Hari pasaran tiba. Tumpah ruah warga dari 4 desa melakukan jual beli kebutuhan pangan, sandang, dan ternak. Pedati pembawa dagangan yang ditarik oleh para lelaki kekar berseliweran dengan kereta yang ditunggangi orang-orang kaya yang ingin berbelanja atau sekedar cuci mata sambil memamerkan pakaian beserta perhiasan yang dikenakannya. Para pedagang kecil menggelar dagangan beralas tikar atau anyaman bambu di pinggir jalan. Pedagang yang lumayan mapan memiliki kios tetap terbuat dari kayu dan bambu dengan atap rumbai-rumbai. Sedang saudagar besar menempati bangunan yang bertembok batu bata dengan atap sirap atau genting. Tempat berjualan beras, sayur mayur, rempah-rempah, garam, dan daging terletak di ujung timur. Di sebelahnya dibatasi oleh pagar kayu, terbentang tanah lapang yang dipenuhi kandang-kandang ayam, bebek, celeng, kambing, serta kerbau yang diikat sebagai barang dagangan. Terpisah sekitar 5 tombak ke barat, para pedagang kain, pakaian, perhiasan, serta gerabah berkumpul di wilayah yang paling bersih. Di antaranya, terselip warung-warung panjual jajanan, makanan jadi, serta minuman. Mulai minuman segar semacam legen, gempol, dawet, sampai minuman keras tuak tersaji lengkap. Di blok ini Karna beristirahat di sebuah warung makan setelah sehari penuh berjalan meninggalkan hutan.
" Maaf, Ki Sanak. Andika tampaknya bukan orang di sekitar sini. Selama saya jualan, belum pernah melihat Andika. Benarkah?" Sapa pemilik warung pada Karna.
" Benar sekali," jawab Karna. " Saya datang dari dukuh barat bukit."
" Sepertinya Andika kelelahan. Istirahatlah di belakang ada bale yang biasa dipakai tidur untuk para pejalan."
" Terima kasih, Kakang. Saya hanya butuh secawan air dan sedikit nasi untuk mengisi perut. Setelah itu saya harus melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman saat menyeberang Bengawan."
" Oh ya, silahkan bila begitu. Mari saya layani, mau mencicipi sayur dan daging apa?"
Kali ini Karna jadi kebingungan harus menjawab apa. Selama di hutan bersama Mpu Angalas, ia memang mendapat banyak pelajaran pengetahuan tentang dunia luar. Namun, nampaknya banyak hal yang terlewat. Ia tidak diberi tahu nama-nama masakan.
Karna celingukan menatap banyaknya jenis masakan di kuali. Demikian banyak jenis masakan yang tersaji dan kelihatan lezat semua, tidak satupun yang ia tahu namanya.
" Eeee...itu saja yang airnya warna coklat-coklat," Karna menunjuk sekenanya.
" Rawon maksudnya?"
Karna mengangguk pura-pura paham. " Ternyata namanya rawon,'" bisiknya perlahan sembari menghapal.
Karna menyantap nasi rawon dengan lahap. Ini adalah makanan terlezat yang pernah ia rasakan seumur hidup. Selama di hutan, ia hanya makan buah-buahan, nasi dari sawah yang dibangun oleh Mpu Angalas di tengah hutan dicampur sayuran mentah, kalaupun makan daging atau ikan sungai hasil tangkapan, itupun tanpa bumbu. Paling dibakar saja. Lidahnya seperti menari-nari tak bosan mengecap daging yang dimasak dengan garam dan rempah-rempah lengkap.
" Tolong ! Tolong !" Suara perempuan terdengar berteriak dari arah pasar sebelah timur.
Karna menoleh. Ketajaman pandangannya yang terlatih menembus kepekatan rimba membuat ia mampu melihat jelas apa yang tidak bisa dilihat orang lain dari jarak jauh.
Seorang wanita setengah baya tampak diseret dengan kasar oleh laki-laki berbadan besar dengan tato di sekujur badannya. Wanita itu meronta-ronta dengan Wesia-sia. Semakin meronta makin kuat cengkeraman tangan yang mencengkramnya. Tangannya bahkan sudah terlihat berdarah akibat tersayat kuku laki-laki yang menyeretnya.
" Diam kau wanita rendahan! " Laki-laki itu menghardik. " Mana anakmu Savitri? Mana ?"
" Mohon ampun, Tuan. Beri waktu 3 pekan lagi untuk menebus perjanjiannya," jawab perempuan itu.
" Beri waktu? Beri waktu? Sampai kapan? Tiga pekan yang lalu kau juga bilang gitu. Sudah, bayar hutang suamimu pada Ki Gedhe sesuai perjanjian. Sekarang juga ! Atau sesuai janjinya menjaminkan Savitri anakmu sebagai penggantinya."
" Tiga pekan lagi, Tuan! Saya pasti mampu membayarnya. Hasil dagang saya belum cukup untuk membayar hari ini."
" Tidak ! Bawa Savitri sekarang atau sebagai jaminannya, kau yang kujadikan sebagai gundik bersama buat prajuritku!"
Dari belakang, ada sekitar sepuluh orang terkekeh-kekeh. Rupanya mereka anak buah orang bertato itu
" Ampuni hamba, Tuan. Mohonkan ampun pada Gusti Gagak Bayan untuk memberi waktu."
" Ampun? Ini ampunan dariku !"
" Plak!" Pipi perempuan itu ditampar.
" Ini untuk upah perempuan yang ingkar janji. Sudah suaminya hutang judi, eh masih mengelak lagi. Mau suamimu Suta, biar kucincang sekalian di sini!"
" Ampun, Tuan. Ampun. Kang Suta pergi dari rumah sepekan yang lalu."
" Ampun? Nih ampun lagi!" Kembali perempuan itu ditampar. Kali ini lebih keras hingga kepalanya terlempar ke samping. Darah mengucur dari sudut bibirnya.
" Ampuni hamba, Tuaaaan...." Perempuan itu merintih dengan suara lemah sambil mengusap darah yang mengucur dari bibirnya yang pecah.
" Ini ampunanku!" Laki-laki bertato itu berteriak. Ia mengangkat tangannya. Kali ini bukan dengan telapak terbuka, tapi mengepal. Tampaknya ia bukan lagi ingin menampar, melainkan memukul.
Tangannya terayun cepat menuju wajah perempuan malang itu. Tak sampai sedetik, pasti wajah perempuan itu akan hancur.
" Tap !" Laju pukulan itu tertahan oleh telapak tangan yang menerima kepalan tangan dengan mudah.
" Sabar, Ki Sanak. Semua bisa dibicarakan baik-baik." Ternyata Karna yang menghadang pukulan itu.
" Keparat!" Laki-laki bertato itu mengumpat. " Siapa kau !!!"
Karna dengan sangat tenang menggenggam kepalan tinju laki-laki bertato itu dan menurunnya perlahan," Rahayu, Kakang. Saya Jaka Wingit. Mohon masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin. Nanti pasti ada jalan keluarnya "
" Sok tahu kau, Wingit! Aku Lembu Peteng,. Lurah Prajurit. Jangan cari penyakit kau denganku. Suami si perempuan sundal ini berhutang taruhan sabung ayam pada Gustiku Ki Gedhe Gagak Bayan. Sekarang suaminya minggat entah ke mana, tapi dia sudah menjaminkan anak daranya Savitri dalam perjanjiannya. Aku sudah menagihnya berkali-kali, dan dia selalu ingkar."
" Baiklah, Kakang Lembu Peteng biar saya yang menyelesaikan. Berapa hutangnya?"
" Gustiku sudah tidak butuh uang. Uangnya sangat banyak, mampu untuk membeli nyawa seluruh orang yang di pasar ini. Dia sudah terlanjur suka sama Savitri, mau dijadikan gendakannya. Kau mau apa? Atau kau kekasihnya Savitri? Mau jadi pahlawan? Jangan coba-coba halangi tugasku untuk mengambil Savitri hari ini juga. Atau kau sudah bosan hidup?"
Karna tersenyum lembut," Tidak, Kang. Saya tidak bermaksud menghalangi tugas Anda. Tapi bukankah undang-undang Negara melarang memperlakukan perempuan secara semena-mena? Apa Kakang dan Gusti anda Gagak Bayan tidak takut terkena pidana Negara?" Karna menyampaikan peringatan yang secara 'teori' diajarkan oleh gurunya tentang aturan hukum yang berlaku di Majapahit. Ia sama sekali tidak paham, bahwa dunia nyata tidak sama dengan dunia idealnya saat menerima pelajaran di hutan.
Lembu Peteng sejenak terkesiap dengan jawaban Karna yang memperkenalkan diri sebagai Jaka Wingit. " Bocah ini paham hukum juga," batinnya. Tapi ia juga segera paham, bahwa Jaka Wingit adalah pemuda yang masih sangat polos. Ia pun tertawa terkekeh mengejek, " Kau menyingkir atau kau mati, Wingit?"
" Saya mundur bila Kakang tidak menganiaya Mbok ayu ini lagi."
" Jadi kau menantang aku?'
" Tidak. Saya hanya mencegah Kakang melanggar hukum dengan menganiaya seorang perempuan."
" Keparat terkutuk!" Lembu Peteng mengumpat seraya mengayunkan pukulan ke ulu hati Karna. Dia berpikir, sebagaimana biasanya, ia cukup memukul sekali seseorang, dapat dipastikan orang itu roboh. Bahkan tidak perlu sekuat tenaga. Cukup setengahnya saja.
Karna menatap gerakan tangan Lembu Peteng. Terlalu lamban. Sesungguhnya dengan sekali beringsut saja, pukulan itu pasti meleset. Namun ia tidak ingin mempermalukan Lembu Peteng. Tubuhnya sengaja tidak bergerak sedikitpun.
Lembu Peteng melihat Karna tidak merespon sedikitpun pada pukulannya. Ia pikir pasti Jaka Wingit tidak mempunyai ilmu silat, dan ketika berhasil menahan pukulannya tadi pasti hanya kebetulan.
" Arrrrggghhh... " Lembu Peteng berteriak untuk menguatkan tenaga pukulannya. Karna diam di tempat.
" Wuuuzzzz...." Pukulan itu tidak menemukan sasaran.
" Wuuuzzzz..." Pukulan kedua pun hanya menerpa angin.
Lembu Peteng penasaran. Kali ini ia memukul berayun sekuat tenaga dari kanan ke kiri.
" Wuuuuuzzzz...!!! ," Justru fatal akibatnya. Rupanya Karna mengempiskan perutnya saat pukulan Lembu Peteng menuju perutnya, sehingga pukulan itu luput hanya seukuran helai rambut. Seolah-olah kena, namun sebenarnya tidak. Namun karena Lembu Peteng mengerahkan seluruh tenaganya, ia terdorong ke kiri, limbung kehilangan keseimbangan sehingga kuda-kudanya goyah. Tubuhnya nyaris terpelanting, untung tangan Karna menahan bahu kirinya hingga tidak jadi terjatuh.
" Hati-hati, Kakang tersandung," kata Karna pelan.
Lembu Peteng segera sadar bahwa yang ia hadapi bukan orang sembarangan. Namun karena terlanjur malu, apalagi di depan 10 anak buahnya, juga seisi pasar kini sudah berkerumun menyaksikan perkelahian itu, ia menguatkan nyalinya dengan menghunus parang yang tautkan di pinggang.
" Mati kau !" Lembu Peteng menebaskan parang ke leher Karna. Karna memiringkan tubuh sehingga ujung parang hanya menebas udara. Lembu Peteng mengubah arah serangan dari atas ke bawah ingin membelah kepala Karna. Karna melakukan gerakan cepat dua kali lebih cepat dari ayunan tangan Lembu Peteng. Tiap kali Lembu Peteng mengangkat lengan hendak mengayun, jari-jari Karna mendorong siku Lembu Peteng sehingga dengan meminjam tenaga angkatan tangan, justru Lembu Peteng terdorong ke belakang. Gerakan-gerakan sederhana itu berulang kali dilakukan, sampai tak sadar, bukannya Karna yang terdesak, justru Lembu Peteng makin terpojok. Terhuyung-huyung nyaris jatuh.
Lembu Peteng memang orang kasar. Tapi ia tidak terlalu bodoh untuk mengetahui bahwa kemampuan silat Karna bukan tandingannya untuk dilawan sendirian.
" Apa yang kalian lihat? Terkutuk kalian semua!" Teriak Lembu Peteng pada begundal-, begundalnya.
" Seraaaangggg....! Bunuh Jaka Wingit !"
Serentak 10 orang bergerak membentuk formasi mengepung Karna.
Karna terkepung sebagai titik lingkaran, dengan keliling 10 orang yang semuanya bersenjata.
Orang-orang di pasar yang melihat perkelahian satu banding sepuluh itu dicekam rasa ketakutan. Pikir mereka, sudah pasti jika tidak ditolong, pemuda asing itu pasti mati dicincang ramai-ramai. Suara hati mereka ingin membantu, tapi nama Lembu Peteng terlalu menakutkan untuk dilawan. Ya kalau hari ini menang dan mampu membunuhnya. Kalau kalah? Bisa-bisa besok semua warga desa dibantai oleh Lembu Peteng dan gerombolannya yang menuntut balas. Karena itu pernah kejadian di Desa Garda yang kini semua penduduk laki-laki dewasanya tewas. Belum lagi kalau Ki Gedhe Gagak Bayan marah, penguasa tanah Perdikan Gagak Nagara yang terkenal keji Lembu Peteng hanya salah satu Lurah di antara ratusan prajurit ilegal yang dipelihara diam-diam oleh penguasa daerah otonom itu tanpa sepengetahuan Kadipaten, apalagi Majapahit. Maka mereka memutuskan hanya berdoa saja untuk keselamatan pemuda asing itu.
10 orang yang mengelilingi Karna bersenjata beda-beda. Ada yang menghunus pedang, golok, tombak, belati, juga cambuk. Secara logika, tidak ada kemungkinan Karna yang bertangan kosong bisa lolos dari Kematian.
Suara gesekan logam berdencing saat 10 orang itu mencoba mengintimidasi nyali Karna dengan membentur-benturkan senjata satu sama lain. Ditambah lecutan cambuk yang menggetarkan telinga.
Karna melirik sekeliling dengan sorot mata dingin. Ia mempelajari formasi itu. Dan instingnya segera bekerja. 3 orang menghunus pedang panjang, 2 orang memegang tombak, 3 orang mengacungkan parang, sisanya 2 orang melecut-lecutkan cambuk. Ia tahu apa yang diperlukan. 8 logam kaku, dua cambuk elastis Ia hanya perlu memusatkan perhatian pada yang elastis luwes itu. Karena yang kaku, meski jumlahnya ada 8, tapi arah serangannya pasti, bisa diduga. Segala hal yang bisa diduga, penyelesaiannya pasti. Beda dengan cambuk yang bisa berayun dan merubah arah dalam sekejap. Jadi, lawan sebenarnya hanya 2, bukan 10. Dan melawan 2 orang itu mudah bagi Karna. Ia cukup melihat arah 8 serangan logam, dan mendengar 2 serangan cambuk
" Serang !"
Mereka serentak menggerakkan senjata. Merangsek. Karna diam saja, menunggu 8 logam itu mendekati tubuhnya.
Benar. 8 pedang, parang dan tombak semua menuju ke tengah. Ke satu titik. Itulah kebodohan yang ditunggu Karna.
Begitu 8 logam itu nyaris menyentuh tubuhnya, Karna melompat.
" Trang ! " Delapan logam itu bertemu. Berbenturan satu sama lain sehingga masing-masing pemegangnya justru seolah saling menyerang. Mereka bingung tidak menemui sasaran sebab tubuh karna sudah melayang di udara.
" Keparat ! Hati-hati kau Soma menghujam tombak!" Seru seseorang yang nyaris tertusuk tombak temannya sendiri.
Serangan pertama yang dilakukan dengan tergesa-gesa itu gagal total malah membuat kacau formasi. Sementara tubuh Karna masih melayang di atas kepala mereka. Dengan menjejakkan-jejakkan kakinya Karna meloncat dari satu kepala ke kepala yang lain sehingga ada 3 orang tersungkur jatuh oleh tenaga pijakan Karna. Seorang penyerang tidak mampu mengendalikan arah jatuhnya hingga pipinya menerjang ujung pedangnya dan tersayat.
" Aduh !" Orang itu jatuh tergelimpang sembari menekan pipinya yang sobek.
" Cukup!" Karna mendarat di luar kepungan," Aku tidak mau berkelahi!"
.
Kesepuluh orang itu membalikkan badan ke arah Karna dengan formasi tak beraturan. Bagaimana mungkin ada satu orang tanpa senjata mampu lolos dari sergapan 10 orang bersenjata hanya dengan satu gerakan dan bahkan mampu membuat seorang temannya terluka?
Mereka melirik satu sama lain untuk memperoleh dukungan nyali. Sesungguhnya kekuatan moral mereka telah runtuh, keyakinan untuk menang sudah hilang. Namun, mereka melirik sang Lurah, Lembu Peteng yang sesungguhnya juga terguncang melihat akrobat 'terbang' Karna di atas kepala 10 orang anak buahnya.
Lembu Peteng tak peduli. Kemarahan dan rasa malunya di depan orang-orang sepasar membuat ia tak mampu mengukur kekuatan.
" Serang!"
10 orang itu meski kini dengan gerak agak ragu menyerang secara acak tanpa formasi, sebab Karna sudah berada di luar kepungan.
Kali ini Karna menjalankan rencananya. Ia hanya menunggu ujung cambuk menghampirinya. Ia tahu, para pemegang senjata logam sudah tidak berani terlalu dekat dengannya, jadi satu-satunya kemungkinan serangan terdekat hanya cambukan.
Dan benar! Seutas cambuk dengan gaya mematuk melecut menuju wajahnya. Ia hanya fokus di gelombang geliat ujung cambuk itu.
1...2...3...batinnya menghitung saat mata cambuk itu mendera dan cukup dengan tubuhnya.
" Clap !" Ujung cambuk itu sudah disahut Karna. Dipegangnya. Seketika dibetotnya dengan sentakan.
" Braaakkk...!!! " Pemegang gagang cambuk terlempar menghempas kandang celeng yang dijual di pasar itu.
Kandang celeng yang tertimpa tubuh pemegang cambuk seketika hancur. Celeng di dalamnya terkejut. Meloncat menginjak,-injak wajah si pemegang cambuk.
Kini Karna sudah memegang cambuk.
Ia melecut-lecutkan cambuk perlahan-lahan. Memberi tanda kesembilan orang yang masih dihadapinya agar tidak mendekat," Sudah, kalian pulanglah. Tinggalkan ibu ini. Jangan ganggu lagi."
Sembilan orang gerombolan itu terdiam. Sejujurnya, mereka sudah sangat ketakutan oleh kemampuan silat Karna yang belum pernah ia saksikan seumur hidup pada orang lain. Pedang, Parang, Tombak, dan Cemeti tidak ada lagi yang mendongak. Luruh ujungnya menghadap tanpa daya.
Lembu Peteng terlihat gugup. Sepuluh orang pun ternyata hanya jadi permainan di hadapan Jaka Wingit. Namun ia belum menyerah. Jika 10 orang bisa kalah, masih ada kemungkinan ia menang jika membawa 100 orang. Di Wisma Gagak Nagara masih ada 100 prajurit, ia akan bawa semuanya!
" Kalian prajuritku," Lembu Peteng memberikan instruksinya," Jangan ada yang meninggalkan tempat ini. Tahan Jaka Wingit sampai aku bawa seluruh prajurit Gagak Nagara ke sini. Siapapun yang lari dari sini, keluarganya akan kutumpas dari istri, anak, cucu, sampai ternak-ternaknya!"
Sembilan anak buah ditambah seorang yang masih terbaring kesakitan di reruntuhan kandang **** seketika menunjukkan wajah tegang. Jaka Wingit memang menakutkan, tapi ancaman Lembu Peteng jauh lebih mengerikan.
" Serang!" Lembu Peteng berteriak sambil berlari menuju Wisma Gagak Nagara untuk memanggil bala bantuan.
Karna mendengus dingin. Kali ini ia sudah jengkel. Mereka harus diberi pelajaran.
Ia membiarkan 9 orang perlahan-lahan membentuk formasi untuk mengepung dirinya lagi. Dengan sikap hening sekejap dihelanya napas dalam. Ditekan sejenak di perut, mengambil titik dingin di hati.
Daya Tirta Gunulung dibangkitkannya di level 2. Cukup tingkat ke-2 kalau hanya untuk memberi pelajaran pada 9 prajurit amatiran ini.
Suhu tubuh Karna mendadak turun seperti logam di di dini hari. Kulitnya yang bersih semburat putih. Ada titik-titik salju muncul dari pori-porinya. Ia bela nafas lagi, memusatkan perhatian pada cambuk yang ia pegang. Perlahan, titik-titik salju itu merambat dari lengan ke jari-jari. Lalu... mengalir di cambuk.
Cambuk itu membeku. Keras seperti es!
Karna memutar cambuk yang kini sudah berubah kaku seperti logam dengan warna salju. Sembilan prajurit yang mengepungnya gemetaran. Ini seperti sihir!
" Jagad Dewa Bathara !" Seorang prajurit memekik. " Siapa yang sedang kita lawan?"
Namun Karna memang sedang berniat memberi mereka pelajaran. Putaran cambuk semakin kencang. Hawa dingin menerjang mengalahkan sinar matahari yang sedang terik-teriknya di siang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
putra
hadir
2022-10-05
1
Abdus Salam Cotho
di awalnya sudah keren, semangat Kakang thor 💪🏿
2022-08-24
0
Trisna Tris
wah.. ceritamu keren abis thor. ..jadi tambah semangat membacanya
gk pakai lama Thor. ..lanjut...
2022-07-27
1