"Brukkk,"
Dara melempar tas selempangnya dengan begitu kesal ke atas kasur, dengan deru nafasnya yang memburu,menemani derasnya alira air matanya yang mengalir, membasahi pipi putihnya segera menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Sebelum membenamkan wajah cantiknya ke dalam bantal, tak lagi bisa membendung air matanya yang terus saja berjatuhan, semakin tergugu dan meraung, akibat hancurnya sebuah masa depan.
Dara sama sekali tak pernah menyangka, bagaimana bisa kedua orang tuanya menjodohkannya begitu saja, di jaman modern yang seperti ini, membuatnya tak mau percaya namun seperti inilah kenyataannya.
Kian membuatnya terisak, akibat rasa sesak di hatinya yang semakin menyeruak, berusaha untuk menyeka air matanya cepat, beberapa kali namun sia sia.
"Kenapa tega sekali Ayah sama aku," gumamnya pelan, dengan bibirnya yang bergetar, masih terngkurap menempelkan salah satu pipinya ke atas bantal. "Aku baru saja lulus kuliah, aku juga belum memulai kerja," gumamnya lagi, semakin terisak dan tergugu.
Kembali mengingat salah satu impiannya, untuk secepatnya bekerja agar bisa sedikit saja membahagiakan dan membanggakan kedua orang tuanya, sebagai bentuk kasih sayangnya yang begitu sangat besar dan juga dalam, harus bisa menunjukkan kesuksesannya kepada ayah dan ibunya.
Tapi kenapa sekarang seperti ini? orang tuanya sendiri yang ingin di banggakannya, namun malah merebut impiannya yang telah lama dia tata dan perjuangkan. Dan terlebih lagi, bagaimana dengan Dewa? kekasih yang begitu sangat dicintainya?
Kekasih yang telah menemaninya selama lima tahun ke belakang, kekasih yang selalu ada di setiap langkah dan keluh kesahnya, dalam memperjuangkan masa depan indah yang ingin sekali di raihnya.
Hanya bisa berteriak, memukul mukul bantal dengan begitu kerasnya, demi untuk bisa melampiaskan rasa frustasinya yang begitu mendalam, kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal.
Cklek
Pintu kamar dara yang terbuka, namun tak mengalihkan pandangan si empunya yang sedang emosional, menampilan Bu Selfi yang terdiam, hanya bisa menatap sendu putrinya yang sedang kecewa, "Dara," panggil Bu Selfi, berhasil mengalihkan pandangan putrinya.
Beradu pandang dengan sorot merah mata Dara yang terlihat begitu lara, menyakiti hatinya.
Kembali mengayunkan langkahnya, untuk duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan Dara yang masih terisak, beranjak duduk, menundukkan kepala.
"Ibu minta maaf," lirih Bu Selfi, menahan denyutan di hatinya merasa tak tega melihat kondisi putrinya.
Semakin menggetarkan bibir Dara yang tak mampu bersuara, masih menangis memejamkan matanya dalam.
"Maafkan Ibu dan Ayah Ra, maafkan kami," lanjut Bu Selfi, ikut menitikan air matanya, merengkuh tubuh putrinya yang semakin terisak, membenamkan wajah ke dalam dadanya, semakin menyayat perih hati dan perasannya.
"Bantu aku untuk menghentikan perjodohan ini Bu," pinta Dara, sesaat setelah melepaskan pelukannya, berusaha untuk memohon dan mengiba.
"Hutang budi Ayah sudah terlalu banyak ke Om Subrata Ra,"
"Aku akan membayar hutang budi itu Bu, aku akan bekerja keras untuk bisa membayar hutang budi Ayah," terdengar begitu emosional, menggelengkan pelan kepala Bu Selfi.
"Uang Om Subrata sudah terlalu banyak Ra, Om Subrata sama sekali nggak menginginkan uang dari kita,"
Kembali menggetarkan bibir Dara, mencoba untuk membuka mulutnya namun tak bisa, merasa tak kuasa, hanya membuang pandangan memperderas aliran air matanya.
Flasback
"Dara," Panggil Pak Herman, sedang duduk di atas sofa di ruang tamu, memanggil putrinya yang sedang mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah mendekatinya. "Duduk sini Ra, Ayah mau bicara sama kamu,"
Menganggukkan pelan kepala putrinya yang telah berusia 22 tahun, terlihat begitu lelah baru pulang dari wawancara kerja segera duduk di seberangnya.
Bersamaan dengan datangnya Bu Selfi yang baru keluar dari dalam rumah, sambil membawa dua cangkir teh hangat dan juga sepiring pisang goreng di atas nampan, segera duduk di samping suaminya.
"Ayo di makan Yah, Ra, masih hangat," tawar Bu Selfi, berusaha untuk menyembunyikan degupan di jantungnya, merasa begitu takut dengan reaksi Dara setelah mendengar kalimat suaminya.
"Ibu buat sendiri?" tanya Dara, sembari meraih salah satu pisang goreng yang tersedia, untuk di makannya perlahan menganggukkan pelan kepala Bu Selfi.
"Iya," jawab Bu Selfi.
"Enak," puji Dara, sebelum mengalihkan pandangannya, mendengar suara Pak Herman.
"Bagaimana hubungan kamu sama Dewa?" tanya Pak Herman.
"Baik, nggak ada masalah Yah," jawab Dara, sesaat setelah menelan pisang goreng di mulutnya, menunjuk salah satu gelas teh hangat yang tadi di bawa ibunya. "Boleh aku minum nggak Bu?" tanya Dara.
"Boleh, ayo minum," jawab cepat Bu Selfi, hampir tak mampu menguasai kecemasannya mengangsurkan segelas teh ke depan putrinya.
"Terimakasih," ucap Dara, segera menyesap teh hangatnya perlahan.
"Bisa ayah minta sesuatu ke kamu Ra?" tanya Pak Herman, terlihat begitu hati hati menganggukkan pelan kepala putrinya.
"Minta apa Yah? jangan minta barang mahal dulu ya, aku masih belum kerja Yah, belum ada uang," jawab Dara terkekeh.
Menciptakan seulas senyum tipis di bibir Pak Herman, "Bukan barang,"
"Apa?"
"Bisa kamu menikah?"
Mengernyitkan kening Dara, tak mengerti kemana arah pembicaraan Ayahnya. "Menikah? aku belum bekerja Yah,"
"Kamu kan bisa bekerja setelah menikah,"
"Kenapa tiba tiba begini? nggak ada alasan untuk aku menikah cepat Yah, aku sama Dewa juga masih belum ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat." Jawab Dara, dengan begitu santainya, kembali menyesap teh hangatnya dan tersedak mendengar kalimat Ayahnya.
"Bukan sama Dewa."
"Uhuk uhuk," Dara terbatuk, merasa tersentak dengan jawaban Ayahnya, mengejutkan Ibunya.
"Hati hati Ra," panik Bu Selfi.
"Bukan sama Dewa bagaimana?" tanya Dara, lebih memilih untuk meminta penjelasan, meletakkan cangkirnya di atas meja. "Aku nggak ngerti," lanjutnya, beradu pandang dengan Pak Herman yang tediam, menatapnya dalam.
"Om Subrata ingin melamar kamu untuk anaknya, Erfan," jawab Pak Herman.
Berhasil mengejutkan hati Dara yang tersentak membulatkan mata. "Melamar? aku?" tanya Dara, dengan degupan di jantungnya yang tiba tiba saja bertalu tak karuan.
"Iya," lirih Pak Herman.
Membuang pandangan Dara, yang telah di kuasai oleh rasa tak percayanya yang meninggi, menggelengkan kepalanya pelan.
"Ayah sudah menerima lamaran Om Subrata," lanjut Pak Herman, dengan suaranya yang tercekat, menahan rasa bersalahnya yang mengikat. "Kamu akan Ayah jodohkan dengan Erfan."
"Ayah bercanda kan?" tanya Dara, dengan deru nafasnya yang memburu, tak bisa dan tak akan pernah mau mempercayai kalimat yang baru di dengarnya.
"Ayah nggak bercanda," terdengar lemah, berhasil memancing buliran bening di balik kelopak mata Dara yang telah berair.
"Tolong katakan Ayah sedang bercanda sekarang Bu," sahut Dara, mencoba untuk mencari pembelaan dari Ibunya yang sedari tadi diam, sebelum menitikan air matanya, saat melihat gurat sendu di wajah Ibunya yang seolah menyakinkan, akan keseriusan kalimat Ayahnya yang baru di dengarnya.
Segera membuang pandangannya ke bawah, guna untuk menarik nafasnya panjang, demi untuk bisa menguasai rasa sakit di hatinya yang tak pernah siap menerima kenyataan. "Aku nggak mau putus sama Dewa Yah, aku mencintai Dewa, jadi aku nggak mau menerima perjodohan ini, aku nggak mau menikah sama Mas Erfan," tolak Dara.
Sedikit mengenal Erfan putra dari Pak Subrata yang beberapa kali di lihatnya di rumah, saat lelaki itu mengantarkan Pak Subrata main ke rumahnya untuk sekedar bertemu dan mengobrol bersama dengan Ayahnya.
"Kamu harus mau menikah sama Erfan Ra." Melas Pak Herman, "Ayah mohon sama kamu, Ayah sudah terlalu banyak menanggung hutang budi ke Om Subrata, Ayah hanya harus segera membayarnya untuk meringankan beban di pundak Ayah,"
"Dengan menikahkanku dengan Erfan? begitu maksud Ayah?" sahut Dara, dengan deru nafasnya yang memburu, "Tega sekali Ayah mengorbankanku! mengorbankan kebahagiaan dan masa depanku!" protes keras Dara.
"Jangan seperti itu Ra, setidaknya beri kesempatan untuk Ayah menjelaskannya," sela Bu Selfi meminta.
Membisukan Dara, berusaha untuk mengatur deru nafasnya yang semakin tak beraturan, membuatnya kian emosional.
"Apa kamu ingat dulu saat usaha Ayah bangkrut? saat Ayah hampir nggak bisa membayar uang kuliah kamu dan juga uang sekolah adik kamu, Om Subrata yang sudah membantu kita semua Ra, Om Subrata yang telah menyuntikkan dana untuk usaha Ayah, Om Subrata juga yang telah membantu membayar uang sekolah dan kuliah kalian," kata Pak Herman.
Semakin menyayat perih luka di hati Dara yang kecewa, kembali mengingat kondisi keuangan Ayahnya yang terpuruk beberapa tahun silam.
"Om Subrata juga yang telah membayar biaya rumah sakit Ayah, membayar biaya operasi ayah saat lambung ayah terluka, apa kamu mengingatnya?" lanjut Pak Herman, berusaha untuk menurunkan ego di hati putrinya, ingin putrinya itu mengerti.
"Dan kemarin, Om Subrata ingin melamar kamu untuk anaknya, apa menurutmu, setelah kebaikan Om Subrata selama ini kepada keluarga kita, Ayah bisa menolaknya Ra? Ayah nggak mampu untuk menolaknya Ra,"
Menitikan air mata Dara, yang membisu mengatupkan bibirnya rapat.
"Mungkin Dewa bukan jodohnya kamu Ra," lirih Bu Selfi, semakin memporak porandakan hati Dara, "Dan hari Minggu besok, Om Subrata dan Erfan akan datang kesini untuk melamar kamu, "lanjut Bu Selfi.
Menghancurkan harapan Dara yang sedang mencinta, meluluh lantahkan harapan Dara yang ingin bahagia bersama dengan Dewa. Hanya bisa terdiam, tercekat tanpa suara yang tak mau keluar akibat rasa sakitnya yang semakin menyeruak, hanya bisa memejamkan matanya dalam, memperderas aliran air matanya.
Flashback selesai
_____________________________
Hai readers jangan lupa LIKE, VOTE, KOMEN dan FAVORIT ya, biar authornya lebih semangat Up.
Sementara itu di kediaman Pak Subrata, terlihat lelaki tampan, pemilik tubuh tegap sempurna yang sedang menselonjorkan kaki di atas sofa, sambil memangku laptop keluaran terbaru di atas pangkuan, terlihat begitu sibuk dan juga fokus dengan banyaknya rangkaian kata hasil laporan yang dikirimkan pegawainya kepadanya.
Dia adalah Erfan Pratama, putra semata wayang Pak Subrata yang telah menginjak usia 29 tahun, lelaki yang akan di jodohkan dengan Adara, CEO muda yang kini telah memimpin perusahaan Pak Subrata.
Lelaki dingin yang tak banyak bicara, terutama dengan siapapun yang tak dekat dengan dirinya, selalu memasang wajah datarnya cenderung dingin, terlihat angkuh dan juga acuh.
Drrrrrttt drrrrrtttt
Suara ponsel Erfan bergetar, berdering di atas meja di depan sofa yang didudukinya, mengalihkan pandangannya.
"Sarah," gumamnya pelan, sesaat setelah meraih ponselnya, mengalihkan laptopnya di atas meja, membaca nama kekasihnya di dalam layar ponselnya yang menyala.
Model cantik yang telah menjadi wanitanya, penghuni hatinya selama tiga tahun kebelakang.
“Halo Sayang,“ lembut Erfan, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, menerima panggilan dari kekasih yang begitu sangat di cintainya.
"Lagi ngapain?"
"Lagi...," jawab Erfan menggantung, mengulaskan senyum di bibirnya, menyadari kekesalan yang terdengar dari nada suara Sarah yang belum di hubunginya. "Mikirin kamu, apalagi?"
Dan di sambut suara kekehan Sarah yang terdengar merdu menyapa telinganya.
"Pinter sekali kamu bohongnya?"
"Aku nggak bohong Sayang,"
"Sudah berapa lama kamu nggak menghubungiku?"
"Baru juga tadi pagi Sar, kemarin malam kan kita sudah teleponan." sahut Erfan, begitu sangat menyukai sikap manja kekasihnya, mendesirkan hatinya.
"Tapi aku sudah kangen sekali sama kamu," manja Sarah.
"Wah... aku jauh lebih kangen lagi Sayang sama kamu," terus saja menggoda, sebelum saling tertawa melanjutkan obrolan.
Bercerita apapun sama seperti biasanya,
sungguh berhasil mengurai kepenatan di pikiran Erfan akibat pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu kamar Erfan yang terdengar, mengalihkan pandangan si empunya menjeda obrolan.
Sebelum beradu pandang dengan Pak Subrata, yang telah membuka pintu kamarnya yang tak terkunci, mengayunkan langkah mendekatinya.
"Papa ingin bicara sama kamu," kata Pak Subrata, yang telah berdiri di depan putranya.
Menganggukkan pelan kepala Erfan, segera memutus panggilan teleponnya. “Sebentar ya aku tutup dulu,“ ucap Erfan, tanpa menunggu jawab dari Sarah, segera mengakhiri obrolannya mematikan sambungan teleponnya.
“Ada apa?” Tanya Erfan kepada Papanya.
“Untuk hari Minggu besok kosongkan jadwalmu ya,"
Mengerutkan kening Erfan, menatap Papanya yang hendak duduk di atas sofa di sebelahnya. "Untuk? ada acara apa?" tanya Erfan.
"Lamaran,"
"Lamaran?" sahut Erfan cepat, demi untuk meyakinkan dirinya tak salah dengar, menganggukkan mantap kepala Pak Subrata.
"Iya lamaran,"
"Lamarannya siapa?"
"Kamu," dengan begitu entengnya, kian mengentalkan hati putranya yang terperanjat kaget.
"Aku?" tanya Erfan, menunjuk dirinya sendiri.
"Iya kamu, Papa ingin melamar anak Om Herman untuk kamu,"
Mempercepat degup jantung Erfan, sama sekali tak menyangka dan tak bisa percaya dengan kalimat Papanya, lebih menegakkan duduknya yang tiba tiba saja menjadi tak nyaman. "Jangan bercanda Pa, nggak lucu!"
"Papa serius," memasang wajah tak berdosa nya, membulatkan mata putranya.
"Hahaha, Papa jangan membuat aku jantungan deh Pa, sumpah! ini nggak lucu" Erfan yang tak mau percaya tertawa kecut.
“Papa serius Fan, papa ingin kamu menikah dengan Dara anaknya Om Herman," jawab Pak Subrata, berusaha untuk menjelaskan tak ingin di anggap bercanda. "Papa sudah lama memperhatikan Dara, dia gadis yang sangat cantik, sopan dan ceria. Papa suka sekali sama dia Fan, dan Papa, ingin mempunyai menantu seperti dia.“ Lanjut Pak Subrata.
Mengacuhkan tatapan kaget Erfan yang berdiri, memprotesnya keras. "Aku nggak mau Pa," tolak Erfan mentah mentah.
Sama sekali tak ingin menikah dengan gadis lain selain Sarah, di tambah lagi menikah dengan Dara, siapa itu Dara? bahkan dirinya pun tak mengenalnya.
"Aku nggak mau menikah dengan gadis itu Pa, aku nggak kenal siapa dia! kok bisa bisanya Papa ingin melamar dia untuk aku?" sama sekali tak bisa percaya dengan kelakuan Papanya, merasa begitu jauh dari nalar dan logikanya.
“Kamu kenal Dia Fan, Dia anak Om Herman, kamu kan sering nganterin Papa kerumahnya.“
“Tapi aku nggak kenal sama anaknya Om Herman Pa, walaupun aku sering nganterin Papa, tapi tetap saja aku nggak pernah tahu siapa anaknya, bagaimana wajahnya,“ jawab Erfan menekankan.
“Bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu sendiri nggak mau mengenalnya? datang hanya untuk duduk dan melihat ponsel, nggak mau berbicara nggak mau berbincang, dari datang sampai pulang.“ Sahut Pak Subrata tak mau kalah.
“Papa nggak mau tahu ya Fan! pokoknya Papa ingin Dara yang jadi menantu Papa! dan Papa hanya ingin berbesan dengan Herman, kamu anak satu satunya papa, kalau nggak menikah sama kamu mau menikah sama siapa Dara?“
“Ya menikah sama pacarnya lah Pa“ sahut Erfan.
“Oh ya? ya sudah kalau begitu,"
"Ya memang harus begitu Pa,"
"Kalau begitu kamu harus menikah sama Dira adiknya Dara yang masih SMP," dengan begitu entengnya.
Membulatkan mata Erfan yang kembali tertawa paksa, semakin tak percaya.
“Intinya Papa hanya ingin berbesan dengan Herman Fan! dan Minggu besok pukul sembilan pagi, kita berdua akan berangkat melamar Dara. Atau Dira? terserah kamu mau memilih yang mana," Pak Subrata yang bersikukuh, mengatupkan bibir Erfan yang bersiap untuk bersuara.
"Papa keluar," lanjut Pak Subrata, lebih memilih untuk membalikkan badannya, mengayunkan langkahnya keluar kamar Erfan.
Demi untuk menghindari perdebatan, akibat sikap protes yang pasti akan di layangkan putranya.
Tak mengetahui helaan nafas di bibir Erfan, yang terdengar begitu kasar memperhatikan langkah Pak Subrata. Terlihat begitu kesal, merasa keberatan dengan permintaan Papanya yang di anggapnya begitu nggak masuk akal.
_____________________________
Hai readers jangan lupa LIKE, VOTE, KOME dan FAVORIT ya, biar authornya lebih semangat Up.
Hari Minggu dirumah Dara.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, terlihat persiapan acara lamaran sudah selesai, hanya tinggal menunggu orang yang melamar datang.
Diatas meja ruang tamu sudah banyak makanan yang tertata rapi, ada pastel, lemper, kue bolu, sponscake, onde-onde yang masing masing di tata diatas piring kecil.
Bu Selfi juga membuatkan jus jambu merah yang sudah dia taruh didalam teko bening dengan gelas yang tengkurap rapi diatas nampan, sedangkan diatas meja makan sudah ada ayam goreng, lele goreng, mujair goreng beserta sambal dan lalapannya.
Dara pun sudah siap dengan penampilan yang membuatnya sungguh terlihat sangat cantik.
Mengenakan dress lengan panjang selutut warna pink muda dengan potongan yang sangat pas di tubuh langsingnya sungguh membuatnya terlihat sempurna.
Rambut hitam yang panjangnya sepinggang dibiarkan terurai dengan pita kecil model bunga mawar bewarna pink tua senada dengan baju yang dia kenakan, dia pakai diatas telinga kanan.
Sedangkan untuk make up Dara hanya memakai lipstick warna bibir, alis diperjelas sedikit karena memang alisnya sudah tebal. Dara juga memoleskan eye shadow pink dikelopak matanya dan eye liner hitam untuk mempertajam mata indahnya.
Dara duduk lesu di tepi ranjang, menatap kosong kedepan dengan air mata yang sudah tidak bisa lagi keluar karena sudah menangis sepanjang hari sejak percakapan dengan ayahnya.
Drrrt drrrt getar ponsel Dara diatas meja rias memecahkan lamunannya, membuatnya menoleh ke arah sumber suara,
"Dewa," ucap Dara lirih saat melihat nama Dewa yang ada di layar ponselnya, membuat air matanya mengalir mengingat kembali pengkhianatan yang dilakukannya sekarang.
“Halo,“ jawab Dara dengan suara seraknya berusaha menghapus air matanya yang mengalir.
“Kamu kenapa sayang? Kamu nangis?“ tanya Dewa dari dalam ponselnya, membuat air mata Dara Semakin berjatuhan membasahi pipi putihnya yang sudah dia rias.
“Nggak papa Wa..aku hanya kangen sama kamu,“ jawab Dara berbohon dengan suaranya yang semakin parau.
Terdengar tawa Dewa saat mendengar kalimat pacarnya, "Kamu ini lucu, masak kangen aja sampai nangis begitu, sudah ya cup cup cup, aku juga kangen sama kamu, maaf aku belum bisa ketemu sama kamu karena ada banyak pekerjaan diluar kota,“ kata Dewa.
“He’em,“ jawab Dara menganggukkan kepalanya pelan meskipun nggak akan bisa dilihat sama kekasihnya.
“Minggu depan aku pulang, nanti aku langsung kerumah kamu ya?"
“Jangan kerumah Wa, kita bertemu dikafe langganan kita aja," jawab Dara cepat.
Dara nggak ingin timbul masalah dengan kedua orang tuanya karena Dewa main kerumah, karena yang ayah ibunya tahu dia harus putus sama Dewa setelah lamaran ini berlangsung.
“Oke, permintaanmu aku terima,“ kata Dewa tertawa dengan penuh penekan.
“Ya sudah aku tutup dulu ya, masih banyak pekerjaan, kamu jangan telat makan, kalau mau kemana-mana harus hati-hati dan yang paling penting jangan lupa untuk terus mencintai aku,“ lanjutnya.
“Iya... kamu juga ya Wa.“
“Iya, I love you Sayang,” jawab Dewa sebelum memutuskan panggilannya.
Tangisan Dara semakin tergugu, dengan kepala yang menunduk Dara menggenggam erat ponselnya dan mendekapnya ke dalam dadanya yang terasa sesak.
"I love you too Wa, aku juga sangat dan sangat mencintai kamu, maafkan aku Wa maafkan aku," gumam Dara pelan di dalam tangisnya.
Di luar rumah Dara tepat pukul sepuluh pagi, terlihat mobil Erfan memasuki pagar rumah Pak Herman, mobil Pajero hitam itu diparkir di teras sebelah kolam ikan yang dihiasi tanaman bunga mawar yang terlihat sangat indah dan rapi.
Bunga mawar bunga favorit Dara, dari mawar putih, merah, pink, kuning semua ada di pekarangan rumahnya.
Erfan dan Pak Subrata turun dari mobil sebelum berjalan masuk mendekati ayah dan ibu Dara yang sudah menyambut mereka di depan teras rumah
Pak Subrata berpelukan dengan Pak Herman, kemudian bersalaman dengan Bu Selfi, ibu Dara. Erfan pun mencium tangan calon mertuanya sebagai bentuk tanda hormat.
Erfan datang dengan menggunakan kemeja navy lengan pendek dan celana hitam, dipadukan dengan sepatu pantofel hitam mengkilat, dengan tatanan rambut yang sangat rapi hingga menambah aura ketampanannya.
“Ayo silahkan masuk,“ ucap Bu Selfi dengan seulas senyumnya mempersilahkan calon besan dan calon menantunya masuk kedalam rumah.
Pak Subrata dan Erfan segera melangkahkan kaki mereka masuk kedalam rumah, mengikuti langkah Pak Herman yang sudah berjalan didepannya, dan diikuti Bu Selfi yang berjalan dibelakang mereka.
Erfan duduk di sofa panjang sebelah Pak Subrata, sedangkan Pak Herman duduk disofa pendek yang berhadapan dengan Pak Subrata.
“Sebentar ya saya panggilkan Dara dulu,“ pamit Bu Selfi masih berdiri dan segera melangkahkan kakinya menuju kamar Dara.
Dikamar, Dara masih duduk di tepi ranjang, menundukkan kepalanya hingga membuat rambutnya menjuntai ke bawah menutupi bagian samping wajahnya, masih sedikit tergugu dalam tangisannya.
Tok tok tok suara ketukan pintu berhasil mengangkat kepala Dara untuk melihat ke arah suara.
Setelah pintu terbuka, terlihat Bu Selfi dari balik pintu dengan raut wajah yang terkejut saat melihat penampilan anak sulungnya.
Bu Selfi segera melangkahkan kakinya untuk menghampiri Dara, mengambil nafas panjang dan memhembuskannya pelan sebelum mengambil sisir yang ada di meja rias kamar anaknya.
“Ibu sama Ayah minta maaf karena sudah membuat kamu menderita Nak,“ ucap Bu Selfi dengan suara bergetar menahan tangisnya, berusaha membantu Dara merapikan rambut dengan sisir yang dipegangnya.
"Calon suami kamu sudah datang." ucapnya lagi tetap menyisir rambut anaknya.
Dara hanya diam, lidahnya terasa kelu hingga membuat dirinya tak mampu untuk bersuara.
Setelah merapikan rambut Dara dan memasang kembali pita mawar dirambut anaknya, Bu Selfi membelai lembut pipi Dara sebelum mencakup kedua pipi anak sulungnya yang sedang tersakiti perasannya .“Kita bisa membatalkannya sekarang, Ibu akan bicara sama Ayah. Untuk urusan dengan Om Subrata biar nanti Ibu sama Ayah yang menanggungnya.” Lanjut Bu Selfi dengan seulas senyum dibibirnya.
"Jangan Bu," ucap Dara lirih menahan tangan Bu Selfi yang hendak melangkah keluar kamar.
Dara segera berdiri menghadap ibunya, menggelengkan kepalanya pelan menatap wanita yang selalu mengerti perasaannya, “Jangan Bu, aku nggak mau membuat Ayah sama Ibu malu.“
“Lebih baik Ayah sama Ibu malu Nak daripada melihat kamu menderita seperti ini,” jawab lembut Bu Selfi mengusap sisa air mata dipipi anaknya.
“Aku lebih baik menderita Bu, daripada harus membuat Ibu sama Ayah malu,“ ucap Dara parau, air matanya kembali menetes. Dipeluknya Bu Selfi erat-erat berusaha menguraikan perasaan sesak yang ada dihatinya, untuk melegakan hatinya yang terasa berat.
"Terimakasih Nak, kamu anak baik, maafkan keegoisan Ayah sama Ibu." ucap Bu Selfi membalas pelukan Dara.
“Ibu tunggu sebentar ya, aku mau merapikan riasan dulu,“ ucap Dara setelah melepaskan pelukannya
Bu Selfi mengangguk kan kepalanya pelan, tersenyum tipis melihat anak yang sangat dicintainya itu sedang merapikan riasan.
"Maafkan Ibu Ra," ucap Bu Selfi dalam hati membuat hatinya terasa sesak.
“Ayo Bu kita keluar,“ ucap Dara setelah merapikan riasan diwajahnya.
_____________________________
Hai readers jangan lupa LIKE, VOTE, KOMEN dan FAVORIT ya, biar authornya lebih semangat Up.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!