Setibanya di rumah, Nafisa segera turun dari mobil.
"Makasih banyak ya, Ustadz, sudah nganterin saya pulang," ucap Nafisa dengan sopan.
"Iya, sama-sama, Nafisa," jawab Ustadz Azlan sambil tersenyum.
"Ustadz nggak mau mampir dulu? Sekalian istirahat sebentar," tawar Nafisa.
"Ah, nggak usah, Nafisa. Makasih ya. Saya harus langsung ke pengajian biar nggak terlambat," jawab Ustadz Azlan dengan ramah.
"Oh, begitu. Baik, Ustadz. Hati-hati di jalan."
"Saya pamit dulu, assalamualaikum," ucap Ustadz Azlan sambil melajukan mobilnya perlahan meninggalkan pekarangan rumah Nafisa.
"Waalaikumussalam."
Nafisa masuk ke rumah dengan langkah ringan. Sesampainya di ruang tamu, ia melihat ibunya duduk santai sambil menonton acara favorit di televisi.
"Nak, tadi Ibu dengar ada suara mobil. Itu mobil siapa? Kamu pulang sama siapa?" tanya ibunya penuh rasa ingin tahu.
"Itu tadi mobil Ustadz Azlan, Bu."
"Ustadz Azlan? Yang kita tolong waktu itu?"
"Iya, Bu. Tadi aku nggak sengaja ketemu dia pas pulang sekolah. Aku lagi nunggu angkot, Karena angkot nggak kunjung datang, Ustadz Azlan menawarkan untuk mengantar Nafisa pulang," jelas Nafisa.
"MasyaAllah, dia baik sekali ya orangnya. Tapi, kenapa kamu nggak pulang bareng Mita?"
"Mita tadi pergi ke rumah neneknya, Bu. Katanya neneknya sakit."
"Oh gitu. Ya sudah, kalau begitu sekarang kamu ganti baju dulu, habis itu makan, ya."
"Iya, Bu. Nafisa ke kamar dulu ya."
"Iya, Sayang."
Dikamar, Nafisa merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menghela napas lega.
"Huft... akhirnya sampai rumah juga, " ucap Nafisa pelan.Pikirannya berkalana, ia tiba tiba mengingat Ustadz Azlan.
"Ustadz Azlan itu orangnya baik banget, ya. Dia lelaki sholeh, baik, suara merdu, rajin sholat, Ustadz muda juga lagi. Kalau nanti aku dikasih sama Allah jodoh seperti dia , pasti hidupku akan bahagia," gumam Nafisa sambil tersenyum kecil.
Namun tiba-tiba ia tersadar dari pikirannya dan menepuk pipinya sendiri. "Astaghfirullah, Nafisa! Ngapain sih mikirin kayak gitu? Jodoh kan urusan Allah. Fokus dulu sama diri sendiri!" katanya pada diri sendiri.
"Lagi pula dia nggak cocok sama aku, Dia itu terlalu MasyaAllah untuk aku wanita yang biasa-biasa aja. " Nafisa menghembuskan nafas berat.
Dari pada sibuk berperang dengan pikirannya sendiri, Nafisa memilih bangkit dari tempat tidur dan pergi mandi untuk menyegarkan badan.
🌻🌻🌻🌻🌻
"Ayo, Nak, makan. Ini sudah Ibu siapin makanan kesukaan kamu," panggil ibunya sambil tersenyum.
"Iya, Bu, Nafisa makan sekarang," jawab Nafisa sambil duduk di meja makan.
"Eh, Ayah belum pulang ya, Bu?"
"Belum, Nak. Mungkin sebentar lagi Ayah kamu pulang."
"Oh iya, Nak, nanti temani Ibu ke rumah Bu Sondang, ya. Ibu mau antar pesanan kue."
"Ibu jualan kue? Sejak kapan? Kok Nafisa nggak tahu?" Nafisa bertanya penasaran.
"Baru mulai, Nak. Ibu pengen bantu Ayah untuk tambahan kebutuhan kita sehari-hari. Lagipula, Ibu kan lumayan jago bikin kue, jadi kenapa nggak coba dijual?"
"Iya sih, Bu. Kue buatan Ibu memang enak banget! Tiap lebaran aja Nafisa sama Ayah selalu nggak bisa berhenti makan," puji Nafisa sambil tersenyum lebar.
"Hahaha, kamu ini bisa aja. Alhamdulillah, kalau kamu suka."
"Beneran, kok, Bu. Nafisa yakin, orang-orang yang nyobain juga pasti ketagihan!"
"Alhamdulillah, semoga begitu ya, Nak. Ya sudah, habiskan dulu makanmu. Ibu mau keluar sebentar beli kotak untuk bungkus kuenya."
"Oke, Bu," jawab Nafisa, lalu melanjutkan makannya sambil tersenyum lega melihat ibunya semangat menjalani usahanya.
Setelah selesai makan, Nafisa menemani ibunya mengantar kue ke rumah Bu Sondang. Jarak rumah Bu Sondang dan rumah mereka cukup jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki. Ketika akhirnya sampai di rumah Bu Sondang, waktu sholat Maghrib hampir masuk. Setelah mengantarkan kue, Nafisa dan ibunya memutuskan untuk singgah di masjid untuk menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Hal ini dilakukan agar mereka tidak telat mengingat jarak masjid ke rumah juga lumayan jauh.
Sesampainya di masjid, Nafisa dan ibunya segera mengambil wudhu. Mereka kemudian melaksanakan sholat Maghrib berjamaah bersama jamaah lainnya. Setelah selesai, mereka memilih untuk tetap duduk di dalam masjid sambil mendengarkan ceramah hingga waktu sholat Isya tiba, mengingat jeda waktu antara kedua sholat tersebut tidak terlalu lama.
"Sayang, itu yang baru naik ke atas mimbar buat ceramah... mirip Ustadz Azlan, ya? Apa benar itu dia?" tanya ibu Nafisa sambil menatap ke arah mimbar.
"Iya, Bu. Itu memang Ustadz Azlan. Nafisa baru ingat, tadi beliau sempat bilang kalau mau ceramah di masjid kampung kita," jawab Nafisa sambil tersenyum.
Ceramah Ustadz Azlan pun dimulai. Dengan suara lembut dan penuh ketulusan, ia menyampaikan pesan-pesan agama yang menyentuh hati. Wajahnya yang selalu dihiasi senyuman membuat suasana masjid terasa begitu nyaman. Nafisa dan ibunya mendengarkan dengan seksama, seolah terhipnotis oleh tutur kata Ustadz Azlan.
Saat Nafisa begitu fokus menyimak ceramah, ibunya tiba-tiba berbisik,
"Sayang, seandainya nanti ibu punya menantu seperti Ustadz Azlan, pasti ibu bahagia banget."
Nafisa langsung menoleh dengan wajah memerah.
"Ihh, Ibu, ngomong apaan sih? Mana mungkin Ustadz Azlan jadi suami Nafisa. Beliau itu pintar agama, baik hati, ganteng lagi. Nggak mungkin dapat jodoh kayak Nafisa yang biasa-biasa aja."
Ibunya tersenyum lembut, lalu berkata,
"Nak, jodoh itu rahasia Allah. Kalau Allah sudah menakdirkan kalian berjodoh, kenapa tidak? Lagi pula, menurut ibu, kamu itu juga gadis solehah, cantik, dan berbakti sama orang tua. Ibu yakin, kamu juga pantas untuk orang sebaik Ustadz Azlan."
Nafisa menggaruk kepala yang tidak gatal sambil tersenyum malu.
"Ihh, Ibu, udah deh, jangan bahas ini. Nafisa jadi malu," katanya dengan pipi yang semakin memerah, meski dalam hati ia tak bisa menahan senyum membayangkan ucapan ibunya menjadi kenyataan.
Namun tanpa disadari oleh Nafisa, dari atas mimbar, Ustadz Azlan sesekali melirik ke arahnya. Tatapan lembut dan senyum manis tersungging di wajahnya, seolah menciptakan kehangatan di hati siapapun yang melihatnya.
Tak lama, waktu sholat Isya pun tiba. Nafisa dan ibunya bergegas berdiri untuk melaksanakan sholat berjamaah bersama jamaah lainnya. Masjid kembali dipenuhi suasana khusyuk dan damai, mengakhiri malam yang penuh keberkahan.
Sesampainya di rumah, Nafisa dan ibunya langsung masuk ke dalam. Nafisa membuka pintu sambil menyapa,
"Assalamualaikum, Ayah."
"Waalaikumussalam. Dari mana saja kamu dan ibu, Nak?" tanya ayah Nafisa yang sedang duduk di ruang tamu.
"Tadi kami ke rumah Bu Sondang, nganterin pesanan kue buatan Ibu, terus sekalian sholat Maghrib dan Isya berjamaah di masjid. Makanya agak lama pulangnya," jawab Nafisa sambil meletakkan tas kecilnya di meja.
"Oh, begitu. Ya sudah, sekarang ayo kita makan malam bersama," ajak ayahnya sambil tersenyum hangat.
"Ayo! Wah, makan lagi, nih!" seru Nafisa penuh semangat.
Ayah dan ibu Nafisa tertawa kecil melihat keceriaan anak mereka. Ada rasa bahagia yang sulit disembunyikan dari wajah mereka.
Sementara itu, di tempat lain, Ustadz Azlan baru saja tiba di rumahnya.
"Assalamualaikum," ucapnya ketika membuka pintu.
"Waalaikumussalam," jawab suara-suara dari dalam rumah serempak.
"Pulang juga lo, Lan! Lama banget gue nungguin," kata seorang pria yang berdiri di ruang tamu.
"Rahman! Wah, sejak kapan lo di sini? Kok nggak kasih kabar sih?" tanya Ustadz Azlan dengan nada terkejut, menyadari kehadiran Rahman.
Dia adalah sepupu sekaligus sahabat dekatnya Ustadz Azlan.
"Kan gue pengen kasih kejutan," jawab Rahman sambil tersenyum lebar dan memeluk Ustadz Azlan.
"Udah lama nggak ketemu. Apa kabar, Lan?" tanyanya setelah melepas pelukan.
"Alhamdulillah, gue baik. Lo sendiri gimana?"
"Baik juga, seperti yang lo lihat," jawab Rahman dengan santai.Tiba-tiba, suara anak kecil terdengar memanggil, "Om Alannn!"
Ustadz Azlan menoleh dan melihat seorang gadis kecil berusia sekitar tiga tahun berlari ke arahnya. Anak itu adalah Aira, keponakannya. Anak dari Rahman dan istrinya yang bernama Sinta.
"Airaaa! Keponakan Om yang paling cantik!" seru Ustadz Azlan sambil menggendong Aira dan menciumi pipinya dengan gemas.
"Aila kangen Om," ucap Aira cadel. Ia manja dalam pelukan Ustadz Azlan.
"Om juga kangen banget sama Aira, kangen pake banget!" katanya sambil memeluk Aira erat dan membuat gadis kecil itu tertawa senang.
Mereka duduk di sofa sambil bermain bersama. Melihat momen itu, Rahman menghampiri dan duduk di samping Ustadz Azlan.
"Lan, kapan nih kasih adek buat Aira?" goda Rahman sambil menyenggol lengannya.
"Apaan sih lo, Man. Punya istri aja belum, gimana mau kasih adek buat Aira?" jawab Ustadz Azlan dengan ekspresi geli.
"Makanya, Lan, cepat-cepat nikah," timpal Sinta sambil tersenyum penuh arti.
"Udah sering Umi bilangin itu, Sinta. Tapi alannya aja nggak mau cepat-cepat nikah," sahut Umi Rahma dengan wajah cemberut.
"Umi, jangan gitu dong... Calon Alan aja yang belum ada," balas Ustadz Azlan dengan wajah memelas, membuat semua orang tertawa.
"Ya, tapi Umi sama Abi juga pengen cepat-cepat punya cucu, Lan," ujar Abi menambahkan.
Rahman menimpali dengan candaan,"Tuh, tante sama om udah nggak sabar. Mau gue cariin calon, nggak?"
"Ih, nggak usah, Man. Gue juga udah punya incaran kok," jawab Ustadz Azlan dengan senyum misterius.
"Hah? Siapa? Kok Umi nggak tau?" tanya Umi penasaran.
"Ada deh... Nanti kapan-kapan Alan ajak ke sini, lagipula Alan juga belum mengenalnya terlalu jauh " katanya sambil mengedipkan mata.
"Benar, ya, Lan? Umi udah nggak sabar," ucap Umi dengan wajah penuh harap.
"Iya, Umi. Doain aja semuanya lancar, semoga gadis itu memang cocok untuk Alan." Balas Ustadz Azlan dengan senyum penuh arti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
serruuuuuu
2024-03-06
0