Tidak Disangka [1]

Setelah menghabiskan waktu berjam-jam duduk di dalam kereta. Menjelang malam, akhirnya kereta yang membawa Davina dan Baby El berhenti di stasiun kota Vancouver, Kanada. Davina turun dari kereta api bersama dengan penumpang lainnya.

Gadis itu menyusuri peron bersama Baby El. Baru saja bayi laki-laki mungil ini tertidur lelap setelah Davina memberinya sebotol susu di dalam kereta tadi. Memperhatikan Baby El meminum susu kotak-nya membuat hati Davina miris melihatnya. Semenjak sadar dari komanya, ia sudah melihat pemandangan seperti ini.

Ketika dirinya bertanya pada Arlana, almarhumah kakaknya. Tentang, sejak kapan Baby El meminum susu kotak. Mengapa Baby El diberi minum susu kotak bukan dari ASI. Kenapa Arlana tidak menyusui Baby El sendiri, padahal diumur Baby El yang masih lima bulan ini masih sangat membutuhkan ASI untuk perkembangan tumbuh kembangnya. Dan dari semua pertanyaannya itu, Arlana selalu bungkam. Seolah mulut Arlana dilem dengan begitu kuatnya.

Melihat sikap Arlana terhadap Baby El, kadang Davina berpikir sendiri, bila saja Baby El itu anaknya tentu saja akan dia beri susunya sendiri. Acap kali membuat Davina bingung sendiri, bila melihat kakaknya kadang sering telat memberikan Baby El susu kotak, payudaranya akan berdenyut menyakitkan dan sedikit membengkak.

Aneh, sebegitu dekatnya aku dengan keponakanku, sampai bagian tubuhku juga berdenyut sakit bila melihat Baby El menangis ingin menyusu, batin Davina sambil mengelus sayang pucuk kepala Baby El, sesekali ia menciumi rambut lebat bayi ini. Kemudian mendudukkan butt-nya di kursi tunggu stasiun.

Kembali gadis itu berpikir sejenak. Apa yang semestinya dilakukan selanjutnya?

Apakah langsung datang ke alamat yang dituju, atau mencari penginapan di sekitar stasiun dulu - mengingat hari telah malam.

Atau pergi ke tempat sahabat lamanya, Fabian. Sebelum pergi ke ibukota sempat Davina menghubungi kawan lamanya yang tinggal di kota ini, Fabian, mengabarkan padanya bahwa dirinya akan pergi ke kota Vancouver. Dan cowok berkulit eksotis itu berpesan padanya, bila telah sampai di stasiun, sebaiknya menghubunginya. Gadis itu mencari-cari ponsel di dalam tasnya. Dia telah memutuskan untuk menghubungi Fabian. Dan beristirahat di rumah pemuda itu saja.

Baru saja gadis itu hendak memencet nomor tujuan. Tiba-tiba saja tanpa diduganya, seseorang merampas tas dan ponselnya hanya dalam hitungan detik saja.

"KYAAA, PENCURIII" Davina sekuat tenaga berteriak, terkesiap kala ponselnya tidak berada di tangannya lagi. Tanpa berpikir panjang, gadis itu segera berlari---mengejar pencurinya---dengan Baby El terus didekapnya.

"Hey, pencuri sialan! Kembalikan tasku bodoh ..."

Suara Davina menggema di tengah stasiun yang mulai sepi, sementara dirinya terus mengejar pencuri kurang ajar itu. Beraninya merampas ponsel dan tasnya, di mana alamat rumah ayah kandung Baby El juga berada di sana.

"Arrrgh, sialan mengapa larinya cepat sekali." Davina menggerutu, terengah-engah ketika menuruni tangga menuju ke arah pintu keluar stasiun.

"Bagaimana ini ..." lanjutnya bermonolog sendiri. Menggiggit bibirnya putus asa. Menatap kosong ke depan, gadis itu telah kehilangan jejak pencuri tas dan ponselnya.

"Baby El, sekarang apa yang harus Aunty lakukan ..." lirih Davina menatap memelas pada Baby El, juga menatap polos gadis ini. Ia hanya berdiri mematung di tengah-tengah lobi stasiun. Kebingungan melandanya saat ini. Tak bisa berbuat apa pun, layaknya orang yang baru saja terkena hipnotis.

 

Dugh

 

Davina meringis kala sebuah tas gitar menyenggol bahunya. Cukup keras, hingga membuat raut wajahnya tertekuk menahan sakit - di tengah rasa sakit hati akan tas dan ponselnya raib dijarah pencuri.

"Ah, maafkan ak--- Vina?!"

Davina mengerutkan dahi, takkala orang yang menyenggolnya itu membalik tubuhnya ternyata mengetahui namanya.

"Maaf, apa kau mengenalku?" Davina balik bertanya, menatap lekat pria tinggi berkulit agak gelap di depannya ini. Namun tidak segelap kulit Fabian.

Pria di depan Davina hanya diam dengan wajah kebingungan, persis ekspresi Davina sebelumnya. Gadis ini menghela napas ketika tak ada jawaban dari pria di depannya.

Huft. Apa aku yang salah dengar? pikirnya seraya mengelus batang hidungnya.

"Hallo?" Davina mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan pria yang mematung bagai manekin pajangan di dalam etalase toko. Sesekali mata pria ini menatapnya, lalu beralih menatap Baby El - tanpa berkedip sama sekali.

 

Glup

 

Davina meneguk ludah susah payah, jangan-jangan pria ini seorang penculik bayi? Sedari tadi pria ini menatap lekat Baby El terus-menerus.

Ah, sebaiknya aku pergi saja, batin Davina segera memutar tubuhnya.

"T-tunggu sebentar." Pria itu akhirnya bicara, menahan lengan kurus Davina.

"Ya?" Davina menautkan kedua alisnya, pandangannya segera menajam pada tangan pria itu di lengannya.

"Apa ini mimpi?" gumam pria itu. Lalu melepaskan pegangannya di lengan Davina saat merasakan gadis ini tak menyukai sikapnya.

"Mimpi?!" ulang Davina dengan dahi berkerut dalam. Bola matanya menatap aneh pria yang bergumam di depannya ini.

Hhh ... mana kutahu. Davina menjawab sendiri pertanyaannya dalam hati sembari mengangkat kedua belah bahunya.

"Apa bayi ini anakmu?" tanya pria itu tiba-tiba membuat Davina kembali terlonjak kaget.

Davina tidak segera menjawab. Memicingkan mata menatap lekat pria ini dari kaki sampai ke ujung kepala. Menilik dari pakaiannya yang memakai topi hitam, celana jeans robek-robek, sepatu kets, serta gitar yang berada di belakang pundaknya itu ....

Sepertinya dia musisi jalanan?

Serta gelagatnya juga aneh, seperti ingin berniat jahat. Sontak Davina mengencangkan tangan begitu erat di tubuh Baby El, lalu berjalan cepat meninggalkan pria aneh itu.

"Eh? Mau ke mana?" Pria itu segera berjalan tidak kalah cepatnya mengejar Davina. Tanpa menjawab pertanyaannya tadi, gadis itu buru-buru melangkah berjalan keluar dari stasiun. Secepatnya menjauhi pria aneh ini. Mengetahui namanya, namun tidak menjelaskan siapa dirinya, malah balik bertanya siapa Baby El. Mencurigakan dan menakutkan.

"Hey, bisakah kau tak mengikutiku? Pergilah!" Davina berujar agar kasar dan berterus terang, bahwa dirinya terganggu. Diikuti sedari tadi hingga berada di luar stasiun.

Pria itu memiringkan kepala, menatap lekat Davina. Namun raut wajahnya berubah sedikit ramah - ada senyum di sudut bibirnya. Membuat Davina menurunkan sedikit tingkat kewaspadaannya. Tidak seperti tadi. Pria itu terus memasang wajah datar, ketika berada di dalam lobi stasiun.

"Kau benaran tidak mengenalku?" Kini pria itu balik bertanya pada Davina.

Gadis itu memutar bola mata. Lama-lama jengah juga. "Maaf, ya. Sebenarnya kau siapa? Aku sendiri tak merasa mengenalmu, namun kau tadi menyebut namaku, kan?" Davina berujar sabar.

Pria itu menggaruk kepala, lalu menghela napas panjang. Sepertinya pria itu mendapatkan jawabannya sendiri - setelah menganalisa pertanyaan Davina tadi.

"Baiklah, kau ikut aku saja."

"Eh? Apa-apaan ini..." Protes Davina ketika pria asing itu, tanpa seizinnya kembali menarik lengannya, alih-alih menjawab pertanyaannya tadi.

"Kau kehilangan tas dan ponselmu, kan? Sekarang aku mau tanya ... Ke mana tujuanmu setelah ini?" Pria itu memandang tajam Davina, lalu melepaskan tangannya di lengan gadis ini.

Davina terdiam. Tujuannya? Ke tempat Fabian? Alamat Fabian saja dia tidak tahu di ibukota ini. Itu sebabnya tadi, Davina berniat menelepon sahabatnya ini. Namun naas ponsel dan tasnya malah raib digondol pencuri - termasuk alamat ayah kandung Baby El juga ikut lenyap.

Pria itu menarik napas panjang. Pandangannya berubah meredup takkala menatap wajah Davina yang kebingungan.

"Lebih baik kau ikut aku saja. Percaya padaku. Aku jamin, takkan berbuat jahat padamu." Pria itu menjawab kecemasan Davina saat ini seraya memberhentikan sebuah taksi, kebetulan lewat di depan mereka. Atau pria asing ini telah menelepon perusahaan taksi sebelumnya? Entahlah, Davina tidak tahu.

"Mengapa aku harus percay---"

"Masuklah." Pria itu memotong kalimat Davina, mendesaknya memasuki taksi. Gadis ini mengembuskan napas berat, mau tak mau dirinya kini telah berada di dalam taksi, entah ke mana pria asing itu membawanya.

"Ya, kau harus percaya padaku," ulang pria itu lagi. "Sebab aku ..."

"Aku?" Davina menatap ingin tahu pria di sampingnya, menunggu dengan sabar pria asing ini melanjutkan kalimatnya.

"Tidak, lupakan saja.--- Omong-omong namaku Ravi Ar ..." Pria itu terdiam dan menggelengkan kepala, lalu kembali menyambung kalimatnya yang tertunda. "Panggil saja aku Ravi," lanjutnya menatap keluar jendela taksi.

Wajah Davina menjadi datar saat menanggapi perkenalan pria asing,--- ah ternyata namanya Ravi. Sebenarnya bukan itu yang diinginkan Davina atas penjelasannya tadi. Entahlah ada sesuatu yang ganjil dalam kalimat Ravi ketika mengenalkan namanya.

"Mengapa kau bisa tahu namaku Rav?!"

"Itu..." Ravi menoleh ke arah Davina, lalu menatap Baby El. Bayi polos itu juga menatapnya.

"Nanti kau tahu sendiri, Vina. Terus, siapa bayi ini, dia begitu mirip denganmu dan seseorang yang kukenal," katanya lagi.

"Seseorang yang kau kenal?" Mata Davina membola, pandangannya berubah antusias. Seolah baru saja menemukan jawaban teka-teki permainannya.

Sedetik kemudian gadis ini melengkungkan bibirnya ke bawah. Kecewa, karena Ravi tidak menjawab pertanyaannya.

Merasa tidak puas, Davina kembali melontarkan pertanyaan. "Apakah kau mengenal Mario Archielo?"

"Hm ... tidak." Ravi menjawab seraya menyenderkan tubuhnya ke jok taksi dan berangsur-angsur memejamkan mata.

Davina mengerutkan kening ketika mendapati jawaban ganjil Ravi. Sepertinya pria berambut blonde itu butuh waktu lama dan sedikit ragu menjawabnya.

"Memangnya, mengapa seandainya aku mengenal nama Mario Archielo?!" Ravi membuka mata, lalu menatap tajam Davina.

"Huft." Davina meniup poninya yang menjuntai. "Sebenarnya, tujuanku datang ke kota Vancouver menemui Mario Archielo. Sayangnya, alamatnya ikut terbawa di dalam tas yang dicuri tadi," ujarnya dengan nada penuh kecewa dan sedikit kesal saat mengingat pencuri kurang ajar itu.

"Apakah ada kaitannya dengan bayi itu?"

"Ya." Davina menjawab singkat sambil menggigit bibir. Entah mengapa melihat wajah Ravi, hatinya memutuskan untuk berbicara jujur. "Baby El ... sebenarnya anak kandung kakak sulungku yang meninggal sebulan yang lalu."

"Eh?!--- kakakmu, ya ..." Kali ini Ravi yang terperanjat kaget.

Davina memiringkan kepala akan reaksi aneh Ravi - lagi-lagi tertangkap jelas olehnya. Sebetulnya, apakah Ravi pernah mengenalnya di masa lalu? Reaksi Ravi tadi sama persis ditunjukkan oleh kakak dan kedua orang tuanya kala ia bertanya siapa ayah kandung Baby El.

"Ekhem ..." Ravi berdeham sekilas saat menyadari pandangan aneh Davina padanya. "Mengenai alamat yang kau tuju, mungkin kakakku bisa membantu," lanjutnya dengan wajah serius.

"B-benarkah?" mulut Davina membulat, tak menyangka Ravi akan membantunya lewat kakaknya. "Terima kasih, Rav," lanjut gadis ini tersenyum senang.

Ravi hanya diam tak menanggapi. Dia memandang keluar jendela. Pikirannya melayang ke salah satu kakak laki-lakinya, lalu kembali melirik Davina yang polos di matanya, kemudian menghela napas panjang.

Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.

Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.

 

 

Terpopuler

Comments

Netti Irawati

Netti Irawati

kebanyakan teka teki nya ...

2024-05-19

0

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

berarti Ravi archielo adiknya Mario archielo donk🤔🤔🤔🤔

2021-06-20

1

flow🌹🌹🌹

flow🌹🌹🌹

yr greget harusnya jngn amnesia cwenya thoorrr
mlhn bkin cwonya klngkabut krn pnysalan..

2021-05-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!