Aku Bukan Pembunuh

Aku Bukan Pembunuh

part 1

Malam itu ketika semua Orang sudah terlelap. Ibu Sinta terbangun, Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit.

"Mas ... bangun ... Mas. Perut aku sakit sepertinya akan segera melahirkan."

" Aduh, ada apa Sin?" pak Bram bangun,tetapi masih setengah sadar."

" Perut aku sakit Mas. Ayo kita kerumah Sakit, Aku akan segera melahirkan."

" Ngapain repot-repot ke Rumah Sakit? melahirkan di rumah aja, kan bisa."

"Tapi Mas. Sebaiknya di Rumah Sakit saja, Aku takut nantinya terjadi sesuatu yang tidak di inginkan."

" Sinta! Jangan ngeyel. Di rumah saja toh ini juga bukan pertama kalinya kamu melahirkan. Asti tidak akan susah lagi."

" Mas ..."

" Jangan Membantah! Aku sudah menghubungi Dokter, sebentar lagi sampai."

Ibu Sinta hanya terdiam.Jika suami nya sudah berbicara seperti itu maka tidak bisa di bantah.

" Dokternya mana Mas? Aku sudah tak tahan lagi"

" Tunggu sebentar lagi," ucap pak Bram.

Tak berselang lama Dokter dan asistennya akhirnya tiba.

Ting tong ... terdengar suara bel rumah berbunyi. Bibi Sri seorang pembantu disitu langsung membuka pintu.

Melihat siapa yang datang. Bi Sri langsung mengantarnya ke kamar ibu Sinta.

"Dokter cepat. Aku sudah tak tahan lagi," ucap Bu Sinta yang sudah berbaring.

" Baik Ibu, ini sudah pembukaan lengkap. Dan untuk Bapak silahkan tunggu diluar."

Bram keluar dari kamar, ternyata di luar sudah ada Mex yang mengkhawatirkan ibunya.

"Ayah. Bagai mana keadaan ibu?"

"Ibu kamu baik-baik saja. Sebentar lagi adikmu akan lahir."

"Benarkah?"

"Iya, kita tunggu saja di sini."

" Ayo Bu ... dorong ... kepalanya sudah kelihatan"

" hu hu hu ... aaaakh"

" Dorong sekali lagi Bu, ayo 1 ... 2 ... 3"

" Aaaaaaaakh!"

Ooeee ... ooeee. Terdengar tangisan khas bayi Baru lahir.

" segera bersihkan Bayi ini," ucap sang Dokter kepada asistennya.

"Ibu Sinta, Ibu," Dokter menepuk-nepuk wajah ibu sinta yang sudah tak sadarkan diri.

" Astaga Ibu Sinta mengalami pendarahan," ucap asisten dokter.

" Cepat letakan Bayi itu di kasur sebelah sana, dan bantu saya,"

Dokter dan asistennya sudah bekerja keras menghentikan pendarahan itu tapi tak berhasil.

klek ....

Pintu kamar terbuka.

"Dokter bagai mana keadaan istri dan anak saya?"

" Anak Anda sehat. Dia perempuan."

" Lalu istri saya?"

" Maafkan kami pak, kami sudah bekerja keras menolong Ibu Sinta ."

"Maksud Dokter? tolong di perjelas."

" Ibu Sinta mengalami pendarahan setelah melahirkan dan tawa beliau tidak dapat tertolong."

"A-apa? Istri saya? tidak mungkin." pak Bram langsung berlari kearah Ibu Sinta, yang sudah terbujur kaku."

" Sinta bangun! bangun jangan tinggalkan kami! hiks ... Hiks."

"Ibu!" Mex juga berlari menghampiri sang ibu.

Sekencang-kencangnya mereka menangis tapi tak membuat Ibu Sinta bangun.

" Pak sebaiknya segera siapkan pemakaman utuk Ibu Sinta," ucap Dokter itu.

Pak Bram tidak menjawab. Beliau terus menangis bersama putranya, di samping jenazah Ibu Sinta.

"pak Bram ... Bayi anda."

Tangisan Pak Bram terhenti mendengar kata Bayi. " Bayi? Aku tidak punya Bayi pembunuh!"

" Pak! Bagaimana pun itu bayi anda. Jadi tolong tenangkan pikiran anda. Saya Masi banyak urusan Permisi."

Dokter dan asistennya meninggalkan kediaman Bram Wijaya.

Bayi itu di urus oleh BI Sri, karena Tuanya sibuk mengurus pemakaman Istrinya Ibu Sinta.

....

Setelah pemakaman utuk selesai.

"Tuan, Ini Bayi anda," Bi Sri menyerahkan Bai perempuan itu kepada majikannya.

" Jauhkan Bayi itu dariku! Dia pembunuh!" teriak pak Bram.

" Tapi Tuan ... "

" Dengar Bi. Mulai sekarang Bayi itu Bibi yang urus. Aku tidak mau mengurus bayi yang telah membunuh istriku."

Deg ....

" B-bagaimana saya mengurusnya Tuan?"

" Terserah Bibi. Urus saja di rumah ini asal jangan pernah dia muncul di hadapanku."

"Baiklah Tuan," walau berat tapi Bi Sri tidak mempunyai pilihan lain selain merawat Bayi perempuan yang cantik itu.

" Didalam kartu ini ada uang, gunakanlah untuk kebutuhan bayi pembawa sial itu. Tiap bulan aku akan transfer uang 1 juta untuk kebutuhannya."

"Terimakasih Tuan," mau tidak mau Bi Sri, menerima kartu ATM itu.

Walaupun pak Bram benci dengan bayi itu, tapi Beliau masih membiarkan bayi itu di rawat di rumahnya.

....

" Kasihan sekali kamu Non" ucap Bi Sri kepada bayi itu.

"Oh iya Non, kan Nona kecil belum punya nama, bagaimana kalau nama Nona ... Ivana."

Pak Bram sangat benci dengan bayi itu, sampai-sampai beliau tidak memberikan nama. Jadi Bi Sri yang memberikan nama kepada nya..

Ooeee ... ooeee. bayi Ivana terus menangis Mala itu tidak tahu apa yang terjadi.

" Bi Sri. diamkan pembunuh itu! telingaku sakit mendengarnya," ucap pak Bram.

" Iya nih Bi. Aku mau tidur tapi pembawa sial itu selalu berisik," kini Max yang membuka suara. Anak 8 tahun itu berbicara layaknya orang dewasa.

" Maaf Tuan, Den. Nona kecil rewel, badanya panas."

Tapi Tuan Bram tidak pernah peduli.Selalu saja cuek, dengan keadaan Ivana. Dari kecil Ivna tubuh tanpa kasih sayang Ayahnya dan Mex.

*

*

*

20 tahun kemudian.

Ivana bertubuh menjadi gadis cantik. Akan tetapi dia bertumbuh menjadi pribadi yang sangat tertutup. Wajah datar tidak pernah senyum, berbicara seadanya, dan bersikap dingin terhadap orang lain.

Bugh ....

"kalau jalan itu pakai mata!" teriak Mex.

"Maaf kak, Aku tidak sengaja ... "lirih Ivana.

" Hee pembawa sial. Aku bukan Kakakmu! Aku tak memiliki adik pembunuh sepertimu," Mex menunjuk wajah Ivana.

"Mex. Ada apa? Pagi-pagi udah ribut?" ucap pak Bram.

" Ini Ayah, Anak pembunuh sengaja menabrak ku"

Bugh ....

Ivana jatuh tersungkur,akibat di dorong oleh Ayahnya.

"Pembunuh! Kenapa kamu mencari masalah kepada putraku?"

"Ayah Aku- " ucapan Ivana terpotong karena Ayahnya menyangga ucapnya.

"Jangan panggil aku Ayah! Aku tak memiliki putri pembunuh dan pembawa sial."

Ivana hanya diam. Dia tidak berani menatap kedua orang dihadapannya.

"Ayo Mex , kita turun sarapan. Kita tidak ada waktu mengurus pembawa sial ini."

" Minggir kamu! Jangan menghalangi jalan kami," ucap Mex kepada Ivana yang masih duduk di lantai.

Ivana menggeser tubuhnya, menjauh sedikit dari jalan mereka.

Mex dan Ayahnya turun untuk sarapan.

Ivana melangkahkan kaki mengikuti Ayahnya dan Mex tapi dia hanya sampai pada anak tangga pertama.

Sudah menjadi rutinitas setiap pagi, Ivana duduk di anak tangga melihat dari atas Ayahnya dan Mex sedang sarapan.

"Andai saja Aku bisa duduk sarapan diantara mereka, pasti aku anak yang paling bahagia. Tapi sayang semua itu tak akan bisa ku gapai mereka terlalu jauh," ucap Ivana dalam hati sambil meneteskan air mata.

"Bi Sri. kami sudah selesai sarapan, silahkan bereskan sia makanan di meja ini. kami segera berangkat ke perusahaan....ucap ayah.

"Baik Tuan."

" Oh ya Bi. Satu lagi pagi ini jangan berani memberi makan Anak pembunuh itu, Dia sudah mencari masalah kepada putraku,"

Mex hanya tersenyum miring ke arah Ivana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!