Hasrat Sesaat
Plaaaak!
Entah yang ke berapa kalinya tangan kasar dan kuat itu mendarat di pipi mulus Rengganis. Pipi putih itu lebih sering terlihat membiru dan merah di beberapa sudut.
Menangis?
Rasanya hal itu sudah tidak bisa dilakukan oleh gadis yang memiliki tubuh kecil itu.
Sering terluka membuat dia akhirnya menjadi kebal. Seperti tanah yang kerap dibakar, semakin lama akan semakin kuat.
Rumah gubuk reyot itu terletak di dekat kebun teh. Setiap malam Rengganis akan pergi ke luar, duduk di bangku panjang usang yang ada di belakang rumah.
Remang-remang cahaya bulan yang menyelinap melalui dedaunan, menyapa wajah Rengganis yang mulai membengkak akibat tamparan sang ayah.
Gadis itu memeluk erat kedua lututnya. Menatap jauh ke atas langit hitam yang di kelilingi bintang beberapa biji saja.
Semilir angin yang menusuk tulang sumsum nya tak ia hiraukan.
Dia memejamkan mata erat-erat sambil merasakan bagaimana hangatnya saat dahulu kala. Di tempat yang sama, Rengganis sering menghabiskan waktu bersama ibunya. Entah mengepang rambut atau membersihkan kepala dari kutu.
Kecantikan Rengganis yang kini dia miliki berasal dari ibunya yang juga cantik, putih, dan tinggi. Namun, tubuh Rengganis memiliki kesamaan dengan ayahnya yang bertubuh pendek. Pendek untuk ukuran laki-laki.
Dengan sangat hati-hati, Rengganis memasuki kamarnya. Dia sudah tidak kuat menahan dingin di luar sana. Mengendap-endap seperti maling meski di rumah sendiri. Dia tidak ingin membanggakan ayahnya yang sedang tertidur, jika sampai bangun karena kehadiran yang dibuat olehnya, maka dia akan kembali mendapatkan hukuman.
Dengan alas kasur tipis, juga selimut yang tak kalah tipis, Rengganis meringkuk seperti anak kucing.
Pagi hari dia harus segera bangun pagi untuk menyiapkan air hangat guna mandi sang ayah. Menyiapkan makanan, mandi lalu pergi bekerja.
Gadis itu bekerja di sebuah warung yang cukup besar milik ibu Sari. Setiap pagi warung itu akan ramai oleh penduduk yang ingin membeli sayuran dan lauk pauk. Selain sayuran, warung itu pun menyediakan sembako dan jajanan anak-anak. Warung paling komplit yang ada di desa Sandang Haur.
"Ini Bu, udah. Coba dihitung."
"Kangkung 2000, cabai campur lima ribu, tempe dua jadi enam ribu. Beras 13 ribu. Jadi totalnya 21 ribu."
"Ini uangnya. Sisanya kasbon aja ya, Bu. Nanti kalau anak saya datang dari kota, saya bayar. Tolong tulis beserta yang kemarin-kemarin."
Bu Sari hanya tersenyum pasrah, terlebih karena Bu Eroh adalah orang yang membayar hanya sepertiga dari total belanjaan. Sisanya akan dibayar entah kapan.
"Nis, kamu dipukul bapak kamu lagi?" tanya salah seorang pembeli. Tatapan orang-orang langsung tertuju padanya, pun dengan Bu Sari.
Rengganis hanya mengangguk kecil seraya tersenyum ramah.
"Owalah, harusnya dia dibiarkan saja masuk penjara waktu itu. Kenapa mesti dibiarkan aja sih, Nis?"
"Ya kalau bapaknya Rengganis masuk penjara, gimana toh? Nanti dia hidup sama siapa? Ibunya kabur entah ke mana, masa bapaknya masuk bui juga?"
"Husssst! Pagi-pagi jangan bergunjing. Ayo, siapa lagi yang mau berhitung?" tanya Bu Sari. Para ibu itu kembali ke aktifitas nya memilih sayuran dan lauk yang akan dijadikan teman nasi hari itu.
Rengganis memang anak yang baik dan rajin, sebelum dia kerja di warung, dia masuk ke dapur rumah Bu Sari yang masih menyatu dengan warung. Memasak air untuk menyeduh teh. Mencuci piring bekas Bu Sari makan semalam, lalu menyapu.
Dia sadar, jika pagi hari menghadapi ibu-ibu kampung di sini, dia belum siap. Melayani, berhitung dan ramai dengan kicauan ibu-ibu sungguh membuat Rengganis geleng kepala.
Lagi pula, Rengganis seharusnya memang masuk pukul tujuh siang, dia sengaja datang lebih awal untuk membantu Bu Sari mengerjakan hal lain.
Seiring berjalannya waktu, matahari mulai menampakkan diri. Suara riuh di warung mulai sepi.
"Ini, Bu."
Rengganis membawakan Bu Sari teh hangat dan pisang goreng.
"Tadi ada pisang dua biji, saya goreng aja. Gak apa-apa kan, Bu?
"Gak apa-apa, memang tadinya ibu mau bikin pisang goreng tapi gak sempet terus. Oh, iya. Bapak kamu datang? Katanya kemarin ke kota buat kerja."
"Iya, Bu. Kemarin sore datang."
"Kenapa lagi dia mukul kamu?" tanya Bu Sari setelah menyeruput teh hangat nya.
"Dia minta uang, Bu. Tapi gaji saya yang dari ibu sudah saya belikan ke beras dan kebutuhan rumah lainnya."
"Sampai kapan sih, ya, orang itu akan sadar? Wujudnya manusia tapi kelakuan melebihi binatang."
Rengganis tersenyum mendengar penuturan Bu Sari, dia merasa senang karena hanya Bu Sari yang memang peduli padanya. Dia akan marah melebihi rasa marah Rengganis pada ayahnya.
"Ayo, kita obati dulu luka kamu."
Selalu seperti itu. Laki-laki yang katanya mengalirkan darah di tubuh gadis itu melukainya, dan wanita yang hanya sebatas atasan mengobati luka itu.
"Ibu juga bilang apa, kamu ikut ibu saja ke kota. Kamu mending jadi pembantu di rumah sana aja. Kenapa selalu nolak, sih?"
"Kalau saya pergi, siapa yang akan mengurus ayah saya, Bu?"
Kesal, tapi simpati. Itulah yang dirasakan Bu Sari. Dia merasa takjub pada kepribadian Rengganis. Sebesar apapun luka yang dia terima, dia selalu memaafkan dan tetap berbakti pada laki-laki kurang ajar itu.
"Kadang ibu bertanya, kenapa tuhan tidak melahirkan kamu dari rahim ibu saja."
"Menjadi anak tidak harus lahir dari rahim sendiri, Bu. Toh selama ini ibu sudah memperlakukan saya seperti anak sendiri. Ibu baik dan peduli pada saya. Apa yang kurang?"
Bu Sari membelai pipi Rengganis.
"Saya bongkar barang yang datang kemarin ya, Bu."
Rengganis bangkit dari duduknya setelah selesai diobati oleh Bu Sari. Dia mulai berjalan menuju gudang membongkar belanjaan kemarin untuk dia tata ke etalase dan lemari makanan.
Saat siang hari, warung Bu Sari tidak seramai saat pagi hari. Bu Sari pergi memasak dan melakukan pekerjaan lainnya di dalam rumah. Sementara Rengganis menjaga warung. Dia ditemani oleh Amel, sepupu Bu Sari yang menjadi keuangan di warung itu.
"Nis, kamu gak cape dipukul terus? Aku liatnya aja udah ngerasain sakit. Kamu mending ikut kerja di kota aja sama uwa atuh."
Rengganis menarik nafas dalam-dalam.
"Rumah di sana lebih bagus tau. Ada dua pembantu juga yang kerja, jadi kamu gak akan sendirian."
"Kalau udah ada dua orang, kenapa aku harus kerja di sana juga?"
"Itu karena uwa peduli sama kamu. Uwa tidak ingin melihat kamu terus-terusan dipukul ayah kamu. Nah, kurang peduli apa coba uwa sama kamu 'kan?"
"Aku tahu, tapi tetap saja aku tidak bisa meninggalkan ayah sendiri. Siapa yang akan ngasih dia makan? Nyuci baju dan lainnya?"
"Hewan aja bisa nyari makan sendiri, masa ayah kamu enggak?"
Rengganis lagi-lagi menarik nafas dalam, katanya lurus ke depan warung, menatap jalanan aspal yang sudah mulai rusak. Tentu saja bukan jalan yang sedang dia pikirkan.
"Mungkin kamu akan disuruh ngurus anak uwa di sana."
"Hmmm?" tanya Rengganis yang sedang melamun. Dia benar-benar tidak mendengar ucapan Amel.
Amel beranjak dan pergi ke dalam rumah untuk mengambil makan. Rengganis kembali menatap jalanan yang berlubang di sana sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Zahra Putri Mandala
Mampir thor,semangat awal cerita udh bkin sedih aj ne,🤗🤗
2023-10-31
1
Uthie
Bagus ceritanya 👍👍👍👍👍👍
2023-10-29
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
mampir kak thor 😍
2023-09-21
1