"Masa berkabung itu baru dua hari lho, Wen. Kamu kok sudah berangkat?"
Nandia teman sekantor heran melihat Wena pagi itu sudah ada di meja kerjanya.
"Harus tegar dong sahabatku. Semua manusia itu akan menghadapi kematian. Jadi jalani saja hidup ini dengan sabar... So must go onlah."
"Siap ustadzahku yang cantik."
"Terimakasih, Nan. Kamu dan teman-teman kemarin sudah mau takziah, sampai repot-repot ikut mengantar ke makam segala."
"Itu kan sudah menjadi kewajiban kami, Wen. Oya... Kemarin aku kok tidak melihat Dermawan hadir. Takziah tidak sih?"
"Malah dia yang paling awal datangnya. Tapi tidak bisa mengantar ke makam karena ada keperluan penting."
"Kapan nih... Kamu dan dia akan naik ke pelaminan?"
"Itulah kenapa aku pagi ini suah ngantor lagi. Aku cuma pingin sharing dengan sobatku yang paling setia."
"Ada masalah apa kamu dengan putra mahkota itu. Kok tiba-tiba pingin mencurahkan isi hati."
"Tidak ada kami baik-baik saja. Cuma kelihatannya akan ada pengganggu hubunganku dengan Dermawan."
"Siapa pengganggunya bilang sama aku. Akan aku potes-potes lehernya."
"Aku takut mengatakannya. Bisa geger dunia nanti."
"Memang siapa si pengganggu itu?"
"Bos kita, Nan," ucap Wena dengan suara nyaris tak terdengar di telinga Nandia.
"Tuan Densbosco maksudmu?" Nandia malah bicara setengah menjerit.
Hupsmm...! Wena langsung membungkam mulut temannya itu dengan kedua telapak tangannya.
"Hiiiihss... Jangan keras-keras...!"
"Ma-maaf, Wen. Saking kagetnya aku jadi lupa tadi." Nandia bicara ikut pelan.
"Untung tidak ada yang mendengar."
"Maksudmu beliau mengganggu bagaimana?" tanya Nandia penasaran dengan suara berbisik.
"Kalau benar apa yang disampaikan Ibu... Tuan Densbosco sudah melamarku sebelum Ayah meninggal."
"Apakah Dermawan tidak tahu mengenai hal ini?"
"Saya sendiri baru tahu dari Ibu tadi pagi."
"Bahaya, Wen. Kamu harus bisa menyembunyikan hal ini secepatnya. Jangan sampai kekasihmu tahu."
"Bagamana caranya aku bingung, Nan. Karena ini ada kaitannya dengan hutang Ayah yang harus dilunasi dalam waktu dekat ini."
"Kamu terus terang saja kepada kekasihmu itu. Sampaikan dengan sejujurnya kesulitanmu itu. Semoga Dermawan kalau dia memang dermawan dan baik hati pasti mau membantumu."
"Aku tidak bisa ngomongnya, Nan. Malu sekali. Belum apa-apa sudah minta bantuan uang."
"Kalau boleh tahu berapa sih jumlahnya yang harus kau bayar?"
"Limaratus juta rupiah belum termasuk bunganya..."
"Wow...Besar sekali, Wen. Saya kok ragu kalau Dermawan bisa mengeluarkan uang sebesar itu."
"Aku sendiri tidak yakin, Nan. Walaupun orangtuanya konglomerat, tapi limaratus juta bukan jumlah yang sedikit."
"Kalau selain Dermawan apakah ada lagi orang yang bisa kamu minta bantuannya, Wen?"
"Tidak ada, Nan. Disamping itu Ibu melarang membayar hutang dengan hutang lagi. Nanti bisa tidak selesai-selesai masalahnya."
"Kalau tidak hutang lantas darimana uang sebesar itu bisa kamu miliki."
"Pusing kepalaku, Nan." Wena menunduk dengan kedua tangan memegang kepalanya.
"Tidak tega aku melihatmu seperti itu...."
"Bagaimana kalau nanti habis kerja kamu ke rumah Dermawan, Nan. Sampaikan saja keadaanku yang kamu ketahui kepadanya. Bila dia mau membantu aku sangat berterimakasih kepadanya. Tapi bila tidak terpaksa saya harus jual rumah dan harta lainnya milik Ayah."
"Jangan jual rumah, Wen. Nanti saya bantu menyampaikan masalahmu itu kepada Dermawan. Syukur-syukur dia mau membantu."
"Terimakasih sebelumnya, Nan. Hanya kamu yang kuberitahu masalah keluargaku yang memalukan ini. Tidak ada teman lainnya yang tahu. Mudah-mudahan masalahnya bisa selesai secepatnya."
"Percayalah saya akan menyimpan baik-baik hal ini. Tidak akan ada orang lain yang tahu."
"Sekali lagi terimakasih ya, Nan."
🌹🌹🌹
Wigati sore itu sudah menunggu di teras ketika Wena pulang dari kantor. Wajahnya masih nampak murung seperti tadi pagi sewaktu Wena berangkat ke kantor.
"Bagaimana, Wen. Kamu sudah ketemu Tuan Densbosco?"
"Ibu itu bagaimana sih. Wena ganti baju saja belum sudah ditodong pertanyaan yang tidak menyenangkan begitu."
"Maafin Ibu ya, Wen. Ibu kepikiran terus dari pagi tadi."
"Ibu berdoa saja terus agar Wena bisa mendapatkan uang limaratus juta dengan cepat."
"Yang penting jangan pinjam. Ibu tidak mau kalau kamu pinjam kesana-sana untuk membayar hutang Ayah."
"Kalau tidak minta bantuan atau pinjam, lantas kita bisa mendapatkan uang sebesar itu darimana, Bu. Ini jumlahnya banyak lho mencapai setengah miliar lebih."
"Tadi kamu bertemu dengan tuan Densbosco tidak. Harusnya kamu temui beliau di ruang kerjanya."
"Tuan Densbosco itu CEO. Atau pimpinan tertinggi di perusahaan. Jadi tidak sembarangan seluruh karyawan bisa masuk ke ruang kerjanya, Bu."
"Tapi kamu kan calon istrinya, masa kamu tidak boleh masuk."
Wena tak menanggapi kalimat ibunya yang terkesan memaksakan kehendaknya itu....
Wena masuk ke dalam rumah kemudian ganti baju di kamarnya. Rasanya semakin panas suasana rumah sekarang. Tidak bisa nyaman untuk beristirahat sejenak.
"Wena.., keluar sini. Ibu mau bicara lagi."
"Bicara apa lagi sih, Bu. Wena pingin istirahat capek kerja seharian."
"Kalau kamu pingin tidak capek, hidup enak dan banyak uang, kamu menikah saja sama tuan Osco."
"Itu lagi yang dibicarakan. Malas rasanya mendengarnya."
"Sini duduk disini. Ibu mau katakan apa yang akan diberikan oleh tuan Densbosco kepada kita."
Wena duduk di depan ibunya dengan malas....
"Tuan Densbosco akan memberimu hadiah sebuah rumah bagus bila kamu mau menjadi istrinya. Disamping itu akan memberikan mahar sebesar satu miliar dan perhiasan emas lengkap. Kamu tidak kepingin menjadi istri orang kaya raya seperti itu."
"Sudahlah Ibu jangan mengiming-imingi aku seperti itu. Aku tidak mau menjadi istri lelaki tua yang sudah punya dua istri itu."
"Tapi mereka tidak bisa menyenangkan tuan, Wen. Mereka hanya punya tubuh bagus dan wajah cantik saja. Tapi tidak bisa memberikan keturunan kepada tuan. Rahimnya kering tanpa peranakan."
"Berarti tuan itu hanya menginginkan anak bukan istri, Bu."
"Memang begitu yang dikatakan tuan Osco kepada Ayah. Dia sangat mendambakan seorang keturunan yang kelak bisa melanjutkan usahanya yang banyak itu. Oleh karena itu dia mengharapkan kamu menjadi istrinya."
"Istri yang cuma diharapkan anaknya saja. Seperti sapi betina yang dijadikan ladang ternak yang menguntungkan. Tapi tidak dipelihara dengan cinta dan kasih sayang."
"Tidak baik ngomong begitu, Wen. Tuan Osco pasti akan mencintaimu dan menyayangimu sebagaimana dia mencintai dan menyayangi dua istrinya itu."
"Saya kok kurang percaya seorang lelaki yang beristri lebih dari satu bisa membagi kasih sayangnya dengan adil. Sudahlah Ibu tidak usah menjodoh-jodohkan aku dengan tuan Osco lagi. Karena aku sudah punya pilihan sendiri yang mudah-mudahan akan mencintai dan menyayangi Wena dengan baik."
"Wena yang kita butuhkan sekarang ini adalah bagaimana kita bisa membayar hutang ayahmu. Ibu mohon keikhlasanmu mengorbankan perasaan cinta dan kasih sayangmu kali ini saja. Setelah kau menikah dengan tuan Osco dan menghasilkan keturunan kamu bisa kembali kepada pilihanmu itu lagi."
"Ibuuu...maaf buuu...aku tidak bisa seperti yang ibu inginkan...." Wena menangis merasa dirinya hanya akan dijadikan alat untuk pembayaran hutang yang besar itu....
Bersambung
Jangan lupa ya gaes tinggalkan like, komen dan hadiahnya setelah membaca cerita ini, trims 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments