"Aku belum gajian, ayah. Gajiannya kan sebulan sekali."
"Kalau gitu, kamu minta pinjeman lah sama bos kamu itu!"
Rengganis kesusahan melepaskan cengkraman ayahnya yang menarik kerah baju hingga Rengganis merasa tercekik.
"Lepas, ayah. Sakit."
Bugh!
Kepala Rengganis terasa sakit. Untuk sesaat dia kehilangan kesadarannya. Rengganis mencoba menggelengkan kepala berusaha agar tetap sadar.
"Dasar anak haram! Sama saja seperti ibu kamu yang tidak punya harga diri. Anak pembawa sial!"
Laki-laki itu berteriak sambil menendang perut Rengganis yang sedang terkapar. Sesak, Rengganis mencoba melindungi perutnya. Namun, kali ini pria gila itu menendang punggung dan apa saja di bagian tubuh Rengganis.
Ingin berteriak minta tolong, tapi dia tidak punya tenaga.
"Sialan! Anak lacur ini, apa kamu benar-benar tidak punya uang sama sekali, hah!?"
Bahkan untuk menggelengkan kepala saja, Rengganis tidak memiliki tenaga. Dia hanya diam menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Tolooong.
Rengganis hanya menjerit dalam hati, berharap ada seseorang yang akan membantunya.
Rengganis memejamkan mata. Rasa sakit itu sudah tidak dia rasakan lagi.
"Hey, apa kamu sudah mati? Woiiii, anak haram!"
Rengganis tetap diam setelah pria yang memiliki gelar ayah itu menendang kepalanya hingga terbentur tembok usang rumahnya.
"Yang benar saja. Kalau kamu mati, siapa yang akan memberi aku uang? Hey, anak sialan!"
Sekali lagi tubuh Rengganis ditendangnya.
"Aaah, go*lok!"
Pria itu berlari setelah sadar jika Rengganis benar-benar tidak bergerak. Dia berlari tanpa melihat kanan dan kiri, rasa takut karena melihat Rengganis terdiam membuat pria itu lari agar terhindar dari tuntutan dan amukan warga.
"Pak Sutara kenapa lari gitu? Kayak dikejar setan aja," ucap salah satu warga yang sedang duduk di pos kamling.
"Masa iya dia takut sama setan, kan dia setannya," timpal yang lain. Mereka tertawa.
"Ada ya bapak kayak dia yang tega menyiksa anak sendiri. Padahal anaknya cantik banget loh kayak ibunya."
"Iya cantik, makanya dia selingkuh dan melahirkan anak. Si Sutara itu kan mandul katanya."
"Baru katanya kan? Jangan suka suuzdon sama orang."
"Jangan-jangan ...."
Mereka bertiga terdiam. Tanpa basa-basi mereka segera berlari ke rumah Rengganis. Betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh wanita kurus itu terkapar tanpa daya.
"Ayo, kita bawa ke desa. Di sana ada ambulan desa kan?"
"Ke rumah Pak Abdul dulu lah, dia kan yang punya kuncinya.
Satu orang berlari untuk menemui supir ambulan desa.
"Saya ke rumah Bu Sari dulu."
Tidak ada yang tidak tahu bagaimana hubungan Rengganis dan Bu Sari yang sudah seperti ibu dan anak.
"Kasian banget sih kamu, Nis? Sesakit apa kamu diperlukan sampai begini."
Miris dan sedih melihat tubuh Rengganis yang terkapar dengan darah di beberapa bagian tubuh terutama di bagian kepala, hidung, dan bibir karena sobek.
"Untung masih bernafas, Nak."
"Rengganis!" Bu Sari datang dengan nafas ngos-ngosan. Tangannya bergetar melihat kondisi Rengganis.
"Nak, bangun. Kamu kenapa jadi begini sih." Air mata Bu Sari mulai menetes. Dia segera merangkul tubuh Sari dari pangkuan bapak-bapak tadi.
Tidak lama kemudian ambulan datang. Rengganis segera dibopong menuju mobil.
Sepanjang jalan, tangan Bu Sari tidak pernah lepas menggenggam jemari Rengganis. Dia menangis sambil berdoa agar Rengganis baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, pihak medis segera memindahkan Rengganis. Mereka membawanya ke dalam untuk mendapatkan penanganan secepatnya.
"Pak, tolong hubungi kepala desa. Saya mau kasus ini diurus sama pihak kepolisian."
"Bener, Bu. Tadi kita liat Sutara berlari, kami kira kenapa. Kalau tau dia lari karena habis mukul anakannya, mungkin kami tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja."
"Iya, Pak. Gak apa-apa. Sebaiknya kita segera laporkan masalah ini ke kepala desa. Saya ingin pria bejad itu masuk penjara."
"Baik, Bu. Kalau begitu kami permisi dulu."
"Terimakasih banyak, ya, Pak."
Setelah ketiga orang dan sopir ambulan itu pergi. Bu Sari kembali masuk ke dalam untuk menemani Rengganis.
Rengganis hanya pingsan karena terbentur. Syukur dia tidak mengalami luka serius selain lebam dan bibir yang sobek.
"Kita tunggu sampai besok ya, Bu. Semoga besok dia sudah bisa sadar. Ya, syukur-syukur malam ini dia sudah bisa bangun."
"Terimakasih, dokter."
"Setelah administrasi selesai, nanti pasien bisa segera pindah ke ruang perawatan."
"Masukan anak saya ke ruang VIP, dok. Administrasinya nanti menyusul."
Dokter itu menganggukkan kepala.
Bu Sari tidak ingin mempersulit semuanya, dia sengaja memilih perawatan VIP agar mendapatkan kemudahan dalam fasilitas dan pelayanan.
Ponsel Bu Sari berbunyi.
"Halo Amara. Kenapa, Nak?"
"Bu, aku di rumah. Ibu di mana?"
"Di rumah?"
"Iya, aku dan kakak pulang. Kami kemalaman karena habis ngerjain sesuatu dulu. Ibu di mana? Rumah juga dikunci."
"Ibu di rumah sakit, Nak."
"Rumah sakit? Ibu sakit? Ibu sakit apa? Kenapa gak bilang kalau ibu sakit?" Amara anak ke dua Bu Sari begitu terkejut mendengar ibunya ada di rumah sakit.
"Bukan, Nak. Ibu ...."
Amara tidak mendengarkan ucapan ibunya di telepon karena dia teralihkan oleh pertanyaan kakaknya.
"Ibu di mana?"
"Di rumah sakit, Kak."
"Ayo kita ke sana."
"Ke mana? Kita gak tau ibu dirawat di mana?"
"Rumah sakit terdekat. Ayo kita ke sana."
"Ini kali pertama kakak ke kampung, ibu malah di rumah sakit," gerutu Amara.
Bu Sari memang bukan penduduk asli desa. Dia pendatang baru yang baru tinggal 12 tahun lamanya. Hanya Amara yang pernah mengunjunginya, itupun tidak sering masih bisa dihitung dengan jari tangan.
Jika mereka rindu satu sama lain, maka Bu Sari lah yang akan mengunjungi anaknya ke kota.
Bu Sari yang depresi karena ditinggal meninggal oleh suaminya, memutuskan untuk hidup di kampung.
"Coba telpon ibu ada di kamar mana."
Amara segera menelpon ibunya untuk menanyakan keberadaannya saat ini.
"Ada di ruang VIP 2, Kak."
Mereka berdua segera pergi menuju kamar ibunya. Perasaanku khawatir masih menyelimuti hati keduanya karena mengira ibu mereka lah yang sedang dirawat.
Amara buru-buru membuka pintu.
"Ibu, ibu baik- ...." Langkah Amara terhenti saat melihat ibunya sedang berdiri di samping tempat tidur. Di sana tubuh Rengganis tertidur.
"Loh, Bu. Ibu kenapa gak bilang sih kalau bukan ibu yang sakit. Aku hampir kehilangan jantung tau." Amara menangis lega karena ternyata bukan ibunya yang sakit.
"Ibu bilang kok, kamu aja yang malah matiin ponsel."
Amara merajuk, dia kembali memeluk ibunya dengan erat.
"Bu ...."
"Anggara."
Mereka saling berpelukan. Anak laki-laki kebanggaannya yang sangat dia cintai.
"Maaf, ya. Kamu pertama kali ke rumah ibu tapi ibu malah di sini."
"Setidaknya bukan ibu yang berbaring di sana." Anggara menatap Rengganis yang terbaring lemah. Bu Sari tersenyum.
"Ini siapa, Bu?" tanya Amara. Bu Sari menarik tangan Anggara untuk mendekat ke tempat tidur itu. Mereka berdiri di samping sambil menatapi Rengganis.
"Dia calon kakak ipar kamu, Ra."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments