Kopi berwarna hitam pekat itu terus berputar seiring dengan gerakan sendok yang ada di tangan Anggara.
"Aduk aja terus, sampe itu kopi vertigo."
Anggara tersenyum tipis mendengar celetukan adiknya.
"Tolak aja sih kalau gak mau. Ibu gak akan maksa kok."
Anggara menghela nafas dalam.
"Mau pesan apa, Mba?" tanya pelayan cafe yang ada di rumah sakit.
"Es cappucino aja, mas."
"Baik, ditunggu ya."
"Iya, Mas. Saya mau nunggu asal mas jangan ingkar janji, ya. Mas pergi untuk kembali kan?"
Pelayan caffe itu terdiam sejenak berusaha mencerna apa yang dikatakan Amara.
"Abaikan dia, Mas. Dia ke sini habis Konsul ke psikiater."
Amara menyenggol kakaknya. Pelayan itu pergi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ibu pulang?"
"Iya, katanya kakak yang jaga perempuan itu di sini? Mau aku temani gak?"
"Gak usah. Kamu pasti cape kan? Baru pulang dari luar negeri langsung ke sini. Lebih baik istirahat aja."
"Yakin?"
"Enggak."
"Laaah."
"Setidaknya kalau aku kenapa-kenapa, ada kamu yang bisa jagain. Makanya kamu harus cukup istirahat biar sehat."
Tanpa basa-basi, Amara langsung pergi bahkan sebelum es pesanannya datang. Dia tidak suka jika Anggara sudah mengatakan hal-hal yang membuat hatinya sedih.
"Loh, mba nya ke mana?" tanya pelayan yang membawa pesanan Amara.
"Pergi. Es nya simpen aja. Nanti saya yang bayar."
"Oh, iya. Baik, Pak."
Pak? Emang terlihat tua banget ya sampe aku dipanggil pak sementara Amara dipanggil mba. Keluh Anggara dalam hati.
Dua gelas kopi di atas meja itu masih sama-sama utuh karena ditinggal pemiliknya. Setelah dirasa cukup tenang, Anggara memilih pergi dan kembali ke kamar Rengganis.
Dadanya terasa sesak meski ruangan itu sangat luas dan lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Dia melonggarkan dasi, melepas jas, lalu duduk di atas sofa sambil menatap Rengganis yang masih belum sadarkan diri.
Ponselnya kembali berdering untuk ke sekian kalinya. Sebanyak itu pula Anggara mengabaikannya.
Hari semakin larut, mata Anggara mulai terasa perih. Lambat-laun matanya terpejam dengan posisi duduk dan kedua tangan ada di dada.
Sekejap pria itu kehilangan kesadarannya karena tertidur, hingga dia dipaksa kembalikan terjaga setelah mendengar erangan kecil. Dengan mata setengah terpejam, Anggara melihat sekeliling.
Rengganis sedang berusaha bangun.
"Ada apa?" tanya Anggara yang secepat kilat langsung menghampiri Rengganis.
Rengganis menatap antara heran, takut dan ... Kagum. Kagum pada ketampanan Anggara.
"Kamu siapa?" tanyanya terbata.
"Anggara. Aku anaknya Bu Sari."
Rengganis mengangguk pelan.
"Ada apa? Kamu butuh sesuatu?"
"Haus."
Anggara dengan sigap langsung mengambilkan air yang ada di meja kecil. Dia membantu Rengganis minum dengan perlahan.
"Terimakasih."
Anggara mengangguk pelan.
"Saya mau kembali tidur, Mas. Mas juga tidur aja."
"Kalau ada apa-apa, bangunkan saya saja. Jangan sungkan."
Rengganis tersenyum kecil. Dia merasa perih di bagian bibirnya hingga tidak bisa tersenyum lebar.
Wangi banget. Hati Rengganis berbisik.
Setelah wanita itu kembali berbaring, Anggara pun kembali duduk di tempat semula. Kali ini dia berusaha membaringkan tubuhnya. Meski ada ranjang untuk tidur di sebelah ranjang Rengganis, Anggara memilih tidur di atas sofa. Dia hanya tidak ingin terlihat sebagai pasangan pasien.
Pukul 06.30, Rengganis sudah terbangun. Dia yang dalam keadaan babak belur dan sempat pingsan ternyata sekuat itu hingga bisa turun dari ranjang sendiri menuju kamar mandi.
Dia membersihkan tubuh sebisanya. Rengganis merasa malu pada keadaan dirinya mengingat betapa wanginya tubuh pria yang semalam membantunya minum.
Di luar rumah sakit, matahari mulai menunjukkan betapa hebatnya dia dengan panas yang dia miliki. Sementara Anggara masih saja tertidur.
Bu Sari tidak pernah memberitahu kalau dia punya anak seganteng mas ini.
Rengganis tidak memberi jeda pada matanya untuk berpaling dari wajah Anggara.
"Nanti juga kamu akan melihatku setiap hari."
Rengganis langsung berpaling saat tiba-tiba Anggara membuka matanya. Pria itu pun bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Rambutnya yang sedikit basah membuat ketampanannya meningkat lebih tinggi. Rengganis salah tingkah sendiri melihatnya. Sementara Anggara hanya melihat sekilas pada Rengganis, lalu mengambil dompet serta ponselnya yang ada di atas nakas.
"Aku akan keluar sebentar. Tekan saja tombol itu jika butuh sesuatu, perawat akan datang membantu."
Rengganis mengangguk pelan tanpa berani menatap Anggara.
Klekkk! Suara pintu tertutup. Rengganis mencondongkan tubuhnya untuk melihat pintu, memastikan jika Anggara sudah pergi.
Rengganis menghela nafas lega.
"Kenapa Bu Sari malah minta anaknya yang jagain aku ya? Memangnya gak ada tetangga atau siapapun yang bisa jagain? Mereka pasti mau kalau dibayar sama Bu Sari. Tapi memangnya Bu Sari mau bayarinnya? Ha ha ha. Dasar aku." Rengganis menepuk kepalanya. Dia lupa jika kepalanya terluka.
"Awwww. Aduuuu, sakit banget." Dia meringis.
Tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi. Setelah sarapan dan makan buah, Rengganis kembali menonton televisi. Jam dinding menunjukkan pukul 12.45, Rengganis kembali melihat ke arah pintu.
"Siapa coba yang akan masuk? Aku kan gak punya sodara yang akan menjenguk ke sini."
Baru saja membaringkan badan hendak tidur, pintu terbuka. Rengganis kembali bangun dengan wajah yang terlihat senang. Namun, begitu melihat orang yang datang bukan Anggara, raut wajah dia langsung berubah.
"Kenap? Lagi nunggu seseorang?"
Rengganis menggelengkan kepala.
Amara tersenyum sinis. Dia menghampiri Rengganis.
"Dia kakak aku."
"Jadi, mba juga anaknya Bu Sari?"
"Hmmm. Kamu lupa?"
"Memangnya kita pernah ketemu ya?" tanya Rengganis polos.
"Sudahlah. Lo udah makan?"
"Udah, Mba."
"Jangan panggil aku mba, gue akan jadi adik lo nantinya."
"Memangnya mba lebih muda dari saya? Jika dilihat dari muka, sepertinya mba lebih tua dari saya."
"Maksud Lo? Gue keliatan tua gitu?"
Rengganis mengangguk tanpa menyadari jika Amara kesal pada ucapannya.
"Benar-benar ya perempuan ini." Amara kesal setengah mati, tapi dengan santainya Rengganis kembali membaringkan tubuhnya, membelakangi Amara, lalu memejamkan mata.
"OMG!" Lirih Amara melihat kelakuan Rengganis.
Pintu kembali terbuka. Dari wanginya Rengganis tau siapa yang datang. Dia kembali bangun, lalu merapikan rambutnya yang berantakan.
"What the ...." Amara kembali dibuat terperangah oleh kelakuan Rengganis.
"Kamu di sini?" tanya Anggara melihat keberadaan Amara.
"Iya, ibu minta aku buat matiin keadaan bocah prik ini."
"Halo, Mas." Rengganis menyapa.
"Mas? Idiiiih, sok akrab banget sih Lo."
Anggara menggelengkan kepala pada adiknya agar Amara tidak bersikap kasar pada Rengganis.
"Iya, deh, iya. Mentang-mentang calon istrinya."
"Calon istri? Siapa?" tanya Rengganis.
Amara memejamkan mata sambil menarik nafas panjang. Dia membalikkan badan lalu berusaha tersenyum manis pada Rengganis.
"Mba Rengganis, mba itu calon kakak ipar aku. Perkenalkan, saya Amara calon adik Mba Rengganis," ucap Amara penuh penekanan. Berusaha baik meski dia sangat kesal.
"Maksudnya ... saya calon istrinya Mas ini?"
"IYA!" Bentak Amara. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments