Bab 5

Hari ini aku mengajak istriku untuk makan lontong sayur kesukaannya, sesekali tak apa, toh dia juga punya uang hasil memetik cabai merah kemarin. Mayang selalu menuruti apa saja kata-kataku, ya aku tahu Karen dia tak ingin kehilangan surga yang ada padaku.

Nanti pukul sepuluh aku akan mengajaknya kerumah sakit untuk pemeriksaan dan kelanjutan tindakan operasi, hari ini juga mobil akan sampai kerumah. Otakku berpikir bagaimana jika aku di sini, sedangkan di rumah tak ada orang. Oh, ibu.

Aku yakin pasti ibu bisa menjaga Mayang untuk hati ini, baiknya setelah mengantar istriku ke rumah sakit aku bisa langsung pulang dan meminta ibu untuk menjaga Mayang sementara. Walau bagaimanapun aku yang diuntungkan di sini.

Sejenak aku berbincang dengan istriku di kedai makan persoalan dia akan di operasi, namun istriku menolak banyak alasan yang dibuat. Tapi jika ibu tahu habislah aku, bujuk rayuanku yang maut akhirnya membuat Mayang mengangguk setuju.

Apa kubilang aku memang ahli dalam hal rayu merayu, aku sangat yakin jika gadis-gadis akan mengejar ku.

___

Mayang kini ada di ruang IGD menunggu semua pendataan. Aku gelisah karena sudah satu jam kami di sini tapi istriku belum juga di pindahkan ke ruang rawat inap. Gelisahku bukan mengkhawatirkan istriku tapi aku khawatir karena sudah beberapa kali pihak showroom menelpon dan aku masih di sini, bagaimana jika di tunda pengantaran besok. Aku sudah tak sabar lagi.

Alhamdulillah, nama istriku dipanggil. Aku tergesa menemui perawat laki-laki yang kini berada di samping kursi roda Mayang.

”Dek, harus kuat. Ingat Ali masih membutuhkanmu," ini senjata ampuh untuk membuat Mayang selalu mengalah dan nurut apa mauku.

Istriku hanya mengangguk tanpa ekspresi, wajahnya puacat dan di bawah matanya sedikit menghitam, mungkin dia kurang tidur. Karena tadi malam samar kulihat Mayang cukup lama berada di sajadah entah apa yang istriku doakan, semoga saja ia mendoakan ku, maksudku mendoakan kami agar cepat kaya.

Kursi roda Mayang didorong oleh perawat menuju kamar rawat inap, sementara kata perawat dia harus benar-benar cukup darah dan tenaga agar bisa melanjutkan operasi. Semoga besok bisa segera melakukan tindakan operasi.

Di ruangan ini hanya ada dua orang, istriku dan seorang bapak-bapak usia sekitar enam puluh tahun, dia di temani anak laki-laki mungkin itu anaknya. Sekilas kulirik kakek itu sibuk berzikir.

”Berzikirlah seperti kakek itu,” titahku pada istriku. Lagi-lagi Mayang hanya diam seribu bahasa.

Biarkan saja, apa aku harus membujuknya seperti balita? Oh tidak. Harga diriku akan hilang jika membujuk seseorang yang membuatku muak.

Istriku sudah sangat lama membuatku muak, sejak dirinya mengandung Ali, sejak saat itu banyak permintaannya yang membuatku muak. Pernah dia minta aku membeli nasi goreng tegah malam, istriku tega membagunkanku yang tengah tertidur pulas. Pernah juga dia memintaku meminta rambutan tetangga padahal dia tahu sendiri jika batang rambutan sangat banyak semutnya. Begitulah tingkahnya yang bembuatku sakit hati, mertuaku juga membelanya saat itu alasannya karena Mayang sedang mengandung dan itu bawaan bayi, banyak kulihat orang mengandung namun tidak meminta yang aneh-aneh.

Lebih baik kutinggalkan Mayang di sini sendiri lalu menyusul ibu mertuaku kerumahnya. Lagi pula di sini ada perawat yang menjaganya, tak kuhiraukan tatapan Mayang yang menatapku penuh keheranan.

Mengurungkan niatku untuk menelponnya, alangkah baiknya jika aku langsung menjemputnya agar ibu mertuaku juga tau kalau aku tak pernah main-main dengan kata-kataku. Setiap perkataanku serius. Pernah aku mengatakan kalau sayur asam buatan Mayang tidak enak namun jawaban istriku menyuruhku membuang, dengan senang hati aku membuang sayur asam itu ke tempat sampah.

___

”Bu. Aku minta tolong,” napasku tersengal setelah berlari kecil dari halaman menuju dapur, kulihat ibu asik menggoreng peyek di kayu bakar.

”Ucap salam dulu,” ibu menoleh ke arahku.

”Maaf, Bu. Tapi Mayang saat ini di rumah sakit, tolong ibu menjaganya sebentar, aku ada urusan di kantor,” aku terpaksa berbohong agar bisa meyakinkan ibu mertuaku.

”Ya sudah, antarkan ibu ke sana,” wanita yang sudah mulai memutih rambutnya itu beranjak dari duduknya lalu memindahkan perkakas menggoreng. Entah untuk apa peyek yang ibu mertuaku buat sebanyak ini, mungkin untuk di titipkan di kedai-kedai, lucu sekali padahal dia punya anak laki-laki, harusnya anak laki-laki bisa bertanggung jawab untuk ibunya.

Ibu sudah berganti pakaian dan membawa tas, mungkin itu isinya beberapa pakaian Mayang tau ibu. Karena aku juga lupa tadi menyuruh Mayang membawa baju. Istriku tak menyuruh apapun padaku karena aku tak suka diperintah apa lagi yang perintah hanya seorang wanita. Kata ayahku laki-laki adalah raja, istri ibaratkan selir jadi harus tunduk. Pedoman itu yang kupegang.

Aku berangkat bersama ibu mertuaku, dia membawa motor miliknya sendiri. Benar tebakanku kemarin berarti motor matic itu miliknya.

Begini lebih bagus jadi motorku tak membawa beban berat jadi aman dan lebih lama rusaknya.

Sesampai di rumah sakit aku berjalan terlebih dulu dan ibu mengekor di belakang, aku membuka pintu kamar rawat inap yang ditempati oleh istriku. Aku melihat Mayang tertidur pulas, selang infus yang terpasang di tangan kanannya dan selimut tipis yang menutupi sebagian badannya.

Aku melirik kearah ibu mertuaku lagi-lagi matanya berkaca-kaca, apa sebenarnya yang wanita itu sedihkan, bukankah ini hanya operasi kecil saja setelahnya sembuh. Ibu mertuaku menyentuh tangan istriku begitu lembut, setelahnya membelai rambut Mayang. Wanita tua ini sangat penyayang dan penyabar.

Mungkin tak ada salahnya aku meninggalkan ibu dan Mayang di sini, toh mereka berdua. Lagi pula aku sudah berpamitan tadi saat menuju ke ruangan ini, walaupun ibu mertua diam saja tapi aku yakin dia setuju.

Hari ini aku memilih tidak masuk kantor karena mobil akan tiba di rumah sebentar lagi, mobil ini bisa untuk bergaya nanti saat menjemput istriku di rumah sakit besok atau lusa. Kali ini aku memacu motor kesayanganku dengan kecepatan sedang agar cepat sampai di rumah.

Mataku terbelalak saat ada dua orang yang berdiri di depan rumah kami, aku memarkirkan motor di tempat yang teduh.

”Ada apa ya, Bang?” tanyaku pada dua laki-laki yang menggunakan pakaian serba hitam dan membawa tas kecil.

”Apa benar ini rumah, mbak Mayang?” tanyanya lalu merogoh tas kecil miliknya.

”Ya saya suaminya,” sungguh sangat berat hati mengatakan kalau aku ini suaminya. Kurasa laki-laki manapun tak akan ingin punya istri seperti Mayang. Hanya aku saja yang bodoh.

”Silahkan masuk," tawarku, walau hati terasa ragu karena malu jika mereka melihat rumahku.

”Di sini saja,” mereka duduk di teras yang hanya ada bangku panjang yang terbuat dari bambu.

’Syukurlah,’ batinku.

”Begini, Bang,” laki-laki itu membuka buku kecil membolak-balik baik sebentar, ”Istri Anda terlilit pinjaman keliling dan sudah menunggak satu tahun lebih kurangnya,” lanjutnya.

Aku yang dari tadi menyimak kini kepalaku mendadak pusing. Bagaimana bisa dia berhutang pada bank keliling yang pastinya membuat kepala pusing, jga bunganya yang banyak bisa membuat harta bisa melayang. Heran saja dengan sikapnya yang menganggap sepele segala hal, kadang ada rasa menyesal dalam hati kecil ini. Kenapa dulu aku memaksakan diri menikahinya padahal kakak sepupuku sudah melarangnya karena di mata dia istriku ini terlihat bodoh dan tidak pandai menjaga harta bahkan dandan saja tidak bisa. Kini sudah terbukti ucapan kakak sepupuku itu.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!