Acara perkenalan siswa baru telah selesai, Delisha keluar dari ruang kelas bersama kedua sahabat barunya. Dua siswi bertudung merah dan putih sesuai dengan daftar presensi siswa. Mereka bertiga menelusuri lorong demi mengenal sekolah. Delisha yang mengajak mereka supaya nanti tidak kebingungan saat mulai bersekolah.
Saat kaki mereka telah menjajaki hampir seluruh wilayah sekolah. Tiba-tiba, ponsel Delisha berdering. Dia menghentikan langkahnya untuk melihat ponsel. Terlihat nama Abi Shabir, Delisha pun memanggil kedua sahabatnya. "Farah! Qonita! Tolong tunggu sebentar."
Dua siswi yang dipanggil Delisha menghentikan langkah kakinya. Menolehkan pandangan ke arah Delisha yang sedang kebingungan. Farah spontan bertanya, "Siapa yang menelepon, Delisha?"
"Abaku, Farah,"-Delisha menunjukkan nama yang tertera pada ponselnya-"mungkin, Aba sudah menunggu di depan sekolah untuk menjemput aku pulang,"
"Kalau begitu, ayo kita pulang!" ajak Qonita dengan riang.
"Apa kalian tidak keberatan?" tanya Delisha memastikan kedua sahabatnya tidak marah.
"Maksudku, aku yang mengajak kalian berdua untuk menelusuri sekolah, tapi gara-gara aku kita menghentikan penelusuran," sambung Delisha dengan lembut.
"Kita berdua tidak keberatan, Delisha,"-Farah menunjuk ponsel Delisha-"lebih baik kamu angkat terlebih dahulu panggilan telepon Abamu."
Delisha menuruti perkataan Farah, sebab dia baru tahu kalau abanya telah menelepon sebanyak tiga kali. Mengawali dengan salam, abanya menjawab dengan penuh keharmonisan.
"Sayang, kenapa kamu baru menjawab panggilan telepon?" tanya aba Shabir dengan tegas.
"Ma-maaf, Aba. Delisha tidak tahu kalau Aba menelepon," kilah Delisha dengan lembut, "apa Aba sudah di depan sekolah?"
"Maaf, Sayang. Aba sedang sibuk, apa kamu tidak keberatan untuk naik angkot atau taksi? Nanti Aba ganti uang Delisha," pinta aba Shabir dengan lembut.
Delisha dengan berat hati menuruti permintaan abanya, "Iya, Aba. Jangan lupa untuk mengganti uangku!"
"Iya, Sayang. Terima kasih telah mau mengerti keadaan, Aba," sahut aba Shabir.
Percakapan jarak jauh itu selesai dengan aba Shabir mengucapkan salam. Sebenarnya, Delisha rindu dengan perlakuan abanya dahulu. Sering mengantar jemput dirinya sekolah. Namun, Delisha menyadari angkanya mengingatkan untuk mandiri.
Sudah lama, ya. Kita bertiga tidak keluar bersama, Umi, batin Delisha.
"Delisha! Apa kamu baik-baik saja?" Qonita menepuk pundak Delisha.
Lamunan Delisha tentang dirinya bersama aba dan uminya seketika sirna. Dia menoleh ke arah Qonita. "Aku baik-baik saja, Qonita. Aku hanya bingung memilih kendaraan untuk pulang ke rumah."
"Pulang bersamaku saja, Delisha," ajak Farah dengan riang.
"Maaf, tapi aku tidak bawa helm, Farah. Mungkin, aku akan naik taksi untuk pulang," tolak Delisha dengan lembut.
"Jadi, apa kita akan melanjutkan untuk menelusuri lorong sekolah atau pulang saja?" sela Qonita meminta kepastian.
"Sebaiknya, kita pulang saja karena sudah sore. Besok kita lanjutkan penelusuran lorong sekolah," usul Farah.
"Aku setuju!" sahut Delisha dan Qonita.
Mereka bertiga akhirnya berpisah dengan cepatnya. Bukan berarti Farah dan Qonita tidak membujuk Delisha untuk pulang bersama. Hanya saja Delisha sungkan untuk merepotkan mereka. Farah dengan sepeda motornya dan Qonita dijemput abanya. Delisha memilih untuk menunggu taksi lewat depan gang sekolahnya.
"Hai! Kamu Delisha yang menyelamatkanku tadi, 'kan?" sapa pemuda dalam mobil berwarna putih.
Delisha menoleh dan mengamati dari kejauhan orang yang memanggilnya. Tidak memakan banyak waktu, mobil itu menghampiri Delisha dengan cepat. Dengan perlahan kaca mobil terbuka lebar menampilkan sosok yang dikenal Delisha. Pemuda dalam mobil itu tidak lain, Ketua OSIS yang takut kecoa.
"Kenapa kamu belum pulang, Delisha?" tanya Izyan.
Delisha menghela napas, sebab pertanyaan umum yang dilontarkan Izyan. "Aku sedang menunggu taksi, Kak."
"Pulang bersamaku saja, Delisha. Angkutan umum dan taksi masih lama ke sini," ajak Izyan dengan riang menimbulkan kesalahpahaman.
"Maaf, Kak. Aku tunggu taksi saja," tolak Delisha dengan lembut.
Izyan sudah tahu akan ditolak Delisha, tetapi dia tidak menyerah. Tekadnya untuk membalas budi membara, dia pun merangkai kata untuk membujuk Delisha. "Apa kamu takut dengan rupaku, Delisha?"
"Sama sekali tidak, Kak," sanggah Delisha dengan cepat.
"Kalau begitu, kenapa kamu takut pulang bersamaku?" tanya Izyan memburu Delisha.
Delisha bingung menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. Sejujurnya, ada rasa takut yang mengganjal, sebab penampilan Izyan yang sedikit urakan. Walaupun begitu, fakta Izyan takut dengan kecoa perlahan menepis prasangka buruknya.
"Aku tahu, kamu pasti takut dengan penampilanku. Kalau begitu,"-Izyan merapikan seragamnya-"sudah rapi, 'kan? Ayo, masuk!"
"Aku takut merepotkan, Kakak," sahut Delisha dengan lembut.
Izyan keluar dari mobilnya untuk membujuk Delisha. "Percayalah padaku, Delisha! Aku tidak akan menyakitimu, bahkan merasa direpotkan olehmu."
"Ayo, pulang bersamaku, Delisha!" Izyan mengulurkan tangan untuk mengajak Delisha pulang bersama.
Pertahanan diri Delisha seketika luluh, sebab melihat Izyan yang tidak menyerah menawarkan bantuan. "Baiklah, Kak. Dengan catatan Kakak harus memilih jalan yang ramai dan jangan ajak aku mampir ke suatu tempat."
"Kakak juga jangan macam-macam menyentuhku!" sambung Delisha dengan penuh penekanan.
"Siap, silakan masuk!" Dengan cepat Izyan membukakan pintu mobilnya untuk Delisha.
...****************...
"Begitulah cerita di balik puisi pembuka dan alasan Umi mengatakan, 'kecoa membawa berkah'. Karena kecoa itu, Umi diantarkan pulang oleh Aba Izyan," jelas Delisha dengan riang.
"Dengar itu, Rio. Jika kamu dibantu orang lain, siapapun itu. Jangan kamu mudah melupakan kebaikannya! Contohlah Kakek dengan bijaksana menolong Nenek demi membalas budi," tutur Raissyah kepada anaknya, Rio.
"Iya, Umi. Aku pasti akan membalas semua kebaikan olang-olang yang baik kepada Lio," sahut Rio dengan suara menggemaskan.
"Nenek lanjutkan lagi celitanya," pinta Rio dengan lembut.
"Iya, Umi. Mumpung masih pagi," imbuh Raissyah meyakinkan mertuanya untuk melanjutkan ke lembar selanjutnya.
"Baiklah, akanku ceritakan tentang puisi kedua," balas Delisha mengindahkan permintaan cucu dan menantunya.
Delisha membalikkan lembar usang ke halaman berikutnya. Terlihat sebuah puisi yang berjudul 'Lorong Kelas Pembawa Cinta' dengan hari dan tanggal di sampingnya Senin, 16 Agustus 2010. Delisha mengindahkan larik demi larik sajak itu. Kilasan peristiwa, kenangan bersama Izyan, berlarian ke lorong kelas hingga terjadi hal yang tidak pernah dia bayangkan.
Tiada lebih berharga dari lorong kelas
Jembatan hati para pejuang kisah
Pintu dimensi bidadari surga
Awal mula drama cinta
Tiada lebih arif dari Sutradara
Mengirim hujan kala upacara
Bidadari bernyanyi lagu sendu
Di bawah hujan menderu
Memaksa bertemu dibawah payung biru
Empat mata tampak tersipu malu
Sorakan iri kian menggebu
Terpaku dua insan bersatu
...****************...
"Siap gerak!" teriak pemimpin upacara bendera.
Selama hampir setengah semester masuk sekolah, akhirnya ada upacara bendera. Pemberlakuan upacara hari ini demi mengetahui kelancaran proses upacara, sebab besok akan melakukan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan. Sekolah Delisha ini bukan berarti tidak rutin melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin. Tiadanya upacara bendera disebabkan oleh kurangnya tempat. Lapangan untuk upacara bendera sedang dilakukan renovasi demi meningkatkan performa dan mempertahankan prestasi ekskul olahraga. Jadi, Delisha baru pertama kali merasakan upacara bendera di sekolah barunya.
Beberapa menit sebelum selesai upacara, rinai jatuh tepat di pelupuk mata Delisha. Semakin buas menerkam seisi sekolah. Memporak-porandakan dengan senjata cahaya. Ketua OSIS memainkan perannya, mengatur warga sekolah untuk tenang menyelesaikan upacara. Namun, berbeda dengan Delisha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments