-Hidup itu melangkah ke depan dan meninggalkan yang sudah ada di belakang. Namun tidak menuntut kemungkinan jika yang ada di belakang muncul kembali di hadapan kita di masa yang akan mendatang.-
•••
Dinan mengerutkan keningnya, dia nampak berpikir dengan keras. Dia merasa tidak asing dengan wajah yang ada di depannya namun dia lupa pernah bertemu atau mengenal Dimana. Ah, entahlah ingatan Dinan tentang wanita itu sangat minim.
"Aku yakin kamu lupa," kata perempuan yang duduk di depannya dengan batas meja berbentuk persegi.
"Maaf," kata Dinan tak enak hati.
"Gak masalah, biasa kok kalau manusia itu sering lupa," kata wanita itu dengan nada santai.
"Ya manusia memang tempat lupa tapi kalau bisa tidak dijadikan alasan." Wanita itu menatap Dinan dengan tajam kemudian mengangguk.
"Kita pernah bertemu di bank. Kamu ingat aku salah satu pegawai yang menawarkan asuransi." Dinan nampak berpikir kemudian dia mengangguk mengingatnya.
"Oh mbak Sarah." Dinan mengucapkan dengan tegas. Wanita bernama Sarah itu hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Maaf saya sempat lupa," kata Dinan.
"Tidak perlu sungkan, biasa saja. Bukankah kita teman lama." Sarah menatap Dinan dengan tegas.
"Ya, kita teman lama." Dinan menjawab dengan pelan dan terdapat nada ragu.
"Bagaimana kabarnya?" Sarah memulai pembicaraan lagi.
"Baik, Alhamdulillah. Kamu gimana? Lama sekali kita tidak bertemu."
"Aku baik, iya sejak aku putus dengan sahabatmu." Dinan tersenyum canggung.
"Maaf," kata Sarah pelan.
"Untuk?"
"Sudah putus dengan temanmu." Dinan terdiam kemudian menggelengkan kepalanya.
"Itu bukan salah kamu atau teman saya, mungkin karena kalian belum jodoh saja." Dinan berkata dengan bijak, kemudian keduanya mengobrol seru tentang masa-masa dulu. Dinan sosok yang banyak mendengar dari pada berbicara.
Dinan tiba-tiba diam membuat Sarah ikut diam, Sarah merasa perubahan sikap dari Dinan. Dia menatap ke sekitar namun dia tidak menemukan obyek yang bisa mengubah atau mempengaruhi perasaan Dinan.
"Ada apa?" tanya Sarah.
"Tidak ada, hanya sempat melihat orang yang saya kenal." Sarah menoleh ke pintu kemudian mengangkat bahu tak perduli.
"Kamu sudah menikah?" tanya Sarah membuat Dinan meletakkan cangkir kopinya.
"Belum." Sarah mengangguk.
"Sudah ada calon?" Dinan menatap Sarah kemudian menggeser kepalanya sekitar lima puluh derajat.
"Entahlah, saya belum yakin." Dinan kembali menunduk menatap cangkirnya. Dia tidak tahu maksud tersembunyi dari pertanyaan Sarah namun dia tidak bodoh jika sejak dulu wanita di depannya itu memiliki rasa padanya.
"Berarti sudah ada calon?" See, wanita selalu mencari penyakitnya sendiri. Bukankah sudah jelas ucapan Dinan bahwa dia mencoba menghindar dari pembicaraan yang menurutnya melukai perasaan Sarah.
"Bisa dibilang begitu," kata Dinan kembali menyesap kopi di depannya.
"Berarti kamu sudah move on dari Maura?" Sarah bertanya dengan nada pelan, namun terdengar jelas diterima oleh telinga Dinan.
"Entahlah," kata Dinan meletakkan cangkir kemudian menautkan kedua tangannya di atas meja dan sedikit membungkukkan badannya.
"Aku sudah pernah bilang bukan, jika urusan perasaan aku tidak suka diusik." Dinan berkata dengan tegas.
"Kamu tidak berubah," kata Sarah sesantai mungkin, padahal di dalam hatinya dia tengah getar-getar dengan sikap datar Dinan.
"Aku berubah namun prinsip tetap sama selama tidak menyalahi aturan," kata Dinan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kafe.
"Ya, apa masih ada celah untukku masuk?" Dinan mengangkat bahu, dia tidak bodoh dengan hal yang baru saja diucapkan oleh wanita di depannya.
"Aku tidak tahu tentang jodoh, tapi mungkin lebih baik jika kamu tidak banyak berharap." Dinan merapikan barangnya kemudian dia berpamitan untuk undur diri terlebih dahulu karena adzan magrib sudah berkumandang dan hujan nampaknya sudah mereda.
°°°°
Sore tadi Dinan menemui salah satu temannya yang sedang menempuh pendidikan S2 di universitas Kota, karena terlalu sore untuk pulang dia berhenti di sebuah kafe yang dekat dengan masjid. Dia berniat untuk menunggu waktu magrib sebelum kembali pulang.
Saat tengah menunggu pesanan tiba-tiba datang seorang wanita yang langsung duduk di depannya, awalnya dia merasa tidak nyaman namun dia bisa apa, mengusirnya itu bukan perkara bijak, apa lagi itu di tempat umum.
Dinan tetap diam dengan perilaku wanita yang menurut Dinan cantik, tetapi sayang dia tidak masuk ke dalam kriteria calon istri idamannya.
Wanita itu adalah Sarah, dulu dia kenal saat mencari ansuransi untuk Doni. Dan kemudian akrab dan secara natural mereka berteman. Hingga sebuah berita membuat Dinan sempat tidak percaya, yaitu Sarah berpacaran dengan Doni. Dia tidak memungkiri bahwa Sarah memang surga dunia bagi setiap lelaki memandang. Namun, itu bukan segala-galanya bagi Dinan, karena Dinan tidak menyukai sesuatu yang berlebihan dan pada diri Sarah semuanya berlebihan, begitu menurut Dinan.
Putus hubungan antara Sarah dengan Doni membuat kerenggangan diantara ketiganya, entah awalnya Dinan tidak tahu mengapa Doni tiba-tiba menghindar. Setelah lama berpikir, dia menyadari bahwa dirinya adalah orang ketiga dalam hubungan mereka. Menurut cerita Nirmala, Doni putus dengan Sarah karena Sarah mengaku menyukai dirinya. Namun Dinan belum mengkonfirmasi semuanya, dia takut akan memperburuk keadaan jadi dia berusaha bersikap biasa bahkan dia sudah sempat lupa pada wanita itu. Sudah terbukti bukan?
Dinan mengenakan kembali sepatunya, kemudian dia berjalan menuju mobil yang dia parkir di pinggir jalan dekat penjual makanan. Dia sedikit heran saat melihat keramaian di warung tentang itu.
"Mungkin harganya lebih murah atau cita rasanya sesuai selera sehingga terlihat ramai." Dinan berkata pada dirinya sendiri. Kemudian dia menekan tombol di kunci mobilnya sehingga mobil mengeluarkan suara bertanda kunci terbuka.
"Dinan," panggil suara yang dia kenal, Dinan menoleh ke belakang kemudian membalikkan badannya, dia melihat sosok Nirmala berjalan menuju ke arah dia berdiri.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Nirmala.
"Jangan di sini," kata Dinan menarik Nirmala menuju depan mobil. Karena di dekat pintu banyak kendaraan berlalu-lalang.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Dinan melepas cekalan di tangan Nirmala.
"Aku duluan yang bertanya," jawab Nirmala tidak terima.
"Aku baru saja sholat. Di situ." Dinan menjawab dengan memberikan kode dengan dagunya.
"Sama." Dinan mendelik membuat Nirmala terkekeh.
"Ya sudah, ayo masuk kita bicara di dalam." Dinan siap melangkah kembali ke mobil namun Nirmala mencekalnya.
"Aku tidak bilang mau pulang," kata Nirmala pelan.
"Baiklah kita makan dulu," kata Dinan mengikuti keinginan Nirmala.
"Aku memang mau makan tapi tidak denganmu," kata Nirmala melepaskan tangannya dari lengan Dinan.
"Kamu mau kencan?" Dinan membalikan badannya dengan cepat.
"Tidak. Ah, bisa jadi." Dinan menatap curiga ke wajah Nirmala kemudian dia membuang muka dan dari situ dia menemukan jawaban dari kegundahannya.
"Ya sudah, aku pulang." Dinan tersenyum tipis kemudian melangkah meninggalkan Nirmala yang terbengong.
Dinan sudah masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Nirmala dengan rasa terkejut.
"Hanya begitu saja?" Nirmala melakukan monolog dengan nada tak percaya. Dinan saudara overprotektif tidak menghujani dirinya dengan berbagai pertanyaan hal itu terasa tak nyata bagi Nirmala.
°°°
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Jumarni
ini pemerannya yg mana y kok aku binggung y
2020-09-08
0
🌼
Pak dinan oh pak dinan
2020-05-09
2
Soelis Setiawati
cool banget kayak kulkas ya si Dinan
2020-05-04
1