CHAPTER 4: The Broken String

Jantungku bertalu begitu sampai di depan rumah. Jarak antara jalan besar dengan rumahku cukup jauh hingga aku harus berlari secepat mungkin untuk segera sampai. Rumahku adalah satu-satunya rumah yang dipasangi pagar di sekelilingnya dan sekarang pagar itu sudah dikunci. Dengan susah payah aku menaiki pijakan besi kecil di antara semak-semak dan melompat ke dalam halaman rumah.

Hup!

Aku mendarat dengan hati-hati agar tidak membuat suara. Lampu ruang tengah yang masih menyala menandakan bahwa Nena belum pulang. Wanita tua yang selama ini membantuku mengurus ibu pasti akan mengomeliku sepanjang malam karena pulang terlambat.

Dari luar, aku mendengar sayup-sayup suara televisi. Sandal Nena masih tersimpan rapi di atas rak. Aku sudah menyiapkan telingaku untuk omelan Nena saat aku membuka pintu, namun aku justru membulatkan mata begitu melihat wanita tua itu terbaring di lantai dengan kepala yang berdarah. Di depannya, ibuku berdiri sambil memegang sebuah rolling pin dan diam saja sembari menatap Nena dengan pandangan kosong. Kedua tangannya menggantung lemas di samping tubuhnya. Sedang darah bercucuran dari sela-sela rambut.

“Ibu–” Aku yang kehabisan kata-kata segera berlari ke arahnya. Rolling pin aku amankan ke kolong sofa dan segera membawa ibu masuk ke dalam kamar.

“Tidak apa-apa, Bu. Nena hanya tertidur. Ibu tidak berniat menyakitinya.” Aku tidak tahu apa yang kukatakan. Aku sendiri tidak tahu apakah Nena masih hidup atau tidak. Aku hanya berbicara apapun dengan asal untuk menenangkannya. Menenangkan diriku sendiri.

Ibu tidak menunjukkan ekspresi apapun. Kedua sorot matanya menatapku kosong tanpa kehidupan. Seolah jiwanya tengah pergi entah kemana meninggalkan raganya saja. Meski begitu, tubuhnya gemetaran. Aku hanya tahu kalau hati dan pikirannya tengah bergelut di dalam sana. Hatiku tergerus dengan cara yang menyakitkan. Aku mengusap darah yang mengalir di pelipisnya sebelum menutup pintu. Terpaksa mengunci ibu di dalam kamar.

Nena masih terbaring di ruang tengah. Dengan perasaan tak menentu–takut bercampur cemas–aku dekatkan telunjukku ke lubang hidungnya. Aku takut nenekku mati. Aku takut kalau ibu akan disalahkan.

Begitu angin hangat membelai kulit jariku yang dingin, aku menyebut nama Tuhan dengan penuh syukur. Padahal sebelumnya jarang sekali aku ingat.

Yang terpenting dia masih hidup. Nena tidak apa-apa.

“Nena, Nena.” Kucoba goyangkan tubuhnya guna membuatnya tersadar. Aku mendesah semakin lega begitu mendengar Nena mengerang sambil membuka matanya dengan lemah. Lalu setelah kesadarannya hampir pulih, Nena menatapku horor dan beringsut menjauh sambil berteriak.

“D-dia ingin membunuhku! Wanita gila itu ingin menghancurkan kepalaku!”

Wanita yang kau sebut gila itu adalah ibuku, Nena. Aku menggigit bibir dalamku berusaha tidak mengatakan apa-apa. Aku mengerti, dia masih trauma. Nena semakin histeris saat aku mendekatinya. Tubuhnya yang ringkih aku usap perlahan. Aku menatap ibu dari ayahku itu dengan tenang.

“Nena baik-baik saja. Maafkan aku karena datang terlambat. Ibu hanya sak-”

Plak!

Wajahku terlempar ke samping begitu telapak tangannya mendampratku dengan keras. Aku tentu saja menatap Nena terkejut. “Kau tidak mengerti! Ibumu itu sudah gila! Matanya–” Pandangan Nena tidak fokus berlarian kesana kesini saat bibirnya menggantungkan kalimat. Seolah ia tidak menemukan penjelasan yang pas untuk menceritakan kejadian mengerikan yang baru saja ia alami.

“Dia bukan ibumu! Dia iblis! Seharusnya aku tidak pernah mempertahankannya. Seharusnya aku membiarkan mereka membawanya ke Lawrenceville!”

Mendengar nama rumah sakit jiwa itu membuatku menunduk–mengeratkan rahang. Sudah sejak awal mereka ingin membawa ibuku ke tempat yang tidak seharusnya. Sudah cukup dengan yang lalu. Aku tidak ingin ibuku mengalaminya juga.

Emosi tiba-tiba bercokol dalam dadaku yang berkobaran. Aku bangkit tanpa berkata apa-apa lagi. Nena menatapku dengan nafas memburu selagi aku pergi ke arah dapur untuk membawa kotak pertolongan pertama.

Kutuangkan alkohol di atas kapas dan mulai membersihkan luka di kepala nenekku itu. Mungkin serangan paniknya sudah mereda karena Nena diam saja sambil menatapku lekat-lekat. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ibu dari ayahku ini, tapi kurasa dia baru saja menyadari kata-katanya yang diucapkan padaku. Mungkin saja ada sedikit penyesalan di benaknya meski aku tidak cukup yakin.

“Rowen tiba-tiba memukulku saat aku membuatkannya teh,” jelasnya dengan suara bergetar.

“Aku hanya bilang padanya kalau ini sudah waktunya untuk bangkit kembali dan melupakan apa yang sudah terjadi. Tragedi itu sudah bertahun-tahun lamanya dan dia tidak bisa merepotkanmu lebih lama! Tiba-tiba saja dia memukuli kepalaku! Lalu matanya … aku tidak mengenali sorot mata itu, Izzy. Dia bukan lagi Rowen!” jelasnya panjang lebar.

Sorot matanya penuh horor saat ia berbicara. Mungkin itu pertama kalinya Nena melihat ibu seperti itu karena biasanya ibu hanya diam seperti patung.

Salahku. Aku membiarkannya bersama Nena sampai jam delapan lewat. Semuanya salahku.

“Kita harus mengirimnya ke Lawrenceville! Kau tidak bisa menahan ibumu disini selama–”

Kotak pertolongan pertama kututup dengan sedikit keras. Menghentikan kalimat Nena.

“Sudah selesai. Maafkan Ibu sudah menyakiti Nena. Dia hanya sedikit hilang arah, kurasa. Aku akan menghubungi paman Joe untuk menjemput Nena,” kataku sambil mengulas senyum. Aku bangkit dan berjalan menuju dapur untuk membersihkan kekacauan.

“Kau tidak mengerti! Diam saja disini tidak akan membuatnya normal. Lawrenceville akan menyembuhkan ibumu dari trauma!” Rupanya Nena masih mencoba lebih keras. Aku mengeratkan rahang menahan diri.

Lalu tiba-tiba sebuah dokumen asing yang terletak di meja dapur menarik perhatianku. Aku mendekat untuk membacanya–memunggungi Nena. Wanita tua itu masih saja terus mengomel di belakang punggungku dan saat aku melihat dokumen itu, telingaku terasa berdenging begitu melihat kop surat yang kukenal tertera di sana. Lawrenceville Neuropsychiatry Institution.

Aku tidak membaca kalimat pembuka karena fokusku hanya pada deretan angka yang tertera di bagian badan surat. Jumlahnya lebih dari lima ribu dollar. Aku memindahkan atensi pada bagian penerima. Nama Nena tertera disana. Atensiku beralih pada bagian persyaratan dan ternyata isinya adalah kalimat ancaman halus untuk segera melunasi hutang. Apabila jaminan tidak terbayarkan dalam tempo dekat, Lawrenceville yang akan menangani kesehatan pasien atas nama Ny. Crawford, Rowen secara langsung.

Aku tentu saja tahu kalau itu artinya ibu akan dibawa paksa kesana.

Aku mencelos. Marah sekaligus kecewa. Kukira selama ini Nena tulus untuk membantu menantunya murni karena empati. Pantas saja dia selalu membujukku selama ini. Karena tidak berhasil padaku, maka tadi ia mencobanya pada ibu. Mencoba peruntungannya.

Seharusnya aku tahu tidak ada manusia yang membantu manusia lainnya secara cuma-cuma.

“Kau bisa sekolah dengan tenang dan memasrahkan semua urusan ibumu pada pihak yang lebih paham soal ini!” Mungkin Nena tidak menyadari aku membaca dokumen yang ia perlihatkan pada ibu. Aku masih mencoba bertahan.

“Dan … semuanya akan lebih mudah karena Lawrenceville juga akan menunjang kehidupanmu. Coba bayangkan berapa yang akan kau dapatkan untuk kehidupanmu di masa de–”

“Nena!” Pertahananku runtuh.

Kubalikkan tubuhku menghadap Nena. Sorot mata yang sama dengan milik ayahku itu kutatapi lekat-lekat. Aku mencoba untuk menahan bibirku agar tidak bergetar karena menahan emosi.

“Kalau Nena sudah tidak sanggup untuk membiayai dan mengurus ibu, aku tidak masalah,” ucapku berusaha mungkin tidak meninggikan suara. “Tapi aku tidak akan pernah menjual keluargaku untuk siapapun. Tidak lagi.”

Surat itu kulemparkan ke atas lantai. Tepat di depan Nena. Aku tidak lagi peduli dengan yang namanya sopan santun. Siapa pula yang bisa memikirkan itu di saat-saat seperti ini?

Nena terlihat terkejut dan membuka mulut sebelum menutupnya lagi–kehilangan kata-kata. Mungkin ia lupa kalau menaruh dokumen itu sembarang tempat dan kini aku mengetahui akalnya yang berniat menjual ibuku.

“Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu selama ini. Mulai dari sekarang biar aku yang mengurus semuanya. Dan hutang ini, biarkan aku yang menanganinya. Lagipula semua ini sudah digunakan untuk Ibu, kan? Nena tidak usah khawatir.” Entahlah kenapa aku mengucapkan itu seolah aku ini banyak uang. Padahal hatiku ketar-ketir memikirkan bagaimana cara membayarnya.

Mungkin Nena merasa malu karena aku mendapati niatnya memasukan ibuku ke dalam rumah sakit jiwa adalah karena uang. “Baiklah. Lihat saja nanti. Pada akhirnya kau akan menyerah dan mencariku,” ancamnya. Nenekku itu langsung pergi sambil membanting pintu dengan penuh emosi tanpa menunggu paman Joe menjemputnya.

Aku menghela nafas lelah.

“Ibu?”

Pintu kamar tempat aku mengunci ibu aku buka dan seketika hawa pengap menguar dari dalam. Cahaya lampu langsung memenuhi ruangan begitu aku menekan saklar. Ibuku masih berdiri di depan pintu persis seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Darah yang mengalir dari pelipisnya sudah hampir mengering.

Kutuntun ibu guna membawanya untuk duduk dipinggir tempat tidur. Dengan telaten, kubersihkan luka yang ada di pelipisnya dengan hati yang teriris. Lukanya lebih dalam daripada milik Nena. Aku bisa membayangkan kalau Nena memprovokasinya dengan dokumen itu. Mungkin saja alam bawah sadar ibu terpancing hingga dia menakuti Nena dan berakhir Nena memukulnya lebih dulu.

Nena sudah pingsan saat aku menemukannya sedangkan ibuku masih tersadar dengan keadaan sudah terluka. Bukankah itu masuk akal? Entahlah, aku hanya mengada-ngada. Mungkin saja itu benar. Mungkin tidak.

Aku memang bukan detektif tapi firasatku jauh lebih kuat soal ini.

Ibu sedang menatapi wajahku dengan matanya yang kosong. Aku tidak balas menatap wajahnya karena takut menangis.

Pikiranku kalut.

Baru saja aku melepas tali yang menopangku agar tidak terjatuh kedalam sumur. Lalu sekarang tali itu lepas dan aku semakin jatuh ke dalam kegelapan. Membawa ibu bersamaku.

Anehnya, meskipun masalahku bertambah jauh lebih berat, menghilangkan Nena dalam urusan ini membuatku lega. Meski itu artinya aku harus membangun tangga sendirian agar bisa keluar dari sumur ini.

Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan agar Lawrenceville tidak mengambil ibu?

Mungkin otakku ini sedang lancar-lancarnya akibat terdesak keadaan karena detik itu juga aku tiba-tiba memikirkan Primrose dan rencananya.

Jika awalnya aku merasa terbebani kalau saja dia akan memanfaatkan ketenaranku, sekarang aku penasaran.

Mungkin saja aku bisa balas memanfaatkannya.

...***...

Terpopuler

Comments

chila

chila

angjay

2023-10-09

0

chila

chila

maaksud? brrti seblumnya prnh gitu? bapaknya?

2023-10-09

0

chila

chila

apaan tuh yg lalu?

2023-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!