"Kamu jangan berprasangka buruk dulu pada orangtua. Ibu dan Ayah menjodohkan dengan Tuan Densbosco itu bukan mau menyengsarakan kamu, Nduk."
Wigati berusaha menenangkan Wena yang terus terisak di depannya.
"Kalau tidak mau menyengsarakan kenapa Ibu dan Ayah menjodohkan aku dengan orangtua yang sudah punya dua istri."
Wena terus terisak...
"Ayah tidak menjodohkan kamu, Nduk. Waktu itu tuan Osco sendiri yang datang kepada Ayah dan mengatakan jatuh cinta kepada kamu. Jadi kamu jangan beranggapan bahwa Ayah menukar kamu dengan uang sebesar limaratus juta itu."
"Pokoknya kalau Ibu tidak ingin menyengsarakan Wena sekarang cabut perjanjian itu. Biarkan Wena memilih sendiri lelaki yang tepat untuk Wena."
Kini ganti Wigati yang tertunduk sedih. Tidak mungkin dia akan membatalkan perjanjian itu. Karena di dalam wasiat Ayah sudah tertulis dengan jelas tanggal dan bulan Wena akan dilamar.
Serta tertulis pula konsekuensi pihak laki-laki bila pihak wanita menyetujui pernikahan. Tidak main-main apa yang akan diberikan pihak laki-laki yakni hadiah sebuah rumah bagus lemgkap dengan isinya. Serta mahar sebesar satu miliar dan perhiasan emas lengkap seberat 100 gram.
"Jangan, Nduk. Ayahmu di alam sana pasti tidak akan tenang beristirahat kalau perjanjian itu dibatalkan."
Wena diam dengan masih terus terisak....
"Kalau melihat apa yang akan diberikan tuan Osco, saya kira dia tidak sekedar ingin menikahimu, Nduk. Dia itu benar-benar jatuh cinta kepadamu. Seolah ingin memberikan seluruhnya yang dia miliki kepadamu."
Wena diam dengan masih terus terisak....
"Kelak kamu pasti hidup senang dan sejahtera bila menjadi istri tuan Densbosco."
Wigati terus merayu dengan menumbuhkan keberanian dan kepercayaan Wena agar mau menikah dengan lelaki tua yang sudah punya dua istri itu.
"Tetapi maaf, Bu..., sekali lagi Wena mohon maaaaf.... Wena bukannya tidak percaya kepada Ibu dan Ayah yang sudah memilihkan yang terbaik. Tetapi persoalannya Wena sudah terlanjur cinta dengan pacar Wena."
Kalimat Wena itu sangat mengejutkan Wigati. Bayangan yang tidak-tidak menyeruak mendengar kata terlanjur itu. Jangan-jangan....
"Tapi kamu belum terlanjur memberikan harta milikmu yang sangat berharga itu, bukan? Baru kau berikan cinta dan kasih sayangmu saja?"
Wigati prihatin karena hanya harta milik Wena satu-satunya itulah yang dapat menolongnya lepas dari jeratan hutang limaratus juta rupiah.
"Walaupun Dermawan anak orang kaya dan sangat mampu membuat Wena bahagia, Wena tidak terus lupa diri dan memberikan segalanya kepada Dermawan. Wena bisa menjaga diri dan martabat Wena sampai sekarang."
"Hebat kamu, Nduk. Tapi apakah lelaki yang kamu pilih itu bisa menyenangkan Ibu, juga ayahmu yang mungkin di alam kubur sana masih mengharapkan kamu menikah dengan tuan Densbosco."
Wigati nampak masih kekeh mempertahankan pilihannya sendiri dan pilihan almarhum suaminya.
"Mudah-mudahan bisa, Bu. Ibu belum kenal sih sama dia. Wena memang sengaja tidak mengenalkannya kepada Ibu dan Ayah karena belum tiba saatnya. Tapi dengan adanya masalah hutang itu aku kira sudah saatnya minta keseriusan dia untuk melamarku."
"Kalau begitu kenalkan saja kepada Ibu. Siapa namanya? Dermawan... kalau lihat namanya sih kelihatannya dia suka berbagi kebahagiaan."
"Memang begitu keadaan dia. Suka membantu orang yang sedang kesusahan dan peduli kepada orang miskin."
"Kamu tidak khawatir karena dia anak orang kaya raya, sedangkan keadaan kamu tidak mampu begini."
"Wena kenal dia sudah lama dan kami saling terbuka dengan keadaan masing-masing. Jadi kondisi keluarga kita yang seperti ini dia pun tahu."
Breeeemmm...breeemmm!
Terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Wigati dan Wena langsung menghentikan pembicaraan.
Jantung Wena bergetar karena tidak tahu siapa tamu yang datang. Kalau Dermawan dia kira tidak mungkin. Karena dia pasti sedang istirahat di rumahnya setelah seharian mengurus perusahaan papanya yang besar itu. Tapi apakah mungkin Dermawan yang datang karena Nandia sudah menceritakan kondisi Wena yang sedang terdesak masalah ekonomi.
Sementara Wigati langsung berlari ke depan melongok siapa tamu yang datang. Nampak sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di bawah pohon mangga. Dia berharap yang datang tuan Osco atau Densbosco. Tapi dari dalam mobil yang keluar justru anak muda tinggi tegap. Wajahnya putih bersih dan tampan.
"Assalamualaikum...Saya Dermawan, Bu," sapa pria tampan itu halus.
Wigati tercengang memperhatikan Dermawan yang berdiri di depannya. Sungguh ia tidak menyangka pria yang dipilih Wena ini begitu sempurna dalam pandangannya. Jauh berbeda dengan postur tuan Osco yang sudah tua dan beruban.
"Saya ibunya Wena."
Wigati membalas menyapa dengan sikap tenang....
Mereka kemudian duduk di ruang tamu.
"Wena ada, Bu. Saya ada perlu penting dengannya."
"Masih mandi sebentar. Nak Dermawan ini sudah lama kenal dengan Wena?"
"Sudah, Bu. Saya dan Wena dulu teman sekolah. Kemudian lama berpisah dan baru bertemu lagi hampir setahun lalu."
"Berarti tahu ya kalau Wena baru saja berduka cita."
"Tahu, Bu. Saya malah takziah kok. Tapi cuma sebentar karena masih ada kepentingan di kantor."
Tidak lama setelah Wigati berbasa-basi dengan Dermawan, Wena keluar dengan badan segar karena baru mandi dan mengenakan gaun santai warna biru muda. Di mata Wigati anak gadisnya ini memang cantik sekali. Sangat pas bila berpasangan dengan teman cowoknya itu.
"Silahkan kalian ngobrol, Ibu buatkan minuman ya."
"Tidak usah repot-repot, Bu," ucap Dermawan tapi ibunya Wena sudah berjalan ke dalam untuk membuatkan minuman.
"Nandia sudah cerita semuanya keadaanmu sekarang ini. Apa yang bisa saya bantu katakan saja jangan malu-malu."
Wena menghela napas dalam-dalam sebelum bicara. Karena apa yang akan ia katakan adalah keputusan yang akan membuka perjalanan hidupnya ke masa depan.
"Malu sebenarnya aku mengatakannya, Mas."
"Tidak apa-apa, Wen. Katakan saja kamu butuh berapa untuk membayar hutang ayahmu."
"Sangat banyak, Mas. Hutang Ayah sebesar limaratus juta. Itu belum termasuk bunga yang dibebankan oleh pihak pemberi pinjaman."
"Tidak apa-apa saya minta nomor rekeningmu. Besok bisa saya trasfer uang yang kau butuhkan itu."
Wena memandang Dermawan dengan takjub. Uang lima ratus juta bagaikan kapas yang begitu ringannya akan diberikan kepada Wena.
"Apa yang mesti kubalas atas kebaikanmu yang luar biasa ini, Mas?"
"Sudahlah tidak perlu kau pikirkan terlalu dalam. Saya hanya minta kamu jaga cinta kita dengan baik. Dalam waktu dekat ini aku akan datang bersama Papa dan Mama untuk melamarmu."
"Terimakasih, Mas. Saya berjanji akan menjaga cinta kita seperti aku menjaga nyawaku sendiri."
"Ok. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi saya mohon pamit."
Dermawan berdiri tepat ketika Wigati keluar membawa dua minuman teh hangat....
"Lho minumannya baru datang ko sudah mau pulang, Nak."
"Maaf, Bu. Masih ada tugas lainnya. Sekalian mohon pamit, Bu."
"Ya, hati-hati di jalan ya, Nak."
Dermawan pergi dengan meninggalkan perasaan senang dan lega di hati Wena. Besok selesai sudah drama hutang yang menjerat leher itu. Dan yang lebih menggembirakan lagi perjodohan dengan Tuan Densbosco akan ia batalkan. Uang mahar beserta tetekbengeknya itu sudah tidak perlu.
Tapi Wigati malah sebaliknya. Karena besok juga Tuan Densbosco akan datang untuk merealisasikan perjanjian perjodohan yang sudah disepakati bersama....
Bersambung
Haloo gaes, gimana nih dilanjut tidak ya... Kayaknya kok kecil sekali responnya 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments