NovelToon NovelToon

KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

KELAHIRAN

 

Suatu malam di Majapahit.

Halimun yang pekat menyelimuti Alas Sunyakama. Sunya bermakna hampa sunyi, sedang Kama berarti napsu, keinginan. Artinya, hanya manusia yang telah menyingkirkan

napsu duniawilah yang mampu tinggal di hutan itu. Tentu tidak terhitung binatang buas pemakan daging dan tumbuhan di sana. Sebab hutan sesungguhnya memang untuk hewan dan tumbuhan yang hidup secara insting demi kebutuhan bertahan hidup, bukan manusia yang keinginannya tidak mengenal batas puas. Banyak cerita berhembus, orang-orang yang masuk ke alas Sunyakama tidak pernah kembali. Beberapa versi mengatakan mereka dimakan seekor Naga bernama Sanghyang Karma yang mampu mendeteksi niat buruk seseorang. Beberapa lagi ada yang meyakini mereka dicabik-cabik oleh Sardula Datu ( Sardula \= Harimau, Datu \= Raja ) yang selalu lapar oleh daging orang jahat.

Sebagian kecil memang ada yang beruntung mampu keluar dari hutan Sunyakama dengan selamat, namun anehnya mereka semua berubah menjadi pribadi yang ‘lain’. Mereka kehilangan keinginan, beberapa bahkan dianggap gila, atau setidaknya linglung. Namun mereka memiliki kemampuan yang bertuah. Entah tiba-tiba mampu mengobati orang yang sakit, menyingkirkan wabah yang melanda desanya, atau menjadi perapal mantra yang mampu mengalihkan hujan, menyingkirkan Siluman, menguasai lontar-lontar sakral, padahal sebelumnya buta aksara, ada juga yang tiba-tiba menjadi mpu Keris. Ciri-ciri lainnya, mereka menjadi pendiam dan tidak bersedia menceritakan pengalaman selama di hutan, kadang kalau bicara juga seenaknya seperti tidak nyambung persis orang gila. Penduduk desa di sekitar hutan itu menghormati mereka sebagai orang yang ‘Lulus’ dari ujian maha berat, sehingga mereka ditokohkan dan didengar suaranya, seaneh apapun. Dan yang jelas, orang-orang yang lulus itu menolak bayaran ketika dianggap berjasa. Sebagai balasannya, orang-orang yang merasa berhutang budi pada mereka secara diam-diam menaruh bahan makanan atau buah-buahan di halaman orang ‘lulus’ itu di malam hari agar dapat dipungut sebagai penyambung hidup untuk mereka yang tidak pernah meminta.

Tapi benarkah alas Sunyakama tidak dihuni seorangpun manusia? Tidak ada yang pernah tahu hingga malam ini terdengar ledakan dahsyat bersamaan dengan guncangan yang membuat penduduk desa Arcala terbangun dalam kejut.

“ Apa yang terjadi?” Kebo Ireng, penguasa desa Arcala berlari ke pelataran. Di jalanan sudah berkerumun warga desa yang juga terbangun oleh goncangan dan suara misterius .

“ Saya tidak tahu, Ki Buyut. Tapi lihat, di tengah alas Sunyakama membara.” Sahut seorang pemuda berusia kira-kira 20 tahun.

Kebo Ireng yang disebut ki Buyut, Buyut adalah jabatan penguasa desa pada masa itu, menghela nafas panjang dengan khidmat menangkupkan tangan,” Jagad Dewa Bathara!”

“ Ada apa, ki Buyut? Apa kita harus memadamkan bara api itu agar tidak membuat kebakaran hutan?”

Buyut Kebo Ireng menatap dengan senyum mengejek geli,” Kamu gila apa berani masuk ke sana? Pengen mati? Sudah bosan ngeloni istrimu?”

Para lelaki yang semula tegang dengan kejadian itu serentak tertawa. Buyut Kebo Ireng memang suka bercanda.

“ Ya kalau Jugul mau masuk alas Sunyakama silahkan, biar Priyanti saya yang jaga deh.” Sahut seorang pemuda.

“ Keparat kau, Julig! Dasar kirik!” Sahut Jugul sambil mengepalkan tangan ke dahi Julig.

Julig yang disebut anak anjing justru menjulur-julurkan lidah, melompat-lompat dan menggonggong. Julig memang pandai meniru suara binatang. Semua suara binatang penghuni hutan, ternak, sampai burung-burung dapat ia tirukan dengan tepat.

Kerumunan warga desa yang semula tegang jadi mencair suasananya setelah melihat dua sahabat Jugul dan Julig saling bercanda.

Sejenak setelah tawa mereda, Kebo Ireng mengangkat tangan ke depan dada memberi tanda bahwa apa yang akan ia sampaikan perlu perhatian. Warga sudah paham dengan isyarat itu. Kebo Ireng meski kadang santai namun sebenranya pengetahuanya sangat luas, konon ia pernah ke Kota Raja Majapahit, dan mengabdi pada seorang Pujangga Kraton.

“ Kalian semua setelah ini pulanglah ke rumah masing-masing. Tapi jangan tidur sampai matahari terbit. Haturkan sembah pada sang Hyang, berterimakasihlah pada Sang Kala yang telah memberi kesempatan pada kalian menjadi saksi atas tergenapinya ramalan Dewata Agung ini. Ingat kan waktu Krama yang sudah lulus dari Alas berceloteh dalam karawuhannya (Karawuhan \= Kesurupan Roh \= Terasuki Ilham) bahwa Dewata akan segera mendatangkan seorang Ksatria Negara dengan mengendarai Arcala? Kini aku tahu maksudnya. Desa kita bernama Arcala, artinya Goncangan. Dan inilah tandanya. Sekarang kalian bubarlah.”

Warga desa menyimak kata-kata sang Buyut dengan khidmat. Mereka sangat percaya dengan ketinggian ilmu penguasa wilayahnya. Ada semacam rasa bangga bercampur haru, sekaligus ingin tahu bagaimana mungkin sebuah desa terpencil yang diapit oleh dua bukit besar sehingga sinar mataharipun enggan mampir ke sana hingga sampai menyeberangi punggung bukit di puncak teriknya, terpilih sebagai desa yang melahirkan seorang Satria Pilih Tanding yang katanya mampu menguasai rahasia empat unsur alam ; Air, Api, Angin, dan Tanah? Katanya itu sudah disebut di lontar-lontar leluhur. Bahkan konon, pada akhirnya Sang Satria Pinilih akan diijinkan menggunakan kekuatan Angkasa Hampa bila dharma baktinya pada Bhumi Majapahit terpenuhi.

Satu per satu warga desa mengangguk, menyampaikan salam hormat pada ki Kebo Ireng, berpamit untuk sembahyang di rumah masing-masing, hingga jalanan kembali menjadi sunyi.

Kebo Ireng menyilangkan kedua tangannya di dada, bersedekap. Napasnya keluar masuk dengan ritme perlahan. Tampaknya ia bersemadi atau mencoba mengintip kejadian apa yang sebenarnya sedang berlangsung di tengah alas Sunyakama yang membara.

Sekitar sehitungan air mendidih, ia membuka mata. Didengarnya ada helaan nafas di belakangnya. Ia segera tahu siapa orang yang menunggui meditasinya. “ Julig, kamu tidak ikut masuk ke rumah?”

Julig adalah seorang pemuda berumur 18 tahun. Kulitnya putih bersih, sangat halus sehingga sekilas menyerupai wanita sinar, matanya kocak suka bercanda, wajahnya sangat tampan untuk ukuran orang desa. Sayangnya ia bertubuh pendek di bawah rata-rata, tetapi tidak cebol, kurang lebih setinggi perempuan. Kalau laki-laki normal berukuran tiga setengah siku, Julig kira-kira tiga siku, jadi memang seperti perempuan. Ia dipanggil sebagai Julig bukan karena licik, namun karena banyak akal dan pandai bicara. Dan sebenarnya, Julig seorang terpelajar yang berguru kepada Kebo Ireng tentang Sastra dan kerohanian, namun hubungan guru dan murid ini dirahasiakan di depan umum. Hanya bila mereka berdua saja, komunikasi guru dan murid terjadi.

“ Sebenarnya saya menyimpan sebuah pertanyaan, Bapa Guru. Tapi, apa Bapa memperkenankan saya bertanya?” Julig bertanya sembari menangkupkan tangan menghatur sembah sebagaimana norma yang berlaku pada saat itu.

“ Apa tentang goncangan di Alas Sunyakama?”

“ Benar, Bapa.”

“ Silahkan. Malam ini aku tidak akan menutup segala hal yang sudah dibuka oleh Dewata sendiri.”

‘ Terima kasih, Bapa. Apa benar alas Sunyakama sesungguhnhya ada penghuni suci yang berujud manusia?"

“ Benar.”

“ Dan itu Yang Mulia Mpu Angalas?’

Kebo Ireng tertawa lirih,” Jadi selama ini kau pikir Mpu Angalas itu dongeng? Hehehe…dasar kamu sudah Julig, bogel lagi!”

“ Ampun, Bapa. Saya tidak tahu, karena yang saya dengar selama ini hanya desas desus.”

“ Beliau benar-benar ada. Guruku sendiri pernah bertemu saat beliau menjadi Pujangga. Namun, hari ini Alam mengisyaratkan bahwa beliau tidak sendirian di hutan itu. Sang Mpu ditemani seorang Ksatria Pinilih. Jadi, selama ini Yang Mulia sedang menatar seseorang di Sunyakama tanpa diketahui siapapun. “

“ Terima kasih atas kejelasan makna goncangan Arcala ini, Guru.”

Buyut Kebo Ireng mengulurkan tangannya. Mengusap penuh kasih sayang ubun-ubun Julig,” Dan kamu pun terpilih sebagai bagian dari rencana semesta ini untuk kejayaan Negara. Kamu akan bersama-sama dengan sang Ksatria.”

Julig terkesiap. Detak jantungnya bagai berhenti mendengar kalimat gurunya.

“ Maksud Bapa?”

“ Hening saja. Terimalah. Aku merestui, jiwa raga. Dari dunia maya sampai kelak di alam kesejatian, keselamatan maupun kesesatan seorang murid adalah tanggung jawab Guru. Siap-siaplah mengiringi di belakang langkah Ksatria bila ia melangkah, dan membuka jalan terdepan untuk menyingkirkan bahaya. Ini sabda yang baru saja kuterima dalam semedi tadi. Sabda dari Yang Mulia Mpu Angalas!”

***

 

Mpu Angalas tertegun menatap lobang yang mengangakan bara tepat di tengah kepekatan hutan Sunyakama. Seumur hidup sejak hidup di keramain sebagai pujangga kraton maupun dalam pengembaraan sebagai mpu Keris, hingga kini menjadi pertapa yang mengasingkan diri di kesenyapan hutan, baru sekarang ia menyaksikan fenomena alam terdahsyat terjadi di depan mata.

Diawali dengan celorot cahaya biru kehijauan turun dari langit, sebuah Watu Lintang (meteor) raksasa terus menghujam. Ukuran meteor itu rupanya terlalu besar sehingga tidak habis menyerpih debu ketika begesekan dengan atmosfir Bumi. Jauh berlipat-lipat kali kecepatannya terus meluncur hingga menerjang udara di atas alas Sunyakama menimbulkan ledakan melingkar seperti cendawan yang suaranya ratusan kali dari gelegar guruh. Udara sekitar seketika terbakar dan pucuk-pucuk pohon layu dalam sekejap. Tidak sampai hitungan sekejap mata, ia menghujam tanah menimbulkan goncangan bagai gempa letusan gunung. Dan kini yang teesisa adalah tanah berlobang yang membara. Sementara di sekitarnya, pohon-pohon hangus menjadi tiang arang, bahkan beberapa seketika menjadi abu lenyap tanpa bekas seperti tersapu entah ke mana. Sementara, meteor itu tergeletak masih membara di pusat cekungan besar. Besarnya kira-kira segenggaman tangan.

“ Watu Limtang Sapu Jagad,” gumamnya lirih sembari menghaturkan sikap hormat pada daya alam semesta.

Tangan Mpu Angalas membentuk sikap sembah. Matanya yang bersorot sejuk menatap meteor yang masih membara itu. Dengan langkah sangat perlahan namun teguh, ia menuruni curaman cekung yang masih membara dengan suhu yang sanggup meleburkan besi.

“ Hati-hati, Bapa Guru,” terdengar suara dari seorang pemuda yang agak terengah berlari mendekat setelah mendengar dentuman dan melihat ada bara.

Mpu Angalas menoleh. Seorang pemuda kira-kira berumur 27 tahun, berperawakan sedang berkulit coklat namun bersih, wajahnya tampan dengan sorot mata datar mendekati dingin, sudah berdiri tegap di bibir cekungan.

“ Saya ikut, Bapa.” Belum sempat Mpu Angalas menjawab, pemuda itu sudah melangkangkahkan kaki ingin menyusul menuruni cekungan bara.

“ Berhenti !” Mpu Angalas menghardik,” Diam di tempatmu, Karna!"

Pemuda yang dipanggil sebagai Karna itu seketika menghentikan langkah. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa untuk mematuhi apapun perkataan Mpu Angalas.

“ Lihat saja, dan jangan bicara apapun sebelum aku bicara!” Mpu Angalas berkata lagi. Karna mengatupkan tangan di depan dahi tanda mematuhi perintah Mpu Angalas.

Kaki telanjang Mpu Angalas harusnya melepuh dan terbakar menginjak tanah membara. Namun itu tidak terjadi. Ia kini sudah duduk bersila tepat di samping meteor yang masih menyala. Sejenak menarik napas, tangannya menghatur sikap sembah sebelum memungut meteor itu dengan dua tangan seperti menggendong bayi dengan sangat hati\-hati dan penuh kasih sayang. Meteor yang menyala itu dihadapkan pada wajahnya. Mulutnya bergerak seolah sedang mengajak bicara. Lalu…Mpu Angalas menjilat bara meteor itu, dan…seketika padam api sekaligus baranya. Di tangannya sudah tergolek batu hitam setengah memgkilat sebesar sekepalan tangan. Bersamaan dengan itu, tanah yang semula membara seketika menjadi dingin dan pulih seperti sedia kala.

“ Turunlah, Karna.”

Karna segera turun dan duduk bersila menghadap sang Guru.

“ Ini Watu Lintang Sapu Jagad,” Mpu Angalas bergumam. “ Ini milikmu, Anakku Karna. Terimalah!” Mpu Angalas mengangsurkan batu meteor itu ke Karna.

Karna menerima meteor itu. Tiba-tiba ia merasakan sengatan energi yang sangat tajam merasuk ke sekujur tubuhnya. Nyaris ia lempar batu itu karena terkejut. Namun ia genggam kembali setelah sengatan itu berubah menjadi daya yang berputar-putar halus di di dadanya.

“ Untuk apa ini, Bapa?”

Mpu Angalas tidak menjawab pertanyaan Karna, justru ia mengangkat tangan kanannya member isyarat agar Karna diam. Karna segera tahu bahwa Guru sekaligus satu-satunya orang yang ia kenal di dunia ini akan membicarakan hal yang sangat penting dan tidak boleh dipotong.

“ Seperti yang sudah kuceritakan padamu, Karna. Aku pungut kamu saat kau masih belum bisa bicara. Maka itu kunamai kau Karna yang artinya telinga, sebab kau baru bisa mendengar. Harapanku, demikianlah caramu menghadapi kehidupan di dunia ramai nanti. Perbanyaklah mendengar, menyimak, dan berpikir, menimbang-nimbang segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, sebelum kau berkata sepatah katapun. Aku tidak tahu siapa orang tuamu. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Tapi kalaupun kau ingin mencari jejak atau keluarganya, kukira mereka ada di Kota Raja Wilwatikta Majapahit. Karena saat kutemukan tergolek di tengah perang yang kacau balau, pakaian dan perhiasan yang kau kenakan bagus. Orang tuamu paling tidak seorang pembesar bergelar Arya. Pakaian bayi dan perhiasanmu sudah kubungkus di pondok. Nanti sebelum berangkat, jangan lupa bawa itu…”

“ Bapa !” Karna memotong pembicaraan,” Maksud Bapa saya disuruh pergi dari sini? Saya tidak mau! Saya ingin….”

“ Diam!” Mpu Angalas menghardik keras. “ Biar aku selesaikan bicaraku!”

Karna menunduk dan Mpu Angalas melanjutkan bicara,” Sama seperti saat pertama aku melihatmu, Dewata seolah bicara untuk membawamu. Kau sudah kuajarkan segala hal yang kuketahui. Dari sastra, rohani, suasana dunia ramai di seberang hutan ini hingga ke Kota Raja, pengetahuan senjata dan kanuragan, semua sudah kuberikan. Kau adalah anakku, pewaris sejatiku, meski bukan darah dagingku. Pesanku, jika tidak terpaksa; jangan menerapkan 4 ajian pamungkas. Pertama, Tirta Gumulung yang artinya gulungan air atau ombak. Menebarkan dinginnya inti air. Ia bisa membekukan darah dan menghentikan jantung orang yang terhantam dayanya. Kedua, pukulan Tapak Dahana, mengandung inti panas Api, mampu membakar orang sampai tulang-tulangnya menjadi arang. Ketiga, ajian Bayu Bajra (Angin Ribut), ia menyerap inti udara. Dampaknya bisa melontarkan pusaran topan yang mampu mencabut pohon besar sampai ke akarnya. Apalagi manusia? Pernapasannya akan terhenti sebab seluruh daya udara tersedot oleh ajian Bayu Bajra. Andaikan kau terpaksa menggunakan 3 ajian itu saat menghadapi lawan yang tangguh, ukurlah dengan sangat hati-hati. Tidak perlu menerapkan kekuatan penuh. Ingat, jangan pernah berpikir untuk membunuh lawanmu saat bertempur. Kecuali dia musuh Negara dalam sebuah peperangan, atau pengkhianat yang menyusup, atau tidak ada harapan lagi untuk bertobat. Sebenarnya, 3 ajian yang mengambil inti sifat Unsur Alam itu diciptakan untuk pengobatan, asal pengerahan dayanya kecil saja, pas dan terukur. Misalnya, bila kau temukan seseorang yang nyaris mati karena kedinginan atau aliran darahnya beku, salurkan daya Tapak Dahana seperlunya untuk mengembalikan panas tubuhnya, atau mencairkan darahnya yang beku. Demikian juga ajian yang lain, tergantung situasinya. Ke empat, yang terakhir, ajian Sapu Jagad….”

Karna tercekat merasa tidak paham. Ajian Sapu Jagad belum pernah ia dengar, apalagi diajarkan. Namun ia segera ingat untuk tidak menyela pembicaraan. Mpu Angalas tersenyum maklum akan ekspresi bingung Karna.

“ Ananda Karna, ajian Sapu Jagad ini adalah milik pribadimu sendiri. Tidak seorangpun yang akan mampu memberimu cara membangkitkannya. Ia murni pemberian Sang Hyang Maha Kuasa melalui persatuan daya Langit dan Bumi. Lihat Watu Lintang yang kau pegang itu. Tadi pasti kau rasakan ada daya yang merasukimu kan? Itulah Sapu Jagad. Ia datang dari langit, dari kehampaan, melewati mega-mega yang mengandung air, menabrak udara sehingga meledak mengeluarkan api, kemudian menghujam Bumi, bersatu dengan tanah. Langit, Hampa, Air, Angin, Api, dan Tanah. Seluruh unsur kehidupan menyatu dalam Sapu Jagad yang tadi dayanya telah merasuki dan bersatu denganmu. Artinya, hanya kau sendiri yang mampu membangkitkan dan mengendalikannya kelak saat waktunya tiba. Ia akan berkembang dari dalam menurut dharma bhakti pribadimu sendiri, Praketi ( tindakan dan pemikiran\), dan kesadaranmu. Bila tingkat kesadaranmu sudah mencapai titik yang sama dengan seluruh sifat Alam, daya Sapu Jagad akan sempurna dengan sendirinya. Namun, karena ia terus bersamamu bersama batu meteor itu, ia juga akan memberi tanda secara nyata, kapan ajian itu sempurna. Yaitu, bila kau menemukan jodohmu. Seorang wanita mulia, anak dari seorang Mpu Keris pilih tanding. Siapa nama Mpu itu akupun tidak diberi gambaran oleh Dewata. Bisa saja ia berupa Mpu tersohor, bisa juga seorang sudra tak dikenal, atau pertapa, bahkan pengemis. Kau sendiri yang harus menemukannya. Ini menyangkut seluruh perjalanan hidupmu nanti. Menemukan jodohmu, sekaligus menemukan Mpu yang mampu membuat Keris Sapu Jagad dari bahan meteor itu. Bila Sapu Jagadmu sudah sempurna, akupun tak akan mampu menandingi kesaktianku.Tapi ingat, kesaktian bukan tujuan akhir seorang manusia. Di atas langit, masih ada langit."

Mpu Angalas menghela napas dalam sejenak, lalu berkata lagi,” Kedatangan Watu Lintang ini sekaligus tanda, bahwa sudah paripurna tugasku hidup sebagai manusia….”

“ Bapa !!!” Karna tak mampu lagi membendung diri untuk menyela,” Bapa mau Mokhsa? Jangan tinggalkan saya! Saya tidak butuh dunia ramai. Saya tidak butuh jodoh. Saya sudah merasa cukup hidup di sini, bersama Bapa. Paduka adalah Guruku, orang tuaku!”

“ Cukup, Karna. Cukup !!! Sudah dua kali kau menyela pembicaraanku. Itukah balasan bhaktimu padaku? Dengan menyela pembicaraan gurumu? Apa itu adat seorang Siswa? Sekali lagi kau menyela pembicaraan apalagi berani menolak perintahku, kau pergi dari sini sebagai orang yang terusir. Bukan sebagai muridku lagi, tetapi sebagai anak durhaka yang tidak kenal adab!”

Tubuh Karna gemetar. Seketika luruh seluruh nyalinya melihat hentak kemarahan Mpu Angalas yang biasanya penuh kasih lembut sebagai orang tua. Namun ia juga dilanda ketakutan yang teramat sangat. Bagaimana ia sanggup hidup tanpa gurunya, satu\-satunya orang yang ia kenal? Apalagi di dunia ramai yang belum pernah ia rambah sebelumnya. Apakah sama dengan cerita Mpu Angalas keadaannya? Bukankan di dunia ramai banyak orang jahat yang suka brdusta dan mencelakai? Tanpa didampingi seorang Guru, apa yang akan terjadi pada dirinya? Bagaimana kalau tiba-tiba ia disergap rindu sedang gurunya telah pergi ke alam keabadian?

“ Pergilah, anakku. Sekeluar dari alas Sunyakama ini, pakailah nama Jaka Wingit, karena kau sudah terasingkan sejak kecil. Aku merestui dan menyertai seluruh langkahmu. Negara membutuhkanmu. Di luar sana, ada kejadian sangat besar. Bhumi Majapahit memanggilmu. Jika kau mencintai dan patuh padaku sebagai Guru sekaligus orang tuamu, buktikan dengan memenuhi panggilan itu. Sekarang! Sekarang juga! Dan jangan menoloeh ke belakang begitu kau melangkah. Apapun yang terjadi, jangan menoleh ke belakang!”

Karna tau itu adalah sebuah perintah terakhir yang tidak mungkin dibantah.

Ia menatap wajah teduh Mpu Angalas yang demikian bersih seolah bercahaya. Tanpa noda, wajah tua namun tak berdosa. Ia ingin berlama\-lama menatap wajah itu, namun Mpu Angalas seolah memalingkan muka, lalu memberi isyarat agar Karna segera pergi.

Karna tidak berani membantah. Hatinya hancur. Tanpa kuasa menahan air mata, ia cium kaki Mpu Angalas sebagai tanda tunduk seorang Murid kepada Guru. Tetesan air mata menitik di ujung jari kaki Mpu Angalas. Mpu Angalas menghela napas sangat berat. Karna menyeka debu tanah dari kaki Mpu Angalas yang menempel di bibirnya. Mengurapkannya ke ubun\-ubun, ” Restu Bapa Guru yang mulia adalah hidup saya.”

Seperti yang diperintahkan, Karna yang sekarang dipanggil sebagai Jaka Wingit bangkit dan melangkah keluar dari lobang bekas meteor. Tanpa menoleh. Ia tidak tahu, bahwa Mpu Angalas pun menitikkan air mata.

“ Jangan menoleh. Ini juga sangat berat bagiku, Nak,” desis Mpu Angalas getir.

Setelah keluar dari cekungan, terdengar suara bergemuruh. Karna tidak tahu itu apa, sebab ia tidak boleh menoleh. Yang ia rasakan ada getaran seperti tanah longsor. Entah apa tanah sedang sedang mengubur jasad Mpu Angalas yang ia tinggalkan dalam kondisi bersila. Entah apakah itu proses moksanya jasad sang Guru.

Karna berlari kencang menerobos pekatnya hutan berusaha melupakan kecamuk perasaannya. “ Bapa…Bapa Guru….,” sepanjang perjalanan matanya tak berhenti basah. Ia tidak bisa menggambarkan apa yang sedang dirasakan.

Berlari ke timur. Ke Timur saja. Berlari seolah ingin meninggalkan kenangan terbaik bersama gurunya. Ke Kota Raja tujuannya. Karna si Jaka Wingit tidak menyadari, bahwa di depan sana sudah menunggu ribuan kisah petualangannya di dunia ramai. Ia tidak menyadari, dirinya akan berperan dalam membangun kebesaran Majapahit, bahkan Bumi Nusantara.

 

PEMANASAN

Hari pasaran tiba. Tumpah ruah warga dari 4 desa melakukan jual beli kebutuhan pangan, sandang, dan ternak. Pedati pembawa dagangan yang ditarik oleh para lelaki kekar berseliweran dengan kereta yang ditunggangi orang-orang kaya yang ingin berbelanja atau sekedar cuci mata sambil memamerkan pakaian beserta perhiasan yang dikenakannya. Para pedagang kecil menggelar dagangan beralas tikar atau anyaman bambu di pinggir jalan. Pedagang yang lumayan mapan memiliki kios tetap terbuat dari kayu dan bambu dengan atap rumbai-rumbai. Sedang saudagar besar menempati bangunan yang bertembok batu bata dengan atap sirap atau genting. Tempat berjualan beras, sayur mayur, rempah-rempah, garam, dan daging terletak di ujung timur. Di sebelahnya dibatasi oleh pagar kayu, terbentang tanah lapang yang dipenuhi kandang-kandang ayam, bebek, celeng, kambing, serta kerbau yang diikat sebagai barang dagangan. Terpisah sekitar 5 tombak ke barat, para pedagang kain, pakaian, perhiasan, serta gerabah berkumpul di wilayah yang paling bersih. Di antaranya, terselip warung-warung panjual jajanan, makanan jadi, serta minuman. Mulai minuman segar semacam legen, gempol, dawet, sampai minuman keras tuak tersaji lengkap. Di blok ini Karna beristirahat di sebuah warung makan setelah sehari penuh berjalan meninggalkan hutan.

" Maaf, Ki Sanak. Andika tampaknya bukan orang di sekitar sini. Selama saya jualan, belum pernah melihat Andika. Benarkah?" Sapa pemilik warung pada Karna.

" Benar sekali," jawab Karna. " Saya datang dari dukuh barat bukit."

" Sepertinya Andika kelelahan. Istirahatlah di belakang ada bale yang biasa dipakai tidur untuk para pejalan."

" Terima kasih, Kakang. Saya hanya butuh secawan air dan sedikit nasi untuk mengisi perut. Setelah itu saya harus melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman saat menyeberang Bengawan."

" Oh ya, silahkan bila begitu. Mari saya layani, mau mencicipi sayur dan daging apa?"

Kali ini Karna jadi kebingungan harus menjawab apa. Selama di hutan bersama Mpu Angalas, ia memang mendapat banyak pelajaran pengetahuan tentang dunia luar. Namun, nampaknya banyak hal yang terlewat. Ia tidak diberi tahu nama-nama masakan.

Karna celingukan menatap banyaknya jenis masakan di kuali. Demikian banyak jenis masakan yang tersaji dan kelihatan lezat semua, tidak satupun yang ia tahu namanya.

" Eeee...itu saja yang airnya warna coklat-coklat," Karna menunjuk sekenanya.

" Rawon maksudnya?"

Karna mengangguk pura-pura paham. " Ternyata namanya rawon,'" bisiknya perlahan sembari menghapal.

Karna menyantap nasi rawon dengan lahap. Ini adalah makanan terlezat yang pernah ia rasakan seumur hidup. Selama di hutan, ia hanya makan buah-buahan, nasi dari sawah yang dibangun oleh Mpu Angalas di tengah hutan dicampur sayuran mentah, kalaupun makan daging atau ikan sungai hasil tangkapan, itupun tanpa bumbu. Paling dibakar saja. Lidahnya seperti menari-nari tak bosan mengecap daging yang dimasak dengan garam dan rempah-rempah lengkap.

" Tolong ! Tolong !" Suara perempuan terdengar berteriak dari arah pasar sebelah timur.

Karna menoleh. Ketajaman pandangannya yang terlatih menembus kepekatan rimba membuat ia mampu melihat jelas apa yang tidak bisa dilihat orang lain dari jarak jauh.

Seorang wanita setengah baya tampak diseret dengan kasar oleh laki-laki berbadan besar dengan tato di sekujur badannya. Wanita itu meronta-ronta dengan Wesia-sia. Semakin meronta makin kuat cengkeraman tangan yang mencengkramnya. Tangannya bahkan sudah terlihat berdarah akibat tersayat kuku laki-laki yang menyeretnya.

" Diam kau wanita rendahan! " Laki-laki itu menghardik. " Mana anakmu Savitri? Mana ?"

" Mohon ampun, Tuan. Beri waktu 3 pekan lagi untuk menebus perjanjiannya," jawab perempuan itu.

" Beri waktu? Beri waktu? Sampai kapan? Tiga pekan yang lalu kau juga bilang gitu. Sudah, bayar hutang suamimu pada Ki Gedhe sesuai perjanjian. Sekarang juga ! Atau sesuai janjinya menjaminkan Savitri anakmu sebagai penggantinya."

" Tiga pekan lagi, Tuan! Saya pasti mampu membayarnya. Hasil dagang saya belum cukup untuk membayar hari ini."

" Tidak ! Bawa Savitri sekarang atau sebagai jaminannya, kau yang kujadikan sebagai gundik bersama buat prajuritku!"

Dari belakang, ada sekitar sepuluh orang terkekeh-kekeh. Rupanya mereka anak buah orang bertato itu

" Ampuni hamba, Tuan. Mohonkan ampun pada Gusti Gagak Bayan untuk memberi waktu."

" Ampun? Ini ampunan dariku !"

" Plak!" Pipi perempuan itu ditampar.

" Ini untuk upah perempuan yang ingkar janji. Sudah suaminya hutang judi, eh masih mengelak lagi. Mau suamimu Suta, biar kucincang sekalian di sini!"

" Ampun, Tuan. Ampun. Kang Suta pergi dari rumah sepekan yang lalu."

" Ampun? Nih ampun lagi!" Kembali perempuan itu ditampar. Kali ini lebih keras hingga kepalanya terlempar ke samping. Darah mengucur dari sudut bibirnya.

" Ampuni hamba, Tuaaaan...." Perempuan itu merintih dengan suara lemah sambil mengusap darah yang mengucur dari bibirnya yang pecah.

" Ini ampunanku!" Laki-laki bertato itu berteriak. Ia mengangkat tangannya. Kali ini bukan dengan telapak terbuka, tapi mengepal. Tampaknya ia bukan lagi ingin menampar, melainkan memukul.

Tangannya terayun cepat menuju wajah perempuan malang itu. Tak sampai sedetik, pasti wajah perempuan itu akan hancur.

" Tap !" Laju pukulan itu tertahan oleh telapak tangan yang menerima kepalan tangan dengan mudah.

" Sabar, Ki Sanak. Semua bisa dibicarakan baik-baik." Ternyata Karna yang menghadang pukulan itu.

" Keparat!" Laki-laki bertato itu mengumpat. " Siapa kau !!!"

Karna dengan sangat tenang menggenggam kepalan tinju laki-laki bertato itu dan menurunnya perlahan," Rahayu, Kakang. Saya Jaka Wingit. Mohon masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin. Nanti pasti ada jalan keluarnya "

" Sok tahu kau, Wingit! Aku Lembu Peteng,. Lurah Prajurit. Jangan cari penyakit kau denganku. Suami si perempuan sundal ini berhutang taruhan sabung ayam pada Gustiku Ki Gedhe Gagak Bayan. Sekarang suaminya minggat entah ke mana, tapi dia sudah menjaminkan anak daranya Savitri dalam perjanjiannya. Aku sudah menagihnya berkali-kali, dan dia selalu ingkar."

" Baiklah, Kakang Lembu Peteng biar saya yang menyelesaikan. Berapa hutangnya?"

" Gustiku sudah tidak butuh uang. Uangnya sangat banyak, mampu untuk membeli nyawa seluruh orang yang di pasar ini. Dia sudah terlanjur suka sama Savitri, mau dijadikan gendakannya. Kau mau apa? Atau kau kekasihnya Savitri? Mau jadi pahlawan? Jangan coba-coba halangi tugasku untuk mengambil Savitri hari ini juga. Atau kau sudah bosan hidup?"

Karna tersenyum lembut," Tidak, Kang. Saya tidak bermaksud menghalangi tugas Anda. Tapi bukankah undang-undang Negara melarang memperlakukan perempuan secara semena-mena? Apa Kakang dan Gusti anda Gagak Bayan tidak takut terkena pidana Negara?" Karna menyampaikan peringatan yang secara 'teori' diajarkan oleh gurunya tentang aturan hukum yang berlaku di Majapahit. Ia sama sekali tidak paham, bahwa dunia nyata tidak sama dengan dunia idealnya saat menerima pelajaran di hutan.

Lembu Peteng sejenak terkesiap dengan jawaban Karna yang memperkenalkan diri sebagai Jaka Wingit. " Bocah ini paham hukum juga," batinnya. Tapi ia juga segera paham, bahwa Jaka Wingit adalah pemuda yang masih sangat polos. Ia pun tertawa terkekeh mengejek, " Kau menyingkir atau kau mati, Wingit?"

" Saya mundur bila Kakang tidak menganiaya Mbok ayu ini lagi."

" Jadi kau menantang aku?'

" Tidak. Saya hanya mencegah Kakang melanggar hukum dengan menganiaya seorang perempuan."

" Keparat terkutuk!" Lembu Peteng mengumpat seraya mengayunkan pukulan ke ulu hati Karna. Dia berpikir, sebagaimana biasanya, ia cukup memukul sekali seseorang, dapat dipastikan orang itu roboh. Bahkan tidak perlu sekuat tenaga. Cukup setengahnya saja.

Karna menatap gerakan tangan Lembu Peteng. Terlalu lamban. Sesungguhnya dengan sekali beringsut saja, pukulan itu pasti meleset. Namun ia tidak ingin mempermalukan Lembu Peteng. Tubuhnya sengaja tidak bergerak sedikitpun.

Lembu Peteng melihat Karna tidak merespon sedikitpun pada pukulannya. Ia pikir pasti Jaka Wingit tidak mempunyai ilmu silat, dan ketika berhasil menahan pukulannya tadi pasti hanya kebetulan.

" Arrrrggghhh... " Lembu Peteng berteriak untuk menguatkan tenaga pukulannya. Karna diam di tempat.

" Wuuuzzzz...." Pukulan itu tidak menemukan sasaran.

" Wuuuzzzz..." Pukulan kedua pun hanya menerpa angin.

Lembu Peteng penasaran. Kali ini ia memukul berayun sekuat tenaga dari kanan ke kiri.

" Wuuuuuzzzz...!!! ," Justru fatal akibatnya. Rupanya Karna mengempiskan perutnya saat pukulan Lembu Peteng menuju perutnya, sehingga pukulan itu luput hanya seukuran helai rambut. Seolah-olah kena, namun sebenarnya tidak. Namun karena Lembu Peteng mengerahkan seluruh tenaganya, ia terdorong ke kiri, limbung kehilangan keseimbangan sehingga kuda-kudanya goyah. Tubuhnya nyaris terpelanting, untung tangan Karna menahan bahu kirinya hingga tidak jadi terjatuh.

" Hati-hati, Kakang tersandung," kata Karna pelan.

Lembu Peteng segera sadar bahwa yang ia hadapi bukan orang sembarangan. Namun karena terlanjur malu, apalagi di depan 10 anak buahnya, juga seisi pasar kini sudah berkerumun menyaksikan perkelahian itu, ia menguatkan nyalinya dengan menghunus parang yang tautkan di pinggang.

" Mati kau !" Lembu Peteng menebaskan parang ke leher Karna. Karna memiringkan tubuh sehingga ujung parang hanya menebas udara. Lembu Peteng mengubah arah serangan dari atas ke bawah ingin membelah kepala Karna. Karna melakukan gerakan cepat dua kali lebih cepat dari ayunan tangan Lembu Peteng. Tiap kali Lembu Peteng mengangkat lengan hendak mengayun, jari-jari Karna mendorong siku Lembu Peteng sehingga dengan meminjam tenaga angkatan tangan, justru Lembu Peteng terdorong ke belakang. Gerakan-gerakan sederhana itu berulang kali dilakukan, sampai tak sadar, bukannya Karna yang terdesak, justru Lembu Peteng makin terpojok. Terhuyung-huyung nyaris jatuh.

Lembu Peteng memang orang kasar. Tapi ia tidak terlalu bodoh untuk mengetahui bahwa kemampuan silat Karna bukan tandingannya untuk dilawan sendirian.

" Apa yang kalian lihat? Terkutuk kalian semua!" Teriak Lembu Peteng pada begundal-, begundalnya.

" Seraaaangggg....! Bunuh Jaka Wingit !"

Serentak 10 orang bergerak membentuk formasi mengepung Karna.

Karna terkepung sebagai titik lingkaran, dengan keliling 10 orang yang semuanya bersenjata.

Orang-orang di pasar yang melihat perkelahian satu banding sepuluh itu dicekam rasa ketakutan. Pikir mereka, sudah pasti jika tidak ditolong, pemuda asing itu pasti mati dicincang ramai-ramai. Suara hati mereka ingin membantu, tapi nama Lembu Peteng terlalu menakutkan untuk dilawan. Ya kalau hari ini menang dan mampu membunuhnya. Kalau kalah? Bisa-bisa besok semua warga desa dibantai oleh Lembu Peteng dan gerombolannya yang menuntut balas. Karena itu pernah kejadian di Desa Garda yang kini semua penduduk laki-laki dewasanya tewas. Belum lagi kalau Ki Gedhe Gagak Bayan marah, penguasa tanah Perdikan Gagak Nagara yang terkenal keji Lembu Peteng hanya salah satu Lurah di antara ratusan prajurit ilegal yang dipelihara diam-diam oleh penguasa daerah otonom itu tanpa sepengetahuan Kadipaten, apalagi Majapahit. Maka mereka memutuskan hanya berdoa saja untuk keselamatan pemuda asing itu.

10 orang yang mengelilingi Karna bersenjata beda-beda. Ada yang menghunus pedang, golok, tombak, belati, juga cambuk. Secara logika, tidak ada kemungkinan Karna yang bertangan kosong bisa lolos dari Kematian.

Suara gesekan logam berdencing saat 10 orang itu mencoba mengintimidasi nyali Karna dengan membentur-benturkan senjata satu sama lain. Ditambah lecutan cambuk yang menggetarkan telinga.

Karna melirik sekeliling dengan sorot mata dingin. Ia mempelajari formasi itu. Dan instingnya segera bekerja. 3 orang menghunus pedang panjang, 2 orang memegang tombak, 3 orang mengacungkan parang, sisanya 2 orang melecut-lecutkan cambuk. Ia tahu apa yang diperlukan. 8 logam kaku, dua cambuk elastis Ia hanya perlu memusatkan perhatian pada yang elastis luwes itu. Karena yang kaku, meski jumlahnya ada 8, tapi arah serangannya pasti, bisa diduga. Segala hal yang bisa diduga, penyelesaiannya pasti. Beda dengan cambuk yang bisa berayun dan merubah arah dalam sekejap. Jadi, lawan sebenarnya hanya 2, bukan 10. Dan melawan 2 orang itu mudah bagi Karna. Ia cukup melihat arah 8 serangan logam, dan mendengar 2 serangan cambuk

" Serang !"

Mereka serentak menggerakkan senjata. Merangsek. Karna diam saja, menunggu 8 logam itu mendekati tubuhnya.

Benar. 8 pedang, parang dan tombak semua menuju ke tengah. Ke satu titik. Itulah kebodohan yang ditunggu Karna.

Begitu 8 logam itu nyaris menyentuh tubuhnya, Karna melompat.

" Trang ! " Delapan logam itu bertemu. Berbenturan satu sama lain sehingga masing-masing pemegangnya justru seolah saling menyerang. Mereka bingung tidak menemui sasaran sebab tubuh karna sudah melayang di udara.

" Keparat ! Hati-hati kau Soma menghujam tombak!" Seru seseorang yang nyaris tertusuk tombak temannya sendiri.

Serangan pertama yang dilakukan dengan tergesa-gesa itu gagal total malah membuat kacau formasi. Sementara tubuh Karna masih melayang di atas kepala mereka. Dengan menjejakkan-jejakkan kakinya Karna meloncat dari satu kepala ke kepala yang lain sehingga ada 3 orang tersungkur jatuh oleh tenaga pijakan Karna. Seorang penyerang tidak mampu mengendalikan arah jatuhnya hingga pipinya menerjang ujung pedangnya dan tersayat.

" Aduh !" Orang itu jatuh tergelimpang sembari menekan pipinya yang sobek.

" Cukup!" Karna mendarat di luar kepungan," Aku tidak mau berkelahi!"

.

Kesepuluh orang itu membalikkan badan ke arah Karna dengan formasi tak beraturan. Bagaimana mungkin ada satu orang tanpa senjata mampu lolos dari sergapan 10 orang bersenjata hanya dengan satu gerakan dan bahkan mampu membuat seorang temannya terluka?

Mereka melirik satu sama lain untuk memperoleh dukungan nyali. Sesungguhnya kekuatan moral mereka telah runtuh, keyakinan untuk menang sudah hilang. Namun, mereka melirik sang Lurah, Lembu Peteng yang sesungguhnya juga terguncang melihat akrobat 'terbang' Karna di atas kepala 10 orang anak buahnya.

Lembu Peteng tak peduli. Kemarahan dan rasa malunya di depan orang-orang sepasar membuat ia tak mampu mengukur kekuatan.

" Serang!"

10 orang itu meski kini dengan gerak agak ragu menyerang secara acak tanpa formasi, sebab Karna sudah berada di luar kepungan.

Kali ini Karna menjalankan rencananya. Ia hanya menunggu ujung cambuk menghampirinya. Ia tahu, para pemegang senjata logam sudah tidak berani terlalu dekat dengannya, jadi satu-satunya kemungkinan serangan terdekat hanya cambukan.

Dan benar! Seutas cambuk dengan gaya mematuk melecut menuju wajahnya. Ia hanya fokus di gelombang geliat ujung cambuk itu.

1...2...3...batinnya menghitung saat mata cambuk itu mendera dan cukup dengan tubuhnya.

" Clap !" Ujung cambuk itu sudah disahut Karna. Dipegangnya. Seketika dibetotnya dengan sentakan.

" Braaakkk...!!! " Pemegang gagang cambuk terlempar menghempas kandang celeng yang dijual di pasar itu.

Kandang celeng yang tertimpa tubuh pemegang cambuk seketika hancur. Celeng di dalamnya terkejut. Meloncat menginjak,-injak wajah si pemegang cambuk.

Kini Karna sudah memegang cambuk.

Ia melecut-lecutkan cambuk perlahan-lahan. Memberi tanda kesembilan orang yang masih dihadapinya agar tidak mendekat," Sudah, kalian pulanglah. Tinggalkan ibu ini. Jangan ganggu lagi."

Sembilan orang gerombolan itu terdiam. Sejujurnya, mereka sudah sangat ketakutan oleh kemampuan silat Karna yang belum pernah ia saksikan seumur hidup pada orang lain. Pedang, Parang, Tombak, dan Cemeti tidak ada lagi yang mendongak. Luruh ujungnya menghadap tanpa daya.

Lembu Peteng terlihat gugup. Sepuluh orang pun ternyata hanya jadi permainan di hadapan Jaka Wingit. Namun ia belum menyerah. Jika 10 orang bisa kalah, masih ada kemungkinan ia menang jika membawa 100 orang. Di Wisma Gagak Nagara masih ada 100 prajurit, ia akan bawa semuanya!

" Kalian prajuritku," Lembu Peteng memberikan instruksinya," Jangan ada yang meninggalkan tempat ini. Tahan Jaka Wingit sampai aku bawa seluruh prajurit Gagak Nagara ke sini. Siapapun yang lari dari sini, keluarganya akan kutumpas dari istri, anak, cucu, sampai ternak-ternaknya!"

Sembilan anak buah ditambah seorang yang masih terbaring kesakitan di reruntuhan kandang **** seketika menunjukkan wajah tegang. Jaka Wingit memang menakutkan, tapi ancaman Lembu Peteng jauh lebih mengerikan.

" Serang!" Lembu Peteng berteriak sambil berlari menuju Wisma Gagak Nagara untuk memanggil bala bantuan.

Karna mendengus dingin. Kali ini ia sudah jengkel. Mereka harus diberi pelajaran.

Ia membiarkan 9 orang perlahan-lahan membentuk formasi untuk mengepung dirinya lagi. Dengan sikap hening sekejap dihelanya napas dalam. Ditekan sejenak di perut, mengambil titik dingin di hati.

Daya Tirta Gunulung dibangkitkannya di level 2. Cukup tingkat ke-2 kalau hanya untuk memberi pelajaran pada 9 prajurit amatiran ini.

Suhu tubuh Karna mendadak turun seperti logam di di dini hari. Kulitnya yang bersih semburat putih. Ada titik-titik salju muncul dari pori-porinya. Ia bela nafas lagi, memusatkan perhatian pada cambuk yang ia pegang. Perlahan, titik-titik salju itu merambat dari lengan ke jari-jari. Lalu... mengalir di cambuk.

Cambuk itu membeku. Keras seperti es!

Karna memutar cambuk yang kini sudah berubah kaku seperti logam dengan warna salju. Sembilan prajurit yang mengepungnya gemetaran. Ini seperti sihir!

" Jagad Dewa Bathara !" Seorang prajurit memekik. " Siapa yang sedang kita lawan?"

Namun Karna memang sedang berniat memberi mereka pelajaran. Putaran cambuk semakin kencang. Hawa dingin menerjang mengalahkan sinar matahari yang sedang terik-teriknya di siang itu.

JAWARA BANDOT GAGAK BAYAN

Pusaran hawa dingin yang diciptakan oleh Karna dengan media cambuk sebagai penyalur daya inti air ajian Tirta Gumulung kian memekat. Bila dilihat dari atas serupa piring yang berkilau salju. Meski ujung cambuk tidak menyentuh secuil pun kulit 9 orang lawannya, namun hawa dingin yang terbentuk menerjang mereka seperti guyuran air terjun dari puncak gunung.

Tidak memerlukan waktu lama, 9 orang pengepung Karna menggigil hebat. Mulutnya gemetar sehingga terdengar suara gemeretak gigi-gigi yang saling bertemu satu sama lain. Tanpa disentuh, tangan-tangan mereka lunglai tak mampu memegang senjata. Pedang, parang, tombak, belati dan cambuk berjatuhan ke tanah Mereka mendekapkan tangan ke dada masing-masing berharap dapat membantu memperoleh kehangatan. Tapi ternyata itu sia-sia. Hawa dingin yang merasuk terlalu tajam menggigit hingga menembus tulang. Tanpa dikomando, tiba-tiba mereka saling merapat satu sama lain, rebah berpelukan persis anak-anak kucing yang tidur saling menumpuk untuk melawan dingin

Tapi, itu pun juga sia-sia..Bahkan kulit temannya yang tersentuh menjadi sedingin es.

" Ampun... Ampuni kami, Tuan Pendeeekaaarrr...," berkata seseorang di antara 9 orang itu dengan bibir membiru bergetar.

" Iya, ampuni kami, Tuan Jaka Wingiiittt..." Menyahut yang lain.

Karna yang berhati lembut memutuskan untuk mengakhiri pelajaran untuk 9 prajurit sombong itu. Ia lambatkan putaran cambuk dan menarik kembali daya Tirta Gumulung. Cambuk yang sebelumnya berwarna. putih salju seketika mencair menjadi lemas lagi. Perlahan-lahan udara dingin menghilang dan terik matahari kembali menghangatkan 9 orang yang kini duduk bersimpuh menghadapi Karna dengan hati yang jerih sekaligus hormat atas kelapangan dadanya dalam memaafkan.

Orang-orang yang berkerumun menonton perkelahian itu masih ternganga. Hampir tak percaya pada yang dilihatnya. Seolah dongeng menjadi nyata.

" Tuan Jaka Wingit....," Seorang di antara 9 orang yang diampuni itu mengambil inisiatif untuk bicara.

Karna mengangkat tangannya memotong," Tidak perlu menyebut saya dengan tuan, cukup Sanak atau Adhi saja, karena Anda semua sepatutnya jadi Kakang saya."

" Terima kasih, Adhi Jaka Wingit. Jadi begini, kami semua takluk pada Andhika, tetapi kami juga takut pada ancaman lurah kami Kakang Lembu Peteng kalau ketahuan kami menyerah. Bagaimana ini Tuan...eh, Adhi?"

Karna tersenyum," Jangan khawatir. Nanti begitu kakang Lembu Peteng ke mari, kalian semua pura-pura pingsan saja habis saya hajar. Gimana?"

Penonton yang masih berkerumun tak sadar tertawa kecil mendengar solusi yang diberikan Karna. Bagaimana bisa terjadi 9 orang yang selama ini selalu tampil sangar dan semena-mena tiba-tiba dipaksa keadaan untuk pura-pura pingsan?

Namun bagi 9 orang itu, solusi yang ditawarkan Karna adalah jawaban paling bijak dan masuk akal. Mereka lupa rasa malu ditonton banyak orang, yang penting nyawanya terjamin tetap mendiami badan. Serempak mereka tersenyum satu sama lain dan menjawab," Kami bersedia pingsan, Tuan...eh, Adhi."

***

Wisma Gagak Nagara berdiri megah begitu kontras di antara gubuk-gubuk sederhana penduduk tanah perdikan Gagak Nagara yang dikuasai oleh Ki Gedhe Gagak Bayan. Cerita yang berhembus, status tanah perdikan itu diberikan Raja kepada Gagak Bayan sebagai tanda terima kasih setelah Gagak Bayan menyelamatkan nyawa Prabu Kalagemet ( Tahun 1309-1328 ) dari terkaman harimau saat berburu di hutan gunung Mahendra ( gunung Lawu ). Gagak Bayan kemudian dianugerahi banyak sekali uang dan emas sebagai biaya membuka hutan yang terbentang dari bukit Kridhajaya hingga tepian Bengawan. Selanjutnya, di batas wilayah dibangun tugu Gagak yang berukir lencana kerajaan sebagai tanda daerah otonom dengan masa berlaku seumur hidup Gagak Bayan. Itu terjadi 25 tahun yang lalu saat Gagak Bayan masih malang melintang di dunia persilatan di usia 27 tahun. Kini umur Gagak Bayan 52 tahun.

Karena berstatus daerah otonom, Gagak Bayan berhak memberlakukan undang-undang lokal sepanjang tidak bertentangan dengan haluan Negara dan berikrar setia pada pemerintah pusat serta tidak membangun kekuatan militer tanpa sepengetahuan Kraton Majapahit. Namun, hawa angkara manusia siapa yang mampu membendungnya kecuali diri sendiri? Dan tampaknya Gagak Bayan gagal membendung lautan hawa napsunya.

Berawal kegemararannya mengumbar birahi, Gagak Bayan mulai mengkoleksi banyak perempuan sebagai istri, selir, gundik, dan dayang-dayang di Dalem atau Wisma Gagak Nagara yang disulapnya menjadi semacam miniatur Kraton lengkap dengan kaputren yang berisi ratusan wanita dari berbagai tipe kecantikan. Sebagian besar wanita belia berusia antara 15 sampai dengan 22 tahun. Batas tertinggi penghuni taman putri itu adalah 30 tahun. Lepas usia 30 tahun, perempuan tersebut akan diserahkan kepada abdinya untuk diperistri atau dijadikan gundik. Jika tidak, ia akan dikembalikan kepada orangtuanya bersama anak-anaknya bila mereka punya anak, dengan dibekali sejumlah uang dan perhiasan serta sepetak tanah dan rumah. Gaya hidup yang berbiaya tinggi itu membuat uang dan perhiasan hadiah dari Prabu Kalagemet cepat habis.

Saat itulah awal kejahatan Gagak Bayan terhadap kerajaan Majapahit dimulai. Ia memutar otak untuk mendapatkan sumber-sumber dana baru. Dengan kewenangan menerapkan aturan lokal, ia menarik banyak pajak daerah pada masyarakat. Pajak Judi, Minuman Keras, Hasil Bumi, Penjualan Ternak, Irigasi Sawah, Keramaian, termasuk hajatan pun dikenai pajak. Untuk menyembunyikan kejahatannya pada masyarakat, Gagak Bayan rajin memberi upeti kepada beberapa pejabat tinggi Kraton yang berjiwa korup. Sedangkan untuk menjamin proses penarikan pajak di lapangan, ia diam-diam membentuk tentaranya sendiri. Kebanyakan direkrut dari bekas prajurit Majapahit yang melakukan pelanggaran atau yang tergiur pada bayaran yang lebih tinggi. Dan ini adalah pelanggaran yang sangat fatal. Membangun kekuatan militer tanpa sepengetahuan pihak Kerajaan setara dengan pengkhianatan, makar.

Pasca pemerintahan Kalagemet yang digantikan oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi (Tahun 1328-1351), loyalitas Gagak Bayan pada Majapahit hanya di bibir saja. Apalagi setelah Gajahmada diangkat menjadi Mahapatih yang bersumpah untuk mempersatukan Nusantara dalam satu panji Gula Klapa Majapahit, ketakutan bercampur kebencian merusak isi dada Gagak Bayan. Mahapatih Gajahmada telah mencanangkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa agar seluruh kawula mencintai negaranya sebagai modal dasar kekuatan Negara. Undang-undang ditegakkan, pelanggaran hukum tidak ditoleransi. Itulah yang membuat Gagak Bayan ketar-ketir.

Namun apa daya, ia sudah terlanjur basah, kegemarannya pada perempuan muda tidak bisa dikendalikan. Yang penting kekuatan militer yang dibangunnya tidak diketahui oleh pemerintah pusat, demikian pikirnya.

" Gusti Gagak Bayan ! Gusti Gagak Bayan !" Sesosok tubuh tampak berlari-lari panik memasuki gerbang istana kecilnya. Gagak Bayan memang membiasakan orang-orangnya menyebut dirinya sebagai Gusti. Ia menikmati permainannya sebagai Raja Kecil.

Ternyata yang datang berlarian Lembu Peteng.

" Heh, kau sudah gila apa, Peteng?" Hardik Gagak Bayan.

" Ampun, Gusti. Celaka, keadaan gawat !" Napas Lembu Peteng terengah-engah menceritakan kejadian di pasar.

Gagak Bayan mengerutkan kening setelah mendengar cerita Lembu Peteng.

" Kau minta 100 prajurit untuk menangkap seorang pemuda? Kau sudah gila?"

" Ampun, Gusti. Tapi kali ini percayalah pada hamba. Kesaktiannya benar-benar tidak mampu saya ceritakan. Hamba tidak berani ambil resiko. Kalau tidak 100 prajurit, saya kira kita tidak mampu meringkusnya."

" Hmmmm...." Gagak Bayan tampak berpikir. Tiba-tiba adrenalinnya meninggi. Sebagai bekas pendekar besar yang pernah menguasai sebelah timur kaki gunung Mahendra ( Lawu), insting bertarungnya tidak pernah mati. Sungguh ia penasaran ingin menjajal sampai di mana kemampuan silat Jaka Wingit.

" Baik, kali ini aku sendiri yang memimpin!" Gagak Bayan menyanggupi permintaan Lembu Peteng. " Tapi kalau ceritamu mengada-ada, terlalu membesar-besarkan sampai membuat aku repot. Aku lempar kau ke Bengawan sebagai umpan buaya."

Lembu Peteng tersenyum sumringah. Timbul harapan besar untuk menang. Seratus prajurit ditambah seorang Ki Gedhe Gagak Bayan adalah kekuatan yang sangat besar. Lembu Peteng sangat paham, Gagak Bayan bukan pendekar sembarangan.

***

Karna sampai kebingungan cara menolak tanda terima kasih dari orang-orang sepasar yang merasa senang melihat gerombolan Lembu Peteng yang kerjaannya menarik pajak sambil berbuat onar akhirnya dapat ditaklukkan oleh seorang pemuda tak dikenal. Yang berdagang buah menyodorkan buahnya untuk dicicipi, pedagang nasi menawarkan masakannya, pemilik warung tempat Karna makan menolak menerima bayaran, bahkan pedagang tuak mengajak mabuk gratis. Lebih- lebih perempuan separuh baya yang merasa diselamatkan nyawanya, berkali-kali menghatur sembah seolah-olah Karna adalah jelmaan Dewa Wisnu.

Yang terdiam seribu bahasa hanya 10 orang, 9 orang pengeroyok ditambah seseorang yang tadi jatuh menimpa kandang celeng. Namun sebenarnya mereka juga senang sebab nyawanya diampuni Karna yang bahkan tidak menyentuh kulit mereka sedikitpun untuk disakiti.

Belum usai wajah-wajah cerah itu bersuka-cita, tiba-tiba dari arah barat mengepul asap debu tanah. Suara lari kaki kuda menjejak bumi menyusul bergemuruh kemudian. Wajah-wajah yang semula cerah seketika memucat. Apalagi samar-samar mereka mengenali bayang-bayang kereta Gagak Bayan ada di rombongan itu.

" Ki Gedhe Gagak Bayan sendiri yang memimpin pasukan?" Desis seorang tua. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ketika gerombolan Lembu Peteng membantai semua laki-laki dewasa di desa Garda, dia tidak turun tangan langsung.

" Bagaimana ini Tuan Jaka Wingit? Apa Tuan akan pergi meninggalkan kami? Kami takut...."

Karna mengkat tangannya untuk menenangkan mereka," Ini bukan perang kalian. Anda semua selamatkan diri. Lindungi diri kalian. Bersembunyi saja di balik warung dan tempat-tempat yang aman. Untuk ibundanya Savitri, silahkan berlari di balik pohon beringin besar itu, nanti saya jemput begitu usai urusan. Tinggalkan saya di sini sendiri. Ambil jarak aman agak jauh. Mereka juga bawa pasukan panah. Berbahaya !"

Warga desa mengiyakan. Mereka tidak tahu bagaimana caranya Karna bisa melihat bahwa ada pasukan panah dalam rombongan yang masih berjarak cukup jauh dan terselubung debu yang membubung.

" Lantas, kami bagaimana, Adhi Wingit?" Anak buah Lembu Peteng yang baru saja dikalahkan Karna menyeletuk panik.

Karna tersenyum menahan geli," Oh iya, saya nyaris lupa.Anda sekalian silahkan pura-pura pingsan sekarang."

" Baik. Mohon ijin pingsan, Tuan!'

Tanpa dikomando, 9 orang itu mengambil posisi yang nyaman untuk pura-pura pingsan. Sementara orang yang ke 10 kembali berbaring di atas kandang celeng yang sudah berantakan.

***

Karna dengan ekspresi datar menanggapi tenang 100 orang yang kesemuanya menyalangkan tatapan penuh ancaman. Gagak Bayan tertegun menatap 10 orang anak buah Lembu Peteng yang bergelimpangan entah pingsan atau mati. Dalam hatinya mengaku kalau pemuda yang kini berdiri tegak sendirian itu sudah pasti sangat tangguh.

" Bala panah, siaga !" Lembu Peteng memberi komando.

Sekitar 30 orang prajurit pemanah segera memasang anak panah dan merentang gendewa.

" Tahan !" Gagak Bayan mengangkat tangannya. Ia tidak mau gegabah menghadapi pemuda asing ini. Jangan-jangan ia satria Majapahit atau keluarga petinggi Tentara. Bisa celaka kalau salah penanganan. " Lembu Peteng, aku yang memimpin, bukan kamu. Paham?"

" Sendika, Gustiku!" Lembu Peteng mengiyakan.

" Adhimas benar yang bernama Jaka Wingit?" Tanya Gagak Bayan dengan sopan.

Karna membalas dengan menangkupkan tangan hormat," Benar, Tuan Gagak Bayan. Saya sudra Jaka Wingit dari dukuh barat bukit "

" Mohon maaf, bila diperkenankan. Boleh aku tahu Andhika putra ksatria siapa atau murid Reshi siapa?"

Karna tersenyum," Saya yang hina seorang Sudra pejalan kaki, Tuan."

Gagak Bayan mendengus tak percaya. Tak mungkin ada Sudra sebaik itu tata bahasa tanda ketinggian ilmunya. Ia lupa, bahwa sebelum diangkat oleh Prabu Kalagemet sebagai penguasa daerah perdikan, ia sendiri adalah seorang Sudra yang kebetulan saja berhasil mempelajari ilmu Kanuragan tingkat tinggi hingga berhak menyandang derajat Satria.

" Jika Andhika seorang Sudra, ada kepentingan apa turut campur dalam urusan Lembu Peteng yang berkasta Satria?"

Karna tiba-tiba merubah senyumnya dari datar teduh menjadi sinis. Dalam pengajaran yang diberikan gurunya, Mpu Angalas, dharma kebenaran tidak boleh disekat-sekat oleh pangkat dan derajat. Orang-orang yang menempatkan kasta di atas Dharma adalah perusak Agama yang sesungguhnya. Dan ia muak pada jenis manusia seperti itu.

" Iya, saya memang Sudra, Tuanku. Tetapi Sudra sejati, bukan Satria jadi-jadian!'

Gagak Bayan tercekat dengan jawaban itu. Seketika ia marah. Jawaban itu sudah sangat menghina harga dirinya.

" Apa maksudmu?!!!" Gagak Bayan menghardik.

" Maksud saya, Lembu Peteng dan seluruh pasukan Tuan tidak menunjukkan bukti sebagai prajurit sebenarnya. Tidak ada satupun prajurit Tuan yang mengenakan lencana prajurit Wilwatikta!"

" Deg!" Isi dada Gagak Bayan bergoncang dahsyat.

" Keparat ! Kau bocah pongah tidak mampu mengukur tingginya langit!" Teriak Gagak Bayan dengan wajah merah padam.

" Saya memang tidak mampu mengukur tingginya Langit, Tuan. Yang saya tahu, di atas Langit masih ada Langit. Jadi celakalah orang yang menganggap dirinya Langit "

" Siapkan dirimu, Wingit!" Gagak Bayan berteriak seraya menghunus pedang. " Ini antara aku dan kau saja. Kalau kau menang sanggup memutus sehelai saja rambutku, kau boleh bawa Savitri. Tapi kalau kau kalah, aku ampuni kau asal kau potong dan tinggalkan ibu jarimu di sini, lalu minggat dari sini selama-lamanya!"

Karna tersenyum," Tidak perlu ada acara potong memotong, apalagi sampai mengeluarkan darah, Tuan. Silahkan Tuan Gagak menyerang saya dengan pedang dalam 5 jurus. Saya tidak akan membalas. Usai jurus ke-5, jika saya tidak mampu mencukur rambut Tuan dalam 1 jurus, saya mengaku kalah."

Semua orang yang mendengar tantangan itu terbelalak tak percaya. Jaka Wingit ini orang kurang waras atau semacam Dewa? Semua orang tahu, Gagak Bayan adalah pendekar pilih tanding pada masanya. Dan Jaka Wingit berani menerima 5 jurus pedang seorang pendekar sakti tanpa membalas dan menjanjikan mampu mengalahkan dengan 1 jurus, padahal Jaka Wingit tanpa senjata. Ini gila, di luar nalar !

Darah Gagak Bayan mendidih. Kemarahannya melonjak hingga mencapai ubun-ubun. Bocah ini sudah menginjak harga dirinya ke tingkat terendah di mata seluruh prajurit yang biasa menggigil ketakutan pada perintahnya.

" Jangan salahkan aku. Kau sendiri yang minta mati, Jebeng Wingit !"

" Silahkan mulai, Tuan." Karna menyahut dingin. Ia hanya berdiri biasa, bahkan tidak terlihat menyiapkan kuda-kuda.

Tiba-tiba tindakan yang sangat tidak masuk akal dilakukan Karna. Perlahan tangannya merogoh kantong, mengeluarkan secarik kain hitam. Lalu mengikatkan kain itu di mata. Ia bertempur tanpa melihat.

" Silahkan memulai jurus Pertama, Tuan Gagak Bayan yang sakti mandraguna...." Ujar Karna dengan suara mengejek.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!