NovelToon NovelToon

DEMI ANAKKU

1

"Adam, cepat bangun, sayang!" ujar lembut Alia kepada anak semata wayangnya, sambil membelai hangat rambut Adam yang masih tertidur pulas, ditutupi selimut di sekitar tubuhnya.

"Tenggorokan Abang sakit, Bunda, dan kayaknya badan Abang nyeri semua," ucapnya, yang membuat Alia cukup panik dan langsung mengecek suhu badannya yang memang cukup panas.

"Badan kamu panas banget, nak, Bunda bawa kamu ke rumah sakit ya!" pinta Alia. Namun, kepanikan perempuan itu semakin bertambah tatkala melihat banyaknya ruam di sekitar bahunya saat ia menunjukkannya pada Alia.

"Ya Tuhan!!! Bunda bawa kamu ke rumah sakit sekarang ya, sayang!" jerit Alia penuh kepanikan.

"Iya, Bunda, tapi Bunda tak perlu terlalu panik karena Abang gak sakit parah kok," jawabnya pelan berusaha menenangkan. Namun, bagaimanapun, Alia tidak bisa tenang apabila putranya mengalami sakit seperti ini. Dengan tergesa-gesa, Alia menarik tangan putranya untuk segera menuju mobil, sampai-sampai ia tak memperdulikan sarapan pagi yang sudah disiapkan di atas meja.

Alia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, namun tetap mengikuti peraturan lalu lintas. Namun, pandangannya sedikit teralihkan setiap kali mendengar Adam mengeluh kesakitan, dan berkali-kali ia mengadu kalau tenggorokannya terasa pedih.

"Sabar ya, nak, rumah sakitnya sudah mau dekat kok," ucapnya, mencoba menenangkan Adam, yang hanya mengangguk dengan kedua mata yang masih terpejam karena saking lemasnya ia merasa lelah membuka mata. Untungnya, perjalanan mereka ke rumah sakit tidak mengalami hambatan, jadi dengan segera Adam mendapatkan perawatan dari tenaga medis. Tubuhnya langsung dipenuhi kabel-kabel dari mesin pemeriksaan, darahnya diambil untuk pemeriksaan, dan tak lupa pula Adam melakukan Rontgen. Adam juga diberikan sejumlah obat antibiotik. Namun, kekhawatiran Alia semakin bertambah saat petugas rumah sakit memintanya untuk menemui dokter yang merupakan sahabatnya di dalam ruangan, seakan ada hal serius yang terjadi pada Adam.

"Apa yang terjadi pada anakku, Dokter Fahri?" Tanya Alia. Namun, dokter Fahri tidak langsung menjawab dan hanya memberikan sebuah dokumen yang sama sekali tidak dimengerti oleh perempuan itu. Lalu, dengan ekspresi sulit ditebak, ia mengatakan bahwa Adam mengalami leukemia. Tak lupa pula, dengan perlahan-lahan, ia menjelaskan pada Alia mengenai penyakit tersebut, sampai membuat Alia tak kuasa melepas air mata yang telah lama tak dirasakan olehnya. Bahkan, kepedihan ini berasa dua kali lipat perihnya dibandingkan saat Dimas menceraikan Alia beberapa tahun silam.

"Lalu, apa yang harus dilakukan olehku, Dok?" Tanya Alia pada sahabatnya yang memang merupakan seorang dokter anak.

"Untuk saat ini, Adam akan menjalani beberapa pengobatan dan kemoterapi, namun bila semakin parah, maka Adam harus menjalani operasi pergantian sumsum tulang belakang." Ia memberikan Alia sekotak tisu dan berusaha memahami wanita yang pernah dicintainya itu dengan membiarkannya menangis sekuat-kuatnya.

"Menangislah, namun aku harap setelah ini kau harus berusaha tegar di depan Adam untuk memberikannya semangat dalam menjalani pengobatan ini agar ia bisa sembuh."

"Kau benar, aku kini adalah seorang ibu tunggal yang menjadi pelindung untuknya, dan seharusnya aku harus lebih kuat dibandingkan putraku sendiri."

"Aku akan meninggalkanmu sebentar di sini, nanti kalau kau sudah tenang, mungkin kau bisa menemuinya dan cobalah beritahu mantan suamimu, karena walaupun bagaimanapun, Adam juga putramu." Ia tersenyum lebar pada Alia, lalu berjalan pergi meninggalkan Alia yang masih berlarut dalam kesedihan, sembari memikirkan semua perkataannya. Alia benar-benar bingung apakah harus menghubungi Dimas, yang kini telah bahagia bersama keluarga barunya, atau menyembunyikan penyakit Adam darinya. Kini kesedihan dan kegundahannya bertambah dua kali lipat.

Namun, bagaimanapun, tetap saja Alia harus menghubungi Dimas karena Dimas adalah ayah kandung dari anaknya yang mungkin saja bisa membantunya memberikan harapan untuk Adam. Alia sudah bulat dengan keputusannya untuk tidak menghubungi Dimas, sebab ia tak ingin merasa lemah di depan mantan suaminya, seakan perjuangannya selama beberapa tahun ini sebagai wanita yang kuat sirna hanya karena ia tak bisa mengatasi anaknya sendirian. Dalam perasaan yang mulai agak membaik, Alia berjalan ke ruangan Adam dan mendapati diri putranya itu tengah berbincang bersama Fahri, di mana jika dilihat sekilas keduanya memang telah akrab jauh semenjak hubungan di antara dirinya dan mantan suaminya sudah berakhir. Fahri adalah sosok paman yang sangat baik bagi Adam, makanya tak jarang Alia selalu meminta bantuan kepadanya jika berhubungan dengan Adam.

"Wah, bundaku sudah kembali, jadi sepertinya paman harus kembali bertugas lagi," ucapnya sambil bangkit dari kursi. Adam yang melihat Alia telah kembali hanya tersenyum saja, selayaknya anak usia 15 tahun yang penuh ceria di masa pubertasnya. Namun, Alia tak bisa bayangkan jika ia mengetahui tentang penyakitnya.

"Bunda pikir kalian tengah terlibat pembicaraan serius, sampai-sampai Bunda takut untuk masuk ke sini!" ledek Alia, yang

berusaha menganggap semuanya seperti biasa.

"Hufftt.. ya sudah, aku tinggal dulu ya!" Fahri berjalan mendekati Alia dan memegang pundak wanita itu sebelum akhirnya ia benar-benar menghilang dari ruangan itu, yang kini hanya menyisakan Alia dan putra semata wayangnya.

Alia berjalan mendekati Adam, yang hanya berusaha tersenyum namun terkesan dipaksa. Ia mencoba memahami situasi bundanya. Sampai akhirnya ia memilih berterus-terang bahwa ia telah mendengarkan semua kebenaran mengenai penyakitnya dari Dokter Fahri.

"Abang baik-baik saja kok, Bun. Jadi Bunda gak usah sedih, karena Abang gak akan menolak untuk menjalani pengobatan, meskipun pengobatan itu sangat menyakitkan. Hanya saja Abang punya satu keinginan," ucapnya panjang lebar. Alia yang mendengarkan itu langsung memeluk putranya, ia sangat bangga memiliki Adam yang sangat tegar, berbanding terbalik dengan dirinya yang mudah rapuh hanya karena mendengarkan berita penyakit tersebut. Dengan wajah yang sendu, ia menatap dalam-dalam kepada Adam.

"Apapun yang Adam inginkan, pasti Bunda kabulkan, karena Adam sudah mau berjuang untuk bisa sembuh. Bunda pikir, awalnya Adam akan menyerah atau marah pada keadaan. Tetapi Bunda salah dugaan, karena tanpa disadari, Abang sudah mulai dewasa," puji Alia, yang merasa senang sekaligus berterimakasih pada Dokter Fahri yang sudah menjelaskan tentang penyakit Adam terlebih dahulu pada anaknya, sebab ia tak bisa membayangkan bagaimana memulai mengatakan semuanya pada Adam.

"Adam ingin papa dan Bunda menemani Adam selama menjalani pengobatan, boleh, Bunda?" Tanyanya ragu. Alia yang mendengarkan permintaan berat putranya itu hanya bisa terdiam tanpa kata, seakan hanya itulah satu-satunya permintaan terberat yang sulit untuk dikabulkannya. Namun, yang namanya seorang ibu, pastinya akan luluh saat melihat mata tulus Adam yang sangat merindukan sosok ayah di hidupnya. Mau tak mau, dalam situasi seperti ini, maka Alia harus mengalah pada egonya demi mewujudkan keinginan terbesar Adam.

"Baiklah, nanti Bunda akan menghubungi papa supaya bisa menemani Adam ya, tapi Abang Adam harus janji bakal optimis untuk sembuh."

Adam langsung tersenyum senang, seakan baru saja mendapatkan hadiah perlombaan di kejuaraan olimpiade. Ia langsung memeluk bundanya sekali lagi dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada bundanya. Ia benar-benar sangat ingin bertemu papanya yang sejak kecil terasa asing dalam hidupnya, hingga membuat Alia tak bisa berkata apa-apa.

Kini ia harus beradu pada masa lalu dan rasa sakit hati di dalam dirinya. Ia sangat membenci Dimas, yang dengan sesuka hatinya memutuskan hubungan di antara mereka dan menceraikan wanita itu secara sepihak setelah mereka menjalani pernikahan yang dijodohkan oleh kakek dan neneknya Adam.

"Ya sudah, Abang tidur siang ya sekarang, biar Bunda telepon papa supaya datang ke Indonesia," ucap Alia, yang langsung dituruti oleh anaknya. Ia berjalan keluar dari ruangan dan menjatuhkan diri di kursi yang ada di depan ruangan kamar Adam, sembari mencari nomor Dimas dengan penuh keraguan.

"Ini demi Adam!" tukasnya dalam hati. Ia memberanikan diri menghubungi nomor tersebut, yang tak beberapa lama langsung diangkat oleh Dimas.

"Halo, ini siapa ya?" Tanya seorang lelaki yang memiliki suara berat tersebut. Awalnya Alia hanya terdiam sejenak, lalu sekali lagi ia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab seruan dari sang mantan suami.

"Ini aku, mantan istrimu, Alia."

"Oh iya? Ada apa menghubungiku, Dek?" Tanya Dimas, yang lebih terdengar canggung karena sudah lama tidak saling menghubungi.

"Adam menderita leukemia dan harus menjalani pengobatan yang panjang. Aku sebenarnya tak ingin merepotimu, Mas, tapi ia bilang kalau ia ingin bertemu denganmu dan ditemani oleh Mas selama masa pengobatan. Jadi, bisa gak, Mas, meluangkan waktu menemani anak kita?"

"Hmmm.. gimana ya, Dek? Istriku sedang hamil, jadi tidak mungkin aku meninggalkannya sendirian di sini. Apalagi aku harus pulang ke Indonesia dalam waktu yang cukup lama," ucap Dimas, yang seakan bingung akan situasinya. Apalagi ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan putranya, sehingga tak ada perasaan khawatir atau cemas terhadap Adam baginya.

"Tolonglah, Mas, kamu juga bisa membawa istrimu untuk datang ke Indonesia, biar nanti aku juga ikut bantu-bantu menjaga istrimu. Tapi tolonglah, sekali saja, putra kita."

"Huftt.. baiklah, aku akan usahakan ya, dan aku titip salam sama Adam." Ia segera mengakhiri panggilan tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata kepada Alia. Sedangkan Alia kini mulai frustasi akan keadaannya, sebab ia tak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai mantan suaminya tersebut.

2

Malam ini udara sangat dingin, sehingga aku harus mengenakan jaket. Alia berusaha untuk tetap terjaga dari tidurnya agar bisa merespons jika Adam terbangun dan merasa haus. Meskipun meja dan ranjang Adam tidak jauh, sebagai seorang ibu, Alia sangat memperhatikan anaknya.

Ditengah malam ini, Alia asyik membelai rambut hitam Adam yang sedikit kecoklatan, mirip seperti Dimas yang memiliki keturunan Amerika. Wajah Adam yang hampir serupa dengan Dimas membuat Alia sulit untuk menghilangkan perasaan cintanya.

Kini, Alia tidak hanya harus bertarung dengan rasa kantuk, tetapi juga terus menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Adam atas permintaannya. Namun, alunan nyanyian terhenti ketika ponsel Alia berdering, menampilkan notifikasi pesan dari Dimas yang membuat matanya terbuka lebar.

"Aku telah bertanya pada Angela, dan ia setuju untuk pergi ke Indonesia bersamaku karena ia ingin mengenal lebih dekat dengan Adam," eja Alia, mencoba menerka pesan tersebut. Hati Alia sedikit sakit, namun ia bersyukur bahwa Angela mengizinkan Dimas untuk kembali ke Indonesia guna menemani Adam.

Dalam kesunyian malam, Alia berusaha menangis dalam diam tanpa mengeluarkan suaranya. Ia ingin menjerit sejadi-jadinya untuk mengungkapkan perasaannya yang campur aduk terhadap Dimas.

"Siapa yang membuat Bunda menangis?" tanya Adam yang tiba-tiba terbangun. Ia merasa ada ikatan batin saat melihat ibunya merasa tersakiti, dan air mata adalah salah satu cara Alia meredakan rasa sakit hatinya.

"Kau terbangun, Nak? Sepertinya Bunda sangat berisik sampai membuatmu terbangun," kata Alia, mencoba meredakan suasana. Namun, Adam bukan lagi seorang anak kecil dan dengan sigap, ia mengambil ponsel ibunya dan membaca pesan dari Dimas.

Adam hanya tertegun sejenak, lalu menelpon nomor tersebut tanpa berpikir panjang. Alia hanya bisa terdiam, tanpa tahu apa yang akan terjadi di panggilan tersebut.

"Kenapa kau menghubungiku lagi, Dek? Istriku ada di sini, dan tak sopan baginya aku menerima panggilanmu..." belum sempat Dimas menyelesaikan perkataannya, Adam langsung berdehem keras sebelum memberikan tanggapannya yang terasa canggung sebagai seorang anak kepada ayahnya.

"Berhentilah membuat bundaku kesal atau menangis. Jika kamu tidak ingin datang, tidak perlu repot-repot, karena aku sangat menghargai bundaku yang berusaha menghilangkan harga dirinya demi mewujudkan keinginanku. Aku juga tidak berminat berteman akrab dengan istri kamu," tegas Adam, membuat Dimas tak bisa berkata apa-apa di sisi telepon.

"Kau ini Adam?" tanya Dimas penuh kecanggungan, masih sulit percaya bahwa anak balita yang pernah ditinggalkannya saat berusia 3 tahun sekarang telah tumbuh besar dan berbicara dengan lantang seperti dirinya waktu kecil.

"Maaf, sepertinya sudah malam di sini, aku harus istirahat," ujar Adam, menutup panggilan tanpa reaksi lebih lanjut. Ia menyerahkan ponsel kembali kepada Alia dan berbaring seolah tidak ada yang terjadi. Namun, dalam tidurnya, Adam juga rapuh seperti Alia, meneteskan air mata di balik selimut tebal yang menutupi wajahnya.

Ia kecewa karena ayahnya tidak mengenalinya dan kecanggungan di antara mereka membuatnya tidak berharap banyak.

"Abang marah pada Bunda?" tanya Alia, namun Adam hanya diam dan berpura-pura tidur dengan mata tertutup.

"Kalau Abang butuh sesuatu, bilang saja pada Bunda," kata Alia, mencoba memahami situasi. Ia hanya bisa duduk sambil menggenggam ponselnya, berharap anaknya tidak membenci Dimas.

***

"Apa kamu harus ikut menjemputnya?" tanya Alia pada putranya, merapikan kerah kemeja Adam. Ia ingin putranya terlihat karismatik saat bertemu Dimas.

"Aku tak tega melihat Bunda sendirian menjemput mereka. Jika Bunda butuh tempat menangis, aku akan ada," jawab Adam dengan hangat.

"Bahu dokter juga bisa jadi tempat bersandar untukmu," ujar Fahri yang mendadak muncul mendekati mereka. Alia hanya bisa menggelengkan kepala melihat gombalan sahabatnya yang berbeda dengan sikap Adam yang sinis.

"Bersikaplah sopan pada Bunda, Paman," tegur Adam.

"Kau dengar kata anakku, Dokter Fahri?" ejek Alia. Fahri tersenyum kecil, meskipun ia tahu bahwa Alia tidak pernah menerima perasaannya.

"Aku hanya bercanda. Mana mungkin dokter menyukai ibumu. Ya sudah, ayo kita bergerak ke bandara," ajak Fahri yang mencoba meredakan ketegangan. Alia berharap semuanya berjalan lancar.

Mereka bergerak menuju bandara dengan mobil Fahri. Perjalanan memakan waktu cukup lama, membuat Adam mulai jenuh dan memilih mendengarkan musik dengan headset, menutup matanya. Alia menatap canggung ke arah Fahri.

"Kulihat akhir-akhir ini kau mulai canggung padaku, Alia," kata Fahri sambil tetap fokus menyetir mobil.

"Di sini ada putraku. Tolong jangan membahas hal yang tidak berkaitan dengan kesehatan putraku," kata Alia, sambil sesekali melirik Adam yang masih fokus pada musiknya.

"Huft... tidak ada harapan untukku mendapatimu, ya?" tanya Fahri, yang sedikit memandangi wajah Alia. Gadis yang dicintainya meskipun Alia sudah bukan gadis muda lagi, perasaan itu tidak pernah pudar.

"Maaf, Fahri, bukan bahwa aku tak memperdulikan perasaan

mu. Tetapi hidupku saat ini kuserahkan pada Adam, jadi aku tidak memikirkan hubungan baru," ujar Alia.

"Kecuali aku bisa meraih hati Adam?" tanya Fahri. Alia terkesima oleh pertanyaan tersebut, tetapi ia tidak menolak perasaan Fahri. Jika Adam menginginkan Fahri sebagai ayah angkatnya, Alia tidak akan menentang.

"Aku akan mencobanya. Oh ya, bagaimana pekerjaanmu?" tanya Alia, mencoba mengubah topik.

"Baik kok. Kepala sekolah memahami situasiku dan memberikanku cuti untuk beberapa hari. Setelah itu, aku akan meminta Dimas untuk menemani Adam selama aku kembali mengajar."

"Kau juga bisa memintaku menjaga Adam jika Dimas tidak bisa."

"Terima kasih, tapi aku tidak akan merepotkanmu lagi untuk beberapa waktu," ujar Alia sambil menatap Fahri dengan tatapan sendu.

"Apakah kita sudah sampai?" tanya Adam yang menghentikan pembicaraan orang dewasa itu. Anak laki-laki itu terlihat mulai risih dengan wajah pucat dan kulit penuh ruamnya, yang membuat siapapun merasa iba.

"Sebentar lagi kita akan sampai, Nak. Oh ya, apakah kamu sudah mempersiapkan diri untuk bertemu ayahmu?" tanya Fahri, mencoba meredakan suasana.

"Aku mulai merasa asing terhadapnya. Aku hanya berharap dia akan mengenaliku sekali saja," jawab Adam yang tampak merasa ragu.

"Kamu adalah putranya, pasti dia akan mengenalimu. Apalagi kau memiliki kemiripan dengan Ayahmu sendiri. Kau memiliki mata yang indah sepertinya dan kau juga memiliki wajah yang tampan. Bunda yakin pasti Ayahmu langsung mengenalimu begitu ia melihatmu dari kejauhan." Alia berusaha memberikan kepercayaan diri kepada putranya itu, meskipun ia harus menahan kepahitan yang sejak dulu ia tahan didalam hatinya atas perilaku Dimas dimasa lalu dan rasa cintanya kepada Dimas.

"Perkataan Bunda benar-benar membantuku," ujar Adam, kembali menatap keluar jendela sambil mencari panduan tentang cara menjalin hubungan dengan ayah setelah sekian lama berpisah.

3

Dibandara, mereka cukup lama berdiri menanti kedatangan Dimas beserta keluarga kecilnya sampai-sampai berkali-kali Adam mengalami muntah namun setiap kali Alia meminta adam untuk kembali kerumah sakit bersama dokter Fahri,tetapi tetap saja Adam bersikeras untuk menunggu kedatangan papanya itu disana.

Hingga akhirnya penantian panjang mereka terkabulkan saat melihat sosok lelaki tampan berparas menawan dengan setelan kemeja rapi dan rambut kecoklatan yang sangat mirip dengan Adam datang menghampiri mereka ditemani oleh seorang wanita ayng sedikit lebih muda dari Alia dengan perut yang telah membesar untuk kehamilan anak pertamanya.

Alia hanya bisa tersenyum kaku saja menatap mereka, tetapi tak bisa disembunyikan kalau Alia sedikit terluka saat melihat kembali sosok laki-laki yang dulu sangat dicintainya berapa tepat didepan matanya saat ini.

ia berusaha untuk tetap kuat dengan mengesampingkan semua perasaan abu-abunya itu yang tak terbalaskan dan berusaha untuk bersikap ramah pada istri barunya Dimas.

"Hai, kamu pasti Alia ya?" Tanya wanita itu dengan senyuman manisnya yang memiliki darah campuran Arab, ia menggenggam erat tangan Alia seakan ia ingin menjadi lebih akrab pada mantan istri suaminya itu.

"Aku Angela, kuharap kita bisa jadi lebih dekat" Ucapnya, alia tak banyak bereaksi selain hanya membalas semua perkataan Angela dengan senyuman tipis.

Setelah ia mengenalkan dirinya pada Alia kini ia langsung menatap hangat kepada Adam yang sedikit menjauh darinya layaknya watak anak yang baru saja pubertas menatap jijik pada istri baru ayahnya itu.

"Bisakah Tante tidak terlalu sok akrab!" ketus kesal adam yang langsung ditegur lembut oleh Alia.

"gak apa-apa, mungkin Adam belum akrab denganku" ucap Angela yang sedari tadi terus memeluk pinggang Dimas.

"Ahh..kupikir kita bisa langsung pergi dari sini dan aku minta tolong samamu untuk menemani Angela berbenah diapartemen ini!" Ucap Dimas yang langsung mengambil alih percakapan sembari menyodorkan sebuah kartu yang bertuliskan alamat kepada Alia yang kebetulan baru saja dibelinya beberapa hari yang lalu sebelum pulang ke Indonesia.

"Kamu mau kemana mas?" Tanya alia lagi.

"Aku akan berjalan-jalan bersama Fahri dan Adam hari ini, bukannya aku adalah ayahnya Adam jadi seharusnya aku menghabiskan waktu dengannya" Ucap lembut Dimas pada Alia, ia sebenarnya tak pernah sekalipun membenci Alia hanya saja sampah detik ini ia tak bisa mencintai gadis itu makanya pernikahan mereka berakhir memilukan tapa rasa cinta.

"Aku takkan kemana-mana tanpa bunda, jadi lupakan saja rencanamu!" ketus adam.

"Adam, kamu gak boleh ngomong gitu" Sekali lagi Alia menasehati anaknya itu.

"Ya sudah gini aja, aku akan menemani Angela sedangkan kalian bisa pergi jalan-jalan seharian demi Adam" Ucap Fahri yang sebenarnya sudah memahami apa yang tengah dipikirkan Adam, tentu saja Adam ingin ditemani oleh kedua orang tua kandungnya dan dengan segala berat hati ia mengalah untuk membiarkan Adam lebih mengenal ayahnya dan melepaskan rasa cemburunya terhadap Alia.

"Bagaimana Angela?" Tanya Dimas pada istrinya itu, awalnya Angela ragu namun saat ia melihat wajah pucat Adam yang perlahan-lahan membuatnya mengalah dan menyetujui ide Fahri.

"Baiklah, kuharap kalian bisa memberikan kesenangan pada Adam ya" ucap Angela yang membuat sebuah senyuman mengambang diwajah anak laki-laki itu.

"Ya sudah ayo kita bergerak!" Ucap Fahri yang membantu membawa tas dan koper Milik Angela begitu juga dengan Dimas yang membantu istrinya melangkah masuk kedalam mobil.

"Nanti kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku ya sayang" ucap Dimas yang memberikan ciuman hangat dikening Angela.

Angela hanya mengangguk saja dan memberikan lambaian tangan kepada mereka bersamaan dengan roda mobil gang bergerak menjauh dari bandara.

Saat ini hanya menyisakan Sepasang mantan suami istri itu saja bersama dengan putra mereka, tak ada dialog yang keluar dari bibir ketiganya selain bunyi langkah kaki yang berjalan menghampiri taksi.

"Kita akan kemana?" Tanya Dimas yang merasa sangat canggung berada diantara dua orang dari masa lalunya.

"Taman hiburan saja, Adam sangat menyukainya dan kuharap kau tak lupa kalau dulu kita sering membawanya ke taman hiburan" Ucap Alia yang mencoba merespon pertanyaan Dimas berbeda dengan Adam yang masih fokus pada handphonenya.

"Maaf.. aku gak ingat!! tapi sepertinya idemu menarik!"

"Bagaimana kalau pergi ketempat pertama kali kalian berkencan?" Usul Adam, tentu saja Alia dan Dimas merasa kaget atas usulan putranya itu dan keduanya saling menatap kikuk tanpa bisa berkata-kata.

"Ah..iya maafkan aku, bunda dan kau sama sekali tidak pernah berkencan karena kalian kan dijodohkan"

"Tidak apa-apa nak, tapi bisakah kau memanggilku papa?"

"kalau begitu aku juga perlu mengatakan dokter Fahri sebagai papa juga kalau sampai aku memanggilmu dengan sebutan papa" sindirnya tajam sampai-sampai membuat alia harus berkali-kali meminta maaf pada Dimas karena ulah anaknya.

"Tidak apa-apa, ya sudah kalau gitu kita bisa pergi ke taman hiburan" ia menggenggam tangan Adam tetapi buru-buru ditepis oleh remaja itu yang malah memilih menggandeng tangan bundanya.

"maafkan Adam, kalau gitu ayo kita naik taksi itu!" Ajak Alia sembari menghentikan taksi dan berjalan menuju taksi tersebut sedangkan Dimas hanya bisa menghela nafas panjang sembari mengikuti langkah mereka dari kejauhan.

"Pak, tolong antarkan kami ketaman hiburan ya!" Ujar Alia pada supir taksi dengan senyuman ramahnya, sekilas ia mendapati Dimas yang melihat kearahnya tetapi dengan cepat Dimas kembali mengalihkan pandangannya kearah telepon genggam miliknya sedangkan Alia sibuk menggenggam tangan Adam yang sedari tadi selama diperjalanan menatap keluar jendela.

"Lain kali harusnya kamu menghabiskan waktu dengan papamu tanpa bunda ikut!" Ucap Alia, Adam hanya tersenyum saja dan mengeluarkan handphone dari sakunya.

"kita pikirkan lain kali Bun, lagian kalau memang ia ingin akrab padaku pastinya Instagramku difollback olehnya" Sindiran Adam membuat Dimas sedikit kaget dan langsung membuka Instagramnya kemudian tanpa pikir panjang Dimas langsung mengefollow putranya itu.

"Aku sudah mengefollowmu kembali" Ucap Dimas dikursi depan dengan penuh kikuk.

"Terimakasih banyak!" Ketus Adam pada ayahnya itu, Alia yang melihat reaksi kikuk diantara keduanya hanya bisa menjadi penonton saja begitu halnya dengan supir taksi yang sedari tadi hanya tersenyum saja seakan ini terasa lucu baginya.

"Maaf ya pak, saya bukannya mau ikut campur tapi kalau kalian bertengkar begini kan jadi kasihan istri anda!" Tegur supir taksi yang merasa kasihan melihat ekspresi Alia yang kebingungan sedari tadi seakan ada persekutuan antara dua orang disisinya dimana si anak yang tak pernah berhenti menyindir ayahnya begitu juga dengan ayah yang hanya membalas kikuk perbuatan sianak.

"dia bukan suami saya pak, tapi makasih buat nasihatnya dan keprihatinannya pak" Ucap Alia pada supir taksi, ia merasa sedikit tersentuh saja akan perkataan si supir taksi tersebut .

"Bukan suami istri ya? aduh kok saya jadi merasa gak enak ini tapi kalau boleh tahu kok bisa adeknya memanggil kalian ayah dan ibu?" Tanya supir taksi.

"Saya juga bingung mau jelasinnya pak tapi saya harap bapak jangan salah sangka karena Adam memang anak kami, jadi gini.." Saat Alia akan menjelaskan hal tersebut mendadak Dimas langsung menyanggahnya.

"Kami mantan suami istri pak, jadi tolong jangan bertanya apa-apa lagi" Ucap sinis Dimas yang sedikit tidak nyaman akan pembahasan ini.

"Maafin saya ya, habisnya saya juga pernah berumahtangga dulu jadi sedikit kasihan sama adeknya kan masih kecil apalagi masa puber pasti butuh perhatian orang tuanya. Lalu kenapa tidak menikah lagi saja?" Pertanyaan supir taksi kali ini membuat kesal Dimas sampai-sampai ia meminta taksi tersebut berhenti di tengah jalan padahal perjalanan masih cukup jauh.

"Berhentilah pak, cukup sampai sini saja!"

"loh kan masih jauh?" Tanya supir taksi keheranan, Alia mencoba menengahi kejadian ini dengan memberikan alasan yang sopan sehubungan supir taksinya sudah cukup tua jadi tak enak rasanya membiarkan Dimas meledakkan amarahnya pada supir taksi.

Dikala Dimas akan turun dari mobil seusai membayar agro taksi mendadak suara jeritan kekhawatiran dari alia mengalihkan perhatian semua orang dimana hidung Adam meneteskan banyak darah yang membuat semua jadi panik .

Dengan sigap Alia mengambil tisu taksi dan membersihkan darah tersebut dari hidung Adam sambil menyuruh Adam mencupit hidungnya dengan kepala menunduk.

"kita kerumah sakit sekarang ya?"

"Gak perlu, Hari ini kita akan tetap jalan-jalan ke taman hiburan!" Bantah Adam yang sangat keras kepala sampai-sampai Alia terlalu takut membantah putranya itu.

"Aduh pak, bawa anaknya saja kerumah sakit kasihan adeknya!" Ucap supir taksi yang juga ikut panik.

"Saya gak apa-apa kok pak, tolong antar kami ketaman hiburan ya nanti biar bunda saya yang bayar ongkosnya!" perintah Adam secara sepihak yang membuat Dimas hanya geleng-geleng kepala saja tanpa sempat membantah.

Ia kembali duduk tenang dijok kursi depan sembari melihat keluar jendela dengan penuh kebosanan sedangkan Alia sibuk membersihkan sisa-sisa darah dihidung Adam.

"Sudah bersih kok bunda, jadi gak usah khawatir lagi! jangan mau merasa khawatir sendirian sedangkan yang seharusnya bertanggung jawab mendidikku saja merasa santai" Sindirnya lagi.

"Dek, kau bawa air gak?" Tanya Dimas pada Alia, wanita itu hanya mengangguk saja dan memberikan botol airnya pada dimas yang langsung diteguk habis oleh lelaki itu.

"Huftt.. Bersikaplah sopan padaku, kasihan bundamu lelah menasehatimu yang cukup nakal sampai-sampai membuat wajahnya sekarang tidak secantik dulu karena jarang berdandan" ucap Dimas yang membuat alia sedikit memperlihatkan senyuman manisnya setelah mendengarkan pujian dari mantan suaminya itu untuk pertamakali.

"Tatap mata bunda kalau ingin memujinya" respon Adam yang langsung mengenakan kembali headset ditelinganya sampai-sampai Dimas tak sempat menjawab pernyataan anaknya itu.

"Berhentilah bertengkar dengan Adam, mas! " Ucap Alia pada mantan suaminya itu sambil memegang pundak Dimas, tentunya Dimas langsung tersobtak kaget saat pundaknya dipegang sampai membuat alia langsung menarik kembali tangannya itu .

"Ahh..Pak berhenti diujung sana saja soalnya kami mau makan!" Ucap Dimas yang merasa tak enak pada Alia, ia tahu maksudnya Alia hanya ingin berteman akrab dengannya cuman entah kenapa ia merasa sangat canggung sekaligus berdebar-debar berada didekat mantan istrinya itu padahal setahu dirinya kalau ia sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun pada Alia.

Dengan jantung yang masih berdetak kencang, Dimas langsung berjalan dahulu menuju sebuah cafe yang berada beberapa meter dari taman hiburan sembari berkali-kali membalikkan badannya melihat Alia yang berusaha menopang tubuh Adam yang mulai lemas.

Dimas sebenarnya ingin membantu Adam hanya saja ia terlalu takut mengenal lebih jauh tentang putranya itu, ia takut suatu hari nanti bila ia telah nyaman pada putranya itu bisa saja akan menjadi sebuah masalah yang lebih besar termasuk masalah hak pengasuhan anak apalagi Angela kini sedang mengandung anaknya jadi lebih baik biarkan semua tetap seperti ini sampai Adam dinyatakan sembuh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!