Kisah Kasih Dara
"Brukkk,"
Dara melempar tas selempangnya dengan begitu kesal ke atas kasur, dengan deru nafasnya yang memburu,menemani derasnya alira air matanya yang mengalir, membasahi pipi putihnya segera menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Sebelum membenamkan wajah cantiknya ke dalam bantal, tak lagi bisa membendung air matanya yang terus saja berjatuhan, semakin tergugu dan meraung, akibat hancurnya sebuah masa depan.
Dara sama sekali tak pernah menyangka, bagaimana bisa kedua orang tuanya menjodohkannya begitu saja, di jaman modern yang seperti ini, membuatnya tak mau percaya namun seperti inilah kenyataannya.
Kian membuatnya terisak, akibat rasa sesak di hatinya yang semakin menyeruak, berusaha untuk menyeka air matanya cepat, beberapa kali namun sia sia.
"Kenapa tega sekali Ayah sama aku," gumamnya pelan, dengan bibirnya yang bergetar, masih terngkurap menempelkan salah satu pipinya ke atas bantal. "Aku baru saja lulus kuliah, aku juga belum memulai kerja," gumamnya lagi, semakin terisak dan tergugu.
Kembali mengingat salah satu impiannya, untuk secepatnya bekerja agar bisa sedikit saja membahagiakan dan membanggakan kedua orang tuanya, sebagai bentuk kasih sayangnya yang begitu sangat besar dan juga dalam, harus bisa menunjukkan kesuksesannya kepada ayah dan ibunya.
Tapi kenapa sekarang seperti ini? orang tuanya sendiri yang ingin di banggakannya, namun malah merebut impiannya yang telah lama dia tata dan perjuangkan. Dan terlebih lagi, bagaimana dengan Dewa? kekasih yang begitu sangat dicintainya?
Kekasih yang telah menemaninya selama lima tahun ke belakang, kekasih yang selalu ada di setiap langkah dan keluh kesahnya, dalam memperjuangkan masa depan indah yang ingin sekali di raihnya.
Hanya bisa berteriak, memukul mukul bantal dengan begitu kerasnya, demi untuk bisa melampiaskan rasa frustasinya yang begitu mendalam, kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal.
Cklek
Pintu kamar dara yang terbuka, namun tak mengalihkan pandangan si empunya yang sedang emosional, menampilan Bu Selfi yang terdiam, hanya bisa menatap sendu putrinya yang sedang kecewa, "Dara," panggil Bu Selfi, berhasil mengalihkan pandangan putrinya.
Beradu pandang dengan sorot merah mata Dara yang terlihat begitu lara, menyakiti hatinya.
Kembali mengayunkan langkahnya, untuk duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan Dara yang masih terisak, beranjak duduk, menundukkan kepala.
"Ibu minta maaf," lirih Bu Selfi, menahan denyutan di hatinya merasa tak tega melihat kondisi putrinya.
Semakin menggetarkan bibir Dara yang tak mampu bersuara, masih menangis memejamkan matanya dalam.
"Maafkan Ibu dan Ayah Ra, maafkan kami," lanjut Bu Selfi, ikut menitikan air matanya, merengkuh tubuh putrinya yang semakin terisak, membenamkan wajah ke dalam dadanya, semakin menyayat perih hati dan perasannya.
"Bantu aku untuk menghentikan perjodohan ini Bu," pinta Dara, sesaat setelah melepaskan pelukannya, berusaha untuk memohon dan mengiba.
"Hutang budi Ayah sudah terlalu banyak ke Om Subrata Ra,"
"Aku akan membayar hutang budi itu Bu, aku akan bekerja keras untuk bisa membayar hutang budi Ayah," terdengar begitu emosional, menggelengkan pelan kepala Bu Selfi.
"Uang Om Subrata sudah terlalu banyak Ra, Om Subrata sama sekali nggak menginginkan uang dari kita,"
Kembali menggetarkan bibir Dara, mencoba untuk membuka mulutnya namun tak bisa, merasa tak kuasa, hanya membuang pandangan memperderas aliran air matanya.
Flasback
"Dara," Panggil Pak Herman, sedang duduk di atas sofa di ruang tamu, memanggil putrinya yang sedang mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah mendekatinya. "Duduk sini Ra, Ayah mau bicara sama kamu,"
Menganggukkan pelan kepala putrinya yang telah berusia 22 tahun, terlihat begitu lelah baru pulang dari wawancara kerja segera duduk di seberangnya.
Bersamaan dengan datangnya Bu Selfi yang baru keluar dari dalam rumah, sambil membawa dua cangkir teh hangat dan juga sepiring pisang goreng di atas nampan, segera duduk di samping suaminya.
"Ayo di makan Yah, Ra, masih hangat," tawar Bu Selfi, berusaha untuk menyembunyikan degupan di jantungnya, merasa begitu takut dengan reaksi Dara setelah mendengar kalimat suaminya.
"Ibu buat sendiri?" tanya Dara, sembari meraih salah satu pisang goreng yang tersedia, untuk di makannya perlahan menganggukkan pelan kepala Bu Selfi.
"Iya," jawab Bu Selfi.
"Enak," puji Dara, sebelum mengalihkan pandangannya, mendengar suara Pak Herman.
"Bagaimana hubungan kamu sama Dewa?" tanya Pak Herman.
"Baik, nggak ada masalah Yah," jawab Dara, sesaat setelah menelan pisang goreng di mulutnya, menunjuk salah satu gelas teh hangat yang tadi di bawa ibunya. "Boleh aku minum nggak Bu?" tanya Dara.
"Boleh, ayo minum," jawab cepat Bu Selfi, hampir tak mampu menguasai kecemasannya mengangsurkan segelas teh ke depan putrinya.
"Terimakasih," ucap Dara, segera menyesap teh hangatnya perlahan.
"Bisa ayah minta sesuatu ke kamu Ra?" tanya Pak Herman, terlihat begitu hati hati menganggukkan pelan kepala putrinya.
"Minta apa Yah? jangan minta barang mahal dulu ya, aku masih belum kerja Yah, belum ada uang," jawab Dara terkekeh.
Menciptakan seulas senyum tipis di bibir Pak Herman, "Bukan barang,"
"Apa?"
"Bisa kamu menikah?"
Mengernyitkan kening Dara, tak mengerti kemana arah pembicaraan Ayahnya. "Menikah? aku belum bekerja Yah,"
"Kamu kan bisa bekerja setelah menikah,"
"Kenapa tiba tiba begini? nggak ada alasan untuk aku menikah cepat Yah, aku sama Dewa juga masih belum ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat." Jawab Dara, dengan begitu santainya, kembali menyesap teh hangatnya dan tersedak mendengar kalimat Ayahnya.
"Bukan sama Dewa."
"Uhuk uhuk," Dara terbatuk, merasa tersentak dengan jawaban Ayahnya, mengejutkan Ibunya.
"Hati hati Ra," panik Bu Selfi.
"Bukan sama Dewa bagaimana?" tanya Dara, lebih memilih untuk meminta penjelasan, meletakkan cangkirnya di atas meja. "Aku nggak ngerti," lanjutnya, beradu pandang dengan Pak Herman yang tediam, menatapnya dalam.
"Om Subrata ingin melamar kamu untuk anaknya, Erfan," jawab Pak Herman.
Berhasil mengejutkan hati Dara yang tersentak membulatkan mata. "Melamar? aku?" tanya Dara, dengan degupan di jantungnya yang tiba tiba saja bertalu tak karuan.
"Iya," lirih Pak Herman.
Membuang pandangan Dara, yang telah di kuasai oleh rasa tak percayanya yang meninggi, menggelengkan kepalanya pelan.
"Ayah sudah menerima lamaran Om Subrata," lanjut Pak Herman, dengan suaranya yang tercekat, menahan rasa bersalahnya yang mengikat. "Kamu akan Ayah jodohkan dengan Erfan."
"Ayah bercanda kan?" tanya Dara, dengan deru nafasnya yang memburu, tak bisa dan tak akan pernah mau mempercayai kalimat yang baru di dengarnya.
"Ayah nggak bercanda," terdengar lemah, berhasil memancing buliran bening di balik kelopak mata Dara yang telah berair.
"Tolong katakan Ayah sedang bercanda sekarang Bu," sahut Dara, mencoba untuk mencari pembelaan dari Ibunya yang sedari tadi diam, sebelum menitikan air matanya, saat melihat gurat sendu di wajah Ibunya yang seolah menyakinkan, akan keseriusan kalimat Ayahnya yang baru di dengarnya.
Segera membuang pandangannya ke bawah, guna untuk menarik nafasnya panjang, demi untuk bisa menguasai rasa sakit di hatinya yang tak pernah siap menerima kenyataan. "Aku nggak mau putus sama Dewa Yah, aku mencintai Dewa, jadi aku nggak mau menerima perjodohan ini, aku nggak mau menikah sama Mas Erfan," tolak Dara.
Sedikit mengenal Erfan putra dari Pak Subrata yang beberapa kali di lihatnya di rumah, saat lelaki itu mengantarkan Pak Subrata main ke rumahnya untuk sekedar bertemu dan mengobrol bersama dengan Ayahnya.
"Kamu harus mau menikah sama Erfan Ra." Melas Pak Herman, "Ayah mohon sama kamu, Ayah sudah terlalu banyak menanggung hutang budi ke Om Subrata, Ayah hanya harus segera membayarnya untuk meringankan beban di pundak Ayah,"
"Dengan menikahkanku dengan Erfan? begitu maksud Ayah?" sahut Dara, dengan deru nafasnya yang memburu, "Tega sekali Ayah mengorbankanku! mengorbankan kebahagiaan dan masa depanku!" protes keras Dara.
"Jangan seperti itu Ra, setidaknya beri kesempatan untuk Ayah menjelaskannya," sela Bu Selfi meminta.
Membisukan Dara, berusaha untuk mengatur deru nafasnya yang semakin tak beraturan, membuatnya kian emosional.
"Apa kamu ingat dulu saat usaha Ayah bangkrut? saat Ayah hampir nggak bisa membayar uang kuliah kamu dan juga uang sekolah adik kamu, Om Subrata yang sudah membantu kita semua Ra, Om Subrata yang telah menyuntikkan dana untuk usaha Ayah, Om Subrata juga yang telah membantu membayar uang sekolah dan kuliah kalian," kata Pak Herman.
Semakin menyayat perih luka di hati Dara yang kecewa, kembali mengingat kondisi keuangan Ayahnya yang terpuruk beberapa tahun silam.
"Om Subrata juga yang telah membayar biaya rumah sakit Ayah, membayar biaya operasi ayah saat lambung ayah terluka, apa kamu mengingatnya?" lanjut Pak Herman, berusaha untuk menurunkan ego di hati putrinya, ingin putrinya itu mengerti.
"Dan kemarin, Om Subrata ingin melamar kamu untuk anaknya, apa menurutmu, setelah kebaikan Om Subrata selama ini kepada keluarga kita, Ayah bisa menolaknya Ra? Ayah nggak mampu untuk menolaknya Ra,"
Menitikan air mata Dara, yang membisu mengatupkan bibirnya rapat.
"Mungkin Dewa bukan jodohnya kamu Ra," lirih Bu Selfi, semakin memporak porandakan hati Dara, "Dan hari Minggu besok, Om Subrata dan Erfan akan datang kesini untuk melamar kamu, "lanjut Bu Selfi.
Menghancurkan harapan Dara yang sedang mencinta, meluluh lantahkan harapan Dara yang ingin bahagia bersama dengan Dewa. Hanya bisa terdiam, tercekat tanpa suara yang tak mau keluar akibat rasa sakitnya yang semakin menyeruak, hanya bisa memejamkan matanya dalam, memperderas aliran air matanya.
Flashback selesai
_____________________________
Hai readers jangan lupa LIKE, VOTE, KOMEN dan FAVORIT ya, biar authornya lebih semangat Up.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Neni_Queen
laahkoq jd bu rani.. bukannya bu selfi yaa thor😆😆
2022-02-22
0
re
mulai ceritanya
2021-05-15
0
Toshio Inge
liat d fb langsung kemari dan bagus 😎
2021-01-14
0