Sepanjang perjalanan, Rengganis tak hentinya berdecak kagum. Dia yang selama ini tinggal di kampung yang dikelilingi kebun, begitu terpesona pada keindahan kota dengan gedung-gedung pencakar langitnya.
"Itu di atas ada orangnya, Bu? Mereka naik apa ke sana?" tanya Rengganis sambil menunjuk gedung yang paling tinggi yang dia lihat.
Bu Sari tertawa.
"Mereka naik lift."
"lip? Apa itu lip?"
Bu Sari menggelengkan kepala sambil tersenyum. Rengganis kembali melihat-lihat tanpa memperdulikan jawaban dari Bu Sari.
"Bu, Bu. Itu ada jalan di atas kita. Apa gak akan roboh ya?"
"Bu, itu lihat ada itu mobilnya naik mobil. Mana banyak banget mobil di atasnya."
"1, 2, 3 .... 12, 13...." Rengganis menghitung jumlah lantai pada gedung apartemen.
"Itu ban mobilnya ada beberapa ya, kok banyak banget. Waaaah, mana panjang itu mobilnya."
"Itu apa namanya, Bu? Kok panjang banget."
Bu Sari mencoba melihat ke arah di mana telunjuk Rengganis mengarah.
"Itu kereta."
"Oh, itu kereta? Pernah denger tapi baru tau bentuknya seperti itu. He he he."
"Kamu gak lelah, Nis? Istirahatlah, sepanjang jalan kamu ngoceh terus."
"Enggak, ah, Bu. Kapan lagi saya bisa jalan-jalan begini. Sayang banget kalau sampai saa tidur dan tidak melihat apa-apa."
"Kamu kan akan tinggal di kota, pasti kamu akan terbiasa dengan semua ini. Mungkin juga kamu akan merasa jenuh dan suntuk dengan semua pemandangan ini. Saya aja lebih betah di desa kok."
"Kok malah betah di desa. Di kita kan gak ada apa-apa. Di sini banyak sekali hal-hal aneh."
"Nanti kamu minta Anggara berkeliling, biar kamu puas melihat semuanya."
Membayangkan dia akan pergi dengan Anggara berkeliling kota, Rengganis tersipu malu sendiri.
Bu Sari hanya tersenyum simpul melihat sikap Rengganis.
Dasar gadis polos, hanya dengan pandangan pertama saja dia langsung jatuh cinta pada Anggara. Batin Bu sari.
"Kita sudah sampai."
Rengganis terperangah melihat gerbang rumah yang sangat tinggi. Lalu mata dia semakin terbuka lebar tat kala mobil memasuki halaman rumah.
"ini rumah ibu?" tanyanya terbata-bata.
"Rumah kita. Kamu juga akan menjadi pemilik rumah ini nantinya."
Bu Sari membuka pintu, dia mulai turun. Sementara Rengganis masih melongo tanpa berkutik.
"Ayo turun." Bu Sari membukakan pintu dan menarik pelan tangan Rengganis. Jalan Rengganis terpatah-patah karena dia sesekali mogok dan terpaksa dihentak oleh Bu Sari agar maju.
"Pintunya setinggi rumah aku," bisik Rengganis namun cukup bisa didengar oleh Bu Sari.
Rengganis mematung saat berada di dalamnya. Dia membeku karena saking tidak percayanya dengan apa yang dia lihat.
"Rengganis, ayo."
Dia mulai berjalan perlahan menghampiri Bu Sari dengan mata yang tidak berkedip sedikitpun.
"Duduk, Nis." Bu Sari mempersilakan Rengganis untuk duduk. Rengganis masih sibuk dengan kekagumannya pada rumah Bu Sari. Dia sama sekali tidak menyangka jika Bu Sari pemilik toko tempat dia bekerja memiliki rumah yang lebih tepat dibilang istana bagi Rengganis.
Tidak lama kemudian pelayan datang membawakan minuman dan kue sesuai perintah majikannya.
"Nis."
"Ya?" Rengganis akhirnya sadar saat Bu Sari memanggilnya dengan nada sedikit keras.
"Minum."
Rengganis melihat minuman yang ada di atas meja. Lalu dia mengambil gelas itu lalu mulai minum perlahan.
"Kursinya jauh-jauh banget ya, Bu."
Bu Sari tersenyum.
"Rumah sebesar ini bisa ditempati satu RT kali ya, Bu. Luas banget. Ibu di sini tinggal bertiga sama mas Anggara dan mba Amara? Sering papasan gak Bu? Gak nyasar kalau mau ke ruangan ... apa misalnya?"
Bu Sari tertawa terbahak-bahak.
"Butuh berapa lama saya hafal semua ruangan di sini?" bisiknya.
"Nanti kalau sudah terbiasa sih akan terasa sempit, Nis."
"Bisa begitu, Bu? Padahal rumah ini sangat besar, mana bisa terasa sempit. Dipakai lapangan bola aja biasa ini sih."
"Mau liat kamar kamu gak?"
"Kamar saya?"
"Iya, masa kamu tidur di ruang tamu."
"Iya, Bu." Rengganis bangun dari duduknya, dia berjalan mengikuti Bu Sari.
Dari ruang tamu menuju kamar Rengganis, mereka harus melewati lorong yang tidak terlalu panjang. Di tembok-tembok itu terpajang berbagai lukisan yang indah, yang diselingi foto-foto pemilik rumah tersebut. Rengganis tersenyum saat melihat foto Anggara menggantung di tembok.
Ada juga lemari-lemari kecil khusus hiasan. Di dalamnya terdapat beberapa guci cantik dan beberapa perabotan kristal yang sangat mengkilap.
"Ini kamar kamu. Kecil, sih, tapi hanya semenit. Jika sudah menikah dengan Anggara, maka kamu akan tinggal di kamarnya di atas."
Rengganis bahkan tidak terlalu mendengar apa yang menjadi dikatakan Bu Sari. Pikiran dan matanya fokus pada kamar yang kini menjadi tempat tinggalnya.
"Kamu suka, Nis?"
"Suka banget, Bu. Ini bagus banget."
"Oke, saya tinggal ya. Kamu istirahat dulu nanti pelayan akan panggil kamu pas kita makan. Nunggu Anggara pulang kerja dulu."
Rengganis yang awalnya masih fokus pada keindahan rumah dan kamarnya, langsung sadar setelah Bu Sari menyebut nama Anggara. Dia tersenyum penuh kebahagiaan pada Bu Sari sambil mengangguk malu-malu.
Bu Sari menggelengkan kepala kecil melihat tingkah Rengganis. Lalu dia menutup pintu dan meninggalkan gadis itu di kamarnya.
Saat sedang berjalan, Bu Sari mengangkat ponselnya, menekan nama seseorang dari kontaknya untuk dia telepon.
"Pesanan saya sudah ready? Tolong segera bawa ke rumah ya."
Singkat dan padat. Lalu dia menutup pembicaraan itu dan kembali menelpon seseorang.
"Halo, kamu di mana Anggara? Ibu sudah di rumah."
"Rumah?" tanya Anggara yang terkejut mendengar ucapan ibunya. Dia yang semula sedang duduk seketika berdiri.
"Maksudnya ibu di kota? Kenapa gak bilang-bilang kalau mau ke sini?"
"Ini juga dadakan. Kamu pulang cepet ya. Kita makan bareng di rumah."
"Aku ada meeting, Bu. Mungkin pulang nanti malam."
"Ibu dan Rengganis tidak akan makan jika kamu belum sampai rumah."
"Rengganis?"
"Ibu tutup ya telponnya. Ibu mau masak dulu. Di tunggu di rumah, kabarin juga Amara."
Tut Tut Tut.
Anggara membuang nafas berat. Seperti ada beban yang tidak bisa dia keluarkan.
"Ada apa? Kenapa habis menerima telpon Lo kayak yang depresi gitu?"
"Nyokap."
"Nyokap? Ya terus kenapa Lo stress habis menerima telpon dari nyokap?"
"Dia bawa Rengganis juga ke sini. Mereka ada di rumah gue sekarang."
"Rengganis? Sodara Lo?"
"Calon istri."
"What?" Alexander yang mendengar ucapan sahabatnya itu sangat terkejut.
"Sorry gue baru cerita sekarang. Nyokap jodohin gue sama Rengganis. Dia gadis desa yang selama ini nemenin dan kerja di toko nyokap di kampung."
"Lo terima gitu aja?"
"Dengan posisi gue, apa bisa gue nolak? Lo sendiri tau siapa gue kan? Masih beruntung gue diterima juga."
"Ngerti, tapi masalahnya ...."
"Santikan kan yang Lo pikirin?"
Alexander mengangguk pelan.
"Gue akan bicara sama dia. Semoga dia bisa ngerti," ucap Anggara sambil menyemburkan asap dari rokok yang dia isap.
Di pandangnya langit dari balik tirai kantor. Memikirkan hal-hal yang membuat dia terasa sulit untuk bernafas sekalipun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments