DEMI ANAKKU

DEMI ANAKKU

1

"Adam, cepat bangun, sayang!" ujar lembut Alia kepada anak semata wayangnya, sambil membelai hangat rambut Adam yang masih tertidur pulas, ditutupi selimut di sekitar tubuhnya.

"Tenggorokan Abang sakit, Bunda, dan kayaknya badan Abang nyeri semua," ucapnya, yang membuat Alia cukup panik dan langsung mengecek suhu badannya yang memang cukup panas.

"Badan kamu panas banget, nak, Bunda bawa kamu ke rumah sakit ya!" pinta Alia. Namun, kepanikan perempuan itu semakin bertambah tatkala melihat banyaknya ruam di sekitar bahunya saat ia menunjukkannya pada Alia.

"Ya Tuhan!!! Bunda bawa kamu ke rumah sakit sekarang ya, sayang!" jerit Alia penuh kepanikan.

"Iya, Bunda, tapi Bunda tak perlu terlalu panik karena Abang gak sakit parah kok," jawabnya pelan berusaha menenangkan. Namun, bagaimanapun, Alia tidak bisa tenang apabila putranya mengalami sakit seperti ini. Dengan tergesa-gesa, Alia menarik tangan putranya untuk segera menuju mobil, sampai-sampai ia tak memperdulikan sarapan pagi yang sudah disiapkan di atas meja.

Alia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, namun tetap mengikuti peraturan lalu lintas. Namun, pandangannya sedikit teralihkan setiap kali mendengar Adam mengeluh kesakitan, dan berkali-kali ia mengadu kalau tenggorokannya terasa pedih.

"Sabar ya, nak, rumah sakitnya sudah mau dekat kok," ucapnya, mencoba menenangkan Adam, yang hanya mengangguk dengan kedua mata yang masih terpejam karena saking lemasnya ia merasa lelah membuka mata. Untungnya, perjalanan mereka ke rumah sakit tidak mengalami hambatan, jadi dengan segera Adam mendapatkan perawatan dari tenaga medis. Tubuhnya langsung dipenuhi kabel-kabel dari mesin pemeriksaan, darahnya diambil untuk pemeriksaan, dan tak lupa pula Adam melakukan Rontgen. Adam juga diberikan sejumlah obat antibiotik. Namun, kekhawatiran Alia semakin bertambah saat petugas rumah sakit memintanya untuk menemui dokter yang merupakan sahabatnya di dalam ruangan, seakan ada hal serius yang terjadi pada Adam.

"Apa yang terjadi pada anakku, Dokter Fahri?" Tanya Alia. Namun, dokter Fahri tidak langsung menjawab dan hanya memberikan sebuah dokumen yang sama sekali tidak dimengerti oleh perempuan itu. Lalu, dengan ekspresi sulit ditebak, ia mengatakan bahwa Adam mengalami leukemia. Tak lupa pula, dengan perlahan-lahan, ia menjelaskan pada Alia mengenai penyakit tersebut, sampai membuat Alia tak kuasa melepas air mata yang telah lama tak dirasakan olehnya. Bahkan, kepedihan ini berasa dua kali lipat perihnya dibandingkan saat Dimas menceraikan Alia beberapa tahun silam.

"Lalu, apa yang harus dilakukan olehku, Dok?" Tanya Alia pada sahabatnya yang memang merupakan seorang dokter anak.

"Untuk saat ini, Adam akan menjalani beberapa pengobatan dan kemoterapi, namun bila semakin parah, maka Adam harus menjalani operasi pergantian sumsum tulang belakang." Ia memberikan Alia sekotak tisu dan berusaha memahami wanita yang pernah dicintainya itu dengan membiarkannya menangis sekuat-kuatnya.

"Menangislah, namun aku harap setelah ini kau harus berusaha tegar di depan Adam untuk memberikannya semangat dalam menjalani pengobatan ini agar ia bisa sembuh."

"Kau benar, aku kini adalah seorang ibu tunggal yang menjadi pelindung untuknya, dan seharusnya aku harus lebih kuat dibandingkan putraku sendiri."

"Aku akan meninggalkanmu sebentar di sini, nanti kalau kau sudah tenang, mungkin kau bisa menemuinya dan cobalah beritahu mantan suamimu, karena walaupun bagaimanapun, Adam juga putramu." Ia tersenyum lebar pada Alia, lalu berjalan pergi meninggalkan Alia yang masih berlarut dalam kesedihan, sembari memikirkan semua perkataannya. Alia benar-benar bingung apakah harus menghubungi Dimas, yang kini telah bahagia bersama keluarga barunya, atau menyembunyikan penyakit Adam darinya. Kini kesedihan dan kegundahannya bertambah dua kali lipat.

Namun, bagaimanapun, tetap saja Alia harus menghubungi Dimas karena Dimas adalah ayah kandung dari anaknya yang mungkin saja bisa membantunya memberikan harapan untuk Adam. Alia sudah bulat dengan keputusannya untuk tidak menghubungi Dimas, sebab ia tak ingin merasa lemah di depan mantan suaminya, seakan perjuangannya selama beberapa tahun ini sebagai wanita yang kuat sirna hanya karena ia tak bisa mengatasi anaknya sendirian. Dalam perasaan yang mulai agak membaik, Alia berjalan ke ruangan Adam dan mendapati diri putranya itu tengah berbincang bersama Fahri, di mana jika dilihat sekilas keduanya memang telah akrab jauh semenjak hubungan di antara dirinya dan mantan suaminya sudah berakhir. Fahri adalah sosok paman yang sangat baik bagi Adam, makanya tak jarang Alia selalu meminta bantuan kepadanya jika berhubungan dengan Adam.

"Wah, bundaku sudah kembali, jadi sepertinya paman harus kembali bertugas lagi," ucapnya sambil bangkit dari kursi. Adam yang melihat Alia telah kembali hanya tersenyum saja, selayaknya anak usia 15 tahun yang penuh ceria di masa pubertasnya. Namun, Alia tak bisa bayangkan jika ia mengetahui tentang penyakitnya.

"Bunda pikir kalian tengah terlibat pembicaraan serius, sampai-sampai Bunda takut untuk masuk ke sini!" ledek Alia, yang

berusaha menganggap semuanya seperti biasa.

"Hufftt.. ya sudah, aku tinggal dulu ya!" Fahri berjalan mendekati Alia dan memegang pundak wanita itu sebelum akhirnya ia benar-benar menghilang dari ruangan itu, yang kini hanya menyisakan Alia dan putra semata wayangnya.

Alia berjalan mendekati Adam, yang hanya berusaha tersenyum namun terkesan dipaksa. Ia mencoba memahami situasi bundanya. Sampai akhirnya ia memilih berterus-terang bahwa ia telah mendengarkan semua kebenaran mengenai penyakitnya dari Dokter Fahri.

"Abang baik-baik saja kok, Bun. Jadi Bunda gak usah sedih, karena Abang gak akan menolak untuk menjalani pengobatan, meskipun pengobatan itu sangat menyakitkan. Hanya saja Abang punya satu keinginan," ucapnya panjang lebar. Alia yang mendengarkan itu langsung memeluk putranya, ia sangat bangga memiliki Adam yang sangat tegar, berbanding terbalik dengan dirinya yang mudah rapuh hanya karena mendengarkan berita penyakit tersebut. Dengan wajah yang sendu, ia menatap dalam-dalam kepada Adam.

"Apapun yang Adam inginkan, pasti Bunda kabulkan, karena Adam sudah mau berjuang untuk bisa sembuh. Bunda pikir, awalnya Adam akan menyerah atau marah pada keadaan. Tetapi Bunda salah dugaan, karena tanpa disadari, Abang sudah mulai dewasa," puji Alia, yang merasa senang sekaligus berterimakasih pada Dokter Fahri yang sudah menjelaskan tentang penyakit Adam terlebih dahulu pada anaknya, sebab ia tak bisa membayangkan bagaimana memulai mengatakan semuanya pada Adam.

"Adam ingin papa dan Bunda menemani Adam selama menjalani pengobatan, boleh, Bunda?" Tanyanya ragu. Alia yang mendengarkan permintaan berat putranya itu hanya bisa terdiam tanpa kata, seakan hanya itulah satu-satunya permintaan terberat yang sulit untuk dikabulkannya. Namun, yang namanya seorang ibu, pastinya akan luluh saat melihat mata tulus Adam yang sangat merindukan sosok ayah di hidupnya. Mau tak mau, dalam situasi seperti ini, maka Alia harus mengalah pada egonya demi mewujudkan keinginan terbesar Adam.

"Baiklah, nanti Bunda akan menghubungi papa supaya bisa menemani Adam ya, tapi Abang Adam harus janji bakal optimis untuk sembuh."

Adam langsung tersenyum senang, seakan baru saja mendapatkan hadiah perlombaan di kejuaraan olimpiade. Ia langsung memeluk bundanya sekali lagi dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada bundanya. Ia benar-benar sangat ingin bertemu papanya yang sejak kecil terasa asing dalam hidupnya, hingga membuat Alia tak bisa berkata apa-apa.

Kini ia harus beradu pada masa lalu dan rasa sakit hati di dalam dirinya. Ia sangat membenci Dimas, yang dengan sesuka hatinya memutuskan hubungan di antara mereka dan menceraikan wanita itu secara sepihak setelah mereka menjalani pernikahan yang dijodohkan oleh kakek dan neneknya Adam.

"Ya sudah, Abang tidur siang ya sekarang, biar Bunda telepon papa supaya datang ke Indonesia," ucap Alia, yang langsung dituruti oleh anaknya. Ia berjalan keluar dari ruangan dan menjatuhkan diri di kursi yang ada di depan ruangan kamar Adam, sembari mencari nomor Dimas dengan penuh keraguan.

"Ini demi Adam!" tukasnya dalam hati. Ia memberanikan diri menghubungi nomor tersebut, yang tak beberapa lama langsung diangkat oleh Dimas.

"Halo, ini siapa ya?" Tanya seorang lelaki yang memiliki suara berat tersebut. Awalnya Alia hanya terdiam sejenak, lalu sekali lagi ia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab seruan dari sang mantan suami.

"Ini aku, mantan istrimu, Alia."

"Oh iya? Ada apa menghubungiku, Dek?" Tanya Dimas, yang lebih terdengar canggung karena sudah lama tidak saling menghubungi.

"Adam menderita leukemia dan harus menjalani pengobatan yang panjang. Aku sebenarnya tak ingin merepotimu, Mas, tapi ia bilang kalau ia ingin bertemu denganmu dan ditemani oleh Mas selama masa pengobatan. Jadi, bisa gak, Mas, meluangkan waktu menemani anak kita?"

"Hmmm.. gimana ya, Dek? Istriku sedang hamil, jadi tidak mungkin aku meninggalkannya sendirian di sini. Apalagi aku harus pulang ke Indonesia dalam waktu yang cukup lama," ucap Dimas, yang seakan bingung akan situasinya. Apalagi ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan putranya, sehingga tak ada perasaan khawatir atau cemas terhadap Adam baginya.

"Tolonglah, Mas, kamu juga bisa membawa istrimu untuk datang ke Indonesia, biar nanti aku juga ikut bantu-bantu menjaga istrimu. Tapi tolonglah, sekali saja, putra kita."

"Huftt.. baiklah, aku akan usahakan ya, dan aku titip salam sama Adam." Ia segera mengakhiri panggilan tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata kepada Alia. Sedangkan Alia kini mulai frustasi akan keadaannya, sebab ia tak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai mantan suaminya tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!