Sebuah mobil mewah berwarna gading masuk ke halaman rumah dan berhenti di bawah pohon mangga. Dari dalam mobil itu turun seorang lelaki dengan tubuh tambun setelah sopir membukakan pintu untuknya.
"Densbosco...." suara Wigati bergetar lemah menyambut kedatangan lelaki yang sebaya dengannya itu.
Lelaki itu membenahi jasnya sebentar sebelum berjalan agak membungkuk ke teras rumah.
Wigati termasuk wanita yang memiliki paras menarik di mata semua laki-laki. Tubuhnya sedang tinggi semampai, sepadan dengan wajahnya yang oval dan hidungnya yang mancung. Tapi yang dituju lelaki yang baru datang itu bukan Wigati. Walaupun dulu di masa mudanya mereka pernah dekat.
"Kamu ternyata masih cantik juga ya, Ti."
Wigati menerima salaman lelaki itu dengan menunduk malu. Seandainya lelaki yang dulu biasa ia panggil Osco itu lebih cepat melamarnya, mungkin sekarang sudah menjadi istrinya dan punya anak. Tidak seperti dua istrinya yang sekarang semuanya mandul. Tetapi waktu itu Osco kalah cepat dengan Firman yang cuma bermodal ketampanan dan modal nekat.
"Mari Os duduk dulu. Sebentar lagi Wena pulang kok," ucap Wigati.
"Santai saja kamu tidak usah gugup." Densbosko atau Osco duduk dengan hati-hati di ruang tamu yang sangat sederhana itu.
"Dari dulu suamimu itu tidak pernah memperhatikan keluarganya. Rumah masih tetap jelek begini. Kamu juga tidak pernah diperhatikan dan tak terurus."
"Firman penghasilannya sedikit. Baru dua tahun terakhir ini setelah diajak kerja dengan kamu agak mending. Tapi sayang kesempatan hidup senangnya sangat pendek."
"Tidak perlu sedih ditinggal Firman, karena masih ada saya. Saya siap membantu kamu kalau kamu mau saya bantu."
"Tidak mungkin saya tidak mau dibantu. Karena Firman meninggal tidak hanya meninggalkan nama saja, tapi juga meninggalkan hutang yang banyak."
"Tidak perlu risau dengan hutang suamimu yang banyak itu. Bagi saya tidak ada artinya uang limaratus juta itu. Kalau perlu seluruh hartaku akan kuberikan kepadamu asal anakmu itu diberikan kepadaku."
"Tapi anak itu masih perlu waktu untuk berpikir lagi, Os."
"Jangan terlalu lama berpikirnya. Nanti bisa-bisa saya berubah pikiran. Kamu tahu kan maksudku."
"Hii-iya...saya tahu."
Wigati gemetar membayangkan kalau Osco merubah haluan batal menikahi Wena. Mau dibayar dengan apa hutang pada Nyonya Hellen sebesar lima ratus juta itu??
"Saya minta besok sudah ada jawaban dari anak itu. Jangan diundur-undur lagi. Usia saya sudah semakin tua. Saya takut belum punya keturunan sudah dipanggil Yang Maha Kuasa."
"Saya bisa merasakan apa yang sedang kau pikirkan, Os. Tapi saya minta kesulitan kami juga diperhatikan. Karena Waktu tinggal beberapa hari lagi kami harus sudah melunasi hutang kepada Ny Hellen."
"Saya tahu itu, Firman sudah pernah cerita soal tanggungan hutangnya kepada Hellen. Tapi gampang soal itu. Serahkan saja kepadaku. Pokoknya bila besok Wena sudah menyatakan mau menikah denganku, maka hutang itu segera saya lunasi."
Hingga pembicaraan yang sangat penting itu selesai dan Osco meninggalkan Wigati, Wena belum pulang juga.
Wigati menjadi kesal dengan anak itu. Sehingga ketika pulang menjelang maghrib bersama Agung, Wigati langsung pasang wajah ditekuk seperti kuda yang sedang marah.
"Kalian sungguh tidak peduli lagi kepada orangtua....!"
"Maaf, Bu. Tadi Wena minta diantar dulu menemui Dermawan. Dia tidak percaya kalau Dermawan sudah meninggalkannya ke Singapura," Agung yang menjelaskan.
Wigati tidak menanggapi penjelasan Agung. Matanya tertuju kepada Wena yang berdiri di samping kakaknya itu. Bayangan Densbosco melintas sejenak di benaknya. "Kamu pantas bersanding dengannya. Kamu lebih cantik dariku pada waktu itu," gumamnya.
Wena melihat ibunya menatap dirinya dengan serius.
"Dengan apa kita akan melunasi hutang kita kalau beliau membatalkan perjanjiannya dengan Ayah..." suara Wigati lirih terdengar.
"Apakah Tuan Densbosco jadi datang, Bu?"
Agung yang menyahut. Sedang Wena masih tetap mengamati wajah ibunya dengan tanda tanya besar.
"Beliau datang dengan kecewa tadi. Karena Ibu tidak bisa memberikan jawaban yang jelas mengenai Wena."
Ups! Wena menutup mulutnya yang membuka spontan.
"Kenapa Ibu tidak katakan saja bahwa Wena sekarang sudah siap kapan saja Tuan Densbosco akan melamarnya." Enak saja Agung berkata.
"Ngomong apa kamu, Mas. Memfetakompli perasaan orang tanpa berpikir dulu."
Wena tak senang dikatakan seolah dirinya sudah tidak ada masalah lagi dengan Tuan Densbosco.
"Apa kamu belum percaya apa yang kamu lihat tadi di rumah kakasihmu itu. Seperti apa kamu disana. Dikenal saja tidak oleh papa dan mama Dermawan. Sementara Dermawan sendiri telah pergi ke Singapura tanpa meninggalkan pesan untukmu."
"Tapi itu bukan berarti dia melupakanku, Mas. Mungkin karena ada tugas mendadak dari orangtuanya dia pergi ke Singapura."
"Jangan terlalu naif kamu, Wen. Sudah jelas-jelas Dermawan menjauhi dirimu kamu masih tetap saja menunggu pepesan kosong."
Wena tersentak mendengar kalimat kakaknya itu. Sadar akan pendiriannya yang salah selama ini.
"Sudahlah tidak perlu kau sesali kepergian orang yang sebenarnya tidak mencintaimu itu. Sekarang kamu belum terlambat untuk menata hatimu kembali dan membuka kesempatan Tuan Densbosco mencintaimu. Dialah lelaki yang telah dipilih oleh Tuhan menjadi suamimu."
Kalimat yang meluncur dari mulut kakaknya itu sangat menyayat perasaan Wena.
"Aku merasa telah dikhianati oleh Dermawan. Tapi aku belum bisa menerima Tuan Densbosco saat ini."
Wena bicara dengan suara bergetar.
"Kamu itu ditempeli setan mana sih, Wen. Jelas-jelas Dermawan telah meninggalkanmu. Kamu kok masih belum mau menerima lelaki yang sebenarnya lebih mencintai dan memperhatikan dirimu."
Wena lari masuk ke kamarnya dan ia tumpahkan perasaan kecewanya yang telah ditinggalkan kekasih tercinta Dermawan Adi Sasongko, putra konglomerat Sasongko Tejo.
Dengan telah perginya Dermawan Wigati nampak senang. Sekarang sudah tidak ada alasan lagi Wena menghindar dari rencana orangtua.
"Sudahlah, Wen tidak usah kau sedih terus begitu. Karena sebenarnya Dermawan dan Densbosco itu sama bila nanti menjadi suamimu. Mereka sama-sama seoang laki-laki yang akan memberimu seorang anak dan melimpahkan pula kekayaan." Kata Wigati yang mengejarnya masuk ke kamar.
Wena tak menjawab. Ia terus terisak dengan muka dibenamkan ke bantal....
"Kalau kamu memandang mereka lelaki yang berbeda, paling hanya karena faktor usianya saja. Kalau soal cinta itu nanti akan terbentuk sendiri. Sekarang mungkin kamu belum mencintai Densbosco. Tapi seiring berjalannya waktu secara bertahap nanti kamu akan mencintainya juga."
Wigati terus menghembuskan rayuannya agar Wena mau membuka hatinya.
"Bagaimana, sayang. Kamu mau kan menjadi istri sahabat Ayah itu?"
"Wena takut, Bu..." suara Wena bergetar terdengar.
"Takut kepada siapa? Tuan Osco itu orang baik-baik, sayang. Beliau bisa menjadi suami yang baik pula."
"Ibu bisa saja mengatakan beliau baik. Karena pernah menjadi teman dekat Ibu. Tapi Wena kan baru mengenalnya. Wena takut kalau nanti setelah menjadi suami ternyata tidak seperti yang Wena bayangkan."
"Bayangan Wena apa sih melihat Tuan Osco?"
"Banyak bayangan Wena yang menakutkan, Bu."
"Coba kau bayangkan juga seandainya hutang Ayah yang sebesar limaratus juta itu tidak bisa Ibu lunasi. Bukankah itu lebih menakutkan lagi."
Wigati lalu menggenggam tangan Wena erat-erat....
"Kamu tidak mau kan bila rumah kita pindah ke kolong jembatan. Atau berpindah dari rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya."
Wena menggeleng....
"Kalau Wena takut rumah kita berpindah ke kolong jembatan, berarti Wena mau kan menikah dengan Tuan Densbosco?"
Wena mengangguk. Walaupun sebenarnya itu sangat susah dan berat sekali dilakukan.
"Terimakasih, sayang. Wena benar-benar menjadi anak yang sangat berbakti kepada orangtua," ucap Wegati seraya memeluk tubuh Wena dengan sangat erat.
🌹🌹🌹
Bersambung
Hallo gaes gimana nih sampai up ke 5 ini. Komen dan likenya ya jangan lupa. Trims
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments