3. Evaluasi

~Bukan hanya takdir yang menentukan sesuatu terjadi, tapi usaha juga berperan penting di dalamnya.~

°°°

Pagi ini adalah pagi yang berbeda untuk Amira, bukan karena biasanya pagi terasa cerah kemudian berubah menjadi mendung. Akan tetapi dikarenakan dia harus berangkat pagi, seperti para siswa pada umumnya.

Senin sibuk, itulah yang terjadi pada Amira saat semalam mendapat kabar tentang rapat evaluasi yang dilakukan secara mendadak setelah upacara bendera. Biasanya rapat seperti ini dilakukan sebulan sebelum ujian, namun entah karena apa rapat ini dimajukan sepekan lebih awal.

Rapat evaluasi adalah rapat menentukan naskah ujian dan segala sesuatu mengenai jalannya ujian semester mulai dari tim kepanitiaan hingga pembagian tugas guru kegiatan akhir semester. Amira berdiri di halte bus dekat rumah kontrakannya sejak pukul enam lima belas. Dia sengaja mengambil kendaraan pagi supaya tidak berjubal.

Amira adalah seorang rantauan yang memanfaatkan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, bukan karena tidak memiliki namun lebih tidak bisa mengendarai. Amira, walau dia hanya seorang guru honorer, akan tetapi dia memiliki sebuah bisnis shop yang dia jalani bersama sahabatnya sejak kuliah.

Jadi jika hanya sekedar untuk membeli motor second dia masih mampu.

Tak membutuhkan banyak waktu bus AC berwarna oranye dan putih itu berhenti menghampiri dirinya di pinggir jalan dan tak membutuhkan waktu yang lama Amira segera masuk dan mengambil tempat duduk.

"Karcis," kata seorang kondektur.

"Yayasan Kota," kata Amira sambil memberikan beberapa lembar uang sesuai dengan tarif yang biasa dia bayar.

Tak membutuhkan waktu yang lama, bus segera menepi di depan halte dekat yayasan Kota, Amira turun melalu melalui pintu depan kemudian dia langsung berlari ke halte karena hujan turun.

Amira mengibaskan jilbabnya kemudian dia mengambil payung lipat yang dia bawa setiap hari di paper bag. Dia membuka kemudian berjalan dengan pelan-pelan masuk gang menuju sekolah.

Hujan di bulan Oktober, membuat upacara bendera tidak bisa dilakukan. Amira tersenyum tipis saat mengingat masa SMA yang sangat bahagia jika tidak jadi melakukan upacara bendera.

Tin...tin...

Sebuah mobil berjalan lambat di samping Amira, dia sedikit heran kemudian dia berhenti bertepatan pada mobil itu juga berhenti. Kaca mobil terbuka nampak Nirmala dengan senyumnya.

"Yuk bareng," kata Nirmala pelan. Amira menatap ke arah orang yang mengemudi kemudian menggerakkan kepalanya tanda tidak setuju.

"Terima kasih, Bu Mala duluan saja, saya sudah terlanjur basah." Nirmala menatap ke arah kaki Amira yang nampak becek kemudian dia mengerutkan keningnya.

"Ya sudah kami duluan," kata Nirmala berpamitan dan mobil pun berjalan meninggalkan Amira yang sedang menghela napas. Amira kembali berjalan dan gerbang depan sudah terlihat.

Amira masuk melalui gerbang depan di sana sudah ada beberapa anak yang berdiri untuk menjaga ketertiban siswa. Amira mengangguk saat disapa oleh beberapa anak didiknya. Amira langsung berjalan menuju teras terdekat kemudian melipat payung yang dia gunakan dan memasukkan ke dalam paper bag sebelumnya dia bungkus dengan plastik. Setelah semua tapi Amira berjalan dengan santai menuju ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi.

Amira menyempatkan diri mampir ke toilet sebelum masuk ruangan. Dia mengganti sendal jepitnya dengan sepatu kemudian dia berjalan menuju pintu sebelah kanan ruang guru.

"Bu Mira," panggil salah satu siswi yang dia ketahui kelas sepuluh.

"Assalamualaikum," salam siswi itu sambil menjabat tangan Amira.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, ada yang bisa dibantu?" Amira menatap Dila dengan wajah datar.

"Ini Bu, mau ngumpulin buku laporan wirausaha." Amira menaikan alisnya.

"Bukankah harusnya ke bu Rina?" Dila tersenyum canggung.

"Tadi udah nyari bu Rina tapi gak ada." Amira mengangguk.

"Ya sudah saya terima," kata Amira dengan senyum segaris.

"Terima kasih Bu."

"Sama-sama, tolong beritahu anggota kepanitiaan inti gelar karya untuk menemui saya ya," kata Amira. "Dan sekarang giliran saya yang mengucapkan terima kasih." Amira melanjutkan dengan nada ramah.

"Sama-sama," jawab Dila dengan senyum geli. Dia jadi merasa akrab dengan guru boga barunya.

"Ada pak Dinan." Bisik teman Dila yang masih didengar oleh Amira membuat dia tersenyum kecil. Sungguh dia merasa terintimidasi saat para penggemar guru tampan itu membicarakan tokoh pujaannya.

"Tidak ada lagi?" Amira bertanya dan dua siswi di depannya sudah tidak menjawab, mungkin karena sudah ingin pergi dan menghampiri sang idola.

"Ya sudah saya duluan. Assalamualaikum." Amira membalikan badan sambil menatap ke arah dua guru yang sedang berbincang di depan pintu ruang guru sebelah kiri. Amira menunduk kemudian masuk ke dalam ruangan seraya mengucapkan salam.

Amira menatap ruangan panjang yang nampak begitu ramai, dia merasa canggung namun dia tetap berjalan menjabat tangan satu-satu guru yang sudah datang.

"Bu Mira kok basah?" tanya Tia guru matematika yang duduk semeja dengannya. Ya, di sekolah ini setiap meja di isi dengan dua guru dan kebetulan Amira duduk dengan Bu Tia, guru yang bisa dibilang sudah berumur dan menggeluti bidang sejenis angka-angka.

"Oh, ini tadi terkena air di perbatasan koridor tata usaha dan ruang komputer." Amira meletakan tasnya di atas meja.

"Iya, di sana airnya deras sekali." Tia menimpali ucapan Amira kemudian keduanya sibuk dengan kertas yang ada di depannya.

"Bu Mira sudah membuat laporan perkembangan siswa."

"Alhamdulillah sudah," Amira menjawab dengan sopan. Dia memperkirakan umur Tia seusia dengan umur ibunya. Mengingat hal itu membuat Amira merindukan sang ibu yang ada di luar kota.

"Kalau ada kesulitan bisa tanya ke rekan guru yang lain," kata Tia menoleh ke arah Amira dan menatap dengan wajah keibuan.

"Iya Bu, terima kasih." Amira menjawab sambil menggosokkan kedua tangannya dia merasa kedinginan. Dia mengamati ruangan yang terlihat ramai, dia ingin tahu letak AC berada karena dia merasa kedinginan.

Amira menatap lurus ke sebelah kirinya, pantas saja dia kedinginan AC berada segaris lurus dengan posisi duduknya.

"Kamu bisa pakai ini," kata Nirmala menaruh jaket yang berukuran besar di bahu Amira.

"Terima kasih," kata Amira membenarkan posisi.

"Kamu gak minat pindah?" tanya Nirmala menghadap ke belakang, karena dia duduk di depan Amira.

"Masih satu tahun kontrakannya jadi rugi kalau ditinggalkan." Nirmala mengangguk.

"Kamu coba tawarkan, kamu cari kontrakan atau kos di dekat sekolah. Kamu kan gak bisa mengendarai motor atau mobil jadi bakal sulit transportasinya saat berangkat, apa lagi kalau hujan." Amira menatap ke arah Nirmala kemudian dia tersenyum tipis. Dia baru mengenal Nirmala sekitar tiga bulan. Itu pun dia tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan salah satu guru ketrampilan itu, namun guru yang baik hati itu selalu care terhadap dirinya hingga membuat dia terharu. Karena selama ini dia tidak pernah mendapat teman yang begitu tulus.

"Terima kasih," kata Amira depan dan tersenyum.

"Udah jaket itu kamu pakai aja, kamu bisa balikin kapan aja. Aku mau ngoreksi desain anak-anak." Amira mengangguk kemudian dia mengamati jaket yang dia gunakan untuk menyelimuti bahunya. Jaket berwarna coklat kemerahan yang tebal, berbahan halus dan memang benar-benar menjamin kehangatan walau terasa berat. Ukuran jaket ini sangat besar dan panjang, tidak mungkin bukan jika ini ukuran jaket Nirmala.

Dia meremas kedua tangannya yang ada di pangkuan, dia merasa tak nyaman kemudian dia menghela napas.

"Kenapa?" tanya Tia yang sejak tadi heran dengan ekspresi wajah Amira.

"Tidak Bu," jawab Amira.

"Bu biasa minum kopi atau teh?" tanya Dinan yang sudah berdiri di dekat meja. Amira menoleh heran.

"Bu Mira mau teh atau kopi?" Amira menoleh ke arah Tia yang mengulang pertanyaan Dinan.

"Buat apa ya Bu?" tanya Amira sedikit heran.

"Diminum." Tia menjawab sambil terkekeh.

"Saya kopi susu ya pak Dinan, Bu Mira?"

"Teh." Amira menjawab dengan pelan.

"Baiklah dicatat ya," kata Dinan dengan datar.

"Kok pak Dinan yang keliling?" tanya Tia yang dijawab Dinan dengan senyum ramah.

"Pak Agus sepertinya masuk angin, jadi saya yang waktunya luang mengganti," kata Dinan dengan sopan. Tia mengangguk kemudian Dinan berpamitan.

"Merasa asing ya, sabar nanti juga terbiasa." Tia menyentuh tangan Amira.

"Tangan kamu dingin sekali," kata Tia yang menghilangkan nada formilnya karena terkejut menyentuh tangan Amira. Amira menatap tangannya kemudian menatap wajah Tia kemudian tersenyum tipis.

"Gak papa Bu, hanya kedinginan." Dinan yang berdiri di meja belakang Amira kembali mendekat.

"Ini ada minyak kalau untuk menghangatkan," kata Dinan memberikan minyak kayu putih kepada Amira. Amira menerima dengan canggung, kemudian mengucapkan terima kasih.

•••

Amira duduk di depan ruang ketrampilan, hari ini dia sedang mendapat tamu bulanan jadi dia merasa tak nyaman dan emosinya pun sulit dikendalikan. Dia menatap jaket yang dia lipat di pahanya, jaket yang dipinjamkan Nirmala tadi pagi. Dia menghela napas kemudian berdiri, dia melangkah untuk ke gerbang belakang.

Amira berniat untuk pulang, karena lingkungan sekolah sudah nampak sepi.

"Pulang Bu," sapa pak Rahmat, penjaga sekolah.

"Iya pak, mari!" Amira membungkuk sejenak kemudian kembali berjalan. Dia berjalan dengan pelan, dia ingin menikmati setiap langkah kakinya, dia menunduk sesekali memandang ke depan.

"Perlu teman?" Amira menoleh ke samping kemudian dia berhenti. Dia heran menatap wajah sosok lelaki di depannya. Dia menoleh ke sekeliling takut jika dia salah sangka.

"Kamu mengajak berbicara saya?" tanya Amira sedikit heran.

"Iya, memang selain kamu ada yang lain lagi." Amira menggeleng sambil di hati dia berkata bahwa lelaki di depannya itu ramah.

"Saya Fatih," kata lelaki di depan Amira sambil mengulurkan tangannya.

"Amira," jawab Amira dengan pelan. Kemudian dia kembali berjalan diikuti oleh Fatih.

"Aku sering melihatmu duduk di halte," kata Fatih memulai pembicaraan.

"Benarkah? Kamu bukan penguntit kan?" Amira bertanya sambil menatap wajah Fatih curiga. Fatih nampak salah tingkah dengan menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.

"Aku tidak menguntit hanya menandai," kata Fatih sedikit canggung. Amira terkekeh pelan.

"Apa yang ditandai," kata Amira dengan santai.

"Cewek calon ibu yang baik dan cantik." Amira menoleh dengan cepat.

"Sepertinya kamu perlu mengevaluasi ucapan kamu." Amira berjalan lebih cepat meninggalkan Fatih yang terdiam di tempat.

---

Terpopuler

Comments

Yani

Yani

Bagus ceritanya aq suka

2020-07-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!