2

Malam ini udara sangat dingin, sehingga aku harus mengenakan jaket. Alia berusaha untuk tetap terjaga dari tidurnya agar bisa merespons jika Adam terbangun dan merasa haus. Meskipun meja dan ranjang Adam tidak jauh, sebagai seorang ibu, Alia sangat memperhatikan anaknya.

Ditengah malam ini, Alia asyik membelai rambut hitam Adam yang sedikit kecoklatan, mirip seperti Dimas yang memiliki keturunan Amerika. Wajah Adam yang hampir serupa dengan Dimas membuat Alia sulit untuk menghilangkan perasaan cintanya.

Kini, Alia tidak hanya harus bertarung dengan rasa kantuk, tetapi juga terus menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Adam atas permintaannya. Namun, alunan nyanyian terhenti ketika ponsel Alia berdering, menampilkan notifikasi pesan dari Dimas yang membuat matanya terbuka lebar.

"Aku telah bertanya pada Angela, dan ia setuju untuk pergi ke Indonesia bersamaku karena ia ingin mengenal lebih dekat dengan Adam," eja Alia, mencoba menerka pesan tersebut. Hati Alia sedikit sakit, namun ia bersyukur bahwa Angela mengizinkan Dimas untuk kembali ke Indonesia guna menemani Adam.

Dalam kesunyian malam, Alia berusaha menangis dalam diam tanpa mengeluarkan suaranya. Ia ingin menjerit sejadi-jadinya untuk mengungkapkan perasaannya yang campur aduk terhadap Dimas.

"Siapa yang membuat Bunda menangis?" tanya Adam yang tiba-tiba terbangun. Ia merasa ada ikatan batin saat melihat ibunya merasa tersakiti, dan air mata adalah salah satu cara Alia meredakan rasa sakit hatinya.

"Kau terbangun, Nak? Sepertinya Bunda sangat berisik sampai membuatmu terbangun," kata Alia, mencoba meredakan suasana. Namun, Adam bukan lagi seorang anak kecil dan dengan sigap, ia mengambil ponsel ibunya dan membaca pesan dari Dimas.

Adam hanya tertegun sejenak, lalu menelpon nomor tersebut tanpa berpikir panjang. Alia hanya bisa terdiam, tanpa tahu apa yang akan terjadi di panggilan tersebut.

"Kenapa kau menghubungiku lagi, Dek? Istriku ada di sini, dan tak sopan baginya aku menerima panggilanmu..." belum sempat Dimas menyelesaikan perkataannya, Adam langsung berdehem keras sebelum memberikan tanggapannya yang terasa canggung sebagai seorang anak kepada ayahnya.

"Berhentilah membuat bundaku kesal atau menangis. Jika kamu tidak ingin datang, tidak perlu repot-repot, karena aku sangat menghargai bundaku yang berusaha menghilangkan harga dirinya demi mewujudkan keinginanku. Aku juga tidak berminat berteman akrab dengan istri kamu," tegas Adam, membuat Dimas tak bisa berkata apa-apa di sisi telepon.

"Kau ini Adam?" tanya Dimas penuh kecanggungan, masih sulit percaya bahwa anak balita yang pernah ditinggalkannya saat berusia 3 tahun sekarang telah tumbuh besar dan berbicara dengan lantang seperti dirinya waktu kecil.

"Maaf, sepertinya sudah malam di sini, aku harus istirahat," ujar Adam, menutup panggilan tanpa reaksi lebih lanjut. Ia menyerahkan ponsel kembali kepada Alia dan berbaring seolah tidak ada yang terjadi. Namun, dalam tidurnya, Adam juga rapuh seperti Alia, meneteskan air mata di balik selimut tebal yang menutupi wajahnya.

Ia kecewa karena ayahnya tidak mengenalinya dan kecanggungan di antara mereka membuatnya tidak berharap banyak.

"Abang marah pada Bunda?" tanya Alia, namun Adam hanya diam dan berpura-pura tidur dengan mata tertutup.

"Kalau Abang butuh sesuatu, bilang saja pada Bunda," kata Alia, mencoba memahami situasi. Ia hanya bisa duduk sambil menggenggam ponselnya, berharap anaknya tidak membenci Dimas.

***

"Apa kamu harus ikut menjemputnya?" tanya Alia pada putranya, merapikan kerah kemeja Adam. Ia ingin putranya terlihat karismatik saat bertemu Dimas.

"Aku tak tega melihat Bunda sendirian menjemput mereka. Jika Bunda butuh tempat menangis, aku akan ada," jawab Adam dengan hangat.

"Bahu dokter juga bisa jadi tempat bersandar untukmu," ujar Fahri yang mendadak muncul mendekati mereka. Alia hanya bisa menggelengkan kepala melihat gombalan sahabatnya yang berbeda dengan sikap Adam yang sinis.

"Bersikaplah sopan pada Bunda, Paman," tegur Adam.

"Kau dengar kata anakku, Dokter Fahri?" ejek Alia. Fahri tersenyum kecil, meskipun ia tahu bahwa Alia tidak pernah menerima perasaannya.

"Aku hanya bercanda. Mana mungkin dokter menyukai ibumu. Ya sudah, ayo kita bergerak ke bandara," ajak Fahri yang mencoba meredakan ketegangan. Alia berharap semuanya berjalan lancar.

Mereka bergerak menuju bandara dengan mobil Fahri. Perjalanan memakan waktu cukup lama, membuat Adam mulai jenuh dan memilih mendengarkan musik dengan headset, menutup matanya. Alia menatap canggung ke arah Fahri.

"Kulihat akhir-akhir ini kau mulai canggung padaku, Alia," kata Fahri sambil tetap fokus menyetir mobil.

"Di sini ada putraku. Tolong jangan membahas hal yang tidak berkaitan dengan kesehatan putraku," kata Alia, sambil sesekali melirik Adam yang masih fokus pada musiknya.

"Huft... tidak ada harapan untukku mendapatimu, ya?" tanya Fahri, yang sedikit memandangi wajah Alia. Gadis yang dicintainya meskipun Alia sudah bukan gadis muda lagi, perasaan itu tidak pernah pudar.

"Maaf, Fahri, bukan bahwa aku tak memperdulikan perasaan

mu. Tetapi hidupku saat ini kuserahkan pada Adam, jadi aku tidak memikirkan hubungan baru," ujar Alia.

"Kecuali aku bisa meraih hati Adam?" tanya Fahri. Alia terkesima oleh pertanyaan tersebut, tetapi ia tidak menolak perasaan Fahri. Jika Adam menginginkan Fahri sebagai ayah angkatnya, Alia tidak akan menentang.

"Aku akan mencobanya. Oh ya, bagaimana pekerjaanmu?" tanya Alia, mencoba mengubah topik.

"Baik kok. Kepala sekolah memahami situasiku dan memberikanku cuti untuk beberapa hari. Setelah itu, aku akan meminta Dimas untuk menemani Adam selama aku kembali mengajar."

"Kau juga bisa memintaku menjaga Adam jika Dimas tidak bisa."

"Terima kasih, tapi aku tidak akan merepotkanmu lagi untuk beberapa waktu," ujar Alia sambil menatap Fahri dengan tatapan sendu.

"Apakah kita sudah sampai?" tanya Adam yang menghentikan pembicaraan orang dewasa itu. Anak laki-laki itu terlihat mulai risih dengan wajah pucat dan kulit penuh ruamnya, yang membuat siapapun merasa iba.

"Sebentar lagi kita akan sampai, Nak. Oh ya, apakah kamu sudah mempersiapkan diri untuk bertemu ayahmu?" tanya Fahri, mencoba meredakan suasana.

"Aku mulai merasa asing terhadapnya. Aku hanya berharap dia akan mengenaliku sekali saja," jawab Adam yang tampak merasa ragu.

"Kamu adalah putranya, pasti dia akan mengenalimu. Apalagi kau memiliki kemiripan dengan Ayahmu sendiri. Kau memiliki mata yang indah sepertinya dan kau juga memiliki wajah yang tampan. Bunda yakin pasti Ayahmu langsung mengenalimu begitu ia melihatmu dari kejauhan." Alia berusaha memberikan kepercayaan diri kepada putranya itu, meskipun ia harus menahan kepahitan yang sejak dulu ia tahan didalam hatinya atas perilaku Dimas dimasa lalu dan rasa cintanya kepada Dimas.

"Perkataan Bunda benar-benar membantuku," ujar Adam, kembali menatap keluar jendela sambil mencari panduan tentang cara menjalin hubungan dengan ayah setelah sekian lama berpisah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!