NovelToon NovelToon

Rahim Yang Dikontrak

BAB 1. WASIAT AYAH

Tanah makam itu masih mengunduk merah. Bunga yang bertabur di atasnya juga masih segar. Karena baru kemarin sore Ayah dimakamkan. Duka yang menggumpal dalam rongga Wena dan Wigati, ibunya juga belum cair.

Tapi pagi ini seorang wanita dengan dandanan mewah sudah datang menagih hutang yang belum dibayar oleh Ayah.

Perempuan kaya raya itu akhirnya pergi dari hadapan Wigati, Wena dan kakaknya Agung dengan tangan hampa. Mulutnya yang lancip mengomel mencabik-cabik perasaan tiga orang tersebut. Minggu depan uang sebesar limaratus juta plus bunganya itu harus sudah ada dalam genggaman tangannya.

Limaratus juta bukan uang kecil bagi keluarga orangtua Wena. Uang itu telah habis seluruhnya digunakan untuk biaya operasi Ayah di rumah sakit.

"Lima bulan lalu Ayah pinjam uang itu kepada Nyonya Hellen. Sebagian untuk biaya pesta pernikahan kakakmu. Sebagian lagi untuk keperluan lainnya. Ayah berjanji akan mengembalikan usai hajatan. Kalau setelah itu ayahmu tidak jatuh sakit mungkin hutang sudah dikembalikan. Tapi akhirnya uang pinjaman itu seluruhnya diperlukan ayahmu untuk biaya operasi jantung."

Wena malas mendengarkan ibunya menjelaskan perjalanan uang sebesar limaratus juta yang terasa begitu singkat menguap di hadapannya.

Selain ibunya mestinya kakaknya Mas Agung merasakan juga keresahan yang sedang melanda keluarga ini. Tapi rupanya dia tidak mau tahu. Malah meminta Wena yang harus membantu ibunya mengembalikan seluruh hutang Ayah kepada wanita yang berprofesi sebagai broker itu.

"Kamu masih muda, Wena. Masih sendiri, belum banyak yang menjadi tanggunganmu. Kamu pasti bisa membantu Ibu mengembalikan uang sebesar itu," kata Mas Agung seolah hutang yang harus dikembalikan itu jumlahnya kecil cuma seratus duaratus ribu rupiah saja.

"Gila kamu, Mas. Gaji aku di kantor berapa? Andaikan dicicil dengan seluruh gajiku pun tidak mungkin lunas sampai aku tua."

"Ya jangan dibayar dengan gajimu. Kamu itu kan masih muda, cantik, sudah pantas bila saat ini kamu menikah."

"Aku tidak paham omonganmu, Mas! Masa aku disuruh menikah, dan rasanya nista sekali bila hasil sumbangan pernikahanku untuk membayar hutang!" Wena jadi emosional.

"Mbok jangan terlalu lolol kamu, Dik! Nanti Ibu yang akan bicara denganmu soal itu."

"Bicara apa lagi?! Ibu ini tidak bisa berbuat apa-apa tahu!"

Mas Agung cuek. Tidak meladeni Wena yang sudah sampai ke ubun-ubun amarahnya.

Agung pergi meninggalkan Wena dan ibunya begitu saja. Benar-benar tanpa beban perasaan apa pun anak tertua itu melihat ibunya dan adiknya sedang dirundung keresahan karena ditinggali hutang Ayah yang besarnya seperti gajah hamil.

"Biarkan kakakmu pergi dia kan punya urusan sendiri dengan rumah tangganya yang baru saja berdiri. Kalau kita recoki dengan menuntut ini itu kepadanya kasihan nanti."

"Tapi kan dia ikut memakai uang pinjaman itu, Bu. Seharusnya ikut memikirkan solusinya. Jangan masa bodoh apalagi malah menyuruh aku yang suruh melunasi."

"Sudahlah, Wen. Kalau kamu keberatan biar Ibu sendiri yang menanggung beban hutang itu....," kata Wigati dengan memendam perasaan duka yang amat dalam.

Wena menjadi tak tega melihatnya....

Kepergian Ayah dengan meninggalkan hutang yang setumpuk gunung itu jelas membuat hidup ibunya selanjutnya akan lebih berat. Selama ini Wena belum pernah melihat ibunya mengenyam kebahagiaan yang berarti mendampingi ayahnya. Bagaimana bisa bahagia bila gaji ayahnya cuma bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tanpa ada sisa yang bisa ditabung.

"Aku bukannya tidak mau membantu, Bu. Ibu tahu sendiri selama ini separuh gajiku sudah saya berikan untuk membantu kehidupan keluarga ini."

"Ibu mengerti jerih payahmu, Wen. Selama ini kamu sudah banyak membantu Ibu dibandingkan kakakmu," kata Wigati dengan mimik sedih.

"Tapi cuma sekecil itu yang bisa kuberikan untuk membantu Ibu. Wena tidak bisa membantu yang lebih besar lagi. Apalagi kalau harus melunasi hutang Ayah sebesar limaratus juta!"

Ibunya duduk di kursi pantil sambil menunduk. Kedua matanya memandang ke lantai rumah yang sudah retak-retak dan lembab. Seperti sedang mencari-cari jalan yang terbaik. Atau justru Wigati sedang berkhayal. Bahwa di balik lantai rumah yang sudah rapuh itu tersimpan emas berlian yang bisa untuk membayar hutang suaminya.

"Tapi kepada siapa lagi Ibu minta bantuan. Kalau Ayah masih hidup Ibu pasti tidak mau menanggung hutang sebesar itu. Tetapi harus bagaimana lagi. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan yang pahit seperti ini."

"Wena tidak tahu bagaimana caranya Ibu membayar hutang sebesar itu? Apakah Ibu punya kenalan atau famili yang bisa membantu kesulitan kita ini?"

"Sebaiknya hutang jangan dibayar dengan hutang lagi. Nanti malah hutang kita semakin menumpuk dan menumpuk. Salah-salah bisa mengubur kita hidup-hidup."

"Bagaimana bila rumah dan sepeda motor yang ada kita jual saja untuk membayar hutang itu, Bu," usul Wena semangat.

"Tidak akan cukup, Wen. Rumah ini paling harganya tigaratus juta, ditambah dua sepeda motor itu. Sementara Nyonya Hellen pasti akan membebani lagi dengan bunga pinjaman yang tidak kecil."

Kepala Wena terasa pening seketika mendengar penjelasan ibunya. Rasanya ada batu besar yang menghadang di depan. Tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah yang maha rumit itu.

"Sebenarnya ayahmu meninggalkan pesan atau semacam wasiat yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ini, Wen. Tapi Ibu merasa berat hati untuk menyampaikannya kepadamu."

"Wasiat apa, Bu?! Apakah Ayah punya simpanan harta karun untuk membayar hutang tersebut?"

"His! Ngawur kamu... Begini, Wen. Sebelum Ayah meninggal atasanmu Tuan Densbosco mananyakan apakah kamu sudah punya pacar atau belum."

"Terus apa hubungannya dengan hutang itu?"

"Sudahlah soal hutang itu kita lupakan sejenak. Kita bicarakan soal pesan Tuan Os kepada Ayah dulu."

"Hanya satu minggu Nyonya Hellen memberi waktu kita untuk membayar lho, Bu. Kita tidak bisa tidak serius memikirkannya."

"Tuan Os mungkin juga bisa sebagai solusi mengatasi hutang itu, Wen."

"Maksudnya apa, aku tidak paham."

"Makanya dengarkan dulu Ibu bicara."

"Ayah dan Tuan Os bicara apa?"

"Begini... Tuan Os itu sudah membicarakan dengan serius tentang dirimu. Sedang Ayah tidak keberatan kalau beliau mau melamarmu menjadi istrinya."

"Apa???"

"Kamu boleh tidak percaya dalam hal ini. Tapi kamu tidak bisa menghindar dari rencana Ayah dan Tuan Os yang sudah disepakati bersama."

"Tidak bisa begitu dong, Bu. Pernikahan adalah hubungan dua insan yang diawali dengan saling cinta, menghargai dan menyadari kelebihan serta kelemahan satu sama lain. Tidak bisa dilaksanakan secara tiba-tiba begini."

"Ayah sudah menjelaskan semua keadaanmu kepada Tuan Os. Beliau sendiri mungkin sudah banyak mengenal dirimu karena kamu sudah cukup lama bekerja di perusahaannya. Jadi sudah tidak ada masalah dengan apa yang kau khawatirkan tadi."

"Tapi Wena tetap tidak bisa menerima apa yang sudah dilakukan Ayah. Wena bukan robot yang bisa mudah dicarikan baterei agar bisa berjalan sesui keinginan. Tapi Wena manusia yang punya hati dan pikiran yang belum tentu sama dengan Ayah dan Ibu."

"Tapi ini wasiat dari orangtua dan yang namanya wasiat itu pamali untuk ditolak dan tidak dilaksanakan."

"Masa bodo! Pokoknya Wena tidak mau!"

Wena pergi meninggalkan ibunya....

Bersambung

Hari ini author up buku baru untuk bab pertama. Semoga berkenan di hati reader semua. Biasa ssya harapkan dukungannya dengan memberikan like, komen, sibcribe dan hadiahnya yang banyak cup...cup...cup. I love you all

BAB 2. PEMAKSAAN

"Masa berkabung itu baru dua hari lho, Wen. Kamu kok sudah berangkat?"

Nandia teman sekantor heran melihat Wena pagi itu sudah ada di meja kerjanya.

"Harus tegar dong sahabatku. Semua manusia itu akan menghadapi kematian. Jadi jalani saja hidup ini dengan sabar... So must go onlah."

"Siap ustadzahku yang cantik."

"Terimakasih, Nan. Kamu dan teman-teman kemarin sudah mau takziah, sampai repot-repot ikut mengantar ke makam segala."

"Itu kan sudah menjadi kewajiban kami, Wen. Oya... Kemarin aku kok tidak melihat Dermawan hadir. Takziah tidak sih?"

"Malah dia yang paling awal datangnya. Tapi tidak bisa mengantar ke makam karena ada keperluan penting."

"Kapan nih... Kamu dan dia akan naik ke pelaminan?"

"Itulah kenapa aku pagi ini suah ngantor lagi. Aku cuma pingin sharing dengan sobatku yang paling setia."

"Ada masalah apa kamu dengan putra mahkota itu. Kok tiba-tiba pingin mencurahkan isi hati."

"Tidak ada kami baik-baik saja. Cuma kelihatannya akan ada pengganggu hubunganku dengan Dermawan."

"Siapa pengganggunya bilang sama aku. Akan aku potes-potes lehernya."

"Aku takut mengatakannya. Bisa geger dunia nanti."

"Memang siapa si pengganggu itu?"

"Bos kita, Nan," ucap Wena dengan suara nyaris tak terdengar di telinga Nandia.

"Tuan Densbosco maksudmu?" Nandia malah bicara setengah menjerit.

Hupsmm...! Wena langsung membungkam mulut temannya itu dengan kedua telapak tangannya.

"Hiiiihss... Jangan keras-keras...!"

"Ma-maaf, Wen. Saking kagetnya aku jadi lupa tadi." Nandia bicara ikut pelan.

"Untung tidak ada yang mendengar."

"Maksudmu beliau mengganggu bagaimana?" tanya Nandia penasaran dengan suara berbisik.

"Kalau benar apa yang disampaikan Ibu... Tuan Densbosco sudah melamarku sebelum Ayah meninggal."

"Apakah Dermawan tidak tahu mengenai hal ini?"

"Saya sendiri baru tahu dari Ibu tadi pagi."

"Bahaya, Wen. Kamu harus bisa menyembunyikan hal ini secepatnya. Jangan sampai kekasihmu tahu."

"Bagamana caranya aku bingung, Nan. Karena ini ada kaitannya dengan hutang Ayah yang harus dilunasi dalam waktu dekat ini."

"Kamu terus terang saja kepada kekasihmu itu. Sampaikan dengan sejujurnya kesulitanmu itu. Semoga Dermawan kalau dia memang dermawan dan baik hati pasti mau membantumu."

"Aku tidak bisa ngomongnya, Nan. Malu sekali. Belum apa-apa sudah minta bantuan uang."

"Kalau boleh tahu berapa sih jumlahnya yang harus kau bayar?"

"Limaratus juta rupiah belum termasuk bunganya..."

"Wow...Besar sekali, Wen. Saya kok ragu kalau Dermawan bisa mengeluarkan uang sebesar itu."

"Aku sendiri tidak yakin, Nan. Walaupun orangtuanya konglomerat, tapi limaratus juta bukan jumlah yang sedikit."

"Kalau selain Dermawan apakah ada lagi orang yang bisa kamu minta bantuannya, Wen?"

"Tidak ada, Nan. Disamping itu Ibu melarang membayar hutang dengan hutang lagi. Nanti bisa tidak selesai-selesai masalahnya."

"Kalau tidak hutang lantas darimana uang sebesar itu bisa kamu miliki."

"Pusing kepalaku, Nan." Wena menunduk dengan kedua tangan memegang kepalanya.

"Tidak tega aku melihatmu seperti itu...."

"Bagaimana kalau nanti habis kerja kamu ke rumah Dermawan, Nan. Sampaikan saja keadaanku yang kamu ketahui kepadanya. Bila dia mau membantu aku sangat berterimakasih kepadanya. Tapi bila tidak terpaksa saya harus jual rumah dan harta lainnya milik Ayah."

"Jangan jual rumah, Wen. Nanti saya bantu menyampaikan masalahmu itu kepada Dermawan. Syukur-syukur dia mau membantu."

"Terimakasih sebelumnya, Nan. Hanya kamu yang kuberitahu masalah keluargaku yang memalukan ini. Tidak ada teman lainnya yang tahu. Mudah-mudahan masalahnya bisa selesai secepatnya."

"Percayalah saya akan menyimpan baik-baik hal ini. Tidak akan ada orang lain yang tahu."

"Sekali lagi terimakasih ya, Nan."

🌹🌹🌹

Wigati sore itu sudah menunggu di teras ketika Wena pulang dari kantor. Wajahnya masih nampak murung seperti tadi pagi sewaktu Wena berangkat ke kantor.

"Bagaimana, Wen. Kamu sudah ketemu Tuan Densbosco?"

"Ibu itu bagaimana sih. Wena ganti baju saja belum sudah ditodong pertanyaan yang tidak menyenangkan begitu."

"Maafin Ibu ya, Wen. Ibu kepikiran terus dari pagi tadi."

"Ibu berdoa saja terus agar Wena bisa mendapatkan uang limaratus juta dengan cepat."

"Yang penting jangan pinjam. Ibu tidak mau kalau kamu pinjam kesana-sana untuk membayar hutang Ayah."

"Kalau tidak minta bantuan atau pinjam, lantas kita bisa mendapatkan uang sebesar itu darimana, Bu. Ini jumlahnya banyak lho mencapai setengah miliar lebih."

"Tadi kamu bertemu dengan tuan Densbosco tidak. Harusnya kamu temui beliau di ruang kerjanya."

"Tuan Densbosco itu CEO. Atau pimpinan tertinggi di perusahaan. Jadi tidak sembarangan seluruh karyawan bisa masuk ke ruang kerjanya, Bu."

"Tapi kamu kan calon istrinya, masa kamu tidak boleh masuk."

Wena tak menanggapi kalimat ibunya yang terkesan memaksakan kehendaknya itu....

Wena masuk ke dalam rumah kemudian ganti baju di kamarnya. Rasanya semakin panas suasana rumah sekarang. Tidak bisa nyaman untuk beristirahat sejenak.

"Wena.., keluar sini. Ibu mau bicara lagi."

"Bicara apa lagi sih, Bu. Wena pingin istirahat capek kerja seharian."

"Kalau kamu pingin tidak capek, hidup enak dan banyak uang, kamu menikah saja sama tuan Osco."

"Itu lagi yang dibicarakan. Malas rasanya mendengarnya."

"Sini duduk disini. Ibu mau katakan apa yang akan diberikan oleh tuan Densbosco kepada kita."

Wena duduk di depan ibunya dengan malas....

"Tuan Densbosco akan memberimu hadiah sebuah rumah bagus bila kamu mau menjadi istrinya. Disamping itu akan memberikan mahar sebesar satu miliar dan perhiasan emas lengkap. Kamu tidak kepingin menjadi istri orang kaya raya seperti itu."

"Sudahlah Ibu jangan mengiming-imingi aku seperti itu. Aku tidak mau menjadi istri lelaki tua yang sudah punya dua istri itu."

"Tapi mereka tidak bisa menyenangkan tuan, Wen. Mereka hanya punya tubuh bagus dan wajah cantik saja. Tapi tidak bisa memberikan keturunan kepada tuan. Rahimnya kering tanpa peranakan."

"Berarti tuan itu hanya menginginkan anak bukan istri, Bu."

"Memang begitu yang dikatakan tuan Osco kepada Ayah. Dia sangat mendambakan seorang keturunan yang kelak bisa melanjutkan usahanya yang banyak itu. Oleh karena itu dia mengharapkan kamu menjadi istrinya."

"Istri yang cuma diharapkan anaknya saja. Seperti sapi betina yang dijadikan ladang ternak yang menguntungkan. Tapi tidak dipelihara dengan cinta dan kasih sayang."

"Tidak baik ngomong begitu, Wen. Tuan Osco pasti akan mencintaimu dan menyayangimu sebagaimana dia mencintai dan menyayangi dua istrinya itu."

"Saya kok kurang percaya seorang lelaki yang beristri lebih dari satu bisa membagi kasih sayangnya dengan adil. Sudahlah Ibu tidak usah menjodoh-jodohkan aku dengan tuan Osco lagi. Karena aku sudah punya pilihan sendiri yang mudah-mudahan akan mencintai dan menyayangi Wena dengan baik."

"Wena yang kita butuhkan sekarang ini adalah bagaimana kita bisa membayar hutang ayahmu. Ibu mohon keikhlasanmu mengorbankan perasaan cinta dan kasih sayangmu kali ini saja. Setelah kau menikah dengan tuan Osco dan menghasilkan keturunan kamu bisa kembali kepada pilihanmu itu lagi."

"Ibuuu...maaf buuu...aku tidak bisa seperti yang ibu inginkan...." Wena menangis merasa dirinya hanya akan dijadikan alat untuk pembayaran hutang yang besar itu....

Bersambung

Jangan lupa ya gaes tinggalkan like, komen dan hadiahnya setelah membaca cerita ini, trims 🙏

BAB 3. KEPUTUSAN

"Kamu jangan berprasangka buruk dulu pada orangtua. Ibu dan Ayah menjodohkan dengan Tuan Densbosco itu bukan mau menyengsarakan kamu, Nduk."

Wigati berusaha menenangkan Wena yang terus terisak di depannya.

"Kalau tidak mau menyengsarakan kenapa Ibu dan Ayah menjodohkan aku dengan orangtua yang sudah punya dua istri."

Wena terus terisak...

"Ayah tidak menjodohkan kamu, Nduk. Waktu itu tuan Osco sendiri yang datang kepada Ayah dan mengatakan jatuh cinta kepada kamu. Jadi kamu jangan beranggapan bahwa Ayah menukar kamu dengan uang sebesar limaratus juta itu."

"Pokoknya kalau Ibu tidak ingin menyengsarakan Wena sekarang cabut perjanjian itu. Biarkan Wena memilih sendiri lelaki yang tepat untuk Wena."

Kini ganti Wigati yang tertunduk sedih. Tidak mungkin dia akan membatalkan perjanjian itu. Karena di dalam wasiat Ayah sudah tertulis dengan jelas tanggal dan bulan Wena akan dilamar.

Serta tertulis pula konsekuensi pihak laki-laki bila pihak wanita menyetujui pernikahan. Tidak main-main apa yang akan diberikan pihak laki-laki yakni hadiah sebuah rumah bagus lemgkap dengan isinya. Serta mahar sebesar satu miliar dan perhiasan emas lengkap seberat 100 gram.

"Jangan, Nduk. Ayahmu di alam sana pasti tidak akan tenang beristirahat kalau perjanjian itu dibatalkan."

Wena diam dengan masih terus terisak....

"Kalau melihat apa yang akan diberikan tuan Osco, saya kira dia tidak sekedar ingin menikahimu, Nduk. Dia itu benar-benar jatuh cinta kepadamu. Seolah ingin memberikan seluruhnya yang dia miliki kepadamu."

Wena diam dengan masih terus terisak....

"Kelak kamu pasti hidup senang dan sejahtera bila menjadi istri tuan Densbosco."

Wigati terus merayu dengan menumbuhkan keberanian dan kepercayaan Wena agar mau menikah dengan lelaki tua yang sudah punya dua istri itu.

"Tetapi maaf, Bu..., sekali lagi Wena mohon maaaaf.... Wena bukannya tidak percaya kepada Ibu dan Ayah yang sudah memilihkan yang terbaik. Tetapi persoalannya Wena sudah terlanjur cinta dengan pacar Wena."

Kalimat Wena itu sangat mengejutkan Wigati. Bayangan yang tidak-tidak menyeruak mendengar kata terlanjur itu. Jangan-jangan....

"Tapi kamu belum terlanjur memberikan harta milikmu yang sangat berharga itu, bukan? Baru kau berikan cinta dan kasih sayangmu saja?"

Wigati prihatin karena hanya harta milik Wena satu-satunya itulah yang dapat menolongnya lepas dari jeratan hutang limaratus juta rupiah.

"Walaupun Dermawan anak orang kaya dan sangat mampu membuat Wena bahagia, Wena tidak terus lupa diri dan memberikan segalanya kepada Dermawan. Wena bisa menjaga diri dan martabat Wena sampai sekarang."

"Hebat kamu, Nduk. Tapi apakah lelaki yang kamu pilih itu bisa menyenangkan Ibu, juga ayahmu yang mungkin di alam kubur sana masih mengharapkan kamu menikah dengan tuan Densbosco."

Wigati nampak masih kekeh mempertahankan pilihannya sendiri dan pilihan almarhum suaminya.

"Mudah-mudahan bisa, Bu. Ibu belum kenal sih sama dia. Wena memang sengaja tidak mengenalkannya kepada Ibu dan Ayah karena belum tiba saatnya. Tapi dengan adanya masalah hutang itu aku kira sudah saatnya minta keseriusan dia untuk melamarku."

"Kalau begitu kenalkan saja kepada Ibu. Siapa namanya? Dermawan... kalau lihat namanya sih kelihatannya dia suka berbagi kebahagiaan."

"Memang begitu keadaan dia. Suka membantu orang yang sedang kesusahan dan peduli kepada orang miskin."

"Kamu tidak khawatir karena dia anak orang kaya raya, sedangkan keadaan kamu tidak mampu begini."

"Wena kenal dia sudah lama dan kami saling terbuka dengan keadaan masing-masing. Jadi kondisi keluarga kita yang seperti ini dia pun tahu."

Breeeemmm...breeemmm!

Terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Wigati dan Wena langsung menghentikan pembicaraan.

Jantung Wena bergetar karena tidak tahu siapa tamu yang datang. Kalau Dermawan dia kira tidak mungkin. Karena dia pasti sedang istirahat di rumahnya setelah seharian mengurus perusahaan papanya yang besar itu. Tapi apakah mungkin Dermawan yang datang karena Nandia sudah menceritakan kondisi Wena yang sedang terdesak masalah ekonomi.

Sementara Wigati langsung berlari ke depan melongok siapa tamu yang datang. Nampak sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di bawah pohon mangga. Dia berharap yang datang tuan Osco atau Densbosco. Tapi dari dalam mobil yang keluar justru anak muda tinggi tegap. Wajahnya putih bersih dan tampan.

"Assalamualaikum...Saya Dermawan, Bu," sapa pria tampan itu halus.

Wigati tercengang memperhatikan Dermawan yang berdiri di depannya. Sungguh ia tidak menyangka pria yang dipilih Wena ini begitu sempurna dalam pandangannya. Jauh berbeda dengan postur tuan Osco yang sudah tua dan beruban.

"Saya ibunya Wena."

Wigati membalas menyapa dengan sikap tenang....

Mereka kemudian duduk di ruang tamu.

"Wena ada, Bu. Saya ada perlu penting dengannya."

"Masih mandi sebentar. Nak Dermawan ini sudah lama kenal dengan Wena?"

"Sudah, Bu. Saya dan Wena dulu teman sekolah. Kemudian lama berpisah dan baru bertemu lagi hampir setahun lalu."

"Berarti tahu ya kalau Wena baru saja berduka cita."

"Tahu, Bu. Saya malah takziah kok. Tapi cuma sebentar karena masih ada kepentingan di kantor."

Tidak lama setelah Wigati berbasa-basi dengan Dermawan, Wena keluar dengan badan segar karena baru mandi dan mengenakan gaun santai warna biru muda. Di mata Wigati anak gadisnya ini memang cantik sekali. Sangat pas bila berpasangan dengan teman cowoknya itu.

"Silahkan kalian ngobrol, Ibu buatkan minuman ya."

"Tidak usah repot-repot, Bu," ucap Dermawan tapi ibunya Wena sudah berjalan ke dalam untuk membuatkan minuman.

"Nandia sudah cerita semuanya keadaanmu sekarang ini. Apa yang bisa saya bantu katakan saja jangan malu-malu."

Wena menghela napas dalam-dalam sebelum bicara. Karena apa yang akan ia katakan adalah keputusan yang akan membuka perjalanan hidupnya ke masa depan.

"Malu sebenarnya aku mengatakannya, Mas."

"Tidak apa-apa, Wen. Katakan saja kamu butuh berapa untuk membayar hutang ayahmu."

"Sangat banyak, Mas. Hutang Ayah sebesar limaratus juta. Itu belum termasuk bunga yang dibebankan oleh pihak pemberi pinjaman."

"Tidak apa-apa saya minta nomor rekeningmu. Besok bisa saya trasfer uang yang kau butuhkan itu."

Wena memandang Dermawan dengan takjub. Uang lima ratus juta bagaikan kapas yang begitu ringannya akan diberikan kepada Wena.

"Apa yang mesti kubalas atas kebaikanmu yang luar biasa ini, Mas?"

"Sudahlah tidak perlu kau pikirkan terlalu dalam. Saya hanya minta kamu jaga cinta kita dengan baik. Dalam waktu dekat ini aku akan datang bersama Papa dan Mama untuk melamarmu."

"Terimakasih, Mas. Saya berjanji akan menjaga cinta kita seperti aku menjaga nyawaku sendiri."

"Ok. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi saya mohon pamit."

Dermawan berdiri tepat ketika Wigati keluar membawa dua minuman teh hangat....

"Lho minumannya baru datang ko sudah mau pulang, Nak."

"Maaf, Bu. Masih ada tugas lainnya. Sekalian mohon pamit, Bu."

"Ya, hati-hati di jalan ya, Nak."

Dermawan pergi dengan meninggalkan perasaan senang dan lega di hati Wena. Besok selesai sudah drama hutang yang menjerat leher itu. Dan yang lebih menggembirakan lagi perjodohan dengan Tuan Densbosco akan ia batalkan. Uang mahar beserta tetekbengeknya itu sudah tidak perlu.

Tapi Wigati malah sebaliknya. Karena besok juga Tuan Densbosco akan datang untuk merealisasikan perjanjian perjodohan yang sudah disepakati bersama....

Bersambung

Haloo gaes, gimana nih dilanjut tidak ya... Kayaknya kok kecil sekali responnya 😍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!