Dua belas tahun berumah tangga aku resmi bercerai dengan Mayang. Dikarenakan orang ketiga, aku yang memang suka tebar pesona pada siapa saja membuat istriku murka kala itu.
Belasan tahun lalu, kehidupanku dengan Mayang.
”Pi. Apa maksudmu mengatakan Rohaya cantik?” tanya istriku penuh penekanan.
”Kenyataan,” sahutku santai. Aku yang tengah asik menyesap kopi buatan istriku yang sudah mulai hangat kini agak malas melayani perdebatan dengannya, bisa terlambat dinas pikirku.
”Pi!” Bentaknya seraya mata melotot kearah ku.
”Apaan, ga usah cari gara-gara. Masih pagi, May.” Aku berlalu meninggalkannya.
”Suaminya marah, Pi,” suara Mayang meninggi.
”Urusan dia,” jawabku sekenanya.
”Jangan rusak rumah tangga seseorang, dia saudaraku, Pi,” Mayang memelankan suaranya.
Aku mengabaikannya, malas melanjutkan perdebatan dengan Mayang, wanita udik itu tahu apa. Dandan saja tidak bisa, dia hanya tahu memakai lipstik yang menyala.
Aku berangkat dinas, kebetulan kantor aku bekerja dekat, berjalan kaki juga sampai. Namun aku lebih memilih naik motor ninja kesayanganku yang baru. Walaupun cicilan belum lunas tak salah jika bergaya, masa bodoh dengan istriku yang mengantarkan Ali kesekolah dengan motor bebek pemberian orang tuanya.
Di kantor Camat tempat aku bekerja banyak cewek cantik, seksi dan juga harum. Terkadang aku sering mengajaknya makan siang di luar. Berbeda jika mengajak Mayang karena dia hanya bisa mempermalukanku.
Mayang tak pernah skin care, bahkan memakai hand body saja dia malas, sabun mandi saja hanya sabun mandi Claudia yang harganya murah meriah. Ah, begitulah istriku.
____
”Aku pulang,” teriakku di depan pintu rumah dengan suara lantang. Namun hening tak ada jawaban.
”Mayang ke klinik,” tetanggaku yang menjawab.
”Siapa yang sakit, Bu?” Tanyaku bingung.
”Loh, Mayang ga cerita?” Ibu itu merasa heran. Sama sepertiku.
”Mayang sakit perut katanya, jadi diantar sama mamanya ke klinik,” jawab tetanggaku itu memanyunkan bibir. Terlihat dia seperti kesal padaku. Begitulah wanita sangat susah di mengerti.
Sial*n Mayang, awas saja jika dia berani meminta uang kepadaku. Bukan pelit, tepatnya aku berhemat agar kami bisa membeli mobil. Kuberikan kresek yang kutenteng pada tetanggaku itu. Lumayan sisa jajanan di kantor kubawa pulang agar anak-anak tak jajan Snack yang tidak sehat.
Aku menuju ke rumah ibu mertuaku, semoga ada seseorang di sana agar mempermudah aku menanyakan ke klinik mana Mayang dibawa.
Tak butuh waktu lama aku sampai di rumah ibu mertuaku, kebetulan sekali adiknya tengah asik mencuci motor. Kuparkir motor mewahku agak jauh darinya agar tak terpercik air bekas cician motor miliknya. Bisa lecet nanti motorku.
”Ris, ibu ada?” aku pura-pura tidak tahu kalau Mayang di bawa ke klinik.
”Ke klinik, Bang. Sama mbak Mayang. Dia sakit emang ga kasih tau sama, Abang?” dia mendongak melihatku, karena posisi dia jongkok dan aku berdiri di sampingnya.
”Ga ada yang menghargai aku,” jawabku berharap dia mengerti bagaimana aku di perlakukan saat ini.
”Bukan begitu, Bang. Tapi kakak ga mau merepotkan Abang dan ganggu pekerjaan abang," jawabnya.
”Klinik mana?” tanyaku ketus.
”Kinik Melati,” jawabnya datar, kulihat ia fokus mencuci motornya. Motor jelek saja belagu.
___
Kini aku tiba di klinik tempat istriku dirawat, aku masih memikirkan bagaimana agar Mayang malu di depan orang tuanya.
Aku melangkah melewati ruang tunggu, mataku mencari Mayang di ruang tunggu anmun tak kutemukan dirinya. Batin ini mengatakan bahwa Mayang sudah di kamar rawat.
Aku bertanya pada perawat yang bertugas.
”Dek, Dengan pasien atas nama Mayang Sari apa benar berobat di sini?” tanyaku was-was, sangat takut kalau aku salah berbicara. Takut jika aku salah menyebut Mayang adalah istriku.
”Sebentar saya cek dulu, Pak,” kini gadis dengan lesung pipi itu membuka buku. Yatuhan, indah sekali ciptaanmu.
”Tadi memang ada, Pak. Namun beliau di rujuk kerumah sakit,” jelasnya.
”Kalo boleh tau rumah sakit mana ya, Dek?” tanyaku sedikit mengedipkan mata, siapa tahu dia suka. Sangat modis, seperti ini baru wanita idaman.
”Rumah sakit Bakti Husada,” jawabnya malu-malu, kulihat pipinya bersemu pasti ia salah tingkah karena kedipanku tadi.
’Semoga berhasil,’ batinku. Lumayan jika menikah dengan suster sepertinya hemat biaya kerumah sakit.
Dengan kecewa aku keluar dari klinik, sial sekali aku tak menemukan Mayang di sana. Harusnya aku bisa mencari sedikit perhatian ibu mertua. Segera kulajukan motor kesayanganku dengan kecepatan sedang agar tak begitu menyiksanya.
Tak butuh waktu lama aku sampai di rumah sakit yang di sebutkan tadi. Kurogoh saku celanaku untuk mencari gawai Apple milikku, gengsi sekali jika hanya menggunakan android Advan seperti istriku itu. Untungnya aku suaminya bisa tahan malu jika bepergian dengannya walau hanya sebentar, paling lama kami pergi bersama hanya dua puluh menit.
”Mayang kamu di mana?” tanyaku menahan emosi yang sudah kutahan dari tadi.
”Maaf, Pi. Aku ada di rumah sakit Bakti Husada,” setelahnya istriku terisak. Drama sekali kamu, halah bukankah wanita memang sangat mudah menangis.
Seperti seminggu yang lalu saja saat aku minta dia membelikan untukku rokok dan menambah lima ribu rupiah saja dia menangis. Aku memberikan jatah satu juta untuk satu bulan, bagiku itu lebih dari cukup. Saat sudah memberikan rokok padaku juga sedikit membantingnya, sungguh aku kesal.
”Kamar nomor berapa?” aku bertanya datar. Sungguh kecewa dia tidak memberitahu padaku, harusnya bisa di rawat di rumah saja.
”Ruang teratai, Nomor, 013,” jawabnya di seberang sana. Segera kuakhiri panggilan tanpa salam, biar dia tahu kalau aku benar-benar kesal padanya.
Kamar 013 berarti masih di lantai bawah, syukurlah tak membuat kakiku pegal untuk menaiki tangga. Sudah lelah bekerja seharusnya tak lelah lagi untuk urusan seperti ini. Aku memperhatikan satu persatu kamar rawat inap.
Ketemu.
Aku tak mengetuk pintu bahkan tak memberikan salam, begitu kesalnya aku pada Mayang. Kulihat dia berbaring lemah, aku tak peduli, bukan aku penyebab dia sakit.
Mayang sangat keras kepala jika diberi tahu. Bahahkan dia mengabaikan perkataanku kalau dia harus banyak minum air putih dan makan jeruk yang kubawa dari kantor. Kebetulan di kantor ada pohon jeruk yang hampir setiap hari ada buahnya, walau rasanya sedikit asam tapi lumayan untuk memenuhi kebutuhan vitamin C.
”Pi. Mana Ali?” dia menoleh ke arahku. Begitu juga dengan mertuaku yang kini menatapku penuh intimidasi.
”Ga tau,” jawabku jujur. Memang benar begitu, aku tak tau di mana Ali berada, kukira bersamanya.
”Kenapa sih, Pi. Aku selalu yang mengurus semuanya. Tolong sekali ini saja urus Ali,” pintanya, matanya. Berkaca-kaca.
Kulihat ibu mertua keluar ruangan, kesempatan yang bagus. Aku bisa memojokkan Mayang agar tak mengadu apapun pada ibunya.
Aku berbincang banyak dengan Mayang namun ia malah mengis tersedu-sedu dan memintaku untuk membayar biaya operasi untuknya. Maafkan aku Mayang harus berbohong bahwa tabunganku telah membayar hutang, semua demi kebaikan masa depan anak-anak, aku juga sangat ingin membeli mobil. Aku menyarankan Mayang agar menjual sepetak sawah peninggalan almarhum ayahnya, bukankah dia juga ada hak di sana.
Mayang menyeka air matanya saat ibu mertua masuk, beliau masih menggenggam hp senter jaman dulu. Aku tersenyum sinis, jaman sekarang bukankah nenek-nenek sudah mahir menggunakan hp yang lebih canggih.
”Ali sudah di jemput sama Riska,” ujar ibu mertua membuat aku sedikit lega.
Bersambung..
Baik emang adik ipar yang satu itu, mau menjemput Ali walaupun mungkin dia sendiri kerepotan. Berbeda dengan kakak sulungnya Mayang, itu wanita egois dan sangat cerewet, pernah sekali aku di pukul kepalaku pekai baskom gara-gara aku bilang keteknya bau.
Serius itu kakak ipar keteknya sangat bau, seperti tidak mandi seminggu. Kurasa reksona saja dia tak mampu beli.
Aku putuskan pulang dari rumah sakit, malas menunggu Mayang, toh ada ibunya yang setia menunggunya di rumah sakit. Mau peduli pada siapa lagi selain anaknya, bapak mertua sudah pergi meninggalkan dunia ini dua tahun yang lalu.
Masih teringat betul saat dia mau meninggal juga menitipkan Mayang pada ibu mertua, jadi apa salahnya jika Mayang ibu mertuaku yang rawat sementara. Ah, sungguh tragis jika kuingat kepergian beliau, beliau pergi kena serangan jantung. Saat beliau menyaksikan Mayang kucukur rambutnya sampai botak, habisnya aku sangat kesal pada istriku itu rambutnya sangat bau dan berkutu. Bukan salahku juga bapak mertua meninggal, toh dia yang datang ke rumahku tanpa aba-aba dan juga tanpa salam.
Dulu aku terpesona dengan kecantikan Mayang, matanya yang bulat juga giginya yang rapi dan rambut lurus sampai menyentuh bokong. Tapi kini dia berubah menjijikkan semenjak melahirkan Muhammad Ali Afran, aku juga di buat bingung sama Ali dia bocah tapi begitu menyayangi ibunya yang dekil itu.
Mengingat tentang Mayang kadang membuat perutku mual saja. Mayang wanita yang kusebut istri itu masih ku gauli, walau bagaimanapun aku juga punya nafsu. Walau kadang bau area kesuakuaan para laki-laki itu membuatku hampir muntah. Sering kali aku menyuruh Mayang mandi dulu sebelum kami menjalankan ritual malam, tapi masih saja aku mencium aroma yang tak sedap. Ah entahlah.
___
Kini aku sampai di rumah. Tinggal sendiri sementara waktu membuat hati ini sedikit tenang, tak ada teriakan dan tangis Ali memanggil ibunya dan tak ada suara Mayang. Sungguh tenang.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, perut ini rasanya minta di isi, walau tadi aku ada makan siang bersama karyawan cantik di kantor tapi aku malu untuk memesan nasi tambah.
Aku memasuki dapur yang terlihat berantakan, sisa makanan ada di meja, biasanya Ali makan sendiri Mayang sibuk mencuci pakaian kami bertiga, kadang aku heran sama Mayang apa tidak bisa dia menyuapi Ali baru dia mencuci, jadi tak seberantakan ini. Sangat malas untuk membersihkan sisa makanan ini. Lalu kubuka lemari penyimpanan ikan, tapi nihil, tak ada lauk apapun di sana, ya kami memakai lemari penyimpanan ikan namun bukan kulkas karena banyak kucing liar berkeliaran di sekitar sini.
Hanya ada beberapa bungkus mie instan dan beberapa butir telur. Biasanya kalau ada Mayang pasti aku di masakan ikan kari, kadang ikan sambal. Lalu untuk apa mie instan ini Mayang simpan. Terpaksa aku merebus mie instan dan telur, lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan.
Heum, biasanya ada Mayang yang sudah berbaring di tempat tidur sebelum aku masuk kamar, kebiasaan istriku itu jorok, mandi saja tidak saat hendak tidur.
Bebas, aku sibuk memainkan ponselku dan melihat beberapa foto cewek cantik di sana. Segar sekali mata ini memandang cewek-cewek ini, bajunya yang seksi juga dadanya yang montok membuat mata ini enggan berkedip. Ah, sungguh berbeda dengan Mayang dia sudah pernah menyusui Ali mana mungkin dia bisa berubah secantik ini lagi.
__
Pagi ini aku harus makan di luar, karena tak ada yang memasak. Duh, sial sekali hidupku saat ini, kadang aku berpikir mencari pengganti Mayang, tapi rasanya rugi sekali jika belum mendapatkan warisan dari orang tua Mayang yang hanya tinggal satu. Tak lama lagi dia juga akan pergi untuk selamanya, toh dia juga sudah tua.
Ah, pagi-pagi tak ingin merusak mood gara-gara memikirkan Mayang, lebih baik aku segera berangkat ke kantor, sarapan di sana lebih baik sambil lihat teman yang cantik di kantor, kalau bisa aku ajak dia makan sekalian. Kau yakin dia juga lain waktu akan mentraktirku makan.
Motor ninja kesayanganku sudah ku hangatkan sebelumnya.
Ceklek.
Pintu terkunci, berangkat!
Sangat pelan aku melajukan motor kesayangan ini, jangan sampai nanti aku harus mengganti kerusakannya begitu cepat. Sepanjang jalan aku melihat ibu-ibu dengan memakai celana kotor di hamparan sawah, mereka sedang menanam padi, itu sebabnya aku tak mengijinkan Mayang ikut kesawah, walau dia merengek puluhan kali padaku.
Jadi ingat Mayang saat kuliah dulu, aku tergila-gila padanya. Mayang yang masih kuliah saat itu juga tergila-gila padaku hingga termakan bujuk rayuanku agar dia segera berhenti kuliah dan menikah denganku, Mayang tak dapat menolak, kutahu cintanya begitu besar padaku.
Malang sekali nasibku kini harus menerima kenyataan bahwa istriku itu wanita dekil, jika kupikirkan saat ini aku menyesal menikahinya.
****...
”Hampir aja,” lirihku pelan lalu aku melirik pemuda berpakaian lusuh yang hampir saja ku tabrak. Harusnya dia tak lalu lalang, karena ini parkiran.
”Maaf, Mas.” Dia berlalu.
Apa? Hanya maaf?
Dia sudah membuat ban motorku sedikit menipis tapi hanya minta maaf. Dasar laki-laki kampungan. Walaupun wajahnya tampan tapi tak menjamin bahwa dia kaya, pakaiannya saja lusuh.
Masih menunjukkan pukul tujuh kurang, aku masih banyak waktu untuk makan dan sedikit bertukar cerita dengan gadis-gadis cantik di sini, salah satu yang membuatku betah kerja di sini.
”Nita!” Teriakku sembil melambaikan tangan kearah teman kantorku itu. Matanya membulat sempurna, sungguh begitu indah. Sekilas kulihat mereka bertiga berbisik-bisik lalu tertawa terbahak.
Gadis bertubuh ramping itu mendekatiku, manik mata kecoklatan itu menatapku ragu.
”Ada apa, Bang?” Tanyanya lalu berdiri tepat di sampingku. Aroma vanila di tubuhnya begitu menggoda.
”Makan yuk!” Ajakku, aku menangkupkan kedua tanganku sebagai permohonan. Dia hanya bergumam lirih itu tanda setuju.
Kami melangkah ke kantin dekat kantor bersamaan. Bermacam menu ada di sana, aku memilih ayam geprek, malu jika aku memesan makanan murah walau sebenarnya aku ingin sekali memesannya, untuk saat ini kurasa menghemat kutunda saja, masa bodoh dengan istriku dia mau makan apa di sana, lagian ibu mertua tidak mungkin tinggal diam jika Mayang menginginkan sesuatu. Namun gadis yang ada di sampingku saat ini terlihat malu-malu.
”Pesanlah, Nit,” pintaku pada gadis ramping nan menggoda ini.
”Mau mie goreng aja,” jawabnya singkat. Mungkin gadis ini malu karena dia baru satu bulan bekerja di sini.
Tak butuh waktu lama makanan yang kami pesan tiba, aku tergesa memakan makanan yang menurutku begitu menggoda hingga aku lupa mencuci tangan. Ah, tanganku bersih karena baru saja mandi di rumah tadi, lagian naik motor pakai sarung tangan.
Makananku habis tak tersisa, kulihat Anita tak menghabiskan mie yang ia pesan. Beginilah wanita jika baru kenal, tapi jika satu rumah maka makanan sisa anaknya saja ia makan. Aku pernah melihat istriku memakan makanan sisa Ali.
”Kok ga habis, Dek?” tanyaku hati-hati takut menyinggung perasaannya.
”Kenyang tadi udah sarapan di rumah,” jawabnya ragu. Dasar wanita, harusnya dia kasih tahu padaku bahwa dia tadi sudah sarapan. Jadi tak harus ikut makan, mana mienya masih satu suap dia makan.
Aku berlalu menuju kasir, tak lupa membawa piring mie bekas Anita lalu menyodorkan pada kasir tersebut.
”Mbak, bisa di bungkus kan?” tanyaku pada kasir yang kini menatapku bingung.
”Bisa, Mas.” Ia meraih piring lalu memberikan pada karyawan yang lain. Anita dari jauh menatapku heran namun aku mengabaikannya, ini lumayan bisa kumakan nanti di rumah karena belum tentu istriku Mayang pulang hari ini.
Bersambung..
Dua hari berlalu tanpa Mayang sungguh aku repot, masak mie instan sendiri, cuci piring dan baju sendiri. Mencuci dengan tangan membuat tanganku sedikit kering, hanya sedikit tapi tangan istriku begitu kasar padahal dia hanya duduk manis di rumah tanpa bekerja, sebab pekerjaan rumah tak seberat pekerjaan kantor makanya aku malas membelikan istriku mesin cuci, toh dia bisa mencuci sendiri, tak begitu berat bahkan kulihat dia masih banyak waktu untuk memainkan ponsel jeleknya yang layarnya saja sudah retak.
Hari ini Minggu jadi aku libur masuk kantor, mau kerumah sakit rasanya malas sekali. Tapi aku sedikit takut jika ibu mertua marah padaku. Dengan berat hati aku melangkah keluar rumah, baru mengeluarkan motor sudah terlihat mobil sepupunya Mayang terparkir di samping rumah, kulihat Mayang keluar dari dalam mobil keluaran terbaru itu. Mobil ini yang membuat aku sangat iri padanya.
Pernah sekali aku memfitnah Narto karena dia baru membeli mobil, aku sungguh iri melihat rumahnya yang besar dan mobilnya yang bagus. Narto juga sering memberi anakku jajanan yang tidak sehat. Aku mengatakan jangan beri jajan tida sehat untuk anakku, mungkin saja itu bukan uang halal. Mulai hari itu dia jarang datang dan memberikan jajanan untuk anakku. Mandul ya mandul saja, jangan membuat anakku sakit, bahkan mati gara-gara makanan tak sehat darinya.
Saat itu Narto ingin menamparku karena kata-kataku yang menyakiti perasaannya, bagiku tak sakit sama sekali karena benar adanya. Narto sudah menikah empat tahun tapi belum punya anak, mungkin karena pesugihan yang ia lakukan. Aku membeberkan pada orang kampung untuk menyelidiki Narto siapa tahu dia bener ikut pesugihan, tapi sampai saat ini nihil tak mereka temukan.
Mayang di bantu oleh istrinya Narto untuk memasuki rumahku, maksudku rumah kami. Ya rumah kami, ini rumah istriku yang dia beli sendiri dengan uang tabungannya semasa ia kuliah dulu dan sedikit di bantu oleh orangtuanya. Jangan tanyakan aku, sangat gengsi jika harus membeli rumah jelek seperti ini karena aku seorang pegawai negeri. Apa kata orang nanti.
Istriku kini terlihat sedikit kurus dan kulitnya sedikit putih, apa itu bisa di sebut pucat? Ah, mana mungkin pucat toh dia dulunya juga putih, hanya saja saat bersamaku dia sedikit gosong, salahnya sendiri kenapa dia menanam sayuran di belakang rumah, aku sudah melarangnya tapi dia keras kepala. Jawabannya lumayan bisa untuk makan, bahkan kadang aku melihat dia memberikan daun seledri untuk para tetangga, katanya hanya bersedekah.
Rasanya kok aneh saja. Masa iya sedekah daun seledri. Bersedekah itu menyumbang pada masjid dan mengumumkan nama kita di sana, itu baru bisa di bilang sedeka dan orang juga tau kalau kita ini dermawan.
___
”Mayang, apa kamu sudah bicara pada ibu?” tanyaku penuh selidik pada Mayang saat yang lain sudah pulang.
”Bicara apa, Bang?” Manyang menatapku heran. Apa mungkin dia lupa percakapan kami di rumah sakit kemarin? Dasar istriku ini, benar-benar pikun.
”Itu tentang warisan kamu,” menyebalkan sekali aku terpaksa menjelaskan kembali. Kini mata Mayang sudah berkaca-kaca. Haduh, sebenarnya apa yang dia tangisi? Sungguh aku heran dibuatnya.
”Ibu masih hidup, ga ada harta warisan, Bang.” Jelasnya lalu menoleh kearah lain.
”Kan bisa kasih alasan lain, Dek.” kali ini harus berhasil warisan itu jatuh ke tangan istriku setelahnya aku akan meminjamnya untuk membeli mobil.
”Ga bisa, Bang. Masih ada Kakakku dan adik laki-lakiku,” jawabnya enteng. Benar juga, mereka salah satu penghalang. Kalau begitu biar aku saja yang merayu ibu mertua dan mendapatkan harta warisan haknya istriku.
Istriku sudah terpejam, aku tak mungkin jika menyuruhnya lagi untuk meminta pada ibu mertuaku. Ada baiknya aku saja yang merayu ibu, sangat yakin kalau beliau pasti akan memberikannya padaku.
Mumpung masih pagi, ini waktu yang tepat untuk berangkat kerumah ibu mertua, beliau pasti kelelahan karena dua hari menjaga Mayang di rumah sakit.
Aku meninggalkan istriku yang sudah terlelap, dia tak mungkin bisa menyusul ku kerumah ibu karena kondisi badannya yang masih lemah. Tak perlu waktu lama untuk sampai kerumah ibu mertuaku.
Kumasuki halaman yang lumayan luas. Mataku tertuju pada sepeda motor baru yang terparkir di halaman rumahnya, apa mungkin ini motor ibu mertuaku.
Aku masuk setelah memberikan salam. Samar-samar kudengar jawaban dari dapur, aku bergegas masuk. Alangkah baiknya jika aku berpura-pura bertanya Ali.
”Bu, Ali di mana?” Tanyaku pada wanita yang sedang membersihkan ikan lele saat ini. Makanan saja ikan lele, menjijikkan sekali. Aku tau betul ikan itu mau memakan apa saja, bahkan ikan lele jumbo mau memakan bangkai ayam juga. Rasanya perutku hampir mengeluarkan isinya.
”Ali jalan-jalan sama Riska. Katanya ga pernah jalan-jalan, kok kamu sebagai bapak ga pernah bawa anakmu jalan-jalan?” Aku senang jika adik ipar ku itu mau membawa Ali jalan-jalan terlebih jika sering, maka aku tak perlu mendengarkan kebisingan suara Ali. Tapi pertanyaan ibu sukses membuat kupingku panas.
”Aku sibuk, Bu. Bukan ga mau bawa Ali jalan-jalan,” jelas aku harus membela diriku sendiri.
”Minggu gini ya bisa bawa jalan-jalan, sesibuk apa kamu?” Pertanyaan ibu penuh penekanan.
Menyebalkan sekali, sudah tua banyak protes. Jika mati aku juga yang angkat kerandanya nanti menuju pembaringan terakhir.
”Maaf, Bu. Lain kali aku akan ajak Ali jalan-jalan kok,” kata-kata yang terpaksa aku lontarkan demi kerukunan menantu dan mertua. Menyebalkan!
”Bu, sebenarnya Mayang sakit apa?” aku memberanikan diri bertanya walau sudah yakin dalam hati ibu mertuaku akan marah.
”Asam lambunya sudah parah,” jawab ibu mertuaku lalu beralih menatap ku. ”Ada infeksi saluran kemih juga,” lalu mertuaku menghela nafas berat. Sesaat setelahnya air matanya mengalir. Tidak salah lagi perkataanku jika wanita begitu cengeng dan gampang menangis untuk mendapatkan simpati dari kami para laki-laki.
”Jangan nangis, Bu. Apa Mayang tau dan apa dia harus dilakukan operasi?” aku sedikit menenangkannya dan juga aku memboyong beberapa pertanyaan.
”Harusnya kemarin dia sudah dilakukan operasi, tapi Mayang ga mau, katanya berobat herbal aja, kata dokter juga kalo obat herbal kemungkinan sembuhnya sangat kecil,” jelas ibu. Lalu meletakkan pisau di atas meja kemudian menyeka air matanya dengan punggung tangan.
”Mayang harus operasi, Bu. Satu-satunya cara adalah ibu,” tegas ku. Kulihat mata ini mertuaku melotot lebar kearah ku, kutahu dia bingung.
”Maksudnya gimana ini?” wanita yang melahirkan istriku itu menautkan kedua alisnya.
”Aku minta ijin, bolehkah jika harta hak Mayang diambil aja,” setengah takut aku memintanya. Aku sangat yakin jika hak Mayang banyak. Sebab Mayang pertah bercerita jika tanah sawah ibunya di sewakan pada orang karena tidak sanggup mengelolanya, terlebih kini ayah mertua sudah tidak ada. Sayang jika tidak dipergunakan.
”Kamu yakin?”Aku mengguk mantap.
Berhasil.
Aku berpamitan pulang setelah ibu mertuaku memberikanku map biru, hatiku berbunga-bunga. Tanah warisan ini bisa dijual seluruhnya walau ibu mertuaku mengatakan jual seperlunya, aku perlu semuanya. Impianku untuk membeli mobil harus tercapai. Sebelumnya ibu menawarkan aku makan tapi aku menolaknya halus. Menjijikkan sekali jika aku harus makan makanan seperti itu, biar pun kata orang itu banyak gizi tapi bagiku sangat menjijikkan.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!