Gadis manis itu mendekap erat sekotak susu dalam rengkuhan tubuh kurusnya, pucuk rambut almond-nya bergerak-gerak kecil tertiup angin. Menyibak bagian helai depan rambutnya yang menutupi dahinya, lalu menyelipkannya ke samping telinganya, hingga terlihatlah mata indah dengan pancaran iris coklat di dalamnya.
Davina memandang lekat bangunan sederhana di depannya, dengan tanaman-tanaman berbagai jenis menghiasi pekarangan rumahnya. Rumah yang telah dihuninya, dari dirinya lahir sampai berdiri tegak sekarang ini, tentunya bersama kedua orang tua dan satu kakak perempuannya, Arlana Oswalden.
Oh satu lagi. Tambahan anggota keluarganya. Seorang bayi mungil dan lucu. Entahlah dia tidak ingat, kapan kakaknya menikah hingga punya bayi laki-laki berumur lima bulan. Bahkan dia belum pernah bertemu suami dan ayah bayi dari kakaknya ini. Bagaimana bentuk rupa wajahnya atau mungkin namanya, sama sekali belum tahu.
Seminggu yang lalu. Tepatnya ketika dia membuka mata pertama kalinya, di rumah sakit Internasional Kanada. Dilihatnya sang kakak - Arlana. Mendekap erat bayi laki-laki, yang diketahuinya sering dipanggil Baby El oleh keluarganya. Dan ketika dia bertanya. Siapa Baby El, ayahnya menjawab itu anak kakaknya.
Hal itu mengundang berbagai tanya dibenaknya, tetapi niat untuk bertanya segera diurungkan, kala melihat ekspresi wajah kakaknya - tak siap untuk diberi pertanyaan olehnya. Hingga kini, dia belum berani bertanya apa-apa soal Baby El pada kakak dan kedua orang tuanya.
Setiap dia ingin mengarahkan pembicaraan siapa Baby El, orang tua dan kakaknya menghindari dan mengalihkan ke topik lainnya. Seakan-akan mereka punya rahasia yang tidak diketahuinya selama ini.
Ya! Semenjak dia sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dokter dan orang tuanya mengatakan kalau dia mengalami retrograde amnesia. Di mana dia tak bisa mengingat peristiwa dan kejadian selama dua tahun belakangan ini. Termasuk melupakan siapa Baby El, sang keponakan lucunya itu.
Davina meniup poninya yang kembali menjuntai. Sayup-sayup telinganya menangkap suara tangisan Baby El yang menggema di rumahnya, seketika saja mengempaskannya kembali ke bumi dari lamunan sesaatnya tadi.
Gadis itu bergegas melangkahkan kakinya lebar-lebar, tergesa-gesa memasuki pekarangan rumahnya. Mungkin Baby El sudah kehausan, menunggu dirinya yang membeli sekotak susu yang jarak tempuhnya memakan waktu setengah jam bolak-balik antara rumahnya dan minimarket terdekat.
Setengah jam yang lalu, persediaan susu untuk Baby El telah habis. Dan dia menawarkan diri untuk membelinya pada sang kakak yang berusaha mendiamkan tangisan Baby El. Tentu akan repot bila Arlana yang membelinya sendiri, sementara wanita cantik itu juga harus mengasuh Baby El, belum lagi untuk bersiap-siap pergi bekerja.
Sedikit miris, bila dia melihat kehidupan kakaknya. Seorang diri mengasuh putranya, tanpa ada suami yang bertanggung jawab di sisinya. Ditambah lagi kakaknya yang merupakan seorang wanita karier. Selama seminggu ini, dialah---setelah sadar dari koma sesaatnya---mengasuh Baby El bersama ibu mereka.
"Aku pulang ..." sapa gadis manis itu membuka pintu, segera melepas sneakers putih polosnya dan melemparnya asal. Menghiraukan seruan dari halaman rumahnya. Sang ibu yang menggerutu sebal padanya, karena tidak sengaja tadi menginjak tanaman merambat kesayangannya. Well, baru sehari yang lalu sang ibu menanamnya, dan dia telah seenaknya menghancurkannya.
Davina menatap lekat punggung kakaknya, sedang berusaha mendiamkan Baby El. Kedua pipinya yang montok dan bulat tampak kemerahan karena terus menangis.
"Kak, ini susunya." Davina meletakkan sekotak susu di atas meja makan.
"Ah, kau kembali juga, Vina." Arlana menoleh padanya. Tersenyum lega bagaikan permasalahan yang---menggunung di dadanya---selama ini menghimpitnya terlepas begitu saja.
"Cepatlah Kak, buatkan susunya! Kasihan Baby El menangis terus."
Davina segera meraih dan mengambil alih Baby El dari tangan Arlana, membiarkan kakaknya membuatkan susu untuk Baby El.
"Aih, kenapa dia berhenti menangis bila dalam gendonganmu." Arlana menggerutu sebal, mulai menyibukkan diri di balik konter dapur.
"Kak Lana, itu karena aku Aunty-nya--- Huft. Kakak sih, kerja terus dari pagi sampai malam. Bisa-bisa Baby El melupakan siapa Mommy...nya,” celetuk Davina tanpa sadar. Buru-buru gadis itu menutup mulutnya, ketika melihat ekspresi wajah kakaknya yang tak terbaca.
"Melupakan Mommy-nya, ya ...."
"Eh ... b-bukan begitu, Kak,--- ah maafkan aku, Kak Lana." Davina tergagap. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan menatap bersalah pada kakaknya. Karena ucapannya, wanita cantik itu jadi sedikit terganggu, dan menghentikan sejenak menyeduh susu.
"Hm! Tak apa, Vina. Jangan dipikirkan." Arlana tersenyum simpul, mengembuskan napas pendek dan kembali berkutat dengan susu Baby El.
“Maaf, ya, Kak,” lirih Davina.
“Iya, iya. Kakak sudah memaafkanmu. Tidak usah dipikirkan lagi. Oke?”
“Oke.” Meski masih mengganjal dalam hati, Davina memaksakan bibir plum-nya tersenyum kecil. Diperhatikannya begitu lekat Arlana sembari memikirkan sesuatu.
"Kak, boleh aku tanya sesuatu?" tanyanya hati-hati.
"Hmmm."
Davina menarik napas pendek, dia anggap gumaman kakaknya tanda setuju akan pertanyaannya nanti.
Ya! Dia tidak sanggup lagi menanggung rasa penasaran tinggi dalam benaknya, dan itu harus ada jawabannya dari belah bibir wanita berumur lima tahun lebih tua darinya ini.
"Apa benar, ayah dari Baby El ini,--- Kak Darrel?!"
Prang
Tremos yang ada di tangan Arlana meluncur bebas dari tangannya, jatuh pecah berhamburan ke lantai.
"Lana? Vin--- Astaga! Apa yang terjadi, Nak?"
Suara ibu mereka menyeruak di antara keterpakuan keduanya, wanita tua itu segera meraih Baby El dari tangan Davina. Bayi itu ikut menangis, terkejut oleh suara benda pecah barusan.
Sementara itu, Davina masih tersentak kaget dan diam bergeming secara bersamaan, bingung melihat reaksi kakaknya. Dari reaksinya, benarkah pacar kakaknya yang berbuat seperti itu? Atau ada pria lainnya?
"Tak terjadi apa-apa, Mom, hanya saja tanganku sedikit licin--- eung, bisakah Mommy bawa pergi Baby El sebentar?" pinta Arlana sambil menggigit bibirnya. Menatap lekat wanita paruh baya di depannya, seakan mengerti kode dari Arlana, ibu mereka segera pergi, sebelumnya mengusap pundak Davina yang masih mematung di tempat.
"Ah, maafkan aku, Kak. T-tak seharusnya aku bertanya seperti itu," sesal Davina, segera membantu Arlana membersihkan pecahan kaca - setelah bisa menguasai rasa terkejutnya tadi.
Arlana menarik napas pendek, ditatapnya Davina yang menyapu lantai sisa pecahan kaca tremos.
"Vina, bukan Darrel ayah kandung Baby El. Suatu hari nanti ... kau akan mengetahui siapa ayah kandung Baby El yang sebenarnya."
Davina terdiam. Kalau bukan Darrel Tompson, siapa lagi? Yang dia ketahui mantan pacar Arlana akhir-akhir ini tentu saja Darrel. Setelah putus dari Darrel, Arlana tidak terlihat dekat dengan pria mana pun.
Tetapi, kalau pun menikah dengan pria lain, mana suaminya? Setiap ditanya seperti itu, kakaknya hanya tersenyum simpul. Tidak mengiyakan atau pun membantah.
"Sudahlah, Vina, tak usah dipikirkan soal Kakak atau Baby El. Bila saatnya tiba, Kakak akan membuka semua rahasianya."
"Eung, ya, aku mengerti, Kak. Maaf telah bertanya seperti tadi." Davina menunduk, memutar-mutar gagang sapu di tangannya. Perasaan bersalah menari-nari liar dalam benaknya.
Arlana menepuk bahunya lembut. "Kakak mengerti,--- ah, bisakah kau yang membuat susunya?"
"Oke." Davina mengangguk kecil, menatap punggung Arlana, segera meraih blazer formalnya yang tersampir di kursi makan dan terburu-buru memakainya, sembari melihat riasan wajahnya dipantulan kaca lemari dapur. Sekilas wanita itu melirik pada arloji di pergelangan tangannya.
"Aih, sepertinya Kakak benar-benar telat ke kantor, mana ada kunjungan dari perusahaan pusat lagi," gerutu Arlana mulai panik. Davina yang memperhatikan tingkah panik Arlana hanya tersenyum geli.
"Seperti biasa, Vina, titip Baby El, ya," lanjut Arlana.
"Ya, aku tahu, Kak. Serahkan semuanya padaku."
"Hum, makasih, Vina. Kau selalu bisa diandalkan." Arlana tersenyum tipis, sekali lagi menatap wajah manis Davina.
"Errr, kalau begini, seharusnya kau yang pantas jadi Mommy Baby El, dibandingkan aku, Vina." Arlana bersungut memakai sepatu heels merah marunnya. Tampak jelas ekspresinya, bahwa dia masih ingin bebas - tanpa terbebani bayi dalam hidupnya saat ini.
"Eh? Aku?" Davina menggaruk kepalanya, meletakkan kembali sapu di tempat semula.
"Hu'um, benar. Kau yang seharian mengasuh Baby El, memberinya makan, menidurkannya, bahkan dia akan diam dan tak rewel bila dalam gendonganmu,--- kurasa kau sudah cocok jadi Mommy-nya."
Davina mengerucutkan bibir, sedikit keberatan, bukankah dia adiknya? Masa jadi Mommy? Seharusnya dia jadi Aunty-nya.
"Aih, Kakak. Tapi, pada kenyataannya, Kakak-lah Mommy kandung Baby El, lagipula aku ini adikmu, mana bisa jadi Mommy, sudah tentu aku jadi Aunty-nya," bantah Davina, segera menyeduh kembali susu yang baru untuk Baby El.
Arlana terdiam mendengar ucapan Davina. Menggigit bibirnya, menatap sayu punggung adiknya, lantas menggelengkan kepala, menyingkirkan perasaan tak enak yang menyelinap di hati.
"Mommy kandung ya ..." gumam Arlana sambil mengembuskan napas pendek, segera berbalik dan berlalu pergi dari dapur dengan pikiran bercabang di kepalanya.
Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.
Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
hhhmmmmmm ..
2022-08-22
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
blm ngerti ceritanya
2021-06-20
0
fhaika
ikuti dulu..
meski masih bingung...yakin nanti ada flashback atau penjelasan...
2021-05-18
0