Bab 4

Rasa bahagia tak terkira setiba di rumah. Aku memekik girang hingga tak sadar istriku menatapku bingung. Dia sedang istirahat di depan televisi, televisi jaman dulu yang ukurannya mini aku membelinya pada tukang barang bekas yang lewat. Ilmu otomotif yang aku punya berhasil memperbaiki televisi tersebut walaupun terkadang gambarnya buram kulihat istriku menikmati tayangan yang berlangsung di televisi itu juga.

”Ada apa, Bang?” menautkan kedua alisnya lalu meletakkan remot di ambal lusuh. Aku malas duduk di situ karena warna dan bentuknya sudah tak layak pakai, tapi istriku masih saja mempertahankan ambal lusuh itu.

”Tidak ada, cuma seneng aja, Dek,” lebih baik aku merahasiakan ini dari istriku, bahaya jika dia menggagalkan rencana ini. Kutinggalkan Mayang yang terpaku menatapku heran.

___

Hari ini mentari terbit begitu cerah, secerah hatiku. Aku bersantai sejenak menikmati kopi hitam buatan istriku yang beberapa hari sudah tidak meminumnya.

Aku ingat pernah ada temanku yang ingin membeli sawah yang dekat sini, kebetulan sekali aku jual saja padanya.

Rasanya sudah tak sabar menerima uang ratusan juta, hatiku rasanya sudah tak karuan. Andai aku menikmati mobil keinginanku menjadi kenyataan lalu setelah ini aku akan memikirkan bagaimana caranya untuk membeli rumah yang mewah, maka sepupu Mayang akan dapat tersaingi.

Segera berpamitan pada istriku, tak peduli jika ia menawarkan sarapan padaku karena hanya telur dadar dan sayur bayam bening yang tersaji itu pun bayam hasil kebun yang ia tanam di belakang rumah. Kulihat Ali juga sudah selesai sarapan sendiri dan lumayan bersih. Tapi rasanya aku enggan menciumnya karena sedikit bau amis, ya emang begitulah anak-anak ada bau yang selalu menyengat di tubuhnya makanya aku kurang suka dekat dengan Ali.

Di kantor lumayan lenggang, biasanya sepagi ini mereka masih lalu lalang di depan bahkan parkiran.

Ya ampun aku lupa, Yadi tadi malam WhatsApp padaku bahwa hari ini akan datang Pak Camat, maka rapat akan lebih cepat. Mati aku.

Berlahan aku memasuki ruangang yang sudah di penuhi karyawan hanya mejaku yang kosong. Kini pak camat berdiri menghadap semua karyawan aku menyelinap masuk tanpa permisi.

Rapat sudah selesai, beruntung laki-laki bertubuh buntal dan berperut buncit itu tidak menegurku. Aku tak langsung pulang usai rapat di kantor, niatku ingin bertemu dengan temanku yang mau membeli tanah yang ingin kujual. Membayangkan aku membawa mobil kemana saja membuat hati terasa sangat senang.

Ada baiknya aku segera menemui Danil temanku yang ingin membeli tanah warisan Mayang, ada baiknya aku merahasiakan ini darinya karena takut jika istriku menggagalkan rencana baikku.

*

”Deal.” Aku menyerahkan map biru padanya kini cek seratus sembilan belas juta ada di tanganku.

Tanah sudah di ukur, semua sesuai dengan keinginannya dan uang juga sesuai keinginanku.

Aku bahagia, sungguh sangat bahagia. Setelah ini aku akan segera mampir ke showroom, rasanya sudah tak sabar untuk memiliki mobil impian. Aku mengendarai motor kesayanganku dengan kecepatan sedang, seperti biasa aku tak ingin motor kesayanganku rusak, sesampai di tempat tujuan kuparkirkan motorku di parkiran yang tak terkena matahari, takutnya nanti motorku bisa kusam. Motor saja bisa kusam apa lagi kulit istriku yang banyak menghabiskan waktu menanam sayuran di pekarangan belakang rumah.

Wanita cantik bersama seorang pemuda kini menyapaku dengan ramah. Menyuruhku masuk lalu melihat-lihat beberapa mobil mewah dan mobil bekas, rasanya hatiku tak ikhlas jika harus membeli mobil bekas. Mataku tertuju pada mobil sport keluaran baru, mataku tak berkedip memandang mobil itu. Pasti harga yang ditawarkan juga fantastis, kuputuskan melupakan saja mobil cantik itu.

Beberapa putaran kini wanita cantik itu memperkenalkan mobil keluaran terbaru juga tapi dengan harga yang sedikit berbeda dengan mobil sport yang kulihat tadi Pilihanku jatuh pada Honda Brio. Ini cukup mewah di bandingkan dengan mobil milik sepupunya Mayang, semoga saja Narto tidak iri dengan apa yang kumiliki sekarang ini.

Kuberikan alamat lengkap lalu menyodorkan cek yang diberikan Danil padaku. Bahagia rasa hati ini sebentar lagi mobil akan tiba di rumahku, sisanya dikembalikan lalu aku memasukkan kedalam tas kecil milikku, kurasa ini cukup untuk operasi istriku.

”Aku pulang,” teriakku sedikit kasar berharap istriku menyambutku dan mencium punggung tanganku. Namun nihil, pintu terbuka namun tak ada suara bahkan televisi saja tidak hidup. Memang aku mengatakan pada Mayang agar tidak menyalakan televisi jika tidak menonton. Pemborosan.

Kuputuskan masuk saja, jika menunggu Mayang di ambang pintu bisa kering aku terbakar terik matahari. Tak ada di kamar, bahkan kamar mandi terakhir aku membuka pintu belakang, kulihat Mayang sedang memetik cabai merah yang di tanam.

”Dek," panggilku dengan nada jengkel. Bagaimana tidak jengkel jika aku pulang saja dia tak tahu.

”Astagfirullah,” aku terbahak saat istriku memegang dadanya, bisa jadi hampir copot dari tempatnya.

”Cabe untuk siapa, kok banyak?” Tanyaku heran, lalu melangkah lebih dekat.

”Mau di jual untuk mbak Narsih. Tadi dia pesan dua puluh kilo untuk hajatan anaknya,” jawabnya lalu melanjutkan memetik cabai.

Dua puluh kilo dikali harga sembilan puluh ribu jadi totalnya satu juta delapan ratus ribu rupiah. Sungguh ini cukup untuk makan satu bulan, jika istriku bersama putra kami pasti cukup uang bulanan sebesar itu.

Aku masuk lagi kedalam rumah, rasanya sangat malas membantu istriku untuk memetik cabai kerena cuaca cukup panas. Besok saja aku mengajak Mayang untuk berangkat kerumah sakit.

”Huam...” aku menguap begitu lebar, kulirik jam dinding menunjukkan pukul enam sore, mungkin cukup lama aku tertidur hingga tak kusadari keberadaan istriku.

Kulihat disampingku Mayang terbaring, sepertinya dia kelelahan.

”Dek, bangun.” aku mengguncangkan tubuhnya pelan. Bisa-bisanya dia tertidur padahal belum masak apapun, saat mencuci muka tadi aku melihat di lemari penyimpanan tak ada lauk apapun.

Sungguh keterlaluan Mayang. Wanita dekil ini hanya bergumam lalu melanjutkan tidurnya, bagai mana aku harus bersikap jika dia selalu seperti ini, selalu malas-malasan. Sedikit berlari kecil kearah dapur lalu mengambil air yang ada dalam bak kamar mandi.

Byur...

Air yang ada di tanganku satu gayung kecil kini berpindah pada wajah istriku. Kulihat dia terperanjat dan panik.

”Bang.” Bentak istriku, dengan kesal dia bangkit lalu beranjak ke dapur sambil memegang perutnya. Samar aku mendengar suara Isak tangis Mayang, lagi-lagi wanita menangis, sebenarnya apa yang para wanita tangisi aku sungguh bingung. Sensitif sekali.

Dengan malas aku juga ikut ke dapur walaupun rasanya sangat malas menemaninya, dapur yang berantakan membuatku muak.

”Gitu aja nangis,” aku berdiri di belakang Mayang. Sedikit tercium bau apek di rambutnya yang kini sudah sebahu pasca aku botak kan.

Mayang tak menjawab sepatah kata pun, tangganya lihai memotong tempe setehnya melanjutkan memotong wortel. Bajunya masih basah hanya di bagian dada, aku melarangnya mengganti baju jika hanya basah sedikit, boros sabun kataku.

Baru sejenak aku duduk di sini tapi Mayang sudah selesai memasak. Mengelap meja makan lalu meletakkan bakwan wortel ikan teri goreng dan tumis kangkung dicampur tempe. Selau saja masakan sederhana yang istriku hidangkan tak bisakah dia menghidangkan daging sesekali untukku.

”Makan, Bang.” Mayang menyodorkan piring yang telah terisi nasi untukku lauknya sesuai seleraku.

Sebenernya ini bukan seleraku, aku hanya sedikit menghargainya karena sudah membangunkannya tadi dengan paksaan. Di pertengahan aku menemukan ulat daun yang terbujur kaku di dalam daun kangkung, seketika isi dalam perutku yang baru saja aku makan ingin keluar kembali, piring yang kupeng segera ku lempar kelantai hingga pecah berkeping-keping. Aku berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutku.

Kejadian ini mengingatkanku saat Ali masih bayi. Mayang yang saat itu baru saja selesai mencuci piring, lalu duduk bersantai sambil menyusui Ali. Aku yang sungguh haus saat itu mengambil gelas yang baru dicuci istriku dan menuangkan air lalu meminumnya. Amis gelas yang bercampur bau sabun membuatku mual, aku membuang gelas kelantai hingga pecah berkeping-keping. Istriku hanya diam dan menangis. Menyebalkan.

Saat ini kejadian itu terulang lagi. Untung saja Mayang masih bisa di kendalikan olehku, ini semua demi keuntunganku. Aku mengatakan bahwa surga istri ada di telapak kaki suami, jika ingin surga maka harus berbakti. Aku tak pernah melukai Mayang sedikit pun.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!