Hawa panas pertempuran mereda. Karna yang pada dasarnya tidak suka banyak bicara kalau tidak penting, melangkah meninggalkan tubuh Gagak Bayan yang masih berbaring terpukul malu dengan kepala botak Lembu Peteng tidak berani berinisiatif memberi instruksi takut Gagak Bayan tidak berkenan. Sementara 70 prajurit masih mematung takjub akan kedigdayaan Jaka Wingit, yang 30 orang sebagai Bala Panah masih tetap dalam sikap siaga. Namun bila disuruh memilih, mereka akan memilih tidak melanjutkan perang melawan orang yang kesaktiannya seperti Dewa itu.
Karna yang mengira pertempuran telah usai bermaksud menuju ke balik pohon Beringin untuk menjemput ibunya Savitri guna menyelesaikan masalahnya hingga tuntas. Dia tidak menyadari, di belakangnya Gagak Bayan rupanya sudah gelap mata total. Ia memberi isyarat tangan pada Lembu Peteng untuk memimpin serangan panah serempak. Lembu Peteng mengangguk. Ia segera memberi isyarat kepada 30 orang Bala Panah untuk melepaskan bidikan. Seluruh instruksi itu dilakukan dengan isyarat tangan, tanpa suara sama sekali.
" Slap ! Slap ! Slap !" .... Tiga puluh batang anak panah melaju bersamaan seperti air hujan menderas ke tubuh Karna yang sedang memunggungi penyerangnya.
Pendengaran Karna yang sangat tajam segera sadar bahwa ia sedang diserang secara brutal. 30 anak panah berarti tidak ada satupun lobang yang lolos dari serangan. Mustahil tubuhnya bisa lolos. Kalaupun dia melompat, laju anak panah pasti bisa menyusul. Karna mengambil keputusan cepat untuk meloncat ke pohon terdekat, menukas putus dahannya untuk dijadikan tangkat sepanjang tinggi badannya.
" Klak! Klak! Pletak !" Bunyi 30 anak panah membentur dahan pohon yang telah diputar-putar Karna dengan kecepatan sangat tinggi sehingga membentuk benteng lingkaran yang melindungi seluruh tubuhnya.
Beberapa anak panah patah, sisanya jatuh ke tanah, namun banyak yang terlontar ke segala arah dan bahkan sebagian kembali dengan kecepatan dua kali lipat ke arah pemyerangnya.
" Arrrrggghhh...." Terdengar jerit kesakitan. 2 orang prajurit yang berdiri paling dekat dari Karna tersasar anak panah yang mental. Mereka roboh terjungkal dengan panah menancap dada, satu lagi menembus leher.
Gelombang kedua serangan panah datang. Kali ini posisi Karna sudah siap. Putaran benteng pertahanannya lebih mantap, kuat dan cepat.
" Klak ! Pletak ! Clap ! Clap !' Putaran yang sangat cepat membuat dahan yang digunakan Karna menjelma menjadi dinding pejal tanpa lobang yang mementalkan lebih dari separuh panah yang datang. Akibatnya mengerikan. 4 batang anak panah kembali secara acak ke arah prajurit. 4 orang tumbang seketika.
Namun, ada 1 anak panah mental dan melesat terlalu kuat. Melewati rombongan prajurit palsu Gagak Bayan, masih melaju liar menerjang udara dan....
" Anakku.....!!!! " Jerit seorang wanita. Rupanya anak panah mental yang terakhir melaju dengan daya dorong terlalu kuat dan menembus sebuah warung berdinding gedheg ( anyaman bambu ) tempat seorang anak kecil dan ibunya bersembunyi menonton pertempuran.
Untung saja anak panah itu hanya menyerempet bahu si bocah yang sedikit mengucurkan darah.
" Tidak apa-apa, Biyung. Saya tidak sakit kok." Justru anak itu menghibur ibunya. Rupanya sang bocah sudah terlanjur memuja Jaka Wingit, hingga khawatir kalau ibunya menyalahkan pendekar pujaannya atas kejadian itu.
Kejadian itu menyentak kesadaran Karna. Kemarahannya yang sempat timbul atas serangan pengecut itu segera sirna, terganti rasa khawatir akan keselamatan penduduk desa yang bersembunyi di warung-warung. Ia bisa saja bertahan dan bahkan mungkin menang dengan mengembalikan serangan panah yang datang. Namun, ia tidak bisa mengendalikan arah pentalan panah.
Ini harus dihadapi dengan cara lain. Lebih baik ia melarikan diri untuk menyiapkan cara ke depan melenyapkan kejahatan Gagak Bayan, daripada menang sekarang namun beresiko membahayakan keselamatan orang-orang yang tidak berdosa.
Karna memanfaatkan waktu jeda beberapa kejap mata saat para prajurit Bala Panah memasang anak panah baru.
Ia jejakkan kaki, melompat vertikal ke udara. Sekitar 2 Dpa dari tanah, ( Dpa \= Depa, 1 Depa \= kurang lebih 2 meter, jadi 2 Dpa \= 4 meter ) Karna memutar tubuhnya dengan titik pusaran dua telapak kaki yang saling menakup. Bersamaan dengan berputarnya tubuh, Karna mengambil napas perut secara 'acak'. Menarik dan menghembus dengan cepat dengan ritme 'kacau balau'. Itulah tehnik untuk mengacaukan hawa sakti sehingga bergolak menjadi badai kekuatan angin topan. Tiap kali Karna menggasingkan tubuh di udara, terjadi keanehan pada gerak angin sekitar. Tiba-tiba udara seperti tersedot semua menuju dan mengumpul di tubuh Karna dayanya. Akibatnya, batang pohon-pohon di sekitar tersedot, melengkung ke arah putaran tubuh Karna. Daun-daun berguguran, lepas dari tangkainya. Melesat terbang ke arah tubuh Karna sebelum akhirnya melingkar mengelilingi tubuh Karna.
Sekilas, pemandangan yang tercipta sangat indah. Seorang Karna berputar gasing di udara, sekelilingi daun, ranting kering, juga warna-warni bunga yang lepas dari tangkainya.
Namun bukan hanya itu dampaknya. Para prajurit tiba-tiba merasakan dadanya sesak, mengempis. Rupanya udara pernapasan mereka juga tersedot oleh pusaran Karna. Bukan hanya itu. Anak-anak panah yang semula di wadahnya perlahan-lahan terbang melayang menuju tubuh Karna dan ikut beterbangan mengelilingi.
Seluruh mata yang menatap dilanda ketakjuban tak terperi. Sihir apalagi ini? Belum usai heran mereka atas putaran es ajian Tirta Gumulung, lalu kehebatan gerak silat, disusul benteng dahan pohon, ini ada yang lebih dahsyat lagi. Sedotan tenaga angin yang menciptakan pemandangan indah.
" Hati-hati.... Waspada !" Desis Gagak Bayan yang jauh lebih berpengalaman di bandingkan yang lain dalam menghadapi sebuah Ajian simpanan. Perasaannya membisik, akan ada susulan kejadian yang merubah hal yang indah menjadi kengerian.
Gagak Bayan benar. Belum usai rahangnya mengatup untuk memperingatkan prajuritnya, tiba-tiba Karna berteriak keras.
Karna sudah memutuskan untuk melepaskan daya angin yang telah dikumpulkannya. Cukup tingkat 3 saja yang dilepaskan. Padahal sesungguhnya Karna bisa melepaskan semua di tingkat 9. Ia hanya melepaskan sepertiga bagian untuk melawan 100 orang. Karna memang tidak berniat membunuh siapapun. Ia selalu mengingat pesan Mpu Angalas agar tidak membunuh sekecil apapun makhluk hidup, kecuali terpaksa demi bertahan hidup.
" Aaaarrrggghhhh....!!! Karna berteriak menghempaskan sepertiga tenaga angin yang terkumpul di tubuhnya
Tanpa bisa dicegah, sebentuk angin topan menghempas. Menerjang. Menerbangkan semua yang ada di sekitar, baik makhluk hidup maupun benda mati. Permukaan tanah yang rapuh seketika lepas dari bumi, membuyar menjadi debu, kerikil-kerikil terlontar, pohon-pohon kecil tercerabut dari akarnya, terbang. Tubuh-tubuh prajurit terhempas terlempar terpelanting membentur dan bertumbangan seperti daun kering. Hanya Gagak Bayan dan Lembu Peteng yang masih sanggup bertahan di tempatnya dengan memasang kuda-kuda yang kuat.
" Ajian Bayu Bajra !" Gagak Bayan memekik tak percaya.
Bayu Bajra yang berarti Angin Ribut adalah nama ajian yang pernah menggemparkan dunia persilatan sekitar 20 hingga 30 tahun yang lalu. Konon disebutkan ajian itu diciptakan oleh Mpu Bharada sang Mahaguru Prabu Airlangga, jelmaan Dewa Wisnu. Diceritakan ajian itu punah selama ratusan tahun sejak runtuhnya Kerajaan Kediri (tahun 1222 ). Kemudian tanpa disangka-sangka, ada seseorang pemuda yang berilmu sastra sangat tinggi menemukan kitab pusaka Bayu Bajra dan berhasil mempelajarinya dengan tuntas. Pemuda jenius itu bernama Dharma Kandha ( Sabda Kebenaran) yang sempat menjabat sebagai salah seorang pujangga kraton di usia 40 tahun. Di samping menjabat sebagai pujangga, Dharma Kandha juga seorang pendekar dan Mpu Keris yang pilih tanding. Pada masanya, tidak ada seorangpun pendekar mampu menghadapi Dharma Kandha saat menerapkan ajian Bayu Bajra. Dharma Kandha 27 tahun yang lalu berpamit kepada Prabu Kalagemet untuk menjalani kehidupan di sebuah hutan yang ia pilih sendiri sebagai Pertapa Brahmachari ( Selibat, Tidak melakukan aktivitas birahi) sampai mokhsa. Karena keputusannya untuk bertapa hingga mokhsa di hutan itulah kemudian Dharma Kandha disebut sebagai Mpu Angalas ( Angalas \= Meminggir diri, menyepi di Hutan). Bersamaan dengan kepergian Mpu Angalas,, ajian Bayu Braja ikut lenyap ditelan bumi tanpa pewaris. Namun, ada banyak spekulasi berkembang menyebutkan bahwa Mpu Angalas memilih hutan Sunyakama sebagai tempat pertapaannya. Akibatnya, banyak sekali pendekar silat yang ngiler pada kedahsyatan ajian Bayu Bajra memburu Mpu Angalas secara diam-diam dengan memasuki alas Sunyakama membawa harapan agar diangkat menjadi muridnya. Namun, tak seorangpun menemukan Mpu Angalas. Lebih banyak yang tewas dimangsa binatang buas penunggu alas Sunyakama yang berukuran tidak wajar. Lebih tepat disebut Siluman daripada binatang sesungguhnya. Bagaimana mungkin bisa dianggap binatang asli kalau ditemui oleh seekor harimau seukuran 10 kali tubuh manusia? Harimau Siluman itu kemudian dikenal sebagai Sardula Datu ( Raja Macan ). Dan Gagak Bayan tahu persis hal itu. Ia sesungguhnya, 27 tahun yang lalu termasuk di antara banyak pendekar yang bercita-cita menjadi muridnya Mpu Angalas sehingga dengan nekat memasuki alas Sunyakama. Di sana yang ia temui adalah dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Alih-alih bertemu Mpu Angalas, ia hanya ditemui siluman Sardula Datu yang menghajarnya hingga babak belur. Tapi hajaran dari Sardula Datu ternyata merupakan anugerah yang tersembunyi. Ia secara tidak langsung diajari cara menaklukkan harimau yang wajar. Pengetahuan itulah yang membuat ia mampu membunuh dengan mudah harimau besar yang tengah menerkam Prabu Kalagemet. Meskipun Gagak Bayan gagal menemui Mpu Angalas, tapi ada anugerah yang bisa ia dapatkan.
Sekeluarnya dari alas Sunyakama, Gagak Bayan menganggap bahwa cerita adanya pertapaan Mpu Angalas di hutan Sunyakama hanyalah dongeng.
Namun, kini apa yang dianggapnya dongeng menjadi hancur berantakan. Ajian yang baru saja diterapkan oleh Karna persis ciri-ciri penggambaran Bayu Bajra. Tiba-tiba terbersit pikiran lain. Ia harus menguasai Bayu Bajra. Ia akan berbaik-baik pada Jaka Wingit, karena hanya Jaka Wingit yang mampu membuat peluangnya terbuka untuk mewujudkan cita-citanya 27 tahun yang lalu. Kalau ia tidak bisa bertemu dengan Mpu Angalas yang mungkin sudah mokhsa, ia bisa belajar dari Jaka Wingit, bagaimanapun caranya. Selanjutnya, jika ajian Bayu Bajra bisa ia kuasai, seluruh urusan dunia gampang. Dunia dalam genggamannya, karena Bayu Bajra adalah ilmu Kanuragan tertinggi, apa yang perlu ditakutkan? Mahapatih Gajahmada pasti butuh Bayu Bajra juga saat harus berperang. Jadi tidak mungkin mempermasalahkan pelanggaran 'kecil'nya membangun kekuatan militer diam-diam di tanah perdikan Gagak Nagara. Sedang tentang Jaka Wingit? Sangat gampang. Begitu Bayu Bajra dikuasai, tinggal dikasih makanan beracun Jaka Wingit pasti. Dalam hati Gagak Bayan terkekeh.
" Jaka Wingit itu jiwanya masih seputih kapas. Sangat tulus, lugu dan bodoh," rancang pikiran Gagak Bayan berbisik.
" Adhimas Jaka Wingit, saya mengaku kalah," ujar Bayan.
Karna yang sudah menarik daya ajian Bayu Bajra termangu. Benarkah itu pengakuan tulus atau sekedar jebakan lagi. Mengingat sudah dua kali Gagak Bayan menipunya. Satu dengan serangan senjata rahasia jarum beracun, kedua dengan melancarkan hujan panah saat ia memunggungkan badan. Ia harus hati-hati. Dalam kepolosan yang terdalam, sebenarnya ia ingin membalas sikap ramah Gagak Bayan dengan memberikan sikap hormat, namun ada terselip juga rasa ragu mengingat pesan gurunya bahwa semakin halus sesuatu harus makin hati-hati pula cara menanggapinya.
" Baiklah, Tuan," akhirnya Karna mengambil jalan tengah. Tidak menolak, namun juga tidak terburu-buru percaya. " Untuk sekarang, saya mohon pamit pergi dulu menenangkan perasaan biyungnya Savitri."
" Savitri? Oh...itu sekarang milik Adhimas. Tidak perlu mengkhawatirkannya. Saya tidak akan mengganggu calon istri Adhi." Gagak Bayan mulai melancarkan serangan liciknya.
" Dia bukan calon istri saya, Tuan. Saya hanya ingin membebaskanya dari jaminan hutang. Jangankan calon istri, melihatnya pun saya belum, Tuan"
" Hutang apa sih? Janganlah bicara hutang piutang. Kita kan saudara. Semua hutang bapaknya Savitri sudah saya anggap lunas terbayar, bahkan masih ada kelebihannya mengingat Adhimas sudah mengampuni nyawa saya yang hanya satu-satunya. Nanti masalah pernikahan, jangan khawatir. Mau dibuat pesta semeriah apapun, biar itu menjadi kewajiban saya sebagai saudara tua. Semua biaya saya yang menanggung." Keahlian Gagak Bayan dalam hal menyuap pejabat korup dipraktekkan untuk memikat hati Karna. " Lagipula tidak perlu melihat, kecantikan Savitri sungguh tidak ada perempuan di seluruh Gagak Nagara yang layak menandinginya. Sempurna untuk mendampingi Adhiku yang tampan ini."
Karna menghela napas pelan. Menangkup tangan memberi hormat, " Terima kasih Tuan sudah sudi menjadikan saya sebagai saudara. Mohon maaf kepada saudara-saudara prajurit yang terluka atas kekasaran saya tadi.
Sekarang ijinkan saya meneruskan perjalanan lagi."
" Hendak ke mana, Adimas? Sudilah mampir sejenak ke Wisma Gagak Nagara. Biar saya menjamu Adhi barang sejenak." Gagak Bayan bermaksud menahan. Ia bertekad harus berhasil mendapatkan pelajaran ajian Bayu Bajra dari Jaka Wingit.
Karna hanya tersenyum. Ia sudah berpamitan, tak ada gunanya mengulang kata-kata. Enggan memenuhi undangan Gagak Bayan, Karna sengaja menjejak Bumi untuk berkelebat cepat agar tidak tersusul. Sekejap ia sudah sampai di balik pohon Beringin tempat ibunya Savitri bersembunyi dengan wajah cerah bahagia melihat jalannya pertarungan yang akhirnya dimenangkan oleh Jaka Wingit.
" Maaf, Ibu. Bukan bermaksud tidak sopan. Saya harus memondong Anda agar perjalanan lebih cepat. Tunjukkan saja jalan ke rumah Anda."
Tubuh ibunya Savitri dipondong Karna. Kembali Karna menjejak tanah untuk melakukan perjalanan cepat setelah ditunjukkan arahnya.
Gagak Bayan panik. Ia sangat khawatir Jaka Wingit tidak kembali sehingga peluangnya untuk belajar Bayu Bajra tertutup sebagaimana kegagalannya bertemu Mpu Angalas 27 tahun yang lalu. Dengan sigap ia meloncat ke punggung kuda, ditepuknya keras sehingga kuda melonjak terkejut berlari secepat angin menyusul Karna.
" Adhimas Wingit. Jangan tinggalkan aku ! Kakangmu sesungguhnya !" Teriak Gagak Bayan.
Karna terkejut melihat Gagak Bayan menyusulnya dengan naik kuda. Akan sulit jika begini keadaannya. Bagaimanapun ia berlari cepat, kuda adalah binatang yang dikodratkan untuk berlari, apalagi ia harus menahan beban ibunya Savitri yang tentu akan memperlambat kecepatan geraknya. Karna memutuskan untuk sembunyi, menyusup ke semak-semak ilalang yang setinggi manusia.
Gagak Bayan sudah berhasil menyusul di tepian semak-semak. Ia terus memanggil-manggil Jaka Wingit untuk menerima undangannya sebagai saudara. Tapi Karna yang belum percaya sepenuhnya pada perubahan drastis sikap Gagak Bayan tetap bersembunyi sambil memberi isyarat kepada ibunya Savitri untuk membisu.
Perlahan, kuda Gagak Bayan melangkah pelan menyibak rumput ilalang. Semakin dekat. Kian pasti menuju titik persembunyian Karna.
Tiba-tiba....," Grooooaaahhhhrrrr....!!! "
Terdengar suara geraman Harimau. Kuda Gagak Bayan tersentak. Menaikkan kakinya panik. Liar tak terkendali karena ketakutan mendengar geraman Harimau yang dahsyat menggetar.
Kuda itu balik badan dan kabur. Gagak Bayan melompat turun menyelamatkan diri dari kuda yang sedang menggila panik.
Sekali lagi Gagak Bayan mencoba memanggil-manggil nama Jaka Wingit untuk merayu. Namun tak dijawab juga oleh Karna. Gagak Bayan tahu, Jaka Wingit masih ada di sekitar situ. Ia pun merubah rencananya. " Jaka Wingit pasti belum percaya padaku sekarang. Aku akan membuat dia percaya dengan cara lain," batinnya berbisik.
" Adhimas Wingit, baiklah jika Adhi ingin menemui keluarga Savitri dulu. Nanti begitu ada waktu jangan lupa mampir ke rumah Kakangmu ini. Semoga segala kebaikan menyertai Adhi selalu. Rahayu !" Kata Gagak Bayan lantang sebelum kembali ke rombongan prajuritnya.
Karna menghela napas lega melihat bayang Gagak Bayan telah berlalu. Namun dia menyimpan penasaran yang lain. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada harimau muncul di semak-semak ilalang. Lagipula ada yang aneh dalam pendengaran Karna. Orang lain bisa saja tertipu oleh suara itu. Tapi Karna tidak. Seumur hidup ia berada di hutan. Berbagai binatang buas adalah teman sehari-hari. Ia bisa membedakan suara binatang asli dengan suara tiruan.
" Ki Sanak yang bersuara macan, terima kasih atas pertolongannya. Keluarlah jika berkenan. Biarlah kita berkenalan." Ujar Karna.
Dari jarak sekitar 5 depa, rumput ilalang tersibak. Seorang remaja barparas sangat tampan dengan kulit bersih halus. Wajahnya sekilas bagai perempuan, apalagi badannya terbilang pendek untuk ukuran laki-laki kebanyakan. Remaja itu berdiri menghaturkan hormat, " Rahayu, Tuan Jaka Wingit. Saya berasal dari desa Arcala. orang-orang memanggil saya Jaka Julig atau Julig saja."
Desa Arcala? Kata Mpu Angalas, itu adalah nama desa terdekat dari alas Sunyakama. Tapi berada di sebelah selatan, jadi tidak dilewati Karna yang melewati jalur timur.
Karna membalas salam, " Rahayu, Adhi Julig. Tidak perlu menyebut saya Tuan. Cukup Kakang saja. Terima kasih atas bantuannya. Suara Adhi benar-benar mirip seekor macan, sampai kuda Gagak Bayan kabur ketakutan."
Julig yang berpembawaan riang menutup mulut dengan telapak tangannya.
" Krrrrr.... krrrrr...krrrrr....! Bagaimana dengan ini?" Katanya seraya berputar-putar dan menekuk lututnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Ibunya Savitri dan Karna serentak tertawa," Persis. Persis Lutung !"
" Saya bisa menirukan suara binatang apa saja, Tu...eh, Kakang Wingit. Pokoknya, sekali dengar, suara apapun bisa saya tiru," kata Julig dengan bangga. " Sekarang, ikuti saya. Saya tahu jalan pintas paling dekat ke desa Savitri. Semua pemuda sekitar bukit dan alas Sunyakama tahu Savitri. Dia kembang yang harumnya semerbak ke mana-mana. Ayo, ikuti jalan pintas temuan si Julig. Tapi harus lewat hutan kecil itu ya?" Sambung Julig.
" Baiklah," Jawab Karna sambil memondong lagi ibunya Savitri.
Dengan tertatih-tatih Julig memimpin jalan. Karna tersenyum tak sabar. Kalau begini, kapan sampainya?
Karna menepuk pundak Julig," Kau naik ke punggungku. Tunjukkan saja arahnya!"
" Mosok Kakang malah mau bawa dua orang? Apalagi di hutan. Apa ndak encok nanti pinggangnya?"
Karna tersenyum. Seumur hidup ia di hutan. Justru di hutan gerakannya bisa lincah.
" Sudah, naik saja ke punggungku. Pegangan yang kencang."
Julig dengan ragu-ragu naik ke punggung Karna. Tangannya memegang bahu Karna.
Karna menjejakkan kakinya. Melenting menuju dahan pohon besar. Menjejak dahan untuk meluncur berpindah ke pohon yang lain, meluncur. Melayang. Menjejak lagi, demikian seterusnya. Hingga mereka bertiga melesat dengan kecepatan tinggi.
Angin kencang menerpa telinga Julig yang berteriak kegirangan.
" Uhuuuuiiiii....kita terbang ! "
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Windy Veriyanti
Rahayu 🙏🌷
2024-06-04
0
putra
Salam rahayu
2022-10-05
1
Win Hirtatiyanto
kereeen Thor
2022-02-15
0