CINTAMU YANG MENGHILANG

CINTAMU YANG MENGHILANG

Bab 1

Dua belas tahun berumah tangga aku resmi bercerai dengan Mayang. Dikarenakan orang ketiga, aku yang memang suka tebar pesona pada siapa saja membuat istriku murka kala itu.

Belasan tahun lalu, kehidupanku dengan Mayang.

”Pi. Apa maksudmu mengatakan Rohaya cantik?” tanya istriku penuh penekanan.

”Kenyataan,” sahutku santai. Aku yang tengah asik menyesap kopi buatan istriku yang sudah mulai hangat kini agak malas melayani perdebatan dengannya, bisa terlambat dinas pikirku.

”Pi!” Bentaknya seraya mata melotot kearah ku.

”Apaan, ga usah cari gara-gara. Masih pagi, May.” Aku berlalu meninggalkannya.

”Suaminya marah, Pi,” suara Mayang meninggi.

”Urusan dia,” jawabku sekenanya.

”Jangan rusak rumah tangga seseorang, dia saudaraku, Pi,” Mayang memelankan suaranya.

Aku mengabaikannya, malas melanjutkan perdebatan dengan Mayang, wanita udik itu tahu apa. Dandan saja tidak bisa, dia hanya tahu memakai lipstik yang menyala.

Aku berangkat dinas, kebetulan kantor aku bekerja dekat, berjalan kaki juga sampai. Namun aku lebih memilih naik motor ninja kesayanganku yang baru. Walaupun cicilan belum lunas tak salah jika bergaya, masa bodoh dengan istriku yang mengantarkan Ali kesekolah dengan motor bebek pemberian orang tuanya.

Di kantor Camat tempat aku bekerja banyak cewek cantik, seksi dan juga harum. Terkadang aku sering mengajaknya makan siang di luar. Berbeda jika mengajak Mayang karena dia hanya bisa mempermalukanku.

Mayang tak pernah skin care, bahkan memakai hand body saja dia malas, sabun mandi saja hanya sabun mandi Claudia yang harganya murah meriah. Ah, begitulah istriku.

____

”Aku pulang,” teriakku di depan pintu rumah dengan suara lantang. Namun hening tak ada jawaban.

”Mayang ke klinik,” tetanggaku yang menjawab.

”Siapa yang sakit, Bu?” Tanyaku bingung.

”Loh, Mayang ga cerita?” Ibu itu merasa heran. Sama sepertiku.

”Mayang sakit perut katanya, jadi diantar sama mamanya ke klinik,” jawab tetanggaku itu memanyunkan bibir. Terlihat dia seperti kesal padaku. Begitulah wanita sangat susah di mengerti.

Sial*n Mayang, awas saja jika dia berani meminta uang kepadaku. Bukan pelit, tepatnya aku berhemat agar kami bisa membeli mobil. Kuberikan kresek yang kutenteng pada tetanggaku itu. Lumayan sisa jajanan di kantor kubawa pulang agar anak-anak tak jajan Snack yang tidak sehat.

Aku menuju ke rumah ibu mertuaku, semoga ada seseorang di sana agar mempermudah aku menanyakan ke klinik mana Mayang dibawa.

Tak butuh waktu lama aku sampai di rumah ibu mertuaku, kebetulan sekali adiknya tengah asik mencuci motor. Kuparkir motor mewahku agak jauh darinya agar tak terpercik air bekas cician motor miliknya. Bisa lecet nanti motorku.

”Ris, ibu ada?” aku pura-pura tidak tahu kalau Mayang di bawa ke klinik.

”Ke klinik, Bang. Sama mbak Mayang. Dia sakit emang ga kasih tau sama, Abang?” dia mendongak melihatku, karena posisi dia jongkok dan aku berdiri di sampingnya.

”Ga ada yang menghargai aku,” jawabku berharap dia mengerti bagaimana aku di perlakukan saat ini.

”Bukan begitu, Bang. Tapi kakak ga mau merepotkan Abang dan ganggu pekerjaan abang," jawabnya.

”Klinik mana?” tanyaku ketus.

”Kinik Melati,” jawabnya datar, kulihat ia fokus mencuci motornya. Motor jelek saja belagu.

___

Kini aku tiba di klinik tempat istriku dirawat, aku masih memikirkan bagaimana agar Mayang malu di depan orang tuanya.

Aku melangkah melewati ruang tunggu, mataku mencari Mayang di ruang tunggu anmun tak kutemukan dirinya. Batin ini mengatakan bahwa Mayang sudah di kamar rawat.

Aku bertanya pada perawat yang bertugas.

”Dek, Dengan pasien atas nama Mayang Sari apa benar berobat di sini?” tanyaku was-was, sangat takut kalau aku salah berbicara. Takut jika aku salah menyebut Mayang adalah istriku.

”Sebentar saya cek dulu, Pak,” kini gadis dengan lesung pipi itu membuka buku. Yatuhan, indah sekali ciptaanmu.

”Tadi memang ada, Pak. Namun beliau di rujuk kerumah sakit,” jelasnya.

”Kalo boleh tau rumah sakit mana ya, Dek?” tanyaku sedikit mengedipkan mata, siapa tahu dia suka. Sangat modis, seperti ini baru wanita idaman.

”Rumah sakit Bakti Husada,” jawabnya malu-malu, kulihat pipinya bersemu pasti ia salah tingkah karena kedipanku tadi.

’Semoga berhasil,’ batinku. Lumayan jika menikah dengan suster sepertinya hemat biaya kerumah sakit.

Dengan kecewa aku keluar dari klinik, sial sekali aku tak menemukan Mayang di sana. Harusnya aku bisa mencari sedikit perhatian ibu mertua. Segera kulajukan motor kesayanganku dengan kecepatan sedang agar tak begitu menyiksanya.

Tak butuh waktu lama aku sampai di rumah sakit yang di sebutkan tadi. Kurogoh saku celanaku untuk mencari gawai Apple milikku, gengsi sekali jika hanya menggunakan android Advan seperti istriku itu. Untungnya aku suaminya bisa tahan malu jika bepergian dengannya walau hanya sebentar, paling lama kami pergi bersama hanya dua puluh menit.

”Mayang kamu di mana?” tanyaku menahan emosi yang sudah kutahan dari tadi.

”Maaf, Pi. Aku ada di rumah sakit Bakti Husada,” setelahnya istriku terisak. Drama sekali kamu, halah bukankah wanita memang sangat mudah menangis.

Seperti seminggu yang lalu saja saat aku minta dia membelikan untukku rokok dan menambah lima ribu rupiah saja dia menangis. Aku memberikan jatah satu juta untuk satu bulan, bagiku itu lebih dari cukup. Saat sudah memberikan rokok padaku juga sedikit membantingnya, sungguh aku kesal.

”Kamar nomor berapa?” aku bertanya datar. Sungguh kecewa dia tidak memberitahu padaku, harusnya bisa di rawat di rumah saja.

”Ruang teratai, Nomor, 013,” jawabnya di seberang sana. Segera kuakhiri panggilan tanpa salam, biar dia tahu kalau aku benar-benar kesal padanya.

Kamar 013 berarti masih di lantai bawah, syukurlah tak membuat kakiku pegal untuk menaiki tangga. Sudah lelah bekerja seharusnya tak lelah lagi untuk urusan seperti ini. Aku memperhatikan satu persatu kamar rawat inap.

Ketemu.

Aku tak mengetuk pintu bahkan tak memberikan salam, begitu kesalnya aku pada Mayang. Kulihat dia berbaring lemah, aku tak peduli, bukan aku penyebab dia sakit.

Mayang sangat keras kepala jika diberi tahu. Bahahkan dia mengabaikan perkataanku kalau dia harus banyak minum air putih dan makan jeruk yang kubawa dari kantor. Kebetulan di kantor ada pohon jeruk yang hampir setiap hari ada buahnya, walau rasanya sedikit asam tapi lumayan untuk memenuhi kebutuhan vitamin C.

”Pi. Mana Ali?” dia menoleh ke arahku. Begitu juga dengan mertuaku yang kini menatapku penuh intimidasi.

”Ga tau,” jawabku jujur. Memang benar begitu, aku tak tau di mana Ali berada, kukira bersamanya.

”Kenapa sih, Pi. Aku selalu yang mengurus semuanya. Tolong sekali ini saja urus Ali,” pintanya, matanya. Berkaca-kaca.

Kulihat ibu mertua keluar ruangan, kesempatan yang bagus. Aku bisa memojokkan Mayang agar tak mengadu apapun pada ibunya.

Aku berbincang banyak dengan Mayang namun ia malah mengis tersedu-sedu dan memintaku untuk membayar biaya operasi untuknya. Maafkan aku Mayang harus berbohong bahwa tabunganku telah membayar hutang, semua demi kebaikan masa depan anak-anak, aku juga sangat ingin membeli mobil. Aku menyarankan Mayang agar menjual sepetak sawah peninggalan almarhum ayahnya, bukankah dia juga ada hak di sana.

Mayang menyeka air matanya saat ibu mertua masuk, beliau masih menggenggam hp senter jaman dulu. Aku tersenyum sinis, jaman sekarang bukankah nenek-nenek sudah mahir menggunakan hp yang lebih canggih.

”Ali sudah di jemput sama Riska,” ujar ibu mertua membuat aku sedikit lega.

Bersambung..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!