Plaaaak!
Entah yang ke berapa kalinya tangan kasar dan kuat itu mendarat di pipi mulus Rengganis. Pipi putih itu lebih sering terlihat membiru dan merah di beberapa sudut.
Menangis?
Rasanya hal itu sudah tidak bisa dilakukan oleh gadis yang memiliki tubuh kecil itu.
Sering terluka membuat dia akhirnya menjadi kebal. Seperti tanah yang kerap dibakar, semakin lama akan semakin kuat.
Rumah gubuk reyot itu terletak di dekat kebun teh. Setiap malam Rengganis akan pergi ke luar, duduk di bangku panjang usang yang ada di belakang rumah.
Remang-remang cahaya bulan yang menyelinap melalui dedaunan, menyapa wajah Rengganis yang mulai membengkak akibat tamparan sang ayah.
Gadis itu memeluk erat kedua lututnya. Menatap jauh ke atas langit hitam yang di kelilingi bintang beberapa biji saja.
Semilir angin yang menusuk tulang sumsum nya tak ia hiraukan.
Dia memejamkan mata erat-erat sambil merasakan bagaimana hangatnya saat dahulu kala. Di tempat yang sama, Rengganis sering menghabiskan waktu bersama ibunya. Entah mengepang rambut atau membersihkan kepala dari kutu.
Kecantikan Rengganis yang kini dia miliki berasal dari ibunya yang juga cantik, putih, dan tinggi. Namun, tubuh Rengganis memiliki kesamaan dengan ayahnya yang bertubuh pendek. Pendek untuk ukuran laki-laki.
Dengan sangat hati-hati, Rengganis memasuki kamarnya. Dia sudah tidak kuat menahan dingin di luar sana. Mengendap-endap seperti maling meski di rumah sendiri. Dia tidak ingin membanggakan ayahnya yang sedang tertidur, jika sampai bangun karena kehadiran yang dibuat olehnya, maka dia akan kembali mendapatkan hukuman.
Dengan alas kasur tipis, juga selimut yang tak kalah tipis, Rengganis meringkuk seperti anak kucing.
Pagi hari dia harus segera bangun pagi untuk menyiapkan air hangat guna mandi sang ayah. Menyiapkan makanan, mandi lalu pergi bekerja.
Gadis itu bekerja di sebuah warung yang cukup besar milik ibu Sari. Setiap pagi warung itu akan ramai oleh penduduk yang ingin membeli sayuran dan lauk pauk. Selain sayuran, warung itu pun menyediakan sembako dan jajanan anak-anak. Warung paling komplit yang ada di desa Sandang Haur.
"Ini Bu, udah. Coba dihitung."
"Kangkung 2000, cabai campur lima ribu, tempe dua jadi enam ribu. Beras 13 ribu. Jadi totalnya 21 ribu."
"Ini uangnya. Sisanya kasbon aja ya, Bu. Nanti kalau anak saya datang dari kota, saya bayar. Tolong tulis beserta yang kemarin-kemarin."
Bu Sari hanya tersenyum pasrah, terlebih karena Bu Eroh adalah orang yang membayar hanya sepertiga dari total belanjaan. Sisanya akan dibayar entah kapan.
"Nis, kamu dipukul bapak kamu lagi?" tanya salah seorang pembeli. Tatapan orang-orang langsung tertuju padanya, pun dengan Bu Sari.
Rengganis hanya mengangguk kecil seraya tersenyum ramah.
"Owalah, harusnya dia dibiarkan saja masuk penjara waktu itu. Kenapa mesti dibiarkan aja sih, Nis?"
"Ya kalau bapaknya Rengganis masuk penjara, gimana toh? Nanti dia hidup sama siapa? Ibunya kabur entah ke mana, masa bapaknya masuk bui juga?"
"Husssst! Pagi-pagi jangan bergunjing. Ayo, siapa lagi yang mau berhitung?" tanya Bu Sari. Para ibu itu kembali ke aktifitas nya memilih sayuran dan lauk yang akan dijadikan teman nasi hari itu.
Rengganis memang anak yang baik dan rajin, sebelum dia kerja di warung, dia masuk ke dapur rumah Bu Sari yang masih menyatu dengan warung. Memasak air untuk menyeduh teh. Mencuci piring bekas Bu Sari makan semalam, lalu menyapu.
Dia sadar, jika pagi hari menghadapi ibu-ibu kampung di sini, dia belum siap. Melayani, berhitung dan ramai dengan kicauan ibu-ibu sungguh membuat Rengganis geleng kepala.
Lagi pula, Rengganis seharusnya memang masuk pukul tujuh siang, dia sengaja datang lebih awal untuk membantu Bu Sari mengerjakan hal lain.
Seiring berjalannya waktu, matahari mulai menampakkan diri. Suara riuh di warung mulai sepi.
"Ini, Bu."
Rengganis membawakan Bu Sari teh hangat dan pisang goreng.
"Tadi ada pisang dua biji, saya goreng aja. Gak apa-apa kan, Bu?
"Gak apa-apa, memang tadinya ibu mau bikin pisang goreng tapi gak sempet terus. Oh, iya. Bapak kamu datang? Katanya kemarin ke kota buat kerja."
"Iya, Bu. Kemarin sore datang."
"Kenapa lagi dia mukul kamu?" tanya Bu Sari setelah menyeruput teh hangat nya.
"Dia minta uang, Bu. Tapi gaji saya yang dari ibu sudah saya belikan ke beras dan kebutuhan rumah lainnya."
"Sampai kapan sih, ya, orang itu akan sadar? Wujudnya manusia tapi kelakuan melebihi binatang."
Rengganis tersenyum mendengar penuturan Bu Sari, dia merasa senang karena hanya Bu Sari yang memang peduli padanya. Dia akan marah melebihi rasa marah Rengganis pada ayahnya.
"Ayo, kita obati dulu luka kamu."
Selalu seperti itu. Laki-laki yang katanya mengalirkan darah di tubuh gadis itu melukainya, dan wanita yang hanya sebatas atasan mengobati luka itu.
"Ibu juga bilang apa, kamu ikut ibu saja ke kota. Kamu mending jadi pembantu di rumah sana aja. Kenapa selalu nolak, sih?"
"Kalau saya pergi, siapa yang akan mengurus ayah saya, Bu?"
Kesal, tapi simpati. Itulah yang dirasakan Bu Sari. Dia merasa takjub pada kepribadian Rengganis. Sebesar apapun luka yang dia terima, dia selalu memaafkan dan tetap berbakti pada laki-laki kurang ajar itu.
"Kadang ibu bertanya, kenapa tuhan tidak melahirkan kamu dari rahim ibu saja."
"Menjadi anak tidak harus lahir dari rahim sendiri, Bu. Toh selama ini ibu sudah memperlakukan saya seperti anak sendiri. Ibu baik dan peduli pada saya. Apa yang kurang?"
Bu Sari membelai pipi Rengganis.
"Saya bongkar barang yang datang kemarin ya, Bu."
Rengganis bangkit dari duduknya setelah selesai diobati oleh Bu Sari. Dia mulai berjalan menuju gudang membongkar belanjaan kemarin untuk dia tata ke etalase dan lemari makanan.
Saat siang hari, warung Bu Sari tidak seramai saat pagi hari. Bu Sari pergi memasak dan melakukan pekerjaan lainnya di dalam rumah. Sementara Rengganis menjaga warung. Dia ditemani oleh Amel, sepupu Bu Sari yang menjadi keuangan di warung itu.
"Nis, kamu gak cape dipukul terus? Aku liatnya aja udah ngerasain sakit. Kamu mending ikut kerja di kota aja sama uwa atuh."
Rengganis menarik nafas dalam-dalam.
"Rumah di sana lebih bagus tau. Ada dua pembantu juga yang kerja, jadi kamu gak akan sendirian."
"Kalau udah ada dua orang, kenapa aku harus kerja di sana juga?"
"Itu karena uwa peduli sama kamu. Uwa tidak ingin melihat kamu terus-terusan dipukul ayah kamu. Nah, kurang peduli apa coba uwa sama kamu 'kan?"
"Aku tahu, tapi tetap saja aku tidak bisa meninggalkan ayah sendiri. Siapa yang akan ngasih dia makan? Nyuci baju dan lainnya?"
"Hewan aja bisa nyari makan sendiri, masa ayah kamu enggak?"
Rengganis lagi-lagi menarik nafas dalam, katanya lurus ke depan warung, menatap jalanan aspal yang sudah mulai rusak. Tentu saja bukan jalan yang sedang dia pikirkan.
"Mungkin kamu akan disuruh ngurus anak uwa di sana."
"Hmmm?" tanya Rengganis yang sedang melamun. Dia benar-benar tidak mendengar ucapan Amel.
Amel beranjak dan pergi ke dalam rumah untuk mengambil makan. Rengganis kembali menatap jalanan yang berlubang di sana sini.
"Aku belum gajian, ayah. Gajiannya kan sebulan sekali."
"Kalau gitu, kamu minta pinjeman lah sama bos kamu itu!"
Rengganis kesusahan melepaskan cengkraman ayahnya yang menarik kerah baju hingga Rengganis merasa tercekik.
"Lepas, ayah. Sakit."
Bugh!
Kepala Rengganis terasa sakit. Untuk sesaat dia kehilangan kesadarannya. Rengganis mencoba menggelengkan kepala berusaha agar tetap sadar.
"Dasar anak haram! Sama saja seperti ibu kamu yang tidak punya harga diri. Anak pembawa sial!"
Laki-laki itu berteriak sambil menendang perut Rengganis yang sedang terkapar. Sesak, Rengganis mencoba melindungi perutnya. Namun, kali ini pria gila itu menendang punggung dan apa saja di bagian tubuh Rengganis.
Ingin berteriak minta tolong, tapi dia tidak punya tenaga.
"Sialan! Anak lacur ini, apa kamu benar-benar tidak punya uang sama sekali, hah!?"
Bahkan untuk menggelengkan kepala saja, Rengganis tidak memiliki tenaga. Dia hanya diam menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Tolooong.
Rengganis hanya menjerit dalam hati, berharap ada seseorang yang akan membantunya.
Rengganis memejamkan mata. Rasa sakit itu sudah tidak dia rasakan lagi.
"Hey, apa kamu sudah mati? Woiiii, anak haram!"
Rengganis tetap diam setelah pria yang memiliki gelar ayah itu menendang kepalanya hingga terbentur tembok usang rumahnya.
"Yang benar saja. Kalau kamu mati, siapa yang akan memberi aku uang? Hey, anak sialan!"
Sekali lagi tubuh Rengganis ditendangnya.
"Aaah, go*lok!"
Pria itu berlari setelah sadar jika Rengganis benar-benar tidak bergerak. Dia berlari tanpa melihat kanan dan kiri, rasa takut karena melihat Rengganis terdiam membuat pria itu lari agar terhindar dari tuntutan dan amukan warga.
"Pak Sutara kenapa lari gitu? Kayak dikejar setan aja," ucap salah satu warga yang sedang duduk di pos kamling.
"Masa iya dia takut sama setan, kan dia setannya," timpal yang lain. Mereka tertawa.
"Ada ya bapak kayak dia yang tega menyiksa anak sendiri. Padahal anaknya cantik banget loh kayak ibunya."
"Iya cantik, makanya dia selingkuh dan melahirkan anak. Si Sutara itu kan mandul katanya."
"Baru katanya kan? Jangan suka suuzdon sama orang."
"Jangan-jangan ...."
Mereka bertiga terdiam. Tanpa basa-basi mereka segera berlari ke rumah Rengganis. Betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh wanita kurus itu terkapar tanpa daya.
"Ayo, kita bawa ke desa. Di sana ada ambulan desa kan?"
"Ke rumah Pak Abdul dulu lah, dia kan yang punya kuncinya.
Satu orang berlari untuk menemui supir ambulan desa.
"Saya ke rumah Bu Sari dulu."
Tidak ada yang tidak tahu bagaimana hubungan Rengganis dan Bu Sari yang sudah seperti ibu dan anak.
"Kasian banget sih kamu, Nis? Sesakit apa kamu diperlukan sampai begini."
Miris dan sedih melihat tubuh Rengganis yang terkapar dengan darah di beberapa bagian tubuh terutama di bagian kepala, hidung, dan bibir karena sobek.
"Untung masih bernafas, Nak."
"Rengganis!" Bu Sari datang dengan nafas ngos-ngosan. Tangannya bergetar melihat kondisi Rengganis.
"Nak, bangun. Kamu kenapa jadi begini sih." Air mata Bu Sari mulai menetes. Dia segera merangkul tubuh Sari dari pangkuan bapak-bapak tadi.
Tidak lama kemudian ambulan datang. Rengganis segera dibopong menuju mobil.
Sepanjang jalan, tangan Bu Sari tidak pernah lepas menggenggam jemari Rengganis. Dia menangis sambil berdoa agar Rengganis baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, pihak medis segera memindahkan Rengganis. Mereka membawanya ke dalam untuk mendapatkan penanganan secepatnya.
"Pak, tolong hubungi kepala desa. Saya mau kasus ini diurus sama pihak kepolisian."
"Bener, Bu. Tadi kita liat Sutara berlari, kami kira kenapa. Kalau tau dia lari karena habis mukul anakannya, mungkin kami tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja."
"Iya, Pak. Gak apa-apa. Sebaiknya kita segera laporkan masalah ini ke kepala desa. Saya ingin pria bejad itu masuk penjara."
"Baik, Bu. Kalau begitu kami permisi dulu."
"Terimakasih banyak, ya, Pak."
Setelah ketiga orang dan sopir ambulan itu pergi. Bu Sari kembali masuk ke dalam untuk menemani Rengganis.
Rengganis hanya pingsan karena terbentur. Syukur dia tidak mengalami luka serius selain lebam dan bibir yang sobek.
"Kita tunggu sampai besok ya, Bu. Semoga besok dia sudah bisa sadar. Ya, syukur-syukur malam ini dia sudah bisa bangun."
"Terimakasih, dokter."
"Setelah administrasi selesai, nanti pasien bisa segera pindah ke ruang perawatan."
"Masukan anak saya ke ruang VIP, dok. Administrasinya nanti menyusul."
Dokter itu menganggukkan kepala.
Bu Sari tidak ingin mempersulit semuanya, dia sengaja memilih perawatan VIP agar mendapatkan kemudahan dalam fasilitas dan pelayanan.
Ponsel Bu Sari berbunyi.
"Halo Amara. Kenapa, Nak?"
"Bu, aku di rumah. Ibu di mana?"
"Di rumah?"
"Iya, aku dan kakak pulang. Kami kemalaman karena habis ngerjain sesuatu dulu. Ibu di mana? Rumah juga dikunci."
"Ibu di rumah sakit, Nak."
"Rumah sakit? Ibu sakit? Ibu sakit apa? Kenapa gak bilang kalau ibu sakit?" Amara anak ke dua Bu Sari begitu terkejut mendengar ibunya ada di rumah sakit.
"Bukan, Nak. Ibu ...."
Amara tidak mendengarkan ucapan ibunya di telepon karena dia teralihkan oleh pertanyaan kakaknya.
"Ibu di mana?"
"Di rumah sakit, Kak."
"Ayo kita ke sana."
"Ke mana? Kita gak tau ibu dirawat di mana?"
"Rumah sakit terdekat. Ayo kita ke sana."
"Ini kali pertama kakak ke kampung, ibu malah di rumah sakit," gerutu Amara.
Bu Sari memang bukan penduduk asli desa. Dia pendatang baru yang baru tinggal 12 tahun lamanya. Hanya Amara yang pernah mengunjunginya, itupun tidak sering masih bisa dihitung dengan jari tangan.
Jika mereka rindu satu sama lain, maka Bu Sari lah yang akan mengunjungi anaknya ke kota.
Bu Sari yang depresi karena ditinggal meninggal oleh suaminya, memutuskan untuk hidup di kampung.
"Coba telpon ibu ada di kamar mana."
Amara segera menelpon ibunya untuk menanyakan keberadaannya saat ini.
"Ada di ruang VIP 2, Kak."
Mereka berdua segera pergi menuju kamar ibunya. Perasaanku khawatir masih menyelimuti hati keduanya karena mengira ibu mereka lah yang sedang dirawat.
Amara buru-buru membuka pintu.
"Ibu, ibu baik- ...." Langkah Amara terhenti saat melihat ibunya sedang berdiri di samping tempat tidur. Di sana tubuh Rengganis tertidur.
"Loh, Bu. Ibu kenapa gak bilang sih kalau bukan ibu yang sakit. Aku hampir kehilangan jantung tau." Amara menangis lega karena ternyata bukan ibunya yang sakit.
"Ibu bilang kok, kamu aja yang malah matiin ponsel."
Amara merajuk, dia kembali memeluk ibunya dengan erat.
"Bu ...."
"Anggara."
Mereka saling berpelukan. Anak laki-laki kebanggaannya yang sangat dia cintai.
"Maaf, ya. Kamu pertama kali ke rumah ibu tapi ibu malah di sini."
"Setidaknya bukan ibu yang berbaring di sana." Anggara menatap Rengganis yang terbaring lemah. Bu Sari tersenyum.
"Ini siapa, Bu?" tanya Amara. Bu Sari menarik tangan Anggara untuk mendekat ke tempat tidur itu. Mereka berdiri di samping sambil menatapi Rengganis.
"Dia calon kakak ipar kamu, Ra."
Kopi berwarna hitam pekat itu terus berputar seiring dengan gerakan sendok yang ada di tangan Anggara.
"Aduk aja terus, sampe itu kopi vertigo."
Anggara tersenyum tipis mendengar celetukan adiknya.
"Tolak aja sih kalau gak mau. Ibu gak akan maksa kok."
Anggara menghela nafas dalam.
"Mau pesan apa, Mba?" tanya pelayan cafe yang ada di rumah sakit.
"Es cappucino aja, mas."
"Baik, ditunggu ya."
"Iya, Mas. Saya mau nunggu asal mas jangan ingkar janji, ya. Mas pergi untuk kembali kan?"
Pelayan caffe itu terdiam sejenak berusaha mencerna apa yang dikatakan Amara.
"Abaikan dia, Mas. Dia ke sini habis Konsul ke psikiater."
Amara menyenggol kakaknya. Pelayan itu pergi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ibu pulang?"
"Iya, katanya kakak yang jaga perempuan itu di sini? Mau aku temani gak?"
"Gak usah. Kamu pasti cape kan? Baru pulang dari luar negeri langsung ke sini. Lebih baik istirahat aja."
"Yakin?"
"Enggak."
"Laaah."
"Setidaknya kalau aku kenapa-kenapa, ada kamu yang bisa jagain. Makanya kamu harus cukup istirahat biar sehat."
Tanpa basa-basi, Amara langsung pergi bahkan sebelum es pesanannya datang. Dia tidak suka jika Anggara sudah mengatakan hal-hal yang membuat hatinya sedih.
"Loh, mba nya ke mana?" tanya pelayan yang membawa pesanan Amara.
"Pergi. Es nya simpen aja. Nanti saya yang bayar."
"Oh, iya. Baik, Pak."
Pak? Emang terlihat tua banget ya sampe aku dipanggil pak sementara Amara dipanggil mba. Keluh Anggara dalam hati.
Dua gelas kopi di atas meja itu masih sama-sama utuh karena ditinggal pemiliknya. Setelah dirasa cukup tenang, Anggara memilih pergi dan kembali ke kamar Rengganis.
Dadanya terasa sesak meski ruangan itu sangat luas dan lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Dia melonggarkan dasi, melepas jas, lalu duduk di atas sofa sambil menatap Rengganis yang masih belum sadarkan diri.
Ponselnya kembali berdering untuk ke sekian kalinya. Sebanyak itu pula Anggara mengabaikannya.
Hari semakin larut, mata Anggara mulai terasa perih. Lambat-laun matanya terpejam dengan posisi duduk dan kedua tangan ada di dada.
Sekejap pria itu kehilangan kesadarannya karena tertidur, hingga dia dipaksa kembalikan terjaga setelah mendengar erangan kecil. Dengan mata setengah terpejam, Anggara melihat sekeliling.
Rengganis sedang berusaha bangun.
"Ada apa?" tanya Anggara yang secepat kilat langsung menghampiri Rengganis.
Rengganis menatap antara heran, takut dan ... Kagum. Kagum pada ketampanan Anggara.
"Kamu siapa?" tanyanya terbata.
"Anggara. Aku anaknya Bu Sari."
Rengganis mengangguk pelan.
"Ada apa? Kamu butuh sesuatu?"
"Haus."
Anggara dengan sigap langsung mengambilkan air yang ada di meja kecil. Dia membantu Rengganis minum dengan perlahan.
"Terimakasih."
Anggara mengangguk pelan.
"Saya mau kembali tidur, Mas. Mas juga tidur aja."
"Kalau ada apa-apa, bangunkan saya saja. Jangan sungkan."
Rengganis tersenyum kecil. Dia merasa perih di bagian bibirnya hingga tidak bisa tersenyum lebar.
Wangi banget. Hati Rengganis berbisik.
Setelah wanita itu kembali berbaring, Anggara pun kembali duduk di tempat semula. Kali ini dia berusaha membaringkan tubuhnya. Meski ada ranjang untuk tidur di sebelah ranjang Rengganis, Anggara memilih tidur di atas sofa. Dia hanya tidak ingin terlihat sebagai pasangan pasien.
Pukul 06.30, Rengganis sudah terbangun. Dia yang dalam keadaan babak belur dan sempat pingsan ternyata sekuat itu hingga bisa turun dari ranjang sendiri menuju kamar mandi.
Dia membersihkan tubuh sebisanya. Rengganis merasa malu pada keadaan dirinya mengingat betapa wanginya tubuh pria yang semalam membantunya minum.
Di luar rumah sakit, matahari mulai menunjukkan betapa hebatnya dia dengan panas yang dia miliki. Sementara Anggara masih saja tertidur.
Bu Sari tidak pernah memberitahu kalau dia punya anak seganteng mas ini.
Rengganis tidak memberi jeda pada matanya untuk berpaling dari wajah Anggara.
"Nanti juga kamu akan melihatku setiap hari."
Rengganis langsung berpaling saat tiba-tiba Anggara membuka matanya. Pria itu pun bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Rambutnya yang sedikit basah membuat ketampanannya meningkat lebih tinggi. Rengganis salah tingkah sendiri melihatnya. Sementara Anggara hanya melihat sekilas pada Rengganis, lalu mengambil dompet serta ponselnya yang ada di atas nakas.
"Aku akan keluar sebentar. Tekan saja tombol itu jika butuh sesuatu, perawat akan datang membantu."
Rengganis mengangguk pelan tanpa berani menatap Anggara.
Klekkk! Suara pintu tertutup. Rengganis mencondongkan tubuhnya untuk melihat pintu, memastikan jika Anggara sudah pergi.
Rengganis menghela nafas lega.
"Kenapa Bu Sari malah minta anaknya yang jagain aku ya? Memangnya gak ada tetangga atau siapapun yang bisa jagain? Mereka pasti mau kalau dibayar sama Bu Sari. Tapi memangnya Bu Sari mau bayarinnya? Ha ha ha. Dasar aku." Rengganis menepuk kepalanya. Dia lupa jika kepalanya terluka.
"Awwww. Aduuuu, sakit banget." Dia meringis.
Tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi. Setelah sarapan dan makan buah, Rengganis kembali menonton televisi. Jam dinding menunjukkan pukul 12.45, Rengganis kembali melihat ke arah pintu.
"Siapa coba yang akan masuk? Aku kan gak punya sodara yang akan menjenguk ke sini."
Baru saja membaringkan badan hendak tidur, pintu terbuka. Rengganis kembali bangun dengan wajah yang terlihat senang. Namun, begitu melihat orang yang datang bukan Anggara, raut wajah dia langsung berubah.
"Kenap? Lagi nunggu seseorang?"
Rengganis menggelengkan kepala.
Amara tersenyum sinis. Dia menghampiri Rengganis.
"Dia kakak aku."
"Jadi, mba juga anaknya Bu Sari?"
"Hmmm. Kamu lupa?"
"Memangnya kita pernah ketemu ya?" tanya Rengganis polos.
"Sudahlah. Lo udah makan?"
"Udah, Mba."
"Jangan panggil aku mba, gue akan jadi adik lo nantinya."
"Memangnya mba lebih muda dari saya? Jika dilihat dari muka, sepertinya mba lebih tua dari saya."
"Maksud Lo? Gue keliatan tua gitu?"
Rengganis mengangguk tanpa menyadari jika Amara kesal pada ucapannya.
"Benar-benar ya perempuan ini." Amara kesal setengah mati, tapi dengan santainya Rengganis kembali membaringkan tubuhnya, membelakangi Amara, lalu memejamkan mata.
"OMG!" Lirih Amara melihat kelakuan Rengganis.
Pintu kembali terbuka. Dari wanginya Rengganis tau siapa yang datang. Dia kembali bangun, lalu merapikan rambutnya yang berantakan.
"What the ...." Amara kembali dibuat terperangah oleh kelakuan Rengganis.
"Kamu di sini?" tanya Anggara melihat keberadaan Amara.
"Iya, ibu minta aku buat matiin keadaan bocah prik ini."
"Halo, Mas." Rengganis menyapa.
"Mas? Idiiiih, sok akrab banget sih Lo."
Anggara menggelengkan kepala pada adiknya agar Amara tidak bersikap kasar pada Rengganis.
"Iya, deh, iya. Mentang-mentang calon istrinya."
"Calon istri? Siapa?" tanya Rengganis.
Amara memejamkan mata sambil menarik nafas panjang. Dia membalikkan badan lalu berusaha tersenyum manis pada Rengganis.
"Mba Rengganis, mba itu calon kakak ipar aku. Perkenalkan, saya Amara calon adik Mba Rengganis," ucap Amara penuh penekanan. Berusaha baik meski dia sangat kesal.
"Maksudnya ... saya calon istrinya Mas ini?"
"IYA!" Bentak Amara. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!