tuan Os bicara apa?"
"Begini... Tuan Os itu sudah membicarakan dengan serius tentang dirimu. Sedang Ayah tidak keberatan kalau beliau mau melamarmu menjadi istrinya."
"Apa???"
"Kamu boleh tidak percaya dalam hal ini. Tapi kamu tidak bisa menghindar dari rencana Ayah dan Tuan Os yang sudah disepakati bersama."
"Tidak bisa begitu dong, Bu. Pernikahan adalah hubungan dua insan yang diawali dengan saling cinta, menghargai dan menyadari kelebihan serta kelemahan satu sama lain. Tidak bisa dilaksanakan secara tiba-tiba begini."
"Ayah sudah menjelaskan semua keadaanmu kepada Tuan Os. Beliau sendiri mungkin sudah banyak mengenal dirimu karena kamu sudah cukup lama bekerja di perusahaannya. Jadi sudah tidak ada masalah dengan apa yang kau khawatirkan tadi."
"Tapi Wena tetap tidak bisa menerima apa yang sudah dilakukan Ayah. Wena bukan robot yang bisa mudah dicarikan baterei agar bisa berjalan sesui keinginan. Tapi Wena manusia yang punya hati dan pikiran yang belum tentu sama dengan Ayah dan Ibu."
"Tapi ini wasiat dari orangtua dan yang namanya wasiat itu pamali untuk ditolak dan tidak dilaksanakan."
"Masa bodo! Pokoknya Wena tidak mau!"
Wena pergi meninggalkan ibunya....
Bersambung
Hari ini author up buku baru untuk bab pertama. Semoga berkenan di hati reader semua. Biasa ssya harapkan dukungannya dengan memberikan like, komen, sibcribe dan hadiahnya yang banyak cup...cup...cup. I love you all
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments