Bab 3

Tak butuh waktu lama, ustadz Azlan pun telah sampai di rumahnya. Ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang sangat besar.

"Assalamualaikum," ucap ustadz Azlan memasuki rumah.

"Waalaikumussalam," ucap orang yang ada di dalam rumah.

"Ya Allah, Nak, kamu habis dari mana dan kenapa kening kamu ada luka seperti ini?" ucap seorang wanita yang tak lain adalah ibunya ustadz Azlan.

"Iya, Nak, kamu dari mana? Dan kenapa kamu nggak pulang semalaman? Abi juga dapat telepon dari Haji Abdurrahman, katanya kamu tidak datang mengisi acara pengajian semalam," ucap ayahnya ustadz Azlan yang ia panggil dengan sebutan Abi.

"Maafin Alan ya, Umi, Abi. Kemarin Alan kecelakaan, makanya nggak datang ke pengajian. HP Alan juga mati dan nggak bisa ngabarin ke Abi sama Umi."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kamu kecelakaan di mana dan kenapa bisa sampai kecelakaan?" tanya Umi.

"Alan waktu itu sedang menyetir. Ada hewan yang lewat, jadi Alan berusaha menghindar supaya nggak nabrak. Tapi malah Alan nabrak pohon. Untungnya, ada seorang bapak dan anaknya yang nolongin Alan, lalu mengobati Alan di rumah mereka."

"Ya Allah, Nak. Lain kali kamu harus lebih hati-hati, ya! Umi sama Abi cemas banget mikirin kamu semalaman," ujar Umi sambil menarik napas lega.

"Iya, Mi. Maafin Alan sudah bikin Umi dan Abi khawatir."

"Iya, Nak. Ya sudah, sekarang kamu ke kamar, mandi, terus siap-siap sarapan, ya. Kamu belum makan kan?" ucap Umi dengan lembut.

"Iya, Mi. Kalau begitu, Alan ke atas dulu ya, Abi, Umi."

"Iya, Nak."

🌻🌻🌻🌻

Jam istirahat tiba, namun Nafisa hanya duduk diam di meja kantin sambil melamun. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.

"Oiiii, Nafisaaa!" seru seseorang dengan suara melengking tepat di telinga Nafisa.

"Astagfirullah, Mitaaaaa! Kamu ngagetin aja, tahu nggak? Kuping aku jadi sakit!" Nafisa melotot kesal sambil mengusap telinganya.

"Ya, sori, Sa... Tapi habisnya kamu aku perhatiin dari tadi melamun terus. Mikirin apa sih? Jangan-jangan mikirin gebetan, ya?" goda Mita, sahabat dekatnya, sambil tersenyum jahil.

"Beban hidup," jawab Nafisa singkat dengan nada ketus.

"Ya Allah, Nafisa. Berat amat ya hidup kamu sampai tiap hari melamun begitu. Ada apa sih?" Mita duduk di samping Nafisa, memasang wajah penasaran.

"Iya, Ta... Berat banget! Aku boleh curhat nggak sama kamu?" tanya Nafisa dengan raut muka yang terlihat benar-benar sedih.

"Ya, boleh lah! Dari dulu aku selalu siap jadi tempat curhat kamu. Kamunya aja yang nggak mau cerita," ucap Mita sambil tersenyum kecil.

Nafisa menarik napas panjang, lalu mulai bicara, "Aku tuh lagi pusing. Sebentar lagi kita lulus, tapi aku nggak tahu mau ke mana, mau ngapain. Rasanya aku kehilangan arah, Ta."

Mita menatap Nafisa dengan serius. "Kamu nggak mau kuliah, Sa?"

Nafisa menggeleng pelan. "Aku nggak minat, Ta. Aku pengen cari kerja aja, biar bisa dapat uang terus bantu Ayah sama Ibu. Aku nggak mau jadi beban mereka."

"Yah, Sa... Tapi Ayah sama Ibu kamu pasti pengennya kamu kuliah. Mereka kan mau kamu sukses," kata Mita mencoba meyakinkan.

"Aku tahu, Ta... Tapi beneran, aku nggak minat kuliah. Pengen cari kerja aja gitu."

"Kalau kamu mau kerja, emang mau kerja apa?" tanya Mita.

"Ya, kerja apa aja yang penting halal sih. Kalau kamu emang habis ini mau lanjut kuliah atau kerja?" tanya Nafisa.

"Kalau aku belum tahu juga sih, tapi Mama sama Papa aku nyuruh kuliah," ucap Mita.

"Ya udah, kamu kuliah aja. Kamu kan pintar," ujar Nafisa.

"Ya, ilah, kamu kan juga pintar, Sa. Harusnya kita tuh sama-sama kuliah biar bisa sukses bareng," ucap Mita.

"Aku tahu, Ta... Tapi aku nggak bisa. Rasanya berat banget kalau harus kuliah. Aku ini introvert, kamu tahu itu. Aku nggak pandai bergaul, apalagi kalau nanti disuruh presentasi atau kerja kelompok. Udah kebayang bakal gimana ribetnya." Nafisa memandang meja dengan pandangan kosong.

"Sa, kamu belum coba aja udah pesimis. Mana tahu nanti kamu bisa adaptasi, bisa dapat banyak teman," ucap Mita, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.

"Ta, aku serius. Aku cuma mau kerja. Pokoknya kalau kamu tahu ada lowongan, kasih tahu aku ya," kata Nafisa sambil menggenggam tangan Mita.

"Iya... Iya... Nanti aku kasih tahu kalau ada info, tenang aja," jawab Mita sambil mengangguk.

Hari mulai beranjak sore. Jam di dinding sekolah menunjukkan pukul 15.00, dan bel pulang pun berbunyi nyaring. Nafisa segera mengemasi barang-barangnya dan keluar kelas.

"Sa, kayaknya hari ini aku nggak bisa pulang bareng kamu," ujar Mita tiba-tiba. "Mama nyuruh aku ke rumah Nenek. Nenek aku lagi sakit."

"Oh, ya sudah, nggak apa-apa. Aku pulang sendiri aja. Semoga Nenek kamu cepat sembuh, ya," ucap Nafisa tulus.

"Iya, amin. Makasih, Sa. Aku duluan, ya."

"Iya... Hati-hati di jalan," balas Nafisa sambil melihat punggung Mita yang menjauh. Biasanya mereka pulang bersama karena arah rumah mereka searah, dan Nafisa selalu mendapat tumpangan dari Mita. Tapi kali ini, Nafisa harus menunggu angkot di depan sekolah.

Ia berdiri di pinggir jalan, memandang kendaraan yang lalu-lalang. Angin sore berhembus lembut, tetapi ada kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya. Nafisa berpikir, apakah pilihannya untuk tidak kuliah benar? Atau mungkin dia hanya terlalu takut untuk mencoba? pikiran Nafisa terus berkelana, ia benar-benar bingung.

Saat Nafisa menunggu angkot di depan sekolah, tiba-tiba hujan deras turun. Nafisa buru-buru mencari tempat berteduh di sebuah toko kecil yang ada di depan sekolahnya.

"Ya ampun, hujannya deras banget lagi. Gimana caranya aku pulang? Dari tadi angkot nggak lewat-lewat juga," gumam Nafisa sambil memandang jalan yang mulai basah kuyup.

Saat Nafisa tengah melamun, tiba-tiba seseorang tidak sengaja menabraknya dari belakang.

"Aduh!" Nafisa meringis kecil sambil menoleh.

"Eh, maaf, Mbak! Saya nggak sengaja. Tadi nggak lihat karena ketutupan barang," ucap seorang pria yang terburu-buru meminta maaf.

Nafisa menoleh dan melihat pria itu. Begitu juga pria tersebut, yang langsung mengenali Nafisa.

"Ustadz Azlan?" Nafisa berkata dengan nada sedikit terkejut.

"Nafisa? Oh, ternyata kamu. Maaf ya, saya benar-benar nggak sengaja tadi," ucap Ustadz Azlan, terlihat sedikit canggung.

"Eh, iya, Ustadz. Nggak apa-apa, kok."

"Kamu kenapa belum pulang? Sudah sore begini," tanya Ustadz Azlan sambil melihat keadaan sekitar.

"Ini, saya lagi nunggu angkot, tapi dari tadi nggak ada yang lewat, Ustadz," jawab Nafisa dengan nada lesu.

"Kalau begitu, gimana kalau kamu bareng saya saja? Kebetulan saya juga mau ke kampung kamu untuk mengisi acara," tawar Ustadz Azlan dengan nada ramah.

"Ha? Emm... Nggak usah, Ustadz. Saya tunggu angkot aja. Nggak enak ngerepotin Ustadz," jawab Nafisa dengan ragu.

"Nggak, ini nggak merepotkan sama sekali. Lagipula searah, dan anggap saja ini balasan saya karena kamu sudah menolong saya waktu itu," kata Ustadz Azlan sambil tersenyum.

"Kalau begitu, ya sudah, Ustadz. Terima kasih," ucap Nafisa akhirnya menerima tawaran tersebut.

Nafisa pun segera masuk ke mobil Ustadz Azlan. Dia berpikir, kalau tetap menunggu angkot di tengah hujan seperti ini, dia mungkin baru akan sampai rumah saat malam.

Didalam perjalanan keduanya saling diam, hingga akhirnya Ustadz Azlan membuka percakapan diantara mereka.

"Kamu memang biasa pulang sore begini?" tanya Ustadz Azlan memulai pembicaraan sambil tetap fokus menyetir.

"Iya, Ustadz," jawab Nafisa singkat.

"Oh, begitu. Eh, sebentar lagi azan, ya. Kalau kita berhenti dulu untuk sholat gimana? Soalnya kalau dilanjutkan, nanti bisa telat," ucap Ustadz Azlan, menoleh sekilas.

"Iya, nggak apa-apa, Ustadz," jawab Nafisa setuju.

Tak lama kemudian, Ustadz Azlan memarkirkan mobilnya di sebuah masjid tepi jalan. Ia segera keluar untuk mengambil wudhu, begitu pula Nafisa.

Setelah berwudhu, Nafisa masuk ke dalam masjid dan memakai mukenanya. Ia duduk di dekat jamaah lainnya sambil menunggu waktu sholat tiba. Tak lama kemudian, suara azan mulai berkumandang.

"Masya Allah, merdu sekali suara azan ini. Rasanya hati aku jadi tenang banget. Siapa yang azan, ya?" gumam Nafisa.

Ucapan Nafisa barusan tak sengaja terdengar oleh seorang ibu-ibu yang duduk di sampingnya.Ia menoleh pada Nafisa dan tersenyum.

"Itu suara Ustadz Azlan, Nak. Ustadz muda yang tampan itu," ucap ibu tersebut dengan senyum ramah.

"Hah, yang benar, Bu? Suaranya adem sekali, ya," Nafisa terlihat sedikit terkejut. Ia teringat, sebelumnya ia pernah mendengar Ustadz Azlan mengaji, dan suaranya memang sangat merdu.

"Iya, Nak. Ustadz Azlan sering sholat di sini. Orangnya baik sekali. Kalau saya punya anak perempuan, sudah saya jodohkan dengannya," ucap ibu itu sambil tertawa kecil.

Nafisa hanya tersenyum mendengar ucapan itu. Dalam hatinya, ia bergumam, "Ya Allah, seandainya nanti Kau berikan aku jodoh yang seperti Ustadz Azlan, pasti aku akan sangat bersyukur."

Tak lama kemudian, iqamah dikumandangkan, dan semua jamaah berdiri untuk menunaikan sholat Asar berjamaah. Nafisa mengikuti sholat dengan khusyuk, merasa damai di bawah naungan rumah Allah.

Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39 Cintaku istimewa
40 Bab 40 Jalan2 ke taman
41 Bab 41 Ngambek
42 Bab 42 Nafisa Pingsan
43 Bab 43 Kabar Bahagia
44 Bab 44 Bersyukur
45 Bab 45 Mual
46 Bab 46 Pulang Kampung
47 Bab 47 Takut
48 Bab 48 Terharu
49 Bab 49 Ngidam
50 Bab 50 Pisah Tidur
51 Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52 Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53 Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54 Bab 54 Nafisa Keguguran?
55 Bab 55 khawatir
56 Bab 56 Reza Tertangkap
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39 Cintaku istimewa
40
Bab 40 Jalan2 ke taman
41
Bab 41 Ngambek
42
Bab 42 Nafisa Pingsan
43
Bab 43 Kabar Bahagia
44
Bab 44 Bersyukur
45
Bab 45 Mual
46
Bab 46 Pulang Kampung
47
Bab 47 Takut
48
Bab 48 Terharu
49
Bab 49 Ngidam
50
Bab 50 Pisah Tidur
51
Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52
Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53
Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54
Bab 54 Nafisa Keguguran?
55
Bab 55 khawatir
56
Bab 56 Reza Tertangkap
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!