Siang sudah akan beranjak pulang ketika kelas berakhir. Dari balik kaca bus aku bisa melihat bulan yang sudah mengintip malu-malu di balik awan kemerahan. Waktu sudah menunjukkan waktu pukul tujuh sore. Itu artinya bus harus sudah sampai di pemberhentian Mcknight Flyer sebelum pukul setengah delapan lewat.
Sebuah notifikasi pesan muncul di lockscreen. Dari nenekku.
From, Fckin Nena**:
Kau dimana? Cepatlah, aku harus pulang***.
Aku menghela nafas dan mengetik pesan balasan. 30 menit lagi. Tulisku lalu menekan tombol kirim.
Aku memasang earphone saat bus berhenti di titik pemberhentian Brookline. Fly me to the moon versi Joytastic Sarah mengalun merdu memenuhi telinga.
Fly me to the moon and let me play among the stars …
Terlihat dari luar, ada tiga orang yang naik. Dua diantaranya adalah laki-laki yang tengah berbincang satu sama lain. Lalu keduanya duduk di sampingku. Aku tidak tahu mereka membicarakan apa karena Sarah masih bernyanyi–memborong semua atensiku. Aku mengetukkan kaki mengikuti tempo.
Let me see what spring is like on Jupiter and Mars ….
Bus masih berhenti, menunggu orang terakhir yang sedang naik tangga bus dengan lambat. Rupanya itu adalah seorang wanita tua yang bungkuk dan menenteng satu kantong plastik bawang po–
Jantungku berhenti satu detik.
Seorang wanita tua dengan wajah ramah dan penuh flek, naik ke dalam bus dan membawa satu plastik bawang polong.
Bibirku bergetar saat ingatan dua hari yang lalu hadir di kepalaku.
Nenek itu duduk di kursi bagian tengah. Jarak kami terhalang empat kursi yang masih kosong.
Suara Sarah kukencangkan sampai volume sembilan puluh. Melodi yang mendayu menusuk telingaku seketika.
Dengan pencahayaan bus yang remang seadanya, aku berharap bahwa wanita itu bukanlah nenek yang kutemui dua hari yang lalu. Kupikir sekarang aku tengah berhalusinasi atau apa. Mungkin saja ini semua terjadi karena efek pasca traumaku yang masih tersisa tanpa aku sadari.
Tapi tidak. Wanita itu adalah orang yang sama. Aku sangat ingat kerutan yang sangat tua itu dan flek-flek besar yang tersebar di wajahnya yang ramah.
Itu benar-benar dia.
Bus kembali berjalan. Si nenek duduk dengan tenang. Kini aku menatapi punggungnya yang kelihatan ringkih dari kursi paling belakang. Pikiranku bergelut di dalam kepala. Aku merasa harus melakukan sesuatu guna memuaskan pertanyaan yang membelukar di benak.
Soal apa yang terjadi waktu itu, apa aku harus bertanya padanya? Apa yang seharusnya kutanyakan?
‘Kenapa kau tiba-tiba menghilang waktu itu? Siapa kau? Apa maumu? Apa yang sebenarnya terjadi?’
Apa aku harus bertanya begitu?
Aku diam sesaat untuk berpikir.
Tidak.
Aku memutuskan untuk melupakan segalanya.
Bisa saja aku salah lihat.
Bisa saja saat itu aku sedang berhalusinasi, kan?
Aku mengalihkan pandanganku ke jendela. Kepada baris pepohonan yang gelap, pada bunyi kendaraan yang senyap, pada obrolan dua orang pria yang entah membicarakan apa. Sebisa mungkin aku mencoba tidak berpikir macam-macam dan mencoba menghitung bintang di langit atau apa saja yang membuatku kehilangan fokus padanya.
Lagu Fly me to the moon berakhir. Deru mesin kembali terdengar samar-samar sebelum instrumental lagu yang sama kembali terputar. Rupanya aku mengaktifkan mode on loop.
Namun kali ini yang kudengar bukanlah suara Sarah.
Fly me to the moon and let me play among the stars ….
Suara berat yang tidak kukenali bernyanyi lambat-lambat. Liriknya dinyanyikan dengan dayu yang sangat pelan seperti terdistorsi. Suasananya tiba-tiba terasa sunyi. Tidak ada suara selain Fly me to the moon yang semakin lama terdengar melambat.
Let me see the devil is like on Jupiter and Mars ….
Liriknya berubah.
Let me see the devil is like ….
Jantungku bertalu saat memeriksa ponsel guna memeriksa apakah ada kesalahan. Namun, ternyata ponselku baik-baik saja.
Dengan panik aku mengecilkan volume. Namun Fly to the moon masih saja terdengar dimana-mana. Semakin lambat. Semakin berat.
Dan tiba-tiba saja lampu berkedip dengan sangat cepat …
Para penumpang berhenti bergerak.
Dengan perlahan aku menoleh ke depan.
Nenek itu ternyata tengah menatapku.
Ponsel yang tengah kupegang jatuh ke lantai bus–menimbulkan suara ribut. Aku ikut mematung seperti para penumpang bus. Seolah dunia ini sedang dijeda.
Si nenek mulai ikut bernyanyi mengiringi suara 'si bukan Sarah' sambil melihatku. Menyanyikan Fly to the moon dengan senyumnya yang lebar. Tubuhnya berbalik 45 derajat, sedang matanya terpaku dengan milikku. Entah berapa lama kami bertatapan dengan aku yang melihatnya bernyanyi dengan gigi-gigi hitamnya.
‘Si bukan Sarah’ menyanyi semakin lambat. Suaranya semakin besar dan tiba-tiba saja ada suara jeritan memekakkan telingaku.
Dengan cekatan aku melepas earphone. Suara ‘si bukan sarah’ berhenti. Begitu aku melihat lagi, ternyata si nenek tidak lagi menatapku.
Aku menemukan diriku bernafas tidak beraturan sedang sayup-sayup suara Sarah kembali mengalun merdu dari earphone yang masih menyala.
Aku menelan ludah dan membawa ponselku yang terjatuh dengan tangan bergetar.
Aku tidak bisa berhadapan dengannya lebih lama lagi maka aku bangkit dan berjalan cepat tanpa melihat ke arahnya lalu memutuskan duduk di kursi depan dekat supir.
“Hei nak, jangan berjalan-jalan dalam bus!”
Aku diam saja saat sang supir menegurku.
Yang aku butuhkan sekarang hanyalah tidak melihatnya.
Meskipun aku masih bisa merasakannya kembali menatapku dari belakang sana.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
chila
bisa bisanya d posisi itu Izzy gak tereak woy
2023-10-09
0
Skypea
baru baca awalannya udh deg-degan😩
2023-09-21
1