NovelToon NovelToon

KEKASIH HALALKU

Bab 1

Siang itu, seorang gadis pulang dari sekolah dengan wajah lesu. Langkahnya berat saat memasuki kamar. Tanpa berpikir panjang, ia menutup pintu rapat-rapat lalu melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Tubuhnya merosot, bersandar pada dinding kamar. Ia melipat kedua kakinya, memeluk lutut dengan tangan gemetar.

"Tuhan, kenapa hidup aku begini banget, sih? Aku capek, Tuhan! Kapan aku bisa seperti orang-orang yang selalu dikenal, diperhatikan, dan disanjung banyak orang?" suaranya bergetar, disertai isak tangis yang mengalir deras, membasahi kedua pipinya.

Gadis itu adalah Nafisa Zahra Fitriani, seorang gadis pemalu dan introvert yang hidup dalam kesederhanaan. Ia tinggal di Desa Suka Jaya, Kota Bandung, sebagai putri tunggal dari pasangan Pak Antoni dan Bu Revi Anita. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Kehidupan mereka bergantung pada hasil kerja keras Pak Antoni, yang kadang mengelola ladang sendiri, kadang menggarap ladang milik orang lain.

"Nafisa! Nafisa! Kamu nggak makan, Nak? Ayo keluar, makan dulu," panggil Bu Revi dari balik pintu kamar.

"Aku nggak lapar, Bu. Nanti aja makannya," jawab Nafisa dari dalam kamar, suaranya lemah.

"Tumben kamu nggak lapar. Biasanya pulang sekolah langsung makan," ucap Bu Revi, heran.

"Ibu makan aja dulu, nggak usah tunggu aku," balas Nafisa.

"Ya sudah, tapi nanti kamu harus makan, ya. Jangan sampai sakit," kata Bu Revi, lalu meninggalkan pintu kamar.

Di dalam kamar, Nafisa masih sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia menghela napas panjang, menatap lurus ke depan.

"Huft… aku capek. Tapi ya sudahlah, lebih baik aku sholat Zuhur dulu. Semoga nanti hati ini bisa tenang," gumamnya pelan.

Setelah menyelesaikan sholat, Nafisa bersimpuh, mencurahkan seluruh keluh kesahnya kepada Sang Pencipta.

"Ya Allah, hamba benar-benar tidak berdaya. Mengapa Engkau menciptakan hamba dengan sifat seperti ini? Hamba capek menjadi anak yang pemalu dan pendiam seperti ini. Kapan hamba bisa seperti teman-teman hamba yang berani berbicara di depan umum, punya banyak teman, dikenal banyak orang, cantik, dan percaya diri? Hamba hanya gadis pendiam, pemalu, tak dikenal, dan jauh dari kata cantik seperti wanita-wanita di luar sana, " ia menunduk lemah.

"Ya Allah, jika memang ini adalah ujian dari-Mu, tolong kuatkan hamba, karena hamba terlalu rapuh untuk terus-menerus diuji." lirih Nafisa dalam doanya, air matanya kembali mengalir deras, membasahi sajadah tempatnya bersujud.

Setelah merasa cukup tenang, Nafisa bangkit dari duduknya. Ia melepas mukena, melipatnya rapi, lalu menyimpannya di lemari. Dengan langkah perlahan, ia keluar dari kamarnya dan menuju dapur, tempat ibunya sedang mencuci piring.

"Bu..." panggil Nafisa pelan.

"Iya, Nak. Udah sholat, kan? Kalau sudah, buruan makan dulu!" sahut Bu Revi sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya.

"Sudah, Bu. Ayah udah makan belum?" tanya Nafisa sembari melirik ke sekitar, menyadari ayahnya tidak ada di rumah.

"Ayah kamu belum pulang dari kebun, Nak. Rencananya Ibu mau nganterin makan siang ke sana."

"Biar aku aja, Bu. Nafisa yang nganterin. Sekalian Nafisa mau makan di ladang sama Ayah."

"Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar. Ibu siapkan bekalnya dulu."

Setelah semua bekal siap, Nafisa segera berangkat ke ladang. Ladang tempat ayahnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumah, hanya perlu berjalan beberapa menit. Sesampainya di sana, Nafisa melihat ayahnya sedang sibuk mencangkul di bawah terik matahari.

"Ayah..." panggil Nafisa dengan suara lantang.

"Eh, anak Ayah! Tumben kamu ke sini, Nak," sahut Pak Antoni, tersenyum melihat putri semata wayangnya. Ia berjalan menghampiri Nafisa.

"Nafisa bawa makan siang untuk Ayah. Ayah belum makan, kan?"

"Iya, Ayah belum makan."

"Ya sudah, Ayah makan dulu. Nanti kerja lagi setelah makan."

Pak Antoni mengangguk. "Kamu sudah makan belum, Nak?"

"Belum, Ayah. Nafisa sengaja bawa bekal juga biar bisa makan bareng Ayah."

Pak Antoni tersenyum lembut, mengusap kepala Nafisa dengan penuh kasih sayang. "Ya sudah, tunggu sebentar. Ayah cuci tangan dulu."

Setelah mencuci tangan, mereka berdua duduk bersama di bawah pohon rindang, menikmati makan siang yang sederhana tapi penuh kehangatan.

"Sa, kamu kan sekarang udah kelas 12. Rencana kamu nanti mau kuliah di mana?" tanya Pak Antoni di sela-sela makannya.

Nafisa terdiam sesaat. "Aku nggak ada rencana buat kuliah, Yah," jawabnya sambil terus mengunyah makanannya.

"Loh, kok gitu?"

"Aku pikir, setelah lulus sekolah, aku mau langsung kerja aja, biar bisa bantu Ayah sama Ibu."

Pak Antoni menatap Nafisa serius. "Ayah sama Ibu lebih senang kalau kamu kuliah, Nak. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Sayang kalau nggak kuliah."

"Iya, Yah, tapi Nafisa nggak mau jadi beban buat Ayah sama Ibu. Kuliah itu mahal. Lagian, Ayah kan tahu Nafisa anaknya pendiam, pemalu, dan susah bicara di depan orang banyak. Nafisa takut nggak bisa ikut kegiatan di kampus yang penuh tuntutan itu," jawab Nafisa panjang lebar, dengan suara pelan namun sarat rasa rendah diri.

Pak Antoni menarik napas panjang. "Sa, kamu nggak pernah jadi beban buat Ayah sama Ibu. Justru, kami ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik dari kami. Memang kuliah itu nggak mudah, tapi itu kesempatan kamu untuk belajar dan melatih keberanianmu."

Nafisa menggeleng pelan. "Nafisa nggak yakin, Yah. Rasanya... Nafisa lebih cocok kerja aja."

Pak Antoni menghela napas. "Kalau kamu nggak kuliah, kamu mau kerja apa, Nak?"

Sebelum Nafisa sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara tabrakan keras dari arah jalan dekat ladang. Mereka berdua langsung berdiri, mencuci tangan dengan tergesa, dan berlari ke sumber suara.

Sesampainya di lokasi, mereka terkejut melihat sebuah mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan. Nafisa dan ayahnya segera mendekati mobil itu, menemukan seorang pria muda berpakaian baju koko dengan sorban yang terjatuh dari kepalanya. Dahinya terluka, dan ia terlihat setengah sadar.

Pak Antoni membuka pintu mobil dengan hati-hati, lalu membantu pria itu keluar. "Nak, kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.

"Saya nggak apa-apa, Pak. Tapi kepala saya pusing..." ucap pria itu pelan sebelum akhirnya pingsan di pelukan Pak Antoni.

"Yah, dia pingsan! Gimana ini?" tanya Nafisa panik.

"Kita bawa dia ke rumah, biar bisa diobati," jawab Pak Antoni cepat. Ia kemudian meminta bantuan beberapa warga yang lewat untuk mengangkat pria itu.

Sesampainya di rumah, mereka membaringkan pria itu di kamar tamu. Pak Antoni segera memanggil bidan terdekat untuk memeriksa keadaannya. Nafisa, ibu, dan ayahnya menunggu dengan cemas di dekat pintu.

"Dia siapa, Yah?" tanya Bu Revi bingung, ia tidak tau siapa pria yang dibawa anak dan suaminya ini pulang.

"Ayah juga nggak tahu, Bu. Tapi tadi pas Ayah sedang makan di ladang sama Nafisa, tiba-tiba kami mendengar suara tabrakan. Kami langsung bergegas ke sumber suara dan melihat sebuah mobil menabrak pohon. Ayah segera mendekati mobil itu dan melihat ada seorang pria di dalamnya. Setelah Ayah berhasil mengeluarkannya dari mobil, dia pingsan. Jadi, Ayah bawa dia ke sini untuk diobati," jelas Ayah.

Bu Revi memandang pria itu dengan saksama. "Tapi kalau dilihat dari penampilannya, kayaknya dia bukan orang sembarangan, Yah."

"Kenapa Ibu bilang begitu?"

"Lihat saja, dia pakai baju koko dan sorban. Sepertinya dia seorang ustadz," jawab Bu Revi yakin.

"Iya, Bu. Nafisa juga lihatnya begitu," timpal Nafisa.

"Dan dia masih muda. Kalau memang ustadz, itu luar biasa. Jarang ada anak muda sekarang yang mau jadi ustadz," tambah Pak Antoni.

"Permisi, Pak, Bu. Saya sudah selesai mengobati luka di keningnya. Ini ada obat yang bisa diminum jika nanti dia merasa pusing," ujar Bu Bidan saat menghampiri Nafisa dan orang tuanya.

"Oh, iya. Terima kasih banyak, Bu Bidan," jawab Ayah Nafisa.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak, Bu," kata Bu Bidan sambil beranjak pergi.

"Iya, Bu. Terima kasih," balas Ibu Revi.

Tak lama setelah Bu Bidan pergi, suara lirih terdengar dari dalam kamar.

"Akhh... saya di mana ini?" tanya pria itu, yang baru saja sadar dari pingsannya.

Bab 2

"Aduh, ini di mana?" tanya pria itu pelan, terdengar kebingungan setelah sadar dari pingsannya.

"Kamu sudah sadar, Nak?" Ayah Nafisa masuk ke kamar dengan cepat setelah mendengar suara itu, diikuti oleh Nafisa dan Ibu Revi.

"Iya, Pak. Ini di mana ya?" Pria itu memegang kepalanya yang masih terasa nyeri.

"Kamu sekarang ada di rumah kami. Tadi Bapak temukan kamu kecelakaan dan pingsan di dekat ladang, jadi Bapak bawa ke sini supaya bisa diobati," jelas Ayah Nafisa dengan tenang.

"Terima kasih banyak, Pak. Kalau Bapak nggak menolong saya, mungkin saya nggak tahu apa yang terjadi sekarang," ujar pria itu dengan nada penuh syukur.

"Iya, sama-sama. Sudah kewajiban kita untuk saling menolong, Nak. Oh iya, kalau boleh tahu, siapa namamu, dan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?" tanya Ayah Nafisa penasaran.

"Nama saya Azlan Syarahil, Pak. Biasanya dipanggil Azlan. Tadi saya sedang dalam perjalanan ke kampung sebelah untuk mengisi acara pengajian. Jalannya sempit, dan tiba-tiba ada hewan melintas. Saat saya mencoba menghindar, mobil saya malah menabrak pohon," jelas pria itu yang ternyata bernama Azlan.

"Oh begitu ceritanya. Jalan di sana memang kecil, Nak, dan cukup sulit dilalui mobil. Ngomong-ngomong, Nak Azlan ini seorang ustadz, ya?" tanya Ayah Nafisa sambil tersenyum.

"Iya, Pak. Saya seorang ustadz," jawab ustadz Azlan singkat.

"Jarang sekali anak muda yang menjadi ustadz. Bapak kagum sama kamu, Nak," ujar Ayah Nafisa dengan nada kagum.

"Alhamdulillah, Pak. Semua ini berkat anugerah Allah," jawab ustadz Azlan dengan senyum tulus.

"Nak Azlan, kepalanya masih sakit, kan? Ayo, minum obat dulu," ucap Ibu Revi, yang sejak tadi mendengarkan.

"Iya, Bu. Masih terasa sedikit sakit," jawab Azlan sambil mengangguk.

"Nafisa, tolong ambilkan air buat Ustadz Azlan, ya," pinta Ibu Revi pada anaknya.

"Iya, Bu," jawab Nafisa sambil melangkah ke dapur. Tak lama kemudian, dia kembali membawa segelas air dan menyerahkannya kepada Ustadz Azlan.

"Ini Ustadz, " Nafisa melirik Ustadz Azlan sekilas, lalu menyerahkan segelas air putih pada Ustadz Azlan dan pria itu menerimanya.

"Terima kasih" Ucap ustadz Azlan yg juga melirik Nafisa sekilas lalu menundukkan kembali pandangannya dari nafisa.

"Sama-sama," jawab Nafisa singkat.

Setelah meminum obatnya, Ustadz Azlan duduk tegak. "Pak, Bu, sekali lagi terima kasih atas bantuan Bapak dan Ibu. Saya merasa sangat berhutang budi. Kalau begitu, saya pamit dulu," ucap ustadz Azlan, ia berusaha berdiri meski masih terlihat lemah. Ia hendak beranjak dari tempat tidur, karena ia merasa tak enak jika harus berlama lama di rumah Nafisa dan ia juga takut orang tuanya khawatir karena dirinya belum pulang sampai sekarang.

"Loh Nak kamu mau kemana? lebih baik kamu menginap saja malam ini disini Nak, karena kondisi kamu belum sehat betul. Lagi pula hari juga sudah malam Nak, " Ucap ayah Nafisa yg menghentikan ustadz Azlan. Ia khawatir jika pria itu pergi sekarang dan disaat kondisinya belum pulih benar, maka itu akan sangat berbahaya.

"Benar, Nak. Lebih baik istirahat di sini dulu. Kami juga nggak tenang kalau kamu harus pergi dalam keadaan seperti ini," tambah Ibu Revi.

Ustadz Azlan terdiam sejenak, mempertimbangkan permintaan itu. Akhirnya dia mengangguk.Ia merasa tak enak menolak permintaan orang tua Nafisa dan merasa dirinya juga belum pulih benar, Ustadz Azlan pun akhirnya setuju untuk menginap dirumah Nafisa.

"Ya sudah Nak, sekarang sebaiknya kamu istirahat. Nanti kalo ada apa-apa kamu bisa panggil kami" ujar ayah Nafisa sambil tersenyum.

"Iya, Pak. Terima kasih," jawab Ustadz Azlan dengan nada lega.

Setelah itu, Nafisa dan kedua orang tuanya keluar dari kamar tamu, meninggalkan Ustadz Azlan untuk beristirahat. Mereka pun pergi ke kamar masing-masing.

Didalam kamar, Nafisa mulai merebahkan dirinya. Hari sekarang menunjukkan pukul 23.00, namun Nafisa tidak bisa tidur.

"Huft, kenapa sih susah banget tidur? Padahal aku nggak mau begadang, besok kan aku harus sekolah," gumam Nafisa sambil menatap langit-langit kamar. Ia sudah mencoba memejamkan matanya, tapi rasa kantuk tetap tidak datang.

"Ayolah, mata, bantu aku tidur," ujarnya dengan nada frustasi.

Nafisa terus bergulat dengan pikirannya hingga tiba-tiba ia terdiam. Dari kamar sebelah, terdengar suara orang mengaji. Suara itu begitu merdu dan menenangkan.

"Siapa yang ngaji ya? Suaranya indah sekali," ucap Nafisa lirih. "Eh, tapi kan di kamar sebelah ada Ustadz Azlan. Apa Ustadz Azlan yang mengaji? Kalau iya, suaranya merdu banget."

Hati Nafisa terasa tenang mendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut. "Ya Allah tenang sekali hatiku mendengarnya, andaikan aja aku dikasih suami kayak begitu nanti, uh.. Pasti aku bahagia sekali," gumamnya sambil tersenyum sendiri. Tak lama, suara mengaji itu membuat Nafisa terlelap dalam tidur yang nyenyak.

Sementara itu, di kamar sebelah, Ustadz Azlan menutup Al-Qur'an yang dibacanya. Malam itu, Ustadz Azlan juga sulit tidur. Melihat ada Al-Qur'an di kamar tamu, ia memutuskan untuk membaca beberapa ayat agar hatinya tenang.

🌻🌻🌻🌻

Esok paginya, Ustadz Azlan sudah bersiap untuk berpamitan kepada keluarga Nafisa.

"Bu, Pak, sekali lagi terima kasih banyak karena sudah menolong dan merawat saya di sini," ucap Ustadz Azlan dengan sopan.

"Iya, Nak, sama-sama. Itu sudah kewajiban kita untuk saling tolong-menolong," jawab Ayah Nafisa sambil tersenyum.

"Kalau begitu, saya pamit, Pak, Bu..."

"Iya, Nak. Hati-hati di jalan," timpal Ibu Revi.

Ketika Ustadz Azlan hendak melangkah ke pintu keluar, Nafisa tiba-tiba muncul dengan tergesa-gesa.

"Ayah, Ibu, gimana ini? Angkot ke sekolah udah nggak ada. Sebentar lagi bel masuk bunyi, Nafisa mau ke sekolah pakai apa?" keluh Nafisa. Nafisa tadi bangun agak kesiangan, dan jarak dari rumah dan sekolahnya cukup jauh maka dari itu Nafisa ketinggalan angkot. Karena biasanya Nafisa selalu naik angkot pagi kesekolah yang jam

06.00 sudah berangkat.

"Aduh, gimana ya, Nak. Di sini memang susah cari kendaraan," jawab Ayah Nafisa, bingung.

"Memangnya Nafisa sekolah di mana, Pak?" tanya Ustadz Azlan, ikut prihatin.

"Dia sekolah di SMA Cempaka Putih," jawab Ayah Nafisa.

"Kalau begitu, biar saya antar saja, Pak. Kebetulan rumah saya searah dengan sekolahnya Nafisa," tawar Ustadz Azlan dengan tulus.

Ia mau mengantarkan Nafisa kesekolah karena emang jalan rumah Ustadz Azlan dan sekolah Nafisa searah. Selain itu, juga karena ingin membalas budi kepada keluarga Nafisa yang sudah menolongnya.

"Alhamdulillah, kalau begitu, Nak. Nafisa, kamu ikut Ustadz Azlan saja, ya," ucap Ibu Revi lega.

"Iya, Bu..." Nafisa yang tidak punya pilihan lain hannya mengiyakan ucapan ibunya. Sebenarnya Nafisa sangat malu jika harus pergi berduaan dengan lelaki, apalagi Ustadz Azlan akan mengantarkannya menggunakan mobil, otomatis hannya mereka berdua didalam mobil. Setelah kecelakaan kemarin, mobil Ustadz Azlan dibawa ke bengkel oleh warga. Dan karena rusaknya tidak terlalu parah, mobil itu bisa dengan cepat di perbaiki. Maka dari itu mobil Ustadz Azlan diantarkan ke rumah Nafisa dan sudah bisa di pakai kembali.

"Ya sudah, saya pamit dulu, Pak, Bu, Assalamu'alaikum, " ucap Ustadz Azlan menyalami tangan Ayah dan Ibu Nafisa secara bergantian.

"Wa'alaikumussalam, Nak. "

"Nafisa pamit ya, Ayah, Ibu," ujar Nafisa sambil menyalami kedua orang tuanya. Ia lalu masuk ke mobil Ustadz Azlan dan memilih duduk di kursi belakang. Nafisa merasa malu jika harus duduk di kursi depan, disamping Ustadz azlan.

Di dalam perjalanan, suasana canggung menyelimuti mereka. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya keheningan yang menemani hingga mobil berhenti di depan pekarangan sekolah.

"Terima kasih banyak ya, Ustadz," ucap Nafisa sebelum turun dari mobil.

"Iya, sama-sama," balas Ustadz Azlan singkat.

Setelah Nafisa masuk ke dalam sekolah, Ustadz Azlan memastikan semuanya baik-baik saja sebelum melajukan mobilnya kembali menuju rumahnya.

Bab 3

Tak butuh waktu lama, ustadz Azlan pun telah sampai di rumahnya. Ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang sangat besar.

"Assalamualaikum," ucap ustadz Azlan memasuki rumah.

"Waalaikumussalam," ucap orang yang ada di dalam rumah.

"Ya Allah, Nak, kamu habis dari mana dan kenapa kening kamu ada luka seperti ini?" ucap seorang wanita yang tak lain adalah ibunya ustadz Azlan.

"Iya, Nak, kamu dari mana? Dan kenapa kamu nggak pulang semalaman? Abi juga dapat telepon dari Haji Abdurrahman, katanya kamu tidak datang mengisi acara pengajian semalam," ucap ayahnya ustadz Azlan yang ia panggil dengan sebutan Abi.

"Maafin Alan ya, Umi, Abi. Kemarin Alan kecelakaan, makanya nggak datang ke pengajian. HP Alan juga mati dan nggak bisa ngabarin ke Abi sama Umi."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kamu kecelakaan di mana dan kenapa bisa sampai kecelakaan?" tanya Umi.

"Alan waktu itu sedang menyetir. Ada hewan yang lewat, jadi Alan berusaha menghindar supaya nggak nabrak. Tapi malah Alan nabrak pohon. Untungnya, ada seorang bapak dan anaknya yang nolongin Alan, lalu mengobati Alan di rumah mereka."

"Ya Allah, Nak. Lain kali kamu harus lebih hati-hati, ya! Umi sama Abi cemas banget mikirin kamu semalaman," ujar Umi sambil menarik napas lega.

"Iya, Mi. Maafin Alan sudah bikin Umi dan Abi khawatir."

"Iya, Nak. Ya sudah, sekarang kamu ke kamar, mandi, terus siap-siap sarapan, ya. Kamu belum makan kan?" ucap Umi dengan lembut.

"Iya, Mi. Kalau begitu, Alan ke atas dulu ya, Abi, Umi."

"Iya, Nak."

🌻🌻🌻🌻

Jam istirahat tiba, namun Nafisa hanya duduk diam di meja kantin sambil melamun. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.

"Oiiii, Nafisaaa!" seru seseorang dengan suara melengking tepat di telinga Nafisa.

"Astagfirullah, Mitaaaaa! Kamu ngagetin aja, tahu nggak? Kuping aku jadi sakit!" Nafisa melotot kesal sambil mengusap telinganya.

"Ya, sori, Sa... Tapi habisnya kamu aku perhatiin dari tadi melamun terus. Mikirin apa sih? Jangan-jangan mikirin gebetan, ya?" goda Mita, sahabat dekatnya, sambil tersenyum jahil.

"Beban hidup," jawab Nafisa singkat dengan nada ketus.

"Ya Allah, Nafisa. Berat amat ya hidup kamu sampai tiap hari melamun begitu. Ada apa sih?" Mita duduk di samping Nafisa, memasang wajah penasaran.

"Iya, Ta... Berat banget! Aku boleh curhat nggak sama kamu?" tanya Nafisa dengan raut muka yang terlihat benar-benar sedih.

"Ya, boleh lah! Dari dulu aku selalu siap jadi tempat curhat kamu. Kamunya aja yang nggak mau cerita," ucap Mita sambil tersenyum kecil.

Nafisa menarik napas panjang, lalu mulai bicara, "Aku tuh lagi pusing. Sebentar lagi kita lulus, tapi aku nggak tahu mau ke mana, mau ngapain. Rasanya aku kehilangan arah, Ta."

Mita menatap Nafisa dengan serius. "Kamu nggak mau kuliah, Sa?"

Nafisa menggeleng pelan. "Aku nggak minat, Ta. Aku pengen cari kerja aja, biar bisa dapat uang terus bantu Ayah sama Ibu. Aku nggak mau jadi beban mereka."

"Yah, Sa... Tapi Ayah sama Ibu kamu pasti pengennya kamu kuliah. Mereka kan mau kamu sukses," kata Mita mencoba meyakinkan.

"Aku tahu, Ta... Tapi beneran, aku nggak minat kuliah. Pengen cari kerja aja gitu."

"Kalau kamu mau kerja, emang mau kerja apa?" tanya Mita.

"Ya, kerja apa aja yang penting halal sih. Kalau kamu emang habis ini mau lanjut kuliah atau kerja?" tanya Nafisa.

"Kalau aku belum tahu juga sih, tapi Mama sama Papa aku nyuruh kuliah," ucap Mita.

"Ya udah, kamu kuliah aja. Kamu kan pintar," ujar Nafisa.

"Ya, ilah, kamu kan juga pintar, Sa. Harusnya kita tuh sama-sama kuliah biar bisa sukses bareng," ucap Mita.

"Aku tahu, Ta... Tapi aku nggak bisa. Rasanya berat banget kalau harus kuliah. Aku ini introvert, kamu tahu itu. Aku nggak pandai bergaul, apalagi kalau nanti disuruh presentasi atau kerja kelompok. Udah kebayang bakal gimana ribetnya." Nafisa memandang meja dengan pandangan kosong.

"Sa, kamu belum coba aja udah pesimis. Mana tahu nanti kamu bisa adaptasi, bisa dapat banyak teman," ucap Mita, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.

"Ta, aku serius. Aku cuma mau kerja. Pokoknya kalau kamu tahu ada lowongan, kasih tahu aku ya," kata Nafisa sambil menggenggam tangan Mita.

"Iya... Iya... Nanti aku kasih tahu kalau ada info, tenang aja," jawab Mita sambil mengangguk.

Hari mulai beranjak sore. Jam di dinding sekolah menunjukkan pukul 15.00, dan bel pulang pun berbunyi nyaring. Nafisa segera mengemasi barang-barangnya dan keluar kelas.

"Sa, kayaknya hari ini aku nggak bisa pulang bareng kamu," ujar Mita tiba-tiba. "Mama nyuruh aku ke rumah Nenek. Nenek aku lagi sakit."

"Oh, ya sudah, nggak apa-apa. Aku pulang sendiri aja. Semoga Nenek kamu cepat sembuh, ya," ucap Nafisa tulus.

"Iya, amin. Makasih, Sa. Aku duluan, ya."

"Iya... Hati-hati di jalan," balas Nafisa sambil melihat punggung Mita yang menjauh. Biasanya mereka pulang bersama karena arah rumah mereka searah, dan Nafisa selalu mendapat tumpangan dari Mita. Tapi kali ini, Nafisa harus menunggu angkot di depan sekolah.

Ia berdiri di pinggir jalan, memandang kendaraan yang lalu-lalang. Angin sore berhembus lembut, tetapi ada kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya. Nafisa berpikir, apakah pilihannya untuk tidak kuliah benar? Atau mungkin dia hanya terlalu takut untuk mencoba? pikiran Nafisa terus berkelana, ia benar-benar bingung.

Saat Nafisa menunggu angkot di depan sekolah, tiba-tiba hujan deras turun. Nafisa buru-buru mencari tempat berteduh di sebuah toko kecil yang ada di depan sekolahnya.

"Ya ampun, hujannya deras banget lagi. Gimana caranya aku pulang? Dari tadi angkot nggak lewat-lewat juga," gumam Nafisa sambil memandang jalan yang mulai basah kuyup.

Saat Nafisa tengah melamun, tiba-tiba seseorang tidak sengaja menabraknya dari belakang.

"Aduh!" Nafisa meringis kecil sambil menoleh.

"Eh, maaf, Mbak! Saya nggak sengaja. Tadi nggak lihat karena ketutupan barang," ucap seorang pria yang terburu-buru meminta maaf.

Nafisa menoleh dan melihat pria itu. Begitu juga pria tersebut, yang langsung mengenali Nafisa.

"Ustadz Azlan?" Nafisa berkata dengan nada sedikit terkejut.

"Nafisa? Oh, ternyata kamu. Maaf ya, saya benar-benar nggak sengaja tadi," ucap Ustadz Azlan, terlihat sedikit canggung.

"Eh, iya, Ustadz. Nggak apa-apa, kok."

"Kamu kenapa belum pulang? Sudah sore begini," tanya Ustadz Azlan sambil melihat keadaan sekitar.

"Ini, saya lagi nunggu angkot, tapi dari tadi nggak ada yang lewat, Ustadz," jawab Nafisa dengan nada lesu.

"Kalau begitu, gimana kalau kamu bareng saya saja? Kebetulan saya juga mau ke kampung kamu untuk mengisi acara," tawar Ustadz Azlan dengan nada ramah.

"Ha? Emm... Nggak usah, Ustadz. Saya tunggu angkot aja. Nggak enak ngerepotin Ustadz," jawab Nafisa dengan ragu.

"Nggak, ini nggak merepotkan sama sekali. Lagipula searah, dan anggap saja ini balasan saya karena kamu sudah menolong saya waktu itu," kata Ustadz Azlan sambil tersenyum.

"Kalau begitu, ya sudah, Ustadz. Terima kasih," ucap Nafisa akhirnya menerima tawaran tersebut.

Nafisa pun segera masuk ke mobil Ustadz Azlan. Dia berpikir, kalau tetap menunggu angkot di tengah hujan seperti ini, dia mungkin baru akan sampai rumah saat malam.

Didalam perjalanan keduanya saling diam, hingga akhirnya Ustadz Azlan membuka percakapan diantara mereka.

"Kamu memang biasa pulang sore begini?" tanya Ustadz Azlan memulai pembicaraan sambil tetap fokus menyetir.

"Iya, Ustadz," jawab Nafisa singkat.

"Oh, begitu. Eh, sebentar lagi azan, ya. Kalau kita berhenti dulu untuk sholat gimana? Soalnya kalau dilanjutkan, nanti bisa telat," ucap Ustadz Azlan, menoleh sekilas.

"Iya, nggak apa-apa, Ustadz," jawab Nafisa setuju.

Tak lama kemudian, Ustadz Azlan memarkirkan mobilnya di sebuah masjid tepi jalan. Ia segera keluar untuk mengambil wudhu, begitu pula Nafisa.

Setelah berwudhu, Nafisa masuk ke dalam masjid dan memakai mukenanya. Ia duduk di dekat jamaah lainnya sambil menunggu waktu sholat tiba. Tak lama kemudian, suara azan mulai berkumandang.

"Masya Allah, merdu sekali suara azan ini. Rasanya hati aku jadi tenang banget. Siapa yang azan, ya?" gumam Nafisa.

Ucapan Nafisa barusan tak sengaja terdengar oleh seorang ibu-ibu yang duduk di sampingnya.Ia menoleh pada Nafisa dan tersenyum.

"Itu suara Ustadz Azlan, Nak. Ustadz muda yang tampan itu," ucap ibu tersebut dengan senyum ramah.

"Hah, yang benar, Bu? Suaranya adem sekali, ya," Nafisa terlihat sedikit terkejut. Ia teringat, sebelumnya ia pernah mendengar Ustadz Azlan mengaji, dan suaranya memang sangat merdu.

"Iya, Nak. Ustadz Azlan sering sholat di sini. Orangnya baik sekali. Kalau saya punya anak perempuan, sudah saya jodohkan dengannya," ucap ibu itu sambil tertawa kecil.

Nafisa hanya tersenyum mendengar ucapan itu. Dalam hatinya, ia bergumam, "Ya Allah, seandainya nanti Kau berikan aku jodoh yang seperti Ustadz Azlan, pasti aku akan sangat bersyukur."

Tak lama kemudian, iqamah dikumandangkan, dan semua jamaah berdiri untuk menunaikan sholat Asar berjamaah. Nafisa mengikuti sholat dengan khusyuk, merasa damai di bawah naungan rumah Allah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!