Jam menunjukkan pukul 22.00, tetapi seorang pria yang sudah berusaha memejamkan matanya sejak tadi belum juga bisa terlelap. Pria itu adalah Ustadz Azlan. Entah apa yang mengganjal pikirannya hingga rasa kantuk enggan mendatanginya malam ini.
"Ya Allah, kenapa mata ini sulit sekali untuk terpejam?" gumam Ustadz Azlan lirih.
Pikirannya melayang, mengarah pada satu sosok yang akhir-akhir ini memenuhi hatinya.
"Kenapa aku memikirkan Nafisa terus? Apa dia wanita yang Engkau pilihkan untukku, ya Allah?" bisik hatinya. Sejak pertama kali bertemu dengan Nafisa, tanpa sengaja menatap matanya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya selalu berikrar menyebut namanya, dan pikirannya terus berputar di sekitar sosok itu.
"Dia gadis yang manis, sholehah, berakhlak baik, dan begitu berbakti pada orang tuanya. Ya Allah, apakah ini jawaban atas doa-doaku selama ini? Doa yang memohon wanita sederhana dengan keindahan akhlak dan hatinya?"
Sesaat, sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia membayangkan kemungkinan bahwa Nafisa adalah takdir yang Allah gariskan untuknya.
"Jika memang dia adalah jodoh yang Engkau siapkan, Ya Allah, maka permudah lah jalanku untuk memilikinya," lirih Ustadz Azlan, berdoa dengan penuh harap.
Namun, kesadarannya segera kembali. Ia tersentak oleh pikirannya sendiri, lalu menarik napas panjang.
"Astagfirullahal'azim," ucapnya seraya memijat keningnya, mencoba mengendalikan dirinya. "Azlan, hentikan. Tidak seharusnya kau memikirkan seseorang yang belum halal untukmu."
Ia menghela napas lagi, memejamkan matanya dalam-dalam, dan berusaha melawan perasaan yang mengusik ketenangannya. Sebagai seorang pria yang teguh memegang prinsip, ia tahu bahwa hatinya perlu dijaga, sebaik mungkin, hingga waktunya tiba.
🌻🌻🌻🌻
Nafisa duduk di bangku kelasnya, menopang dagu dengan tangan, matanya tampak menerawang jauh.
Mita, sahabatnya yang duduk di samping, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat Nafisa yang sejak tadi melamun.
"Sa, apa hidup kamu cuma buat melamun siang dan malam?" tanya Mita, memecah keheningan.
"Sepertinya iya, Ta," jawab Nafisa lesu tanpa menoleh.
Mita mendesah. "Sa, apa lagi sih yang kamu pikirin? Beban hidup lagi?"
"Iya... kalau bukan itu, apalagi?" Nafisa membalas dengan nada datar.
"Udah dong, Sa. Jangan dipikirin terus. Mending sekarang ikut aku ke perpustakaan, baca buku biar pikiran kamu lebih ringan," ajak Mita mencoba menghibur.
"Enggak ah, males, Ta. Lagi pula gimana aku nggak kepikiran coba? Tinggal seminggu lagi kita lulus, dan aku nggak tahu mau ngapain setelah ini," ucap Nafisa lesu sambil menghela napas panjang.
"Sa, hidup nggak bakal selesai cuma karena kita lulus sekolah. Eh, ngomong-ngomong, aku ada kabar baik buat kamu."
"Kabar apa?" Nafisa mulai melirik Mita dengan penasaran.
"Aku udah nemuin kerjaan yang cocok buat kamu," ujar Mita sambil tersenyum penuh semangat.
"Kerja apa?"
"Jadi gini, kakakku kan kerja di perusahaan besar di Jakarta. Nah, aku tanya-tanya ke dia, katanya ada posisi kosong di bagian keuangan. Itu cocok banget buat kamu, Sa, kan kamu jago hitung-hitungan," jelas Mita dengan antusias.
"Hah, seriusan? Tapi aku nggak yakin bisa diterima di perusahaan gede kayak gitu," ujar Nafisa ragu.
"Percaya deh sama aku, kamu pasti diterima. Lagi pula, kakakku posisinya manajer di sana, dia bisa bantu rekomendasiin kamu," ucap Mita penuh keyakinan.
"Ya udah deh, doain aku ya, Ta."
"Pasti dong! Aku selalu doain yang terbaik buat kamu." Mita tersenyum lebar sambil memeluk Nafisa dengan erat. Nafisa pun ikut tersenyum, membalas pelukan sahabatnya itu dengan penuh rasa terima kasih.
Jam menunjukkan pukul 15.00. Bel tanda pulang berbunyi, memecah suasana. Nafisa dan Mita segera membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kelas.
"Akhirnya pulang juga, Sa!" seru Mita, terlihat senang.
"Haha, iya. Oh iya, Ta, kamu duluan aja ya pulangnya," ujar Nafisa.
"Loh, kenapa? Emang kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke pasar beli titipan ibu."
"Yaah... Aku mau nemenin, tapi aku juga harus buru-buru pulang. Mama suruh cepet karena kita mau jenguk nenek lagi," jelas Mita dengan nada menyesal.
"Iya, nggak papa kok, Ta. Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang aja."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya, hati-hati ya."
"Baiklah, kalau gitu aku duluan ya. Sampai ketemu besok, Sa!"
"Iya, mita.. "
Nafisa melangkah menuju pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Ibunya tadi memintanya membeli beberapa bahan untuk membuat kue. Sesampainya di pasar, Nafisa langsung menuju toko perlengkapan kue dan membeli semua yang diminta. Setelah selesai, ia segera bergegas pulang.
Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seorang wanita paruh baya mengenakan gamis dan jilbab panjang yang kesulitan membawa barang belanjaannya. Wanita itu terjatuh karena beban barangnya terlalu berat.
Nafisa berlari menghampiri.
"Ibu, nggak apa-apa? Sini, saya bantu," katanya sambil membantu wanita itu berdiri dan mengumpulkan barang-barang yang berserakan.
"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali," ucap wanita itu dengan senyum lemah.
"Rumah Ibu di mana? Biar saya bantu bawakan barang belanjaannya," tawar Nafisa.
"Rumah Ibu dekat dari sini, Nak. Masuk saja ke gang itu, nanti ada rumah dengan pagar hitam, itu rumah Ibu," jelas wanita itu sambil menunjuk arah.
"Baik, Bu. Mari saya antar," jawab Nafisa.
Nafisa berjalan bersama wanita itu hingga sampai di depan rumah yang ditunjukkan. Nafisa tertegun sejenak, rumah itu besar dan sangat indah. Wanita itu mempersilahkannya masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.
"Terima kasih ya, Nak, sudah mau membantu Ibu tadi. Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan minum," ucap wanita itu dengan ramah.
"Ah, nggak usah repot-repot, Bu," tolak Nafisa sopan.
"Nggak apa-apa, tunggu sebentar ya," kata wanita itu sambil berlalu ke dapur.
Saat Nafisa menunggu, tiba-tiba seorang pria masuk ke rumah. "Assalamualaikum, Umi! Umi, Alan pulang!" suara pria itu terdengar jelas.
Nafisa menoleh ke arah suara itu. Betapa terkejutnya ia mendapati bahwa pria itu adalah Ustadz Azlan.
"Ustadz Azlan?" ucap Nafisa dengan gugup.
"Nafisa? Kamu kok ada di sini?" tanya Ustadz Azlan heran.
Sebelum Nafisa menjawab, wanita paruh baya tadi kembali ke ruang tamu. "Alan, kamu sudah pulang? Oh iya, tadi Umi kesusahan membawa barang belanjaan di pasar, gadis ini yang menolong Umi," jelas wanita itu sambil menunjuk Nafisa. Ternyata ibu-ibu yang ditolong Nafisa adalah Uminya Ustadz Azlan.
"Alan kenal Mi, "
"Kamu kenal Nak,? "
"Ini Nafisa, Mi. Dia yang waktu itu menolong Alan waktu kecelakaan mobil," terang Ustadz Azlan.
"Oh, jadi kamu yang sudah menyelamatkan anak Umi? Terima kasih, Nak. Hati kamu baik sekali," ucap Umi Rahma dengan wajah penuh syukur sambil memegang tangan Nafisa.
"Hehe, iya, Bu. Sama-sama," jawab Nafisa, tersenyum malu-malu. Ia tak menyangka ternyata wanita paruh baya yang ditolongnya ini adalah Ibu Ustadz Azlan.
Nafisa melirik jam di tangannya, ia terkejut karna hari sudah menunjukkan pukul setengah Enam sore. " Bu, Ustadz, saya pamit pulang ya.., udah sore sekali soalnya. Saya takut nanti Ayah sama ibu saya nyariin, "
"Iya, Nak.Tapi kamu minum dulu, baru pulang. Setelah itu biar Alan antar kamu," ucap Umi Rahma dengan lembut.
"Eh, nggak usah dianter, Bu. Saya bisa pulang sendiri kok," tolak Nafisa sopan.
"Nggak apa-apa, Nafisa. Biar saya antar. Sudah mau gelap, nggak baik perempuan pulang sendirian," ujar Ustadz Azlan.
"Iya, Nak. Alan antar kamu saja ya," tambah Umi Rahma penuh harap.
Akhirnya, dengan ragu, Nafisa mengangguk mengiyakan. Ia merasa segan jika terus menolak permintaan Umi Ustadz Azlan.
Ustadz Azlan mengantar Nafisa hingga ke depan rumahnya. Dalam perjalanan, suasana awalnya sunyi. Nafisa sibuk menundukkan pandangan, sementara Ustadz Azlan beberapa kali melirik ke arahnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya, ia memecah keheningan.
"Terima kasih banyak ya, Nafisa. Kamu sudah menolong Umi saya tadi," ujar Ustadz Azlan, memulai pembicaraan.
"Iya, Ustadz. Sama-sama. Itu kan sudah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk saling membantu," jawab Nafisa dengan nada sopan.
Mereka kembali terdiam beberapa saat sebelum Ustadz Azlan kembali membuka suara.
"Nafisa..."
"Iya, Ustadz?" Nafisa menoleh sedikit, menunggu pertanyaan.
"Saya boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, apa itu, Ustadz?" Nafisa mengangguk kecil.
"Kamu sudah punya pacar atau kekasih?" tanya Ustadz Azlan tiba-tiba.
Nafisa menatap Ustadz Azlan dengan heran, tapi tetap menjawab jujur. "Belum, Ustadz. Saya nggak punya pacar, dan saya juga nggak mau pacaran."
Mendengar jawaban itu, Ustadz Azlan tersenyum lega. "Syukurlah," gumamnya.
Nafisa semakin penasaran. "Kenapa, Ustadz, tanya seperti itu?"
Ustadz Azlan tersenyum tipis, sejenak terdiam, lalu menjawab, "Nggak apa-apa. Saya cuma ingin tahu. Dan mendengar jawaban kamu tadi, hati saya jadi lega... Saya juga merasa nggak salah pilih calon."
Nafisa menatapnya bingung. "Salah pilih calon apa, Ustadz?" tanyanya penasaran.
"Istri," jawab Ustadz Azlan singkat.
Mata Nafisa membelalak. "Ha???" Nafisa melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Abu Yahya Badrusalam
Saya terhanyut dalam dunia yang diciptakan oleh penulis.
2023-09-27
3