Bab 3

Dua hari berlalu tanpa Mayang sungguh aku repot, masak mie instan sendiri, cuci piring dan baju sendiri. Mencuci dengan tangan membuat tanganku sedikit kering, hanya sedikit tapi tangan istriku begitu kasar padahal dia hanya duduk manis di rumah tanpa bekerja, sebab pekerjaan rumah tak seberat pekerjaan kantor makanya aku malas membelikan istriku mesin cuci, toh dia bisa mencuci sendiri, tak begitu berat bahkan kulihat dia masih banyak waktu untuk memainkan ponsel jeleknya yang layarnya saja sudah retak.

Hari ini Minggu jadi aku libur masuk kantor, mau kerumah sakit rasanya malas sekali. Tapi aku sedikit takut jika ibu mertua marah padaku. Dengan berat hati aku melangkah keluar rumah, baru mengeluarkan motor sudah terlihat mobil sepupunya Mayang terparkir di samping rumah, kulihat Mayang keluar dari dalam mobil keluaran terbaru itu. Mobil ini yang membuat aku sangat iri padanya.

Pernah sekali aku memfitnah Narto karena dia baru membeli mobil, aku sungguh iri melihat rumahnya yang besar dan mobilnya yang bagus. Narto juga sering memberi anakku jajanan yang tidak sehat. Aku mengatakan jangan beri jajan tida sehat untuk anakku, mungkin saja itu bukan uang halal. Mulai hari itu dia jarang datang dan memberikan jajanan untuk anakku. Mandul ya mandul saja, jangan membuat anakku sakit, bahkan mati gara-gara makanan tak sehat darinya.

Saat itu Narto ingin menamparku karena kata-kataku yang menyakiti perasaannya, bagiku tak sakit sama sekali karena benar adanya. Narto sudah menikah empat tahun tapi belum punya anak, mungkin karena pesugihan yang ia lakukan. Aku membeberkan pada orang kampung untuk menyelidiki Narto siapa tahu dia bener ikut pesugihan, tapi sampai saat ini nihil tak mereka temukan.

Mayang di bantu oleh istrinya Narto untuk memasuki rumahku, maksudku rumah kami. Ya rumah kami, ini rumah istriku yang dia beli sendiri dengan uang tabungannya semasa ia kuliah dulu dan sedikit di bantu oleh orangtuanya. Jangan tanyakan aku, sangat gengsi jika harus membeli rumah jelek seperti ini karena aku seorang pegawai negeri. Apa kata orang nanti.

Istriku kini terlihat sedikit kurus dan kulitnya sedikit putih, apa itu bisa di sebut pucat? Ah, mana mungkin pucat toh dia dulunya juga putih, hanya saja saat bersamaku dia sedikit gosong, salahnya sendiri kenapa dia menanam sayuran di belakang rumah, aku sudah melarangnya tapi dia keras kepala. Jawabannya lumayan bisa untuk makan, bahkan kadang aku melihat dia memberikan daun seledri untuk para tetangga, katanya hanya bersedekah.

Rasanya kok aneh saja. Masa iya sedekah daun seledri. Bersedekah itu menyumbang pada masjid dan mengumumkan nama kita di sana, itu baru bisa di bilang sedeka dan orang juga tau kalau kita ini dermawan.

___

”Mayang, apa kamu sudah bicara pada ibu?” tanyaku penuh selidik pada Mayang saat yang lain sudah pulang.

”Bicara apa, Bang?” Manyang menatapku heran. Apa mungkin dia lupa percakapan kami di rumah sakit kemarin? Dasar istriku ini, benar-benar pikun.

”Itu tentang warisan kamu,” menyebalkan sekali aku terpaksa menjelaskan kembali. Kini mata Mayang sudah berkaca-kaca. Haduh, sebenarnya apa yang dia tangisi? Sungguh aku heran dibuatnya.

”Ibu masih hidup, ga ada harta warisan, Bang.” Jelasnya lalu menoleh kearah lain.

”Kan bisa kasih alasan lain, Dek.” kali ini harus berhasil warisan itu jatuh ke tangan istriku setelahnya aku akan meminjamnya untuk membeli mobil.

”Ga bisa, Bang. Masih ada Kakakku dan adik laki-lakiku,” jawabnya enteng. Benar juga, mereka salah satu penghalang. Kalau begitu biar aku saja yang merayu ibu mertua dan mendapatkan harta warisan haknya istriku.

Istriku sudah terpejam, aku tak mungkin jika menyuruhnya lagi untuk meminta pada ibu mertuaku. Ada baiknya aku saja yang merayu ibu, sangat yakin kalau beliau pasti akan memberikannya padaku.

Mumpung masih pagi, ini waktu yang tepat untuk berangkat kerumah ibu mertua, beliau pasti kelelahan karena dua hari menjaga Mayang di rumah sakit.

Aku meninggalkan istriku yang sudah terlelap, dia tak mungkin bisa menyusul ku kerumah ibu karena kondisi badannya yang masih lemah. Tak perlu waktu lama untuk sampai kerumah ibu mertuaku.

Kumasuki halaman yang lumayan luas. Mataku tertuju pada sepeda motor baru yang terparkir di halaman rumahnya, apa mungkin ini motor ibu mertuaku.

Aku masuk setelah memberikan salam. Samar-samar kudengar jawaban dari dapur, aku bergegas masuk. Alangkah baiknya jika aku berpura-pura bertanya Ali.

”Bu, Ali di mana?” Tanyaku pada wanita yang sedang membersihkan ikan lele saat ini. Makanan saja ikan lele, menjijikkan sekali. Aku tau betul ikan itu mau memakan apa saja, bahkan ikan lele jumbo mau memakan bangkai ayam juga. Rasanya perutku hampir mengeluarkan isinya.

”Ali jalan-jalan sama Riska. Katanya ga pernah jalan-jalan, kok kamu sebagai bapak ga pernah bawa anakmu jalan-jalan?” Aku senang jika adik ipar ku itu mau membawa Ali jalan-jalan terlebih jika sering, maka aku tak perlu mendengarkan kebisingan suara Ali. Tapi pertanyaan ibu sukses membuat kupingku panas.

”Aku sibuk, Bu. Bukan ga mau bawa Ali jalan-jalan,” jelas aku harus membela diriku sendiri.

”Minggu gini ya bisa bawa jalan-jalan, sesibuk apa kamu?” Pertanyaan ibu penuh penekanan.

Menyebalkan sekali, sudah tua banyak protes. Jika mati aku juga yang angkat kerandanya nanti menuju pembaringan terakhir.

”Maaf, Bu. Lain kali aku akan ajak Ali jalan-jalan kok,” kata-kata yang terpaksa aku lontarkan demi kerukunan menantu dan mertua. Menyebalkan!

”Bu, sebenarnya Mayang sakit apa?” aku memberanikan diri bertanya walau sudah yakin dalam hati ibu mertuaku akan marah.

”Asam lambunya sudah parah,” jawab ibu mertuaku lalu beralih menatap ku. ”Ada infeksi saluran kemih juga,” lalu mertuaku menghela nafas berat. Sesaat setelahnya air matanya mengalir. Tidak salah lagi perkataanku jika wanita begitu cengeng dan gampang menangis untuk mendapatkan simpati dari kami para laki-laki.

”Jangan nangis, Bu. Apa Mayang tau dan apa dia harus dilakukan operasi?” aku sedikit menenangkannya dan juga aku memboyong beberapa pertanyaan.

”Harusnya kemarin dia sudah dilakukan operasi, tapi Mayang ga mau, katanya berobat herbal aja, kata dokter juga kalo obat herbal kemungkinan sembuhnya sangat kecil,” jelas ibu. Lalu meletakkan pisau di atas meja kemudian menyeka air matanya dengan punggung tangan.

”Mayang harus operasi, Bu. Satu-satunya cara adalah ibu,” tegas ku. Kulihat mata ini mertuaku melotot lebar kearah ku, kutahu dia bingung.

”Maksudnya gimana ini?” wanita yang melahirkan istriku itu menautkan kedua alisnya.

”Aku minta ijin, bolehkah jika harta hak Mayang diambil aja,” setengah takut aku memintanya. Aku sangat yakin jika hak Mayang banyak. Sebab Mayang pertah bercerita jika tanah sawah ibunya di sewakan pada orang karena tidak sanggup mengelolanya, terlebih kini ayah mertua sudah tidak ada. Sayang jika tidak dipergunakan.

”Kamu yakin?”Aku mengguk mantap.

Berhasil.

Aku berpamitan pulang setelah ibu mertuaku memberikanku map biru, hatiku berbunga-bunga. Tanah warisan ini bisa dijual seluruhnya walau ibu mertuaku mengatakan jual seperlunya, aku perlu semuanya. Impianku untuk membeli mobil harus tercapai. Sebelumnya ibu menawarkan aku makan tapi aku menolaknya halus. Menjijikkan sekali jika aku harus makan makanan seperti itu, biar pun kata orang itu banyak gizi tapi bagiku sangat menjijikkan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!