Bab 5

Jam menunjukkan pukul 22.00, tetapi seorang pria yang sudah berusaha memejamkan matanya sejak tadi belum juga bisa terlelap. Pria itu adalah Ustadz Azlan. Entah apa yang mengganjal pikirannya hingga rasa kantuk enggan mendatanginya malam ini.

"Ya Allah, kenapa mata ini sulit sekali untuk terpejam?" gumam Ustadz Azlan lirih.

Pikirannya melayang, mengarah pada satu sosok yang akhir-akhir ini memenuhi hatinya.

"Kenapa aku memikirkan Nafisa terus? Apa dia wanita yang Engkau pilihkan untukku, ya Allah?" bisik hatinya. Sejak pertama kali bertemu dengan Nafisa, tanpa sengaja menatap matanya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya selalu berikrar menyebut namanya, dan pikirannya terus berputar di sekitar sosok itu.

"Dia gadis yang manis, sholehah, berakhlak baik, dan begitu berbakti pada orang tuanya. Ya Allah, apakah ini jawaban atas doa-doaku selama ini? Doa yang memohon wanita sederhana dengan keindahan akhlak dan hatinya?"

Sesaat, sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia membayangkan kemungkinan bahwa Nafisa adalah takdir yang Allah gariskan untuknya.

"Jika memang dia adalah jodoh yang Engkau siapkan, Ya Allah, maka permudah lah jalanku untuk memilikinya," lirih Ustadz Azlan, berdoa dengan penuh harap.

Namun, kesadarannya segera kembali. Ia tersentak oleh pikirannya sendiri, lalu menarik napas panjang.

"Astagfirullahal'azim," ucapnya seraya memijat keningnya, mencoba mengendalikan dirinya. "Azlan, hentikan. Tidak seharusnya kau memikirkan seseorang yang belum halal untukmu."

Ia menghela napas lagi, memejamkan matanya dalam-dalam, dan berusaha melawan perasaan yang mengusik ketenangannya. Sebagai seorang pria yang teguh memegang prinsip, ia tahu bahwa hatinya perlu dijaga, sebaik mungkin, hingga waktunya tiba.

🌻🌻🌻🌻

Nafisa duduk di bangku kelasnya, menopang dagu dengan tangan, matanya tampak menerawang jauh.

Mita, sahabatnya yang duduk di samping, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat Nafisa yang sejak tadi melamun.

"Sa, apa hidup kamu cuma buat melamun siang dan malam?" tanya Mita, memecah keheningan.

"Sepertinya iya, Ta," jawab Nafisa lesu tanpa menoleh.

Mita mendesah. "Sa, apa lagi sih yang kamu pikirin? Beban hidup lagi?"

"Iya... kalau bukan itu, apalagi?" Nafisa membalas dengan nada datar.

"Udah dong, Sa. Jangan dipikirin terus. Mending sekarang ikut aku ke perpustakaan, baca buku biar pikiran kamu lebih ringan," ajak Mita mencoba menghibur.

"Enggak ah, males, Ta. Lagi pula gimana aku nggak kepikiran coba? Tinggal seminggu lagi kita lulus, dan aku nggak tahu mau ngapain setelah ini," ucap Nafisa lesu sambil menghela napas panjang.

"Sa, hidup nggak bakal selesai cuma karena kita lulus sekolah. Eh, ngomong-ngomong, aku ada kabar baik buat kamu."

"Kabar apa?" Nafisa mulai melirik Mita dengan penasaran.

"Aku udah nemuin kerjaan yang cocok buat kamu," ujar Mita sambil tersenyum penuh semangat.

"Kerja apa?"

"Jadi gini, kakakku kan kerja di perusahaan besar di Jakarta. Nah, aku tanya-tanya ke dia, katanya ada posisi kosong di bagian keuangan. Itu cocok banget buat kamu, Sa, kan kamu jago hitung-hitungan," jelas Mita dengan antusias.

"Hah, seriusan? Tapi aku nggak yakin bisa diterima di perusahaan gede kayak gitu," ujar Nafisa ragu.

"Percaya deh sama aku, kamu pasti diterima. Lagi pula, kakakku posisinya manajer di sana, dia bisa bantu rekomendasiin kamu," ucap Mita penuh keyakinan.

"Ya udah deh, doain aku ya, Ta."

"Pasti dong! Aku selalu doain yang terbaik buat kamu." Mita tersenyum lebar sambil memeluk Nafisa dengan erat. Nafisa pun ikut tersenyum, membalas pelukan sahabatnya itu dengan penuh rasa terima kasih.

Jam menunjukkan pukul 15.00. Bel tanda pulang berbunyi, memecah suasana. Nafisa dan Mita segera membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kelas.

"Akhirnya pulang juga, Sa!" seru Mita, terlihat senang.

"Haha, iya. Oh iya, Ta, kamu duluan aja ya pulangnya," ujar Nafisa.

"Loh, kenapa? Emang kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke pasar beli titipan ibu."

"Yaah... Aku mau nemenin, tapi aku juga harus buru-buru pulang. Mama suruh cepet karena kita mau jenguk nenek lagi," jelas Mita dengan nada menyesal.

"Iya, nggak papa kok, Ta. Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang aja."

"Beneran nggak apa-apa?"

"Iya, hati-hati ya."

"Baiklah, kalau gitu aku duluan ya. Sampai ketemu besok, Sa!"

"Iya, mita.. "

Nafisa melangkah menuju pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Ibunya tadi memintanya membeli beberapa bahan untuk membuat kue. Sesampainya di pasar, Nafisa langsung menuju toko perlengkapan kue dan membeli semua yang diminta. Setelah selesai, ia segera bergegas pulang.

Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seorang wanita paruh baya mengenakan gamis dan jilbab panjang yang kesulitan membawa barang belanjaannya. Wanita itu terjatuh karena beban barangnya terlalu berat.

Nafisa berlari menghampiri.

"Ibu, nggak apa-apa? Sini, saya bantu," katanya sambil membantu wanita itu berdiri dan mengumpulkan barang-barang yang berserakan.

"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali," ucap wanita itu dengan senyum lemah.

"Rumah Ibu di mana? Biar saya bantu bawakan barang belanjaannya," tawar Nafisa.

"Rumah Ibu dekat dari sini, Nak. Masuk saja ke gang itu, nanti ada rumah dengan pagar hitam, itu rumah Ibu," jelas wanita itu sambil menunjuk arah.

"Baik, Bu. Mari saya antar," jawab Nafisa.

Nafisa berjalan bersama wanita itu hingga sampai di depan rumah yang ditunjukkan. Nafisa tertegun sejenak, rumah itu besar dan sangat indah. Wanita itu mempersilahkannya masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.

"Terima kasih ya, Nak, sudah mau membantu Ibu tadi. Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan minum," ucap wanita itu dengan ramah.

"Ah, nggak usah repot-repot, Bu," tolak Nafisa sopan.

"Nggak apa-apa, tunggu sebentar ya," kata wanita itu sambil berlalu ke dapur.

Saat Nafisa menunggu, tiba-tiba seorang pria masuk ke rumah. "Assalamualaikum, Umi! Umi, Alan pulang!" suara pria itu terdengar jelas.

Nafisa menoleh ke arah suara itu. Betapa terkejutnya ia mendapati bahwa pria itu adalah Ustadz Azlan.

"Ustadz Azlan?" ucap Nafisa dengan gugup.

"Nafisa? Kamu kok ada di sini?" tanya Ustadz Azlan heran.

Sebelum Nafisa menjawab, wanita paruh baya tadi kembali ke ruang tamu. "Alan, kamu sudah pulang? Oh iya, tadi Umi kesusahan membawa barang belanjaan di pasar, gadis ini yang menolong Umi," jelas wanita itu sambil menunjuk Nafisa. Ternyata ibu-ibu yang ditolong Nafisa adalah Uminya Ustadz Azlan.

"Alan kenal Mi, "

"Kamu kenal Nak,? "

"Ini Nafisa, Mi. Dia yang waktu itu menolong Alan waktu kecelakaan mobil," terang Ustadz Azlan.

"Oh, jadi kamu yang sudah menyelamatkan anak Umi? Terima kasih, Nak. Hati kamu baik sekali," ucap Umi Rahma dengan wajah penuh syukur sambil memegang tangan Nafisa.

"Hehe, iya, Bu. Sama-sama," jawab Nafisa, tersenyum malu-malu. Ia tak menyangka ternyata wanita paruh baya yang ditolongnya ini adalah Ibu Ustadz Azlan.

Nafisa melirik jam di tangannya, ia terkejut karna hari sudah menunjukkan pukul setengah Enam sore. " Bu, Ustadz, saya pamit pulang ya.., udah sore sekali soalnya. Saya takut nanti Ayah sama ibu saya nyariin, "

"Iya, Nak.Tapi kamu minum dulu, baru pulang. Setelah itu biar Alan antar kamu," ucap Umi Rahma dengan lembut.

"Eh, nggak usah dianter, Bu. Saya bisa pulang sendiri kok," tolak Nafisa sopan.

"Nggak apa-apa, Nafisa. Biar saya antar. Sudah mau gelap, nggak baik perempuan pulang sendirian," ujar Ustadz Azlan.

"Iya, Nak. Alan antar kamu saja ya," tambah Umi Rahma penuh harap.

Akhirnya, dengan ragu, Nafisa mengangguk mengiyakan. Ia merasa segan jika terus menolak permintaan Umi Ustadz Azlan.

Ustadz Azlan mengantar Nafisa hingga ke depan rumahnya. Dalam perjalanan, suasana awalnya sunyi. Nafisa sibuk menundukkan pandangan, sementara Ustadz Azlan beberapa kali melirik ke arahnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya, ia memecah keheningan.

"Terima kasih banyak ya, Nafisa. Kamu sudah menolong Umi saya tadi," ujar Ustadz Azlan, memulai pembicaraan.

"Iya, Ustadz. Sama-sama. Itu kan sudah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk saling membantu," jawab Nafisa dengan nada sopan.

Mereka kembali terdiam beberapa saat sebelum Ustadz Azlan kembali membuka suara.

"Nafisa..."

"Iya, Ustadz?" Nafisa menoleh sedikit, menunggu pertanyaan.

"Saya boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, apa itu, Ustadz?" Nafisa mengangguk kecil.

"Kamu sudah punya pacar atau kekasih?" tanya Ustadz Azlan tiba-tiba.

Nafisa menatap Ustadz Azlan dengan heran, tapi tetap menjawab jujur. "Belum, Ustadz. Saya nggak punya pacar, dan saya juga nggak mau pacaran."

Mendengar jawaban itu, Ustadz Azlan tersenyum lega. "Syukurlah," gumamnya.

Nafisa semakin penasaran. "Kenapa, Ustadz, tanya seperti itu?"

Ustadz Azlan tersenyum tipis, sejenak terdiam, lalu menjawab, "Nggak apa-apa. Saya cuma ingin tahu. Dan mendengar jawaban kamu tadi, hati saya jadi lega... Saya juga merasa nggak salah pilih calon."

Nafisa menatapnya bingung. "Salah pilih calon apa, Ustadz?" tanyanya penasaran.

"Istri," jawab Ustadz Azlan singkat.

Mata Nafisa membelalak. "Ha???" Nafisa melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Terpopuler

Comments

Abu Yahya Badrusalam

Abu Yahya Badrusalam

Saya terhanyut dalam dunia yang diciptakan oleh penulis.

2023-09-27

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39 Cintaku istimewa
40 Bab 40 Jalan2 ke taman
41 Bab 41 Ngambek
42 Bab 42 Nafisa Pingsan
43 Bab 43 Kabar Bahagia
44 Bab 44 Bersyukur
45 Bab 45 Mual
46 Bab 46 Pulang Kampung
47 Bab 47 Takut
48 Bab 48 Terharu
49 Bab 49 Ngidam
50 Bab 50 Pisah Tidur
51 Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52 Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53 Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54 Bab 54 Nafisa Keguguran?
55 Bab 55 khawatir
56 Bab 56 Reza Tertangkap
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39 Cintaku istimewa
40
Bab 40 Jalan2 ke taman
41
Bab 41 Ngambek
42
Bab 42 Nafisa Pingsan
43
Bab 43 Kabar Bahagia
44
Bab 44 Bersyukur
45
Bab 45 Mual
46
Bab 46 Pulang Kampung
47
Bab 47 Takut
48
Bab 48 Terharu
49
Bab 49 Ngidam
50
Bab 50 Pisah Tidur
51
Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52
Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53
Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54
Bab 54 Nafisa Keguguran?
55
Bab 55 khawatir
56
Bab 56 Reza Tertangkap
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!