🌹🌹🌹
"Wena!" panggil Nandia melihat sahabat karibnya itu datang ke kantor dengan wajah cerah seperti matahari pagi ini.
"Sahabatku yang paling baik.... Terimakasih, ya! Kemarin Dermawan sudah datang ke rumah."
"Gimana, sukses kan urusannya?"
"Sukses! Hari ini katanya akan transfer."
"Wuiih..., kekasihmu itu benar-benar hebat. Beruntung sekali kalau aku punya pacar yang baik seperti itu."
"Saya doakan semoga kamu cepat mendapatkan pacar yang jauh lebih baik."
"Sebenarnya seperti Agung saja bagiku sudah cukup. Saya tidak ingin punya pacar yang kaya raya nanti banyak makan hati saja."
"Halaaah.... Kenapa masih ingat Agung terus sih. Beruntung kamu tidak jadi dengan dia. Bisa lebih banyak makan hati kamu."
"Sikap kamu dengan kakak sendiri kok seperti itu?"
"Hutang Ayah sebesar lima ratus juta itu pada awalnya adalah karena dia yang meminta untuk resepsi pernikahan. Tapi sekarang malah aku yang disuruh melunasi. Dia lepas tangan tidak mau ikut membantu. Bahkan memikirkan pun tidak mau. Egois kan dia?"
"Tapi dia kan kakakmu sendiri. Jangan kau jelek-jelekan di depan orang lain."
"Sudahlah tidak usah membicarakan dia lagi. Sekarang aku sedang menunggu Dermawan mentransfer uang itu. Tapi dari aku berangkat ke kantor tadi hapenya kok tidak aktif."
"Mungkin masih sibuk. Kalau kemarin bicara dengan aku sih kelihatan dia respek sekali dengan problem yang kamu hadapi."
"Kemarin dia sudah bilang mau membantu. Hari ini tinggal menstransfer uang yang aku butuhkan."
"Tunggu saja tidak mungkin dia lupa."
"Aku khawatir jangan-jangan Agung sudah mempengaruhi Dermawan. Karena dia lebih condong mendukung rencana Ayah."
"Maksudnya kakakmu yang meminta Dermawan menghindari bertemu denganmu?"
"Entahlah.... Sekarang aku kok merasa was-was."
"Biasa itu, Wen. Orang yang sedang menunggu peristiwa besar biasanya memang merasa was-was."
"Tetapi hari ini kok perasaanku sangat aneh. Entah apa yang bakal terjadi saya tidak tau."
Belum selesai mereka ngobrol tiba-tiba Agung yang dikenal di perusahaan tempat Wena bekerja sebagai kepala divisi datang menghardik mereka.
"Jangan pengaruhi adikku dengan pandangan hidupmu yang mengagungkan cinta dan pengabdian itu," kata kakak Wena dengan angkuhnya.
Nandia yang merasa kalimat itu ditunjukkan kepada dirinya langsung berdiri dari kursinya.
"Mau kemana kamu?"
"Yang kau perlukan bukan bicara dengan aku tapi dengan Wena. Jadi tidak perlu aku mendengarkan," kata Nandia ketus.
"Kau juga perlu mendengarnya, agar tahu kalau Wena itu sudah dilamar oleh bos kita."
"Itu urusan kalian tidak perlu melibatkan diriku," kata Nandia jengkel seraya pergi meninggalkan Agung dan Wena.
Kini di ruangan kantor itu tinggal Agung dan Wena yang duduk di meja kerjanya....
"Bicara apa kalian berdua tadi. Pasti sedang membicarakan pacarmu yang sok sosial itu."
"Jangan bicarakan soal Dermawan. Dia adalah milikku. Kamu tidak perlu ikut campur."
"Kamu itu adikku, Wen. Aku punya kewajiban untuk mengarahkan kamu agar hidupmu kelak tidak sengsara. Belum tentu Dermawan itu kelak menjadi suami yang baik."
"Aku minta jangan campuri urusanku. Biarkan aku menentukan masa depanku sendiri."
"Kamu tidak perlu repot mencari masa depanmu. Karena Ayah sudah membuka masa depanmu jauh lebih baik daripada kamu mencarinya sendiri."
"Jangan membual dengan dalih masa depan, Mas. Aku tahu Itu cuma untuk menutupi rencana picikmu yang menginginkan lebih dari yang sudah diberikan Tuan Osco kepadamu, bukan?"
"Aku tidak tahu apa maksudmu!"
"Jangan pura-pura bodoh. Sudah jelas kok apa yang bakal kau nikmati setelah aku menikah dengan Tuan Osco."
"Jabatan maksudmu...? Buat apa jabatan. Aku sudah hidup lebih dari cukup dengan punya istri Laluna. Tidak perlu memburu jabatan lebih tinggi lagi."
"Kamu dengan bebasnya mencari kebahagian masa depanmu sendiri. Sementara aku kenapa mesti kau bimbing-bimbing yang sebenarnya bukan menuju ke mahligai kebahagiaan, tapi malah jurang kotor yang akan menghancurkan diriku!"
"Jalan pikiranmu salah, Dik. Tidak ada seorang kakak mau menjerumuskan adiknya sendiri dalam kehidupan ini. Tolong rubah jalan pikiranmu yang salah itu."
"Jalan pikiran kakak yang salah. Aku tidak bisa mengikutinya. Aku sudah putuskan untuk memilih Dermawan. Ibu sudah tahu keputusanku ini. Kemarin kami bertiga sudah bertemu di rumah. Hari ini Dermawan akan membantu melunasi hutang Ayah."
"Kamu tidak tahu Dermawan itu cuma manis di bibir saja. Mana mungkin dia mau mengeluarkan uang sebesar itu cuma hanya untuk mendapatkan sanjungan."
"Sudahlah, Mas. Aku tidak mau berdebat soal itu di kantor. Silahkan Mas Agung tinggalkan aku sendiri."
"Sabar, Dik. Kakak kesini mau memberitahu kamu kalau Tuan Osco mau datang ke rumah hari ini. Tentunya kamu sudah bisa menebak keperluannya apa."
"Aku tidak pulang hari ini. Masih ada keperluan dengan Nandia."
"Pasti akan menemui Dermawan di rumahnya yang besar seperti istana itu kan?"
Wena tak menjawab pertanyaan yang tidak perlu dijawab itu...
"Harusnya nanti kau pulang ikut menemui Tuan Osco. Kalau pun kamu tidak ingin menikah dengannya, dia kan pemilik perusahaan kita bekerja. Sebagai karyawannya masa kamu tidak ingin menghormatinya dengan bertemu sebentar saja tidak apa-apa."
"Maaf, Mas. Saya harus pergi sekarang."
"Menemui Dermawan, kan?"
"Ya. Saya mau menemuinya. Tidak ada yang bisa melarang aku menemuinya. Termasuk kamu, Mas!" ketus Wena bicara.
"Silahkan.... Tapi jangan kecewa kalau kamu tidak bisa menemuinya karena semalam dia sudah terbang ke Singapura."
"Saya tidak percaya!"
"Silahkan kamu telpon saja. Tanyakan apakah dia sudah mengirimkan uang ke rekening kamu atau belum."
Wena penasaran seraya memencet nomor Dermawan di handphonenya. Ternyata memang benar tidak ada nada sambungan sama sekali. Sama seperti tadi pagi sebelum Wina berangkat ke kantor.
"'Aku sungguh tak percaya hal ini bisa terjadi," kata Wena dengan perasaan sedih.
"Kamu itu kalau dibilang kakakmu sendiri selalu tidak percaya. Ternyata apa? Betulkan? Dia cuma manis di bibir saja."
Tangis Wena akhirnya pecah di meja kerjanya dengan disaksikan oleh kakaknya sendiri....
"Sudah tidak perlu disesali. Kita sekarang pulang saja bersiap-siap menerima kehadiran Tuan Osco. Kasihan Ibu di rumah sendirian."
Wena diam ingin menjerit sekeras-kerasnya....
//Saya hanya minta kamu jaga cinta kita dengan baik. Dalam waktu dekat ini aku akan datang bersama Papa dan Mama untuk melamarmu//
Kalimat manis itu masih terdengar jelas di telinga Wena. Rasanya tak percaya bila sekarang Dermawan meninggalkannya tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Pasti ada sesuatu yang membuat cowok itu berubah drastis. Entah siapa yang telah merubah pikiran dan hatinya. Sebab yang Wena kenal cowok itu tidak punya sikap pengecut.
"Sudah.... Jangan menangis seperti itu. Hadapi realita hidupmu dengan sabar."
"Kamu pasti tahu kenapa mendadak dia pergi ke Singapura?"
"Saya tahu dari teman yang kebetulan menjadi anak buahnya. Tapi tentu saja aku tidak tahu penyebab dia pergi."
"Jangan bohong. Jangan-jangan kamu sendiri yang minta dia pergi. Sehingga tidak mengganggu rencanamu hari ini."
"Rencana apa?!"
"Rencana apa lagi kalau bukan mengajak Tuan Osco bertandang ke rumah."
"Aku tidak berani sembarangan mengajak orang besar dan terpandang seperti beliau. Kunjungannya kali ini ke rumah karena memang sudah ada dalam agenda perjanjian itu."
Tidak ada alasan lain untuk mengelak tidak bertemu dengan Tuan Osco. Walaupun dalam hati masih berat namun kakinya ikut melangkah perlahan-lahan.
🌹🌹🌹
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments