Tak butuh waktu lama, ustadz Azlan pun telah sampai di rumahnya. Ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang sangat besar.
"Assalamualaikum," ucap ustadz Azlan memasuki rumah.
"Waalaikumussalam," ucap orang yang ada di dalam rumah.
"Ya Allah, Nak, kamu habis dari mana dan kenapa kening kamu ada luka seperti ini?" ucap seorang wanita yang tak lain adalah ibunya ustadz Azlan.
"Iya, Nak, kamu dari mana? Dan kenapa kamu nggak pulang semalaman? Abi juga dapat telepon dari Haji Abdurrahman, katanya kamu tidak datang mengisi acara pengajian semalam," ucap ayahnya ustadz Azlan yang ia panggil dengan sebutan Abi.
"Maafin Alan ya, Umi, Abi. Kemarin Alan kecelakaan, makanya nggak datang ke pengajian. HP Alan juga mati dan nggak bisa ngabarin ke Abi sama Umi."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kamu kecelakaan di mana dan kenapa bisa sampai kecelakaan?" tanya Umi.
"Alan waktu itu sedang menyetir. Ada hewan yang lewat, jadi Alan berusaha menghindar supaya nggak nabrak. Tapi malah Alan nabrak pohon. Untungnya, ada seorang bapak dan anaknya yang nolongin Alan, lalu mengobati Alan di rumah mereka."
"Ya Allah, Nak. Lain kali kamu harus lebih hati-hati, ya! Umi sama Abi cemas banget mikirin kamu semalaman," ujar Umi sambil menarik napas lega.
"Iya, Mi. Maafin Alan sudah bikin Umi dan Abi khawatir."
"Iya, Nak. Ya sudah, sekarang kamu ke kamar, mandi, terus siap-siap sarapan, ya. Kamu belum makan kan?" ucap Umi dengan lembut.
"Iya, Mi. Kalau begitu, Alan ke atas dulu ya, Abi, Umi."
"Iya, Nak."
🌻🌻🌻🌻
Jam istirahat tiba, namun Nafisa hanya duduk diam di meja kantin sambil melamun. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.
"Oiiii, Nafisaaa!" seru seseorang dengan suara melengking tepat di telinga Nafisa.
"Astagfirullah, Mitaaaaa! Kamu ngagetin aja, tahu nggak? Kuping aku jadi sakit!" Nafisa melotot kesal sambil mengusap telinganya.
"Ya, sori, Sa... Tapi habisnya kamu aku perhatiin dari tadi melamun terus. Mikirin apa sih? Jangan-jangan mikirin gebetan, ya?" goda Mita, sahabat dekatnya, sambil tersenyum jahil.
"Beban hidup," jawab Nafisa singkat dengan nada ketus.
"Ya Allah, Nafisa. Berat amat ya hidup kamu sampai tiap hari melamun begitu. Ada apa sih?" Mita duduk di samping Nafisa, memasang wajah penasaran.
"Iya, Ta... Berat banget! Aku boleh curhat nggak sama kamu?" tanya Nafisa dengan raut muka yang terlihat benar-benar sedih.
"Ya, boleh lah! Dari dulu aku selalu siap jadi tempat curhat kamu. Kamunya aja yang nggak mau cerita," ucap Mita sambil tersenyum kecil.
Nafisa menarik napas panjang, lalu mulai bicara, "Aku tuh lagi pusing. Sebentar lagi kita lulus, tapi aku nggak tahu mau ke mana, mau ngapain. Rasanya aku kehilangan arah, Ta."
Mita menatap Nafisa dengan serius. "Kamu nggak mau kuliah, Sa?"
Nafisa menggeleng pelan. "Aku nggak minat, Ta. Aku pengen cari kerja aja, biar bisa dapat uang terus bantu Ayah sama Ibu. Aku nggak mau jadi beban mereka."
"Yah, Sa... Tapi Ayah sama Ibu kamu pasti pengennya kamu kuliah. Mereka kan mau kamu sukses," kata Mita mencoba meyakinkan.
"Aku tahu, Ta... Tapi beneran, aku nggak minat kuliah. Pengen cari kerja aja gitu."
"Kalau kamu mau kerja, emang mau kerja apa?" tanya Mita.
"Ya, kerja apa aja yang penting halal sih. Kalau kamu emang habis ini mau lanjut kuliah atau kerja?" tanya Nafisa.
"Kalau aku belum tahu juga sih, tapi Mama sama Papa aku nyuruh kuliah," ucap Mita.
"Ya udah, kamu kuliah aja. Kamu kan pintar," ujar Nafisa.
"Ya, ilah, kamu kan juga pintar, Sa. Harusnya kita tuh sama-sama kuliah biar bisa sukses bareng," ucap Mita.
"Aku tahu, Ta... Tapi aku nggak bisa. Rasanya berat banget kalau harus kuliah. Aku ini introvert, kamu tahu itu. Aku nggak pandai bergaul, apalagi kalau nanti disuruh presentasi atau kerja kelompok. Udah kebayang bakal gimana ribetnya." Nafisa memandang meja dengan pandangan kosong.
"Sa, kamu belum coba aja udah pesimis. Mana tahu nanti kamu bisa adaptasi, bisa dapat banyak teman," ucap Mita, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.
"Ta, aku serius. Aku cuma mau kerja. Pokoknya kalau kamu tahu ada lowongan, kasih tahu aku ya," kata Nafisa sambil menggenggam tangan Mita.
"Iya... Iya... Nanti aku kasih tahu kalau ada info, tenang aja," jawab Mita sambil mengangguk.
Hari mulai beranjak sore. Jam di dinding sekolah menunjukkan pukul 15.00, dan bel pulang pun berbunyi nyaring. Nafisa segera mengemasi barang-barangnya dan keluar kelas.
"Sa, kayaknya hari ini aku nggak bisa pulang bareng kamu," ujar Mita tiba-tiba. "Mama nyuruh aku ke rumah Nenek. Nenek aku lagi sakit."
"Oh, ya sudah, nggak apa-apa. Aku pulang sendiri aja. Semoga Nenek kamu cepat sembuh, ya," ucap Nafisa tulus.
"Iya, amin. Makasih, Sa. Aku duluan, ya."
"Iya... Hati-hati di jalan," balas Nafisa sambil melihat punggung Mita yang menjauh. Biasanya mereka pulang bersama karena arah rumah mereka searah, dan Nafisa selalu mendapat tumpangan dari Mita. Tapi kali ini, Nafisa harus menunggu angkot di depan sekolah.
Ia berdiri di pinggir jalan, memandang kendaraan yang lalu-lalang. Angin sore berhembus lembut, tetapi ada kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya. Nafisa berpikir, apakah pilihannya untuk tidak kuliah benar? Atau mungkin dia hanya terlalu takut untuk mencoba? pikiran Nafisa terus berkelana, ia benar-benar bingung.
Saat Nafisa menunggu angkot di depan sekolah, tiba-tiba hujan deras turun. Nafisa buru-buru mencari tempat berteduh di sebuah toko kecil yang ada di depan sekolahnya.
"Ya ampun, hujannya deras banget lagi. Gimana caranya aku pulang? Dari tadi angkot nggak lewat-lewat juga," gumam Nafisa sambil memandang jalan yang mulai basah kuyup.
Saat Nafisa tengah melamun, tiba-tiba seseorang tidak sengaja menabraknya dari belakang.
"Aduh!" Nafisa meringis kecil sambil menoleh.
"Eh, maaf, Mbak! Saya nggak sengaja. Tadi nggak lihat karena ketutupan barang," ucap seorang pria yang terburu-buru meminta maaf.
Nafisa menoleh dan melihat pria itu. Begitu juga pria tersebut, yang langsung mengenali Nafisa.
"Ustadz Azlan?" Nafisa berkata dengan nada sedikit terkejut.
"Nafisa? Oh, ternyata kamu. Maaf ya, saya benar-benar nggak sengaja tadi," ucap Ustadz Azlan, terlihat sedikit canggung.
"Eh, iya, Ustadz. Nggak apa-apa, kok."
"Kamu kenapa belum pulang? Sudah sore begini," tanya Ustadz Azlan sambil melihat keadaan sekitar.
"Ini, saya lagi nunggu angkot, tapi dari tadi nggak ada yang lewat, Ustadz," jawab Nafisa dengan nada lesu.
"Kalau begitu, gimana kalau kamu bareng saya saja? Kebetulan saya juga mau ke kampung kamu untuk mengisi acara," tawar Ustadz Azlan dengan nada ramah.
"Ha? Emm... Nggak usah, Ustadz. Saya tunggu angkot aja. Nggak enak ngerepotin Ustadz," jawab Nafisa dengan ragu.
"Nggak, ini nggak merepotkan sama sekali. Lagipula searah, dan anggap saja ini balasan saya karena kamu sudah menolong saya waktu itu," kata Ustadz Azlan sambil tersenyum.
"Kalau begitu, ya sudah, Ustadz. Terima kasih," ucap Nafisa akhirnya menerima tawaran tersebut.
Nafisa pun segera masuk ke mobil Ustadz Azlan. Dia berpikir, kalau tetap menunggu angkot di tengah hujan seperti ini, dia mungkin baru akan sampai rumah saat malam.
Didalam perjalanan keduanya saling diam, hingga akhirnya Ustadz Azlan membuka percakapan diantara mereka.
"Kamu memang biasa pulang sore begini?" tanya Ustadz Azlan memulai pembicaraan sambil tetap fokus menyetir.
"Iya, Ustadz," jawab Nafisa singkat.
"Oh, begitu. Eh, sebentar lagi azan, ya. Kalau kita berhenti dulu untuk sholat gimana? Soalnya kalau dilanjutkan, nanti bisa telat," ucap Ustadz Azlan, menoleh sekilas.
"Iya, nggak apa-apa, Ustadz," jawab Nafisa setuju.
Tak lama kemudian, Ustadz Azlan memarkirkan mobilnya di sebuah masjid tepi jalan. Ia segera keluar untuk mengambil wudhu, begitu pula Nafisa.
Setelah berwudhu, Nafisa masuk ke dalam masjid dan memakai mukenanya. Ia duduk di dekat jamaah lainnya sambil menunggu waktu sholat tiba. Tak lama kemudian, suara azan mulai berkumandang.
"Masya Allah, merdu sekali suara azan ini. Rasanya hati aku jadi tenang banget. Siapa yang azan, ya?" gumam Nafisa.
Ucapan Nafisa barusan tak sengaja terdengar oleh seorang ibu-ibu yang duduk di sampingnya.Ia menoleh pada Nafisa dan tersenyum.
"Itu suara Ustadz Azlan, Nak. Ustadz muda yang tampan itu," ucap ibu tersebut dengan senyum ramah.
"Hah, yang benar, Bu? Suaranya adem sekali, ya," Nafisa terlihat sedikit terkejut. Ia teringat, sebelumnya ia pernah mendengar Ustadz Azlan mengaji, dan suaranya memang sangat merdu.
"Iya, Nak. Ustadz Azlan sering sholat di sini. Orangnya baik sekali. Kalau saya punya anak perempuan, sudah saya jodohkan dengannya," ucap ibu itu sambil tertawa kecil.
Nafisa hanya tersenyum mendengar ucapan itu. Dalam hatinya, ia bergumam, "Ya Allah, seandainya nanti Kau berikan aku jodoh yang seperti Ustadz Azlan, pasti aku akan sangat bersyukur."
Tak lama kemudian, iqamah dikumandangkan, dan semua jamaah berdiri untuk menunaikan sholat Asar berjamaah. Nafisa mengikuti sholat dengan khusyuk, merasa damai di bawah naungan rumah Allah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments