Pergi ke kota Vancouver

 

Langit tampak begitu mendung, seolah tahu apa yang dirasakan oleh keluarga kecil ini. Ikut berduka akan kepergian salah satu anggota keluarga Oswalden. Meski sebulan telah berlalu, dari masa berkabung akan kepergian Arlana yang mendadak. Namun rumah sederhana ini, seakan terus diselimuti kabut duka yang berlarut-larut, layaknya bongkahan es yang tidak pernah mencair di kutub utara dalam jangka waktu yang cukup lama.

Knock knock knock

"Vina?"

"Yup, masuk saja, Mom. Tidak dikunci, kok," jawab Davina menoleh ke arah pintu kamarnya. Meletakkan kembali figura foto keluarga di atas meja nakasnya.

Sedetik kemudian pintu pun terbuka. Tampaklah wanita paruh baya, ibunya. Tersenyum tipis sembari menutup kembali pintu kamarnya. Gurat-gurat kesedihan terlihat jelas di wajah tuanya. Masih tak sanggup menghadapi kenyataan, bahwa putri pertamanya telah pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan sebuah wasiat untuk putri polosnya ini, Davina.

Sungguh nyonya Oswalden tak menyangka. Di akhir hayatnya, Arlana malah membuka rahasia kecil tentang Baby El pada Davina.

Wanita paruh baya itu menimang-nimang sebuah kartu nama di tangannya. Lalu dimasukkan kembali ke dalam saku bajunya. Ia ragu-ragu. Apakah diberikan pada putri keduaya ini atau tidak.

Semenjak Arlana mengatakan pada Davina tentang keluarga Archielo. Selama sebulan ini, gadis manis itu berusaha keras - terus-menerus mencari tahu alamat keluarga Archielo. Mengubek-ubek kamar Arlana, mencari jejak yang ditinggalkan oleh kakak sulungnya ini. Namun nihil. Tidak ada satu petunjuk pun tentang alamat keluarga Archielo didapatinya. Bahkan selembar foto pun, Arlana tidak menyimpannya. Sungguh aneh.

Apakah yang sebenarnya terjadi, di antara kakaknya dan keluarga Archielo? Hingga satu lembar foto pun, Arlana tidak punya.

Sebegitu bencikah Arlana dengan ayah kandung Baby El?

Ataukah ada hal lainnya?

Dahi Davina berkernyit dalam ketika berpikir keras. Jalan terakhir satu-satunya untuk mengetahui alamat keluarga Archielo, tentu saja dari mulut kedua orang tuanya. Mendesak mereka untuk memberikan alamatnya. Dan sepertinya, kedua orang tuanya mulai luluh.

Wanita paruh baya itu menarik napas dalam, mengelus dadanya yang berdenyut sakit. Dia telah memberikan keputusan final-nya. Lebih baik mendukung apa pun yang dilakukan oleh putrinya, daripada dirinya kehilangan anaknya untuk kedua kalinya.

"Mom, mengapa hanya diam saja di sana?" Davina menatap sosok ibunya - hanya diam merenung di depan pintu kamarnya.

Wanita paruh baya itu tergagap. Tersenyum kikuk sembari berangsur-angsur mulai melangkah - di mana putrinya sedang menidurkan Baby El di tempat tidurnya.

"Sayang, kau yakin ingin pergi mencari keluarga Archielo?" tanya Ny. Oswalden. Meyakinkan Davina sekali lagi, bila saja putrinya ini mengubah niatnya.

"Tentu saja Mom. Apa lagi yang kucari, selain menemukan ayah kandung Baby El."

Davina menatap lekat wajah ibunya yang menggigit bibirnya. Nampak rasa cemas semakin besar menyelimuti ibunya.

Sungguh Ny. Oswalden sangat takut bila Davina bertemu dengan pria itu. Jujur saja. Sebenarnya dirinya tidak ingin memberikan alamat ini pada Davina. Namun, karena ucapan telah terletak dari mulut Arlana sendiri. Maka mau tak mau, mereka harus memberikan alamat tersebut.

Ny. Oswalden menghela napas berat. Menatap helaian rambut almond sebahu Davina, bergerak-gerak ketika gadis manis ini menyenderkan tubuhnya di sandaran kepala ranjang.

"Lalu?" lanjut Ny. Oswalden meremas ujung rok berendanya.

Davina memiringkan kepala menatap wajah cemas ibunya. "Lalu? Maksud Mommy? Aku tak mengerti," aku Davina jujur dengan kedua alisnya saling bertautan.

Ny. Oswalden mendesah, menyadari akan pertanyaan ambigunya tadi. "Setelah kau menemukan ayahnya ... bisa saja mereka mengamb---"

"Mom ... takkan kubiarkan mereka mengambil alih Baby El. Aku hanya ingin memberikan pelajaran pada pria berengsek itu."

Gadis ini hanya ingin meminta pertanggung-jawaban dari ayah Baby El. Setidaknya memberitahukan pada pria bejat itu. Bahwa kakaknya selama ini, hidup menderita hingga akhir hayat menjemputnya. Sementara pria bejat itu hidup dalam gelimang kebahagiaan tanpa beban. Sialan. Mengapa hidup ini tidak pernah adil. Davina menggeram lirih.

Mendengar penjelasan menggebu-gebu Davina. Ny. Oswalden menghela napas sekali lagi. Berarti tekad putrinya telah bulat, tetap mencari keberadaan ayah kandung Baby El. Wanita paruh baya itu merogoh saku bajunya. Meraih selembar kartu nama yang tadi disembunyikannya. Kartu nama yang disimpannya dengan baik dan rapi - kurang lebih dua tahun lamanya. Dia percaya. Kelak suatu hari nanti, kartu nama ini akan berguna untuk Davina. Dan ternyata, hari ini tibalah saatnya.

"Ambilah, Vina ..." Ny. Oswalden menyodorkan kartu nama tersebut ke pangkuan Davina.

"Ini ..."

"Yup, alamat lengkap keluarga Archielo, dan nama orang itu ada di sana." Ny. Oswalden mendengus sekilas, malas untuk menyebutkan nama pria bejat yang telah menggores hati anaknya.

"Mommy, terima kasih ..." Davina segera memeluk ibunya. Tersenyum senang. Akhirnya sang ibu luluh juga akan sikap kekehnya. Ditelitinya kartu nama tersebut. Lantas mengerutkan kening ketika membaca nama tak asing lagi itu. Tetapi entah di mana dia mengingat nama itu.

"Mario Archielo?" gumam Davina membolak-balik kartu tebal tersebut.

"Ya? Memangnya mengapa, Nak?" tanya wanita paruh baya itu, harap-harap cemas. Apakah putrinya mengingat kembali kejadian dua tahun belakangan ini? Lebih baik begitu, hingga Davina tidak jadi pergi menemui pria berengsek itu.

"Tidak, Mom.” Davina menggelengkan kepala.

“Hanya saja, nama Mario ... sepertinya tidak asing lagi di telingaku--- Tapi aku tak ingat siapa orang itu ..." bisik Davina diakhir kalimat sambil mengetuk dagu, mencoba mengingat-ingat sesuatu di kepalanya.

 

 

*This Is Your Baby*

 

 

Akhirnya, hari di mana Davina pergi ke kota Vancouver, datang juga. Ny. Oswalden dan suaminya, tak mampu berbuat banyak lagi akan kehendak putrinya. Selain melepas kepergian Davina ke ibukota.

Sebenarnya Davina tak tega meninggalkan kedua orang tuanya, hanya berdua saja di desa. Namun apalah daya, rasa penasarannya akan siapa ayah kandung Baby El cukup besar menyita perhatiannya. Awal mulanya, Davina berniat mengajak serta kedua orang tuanya ke kota Vancouver. Tetapi, kedua orang tuanya menolak keras. Lebih baik hanya Davina dan Baby El saja sementara ini yang pergi.

"Hiks, Vina, jaga baik-baik Baby El dan dirimu sendiri ya ..." Ny. Oswalden menyeka lelehan air mata dengan saputangan tua berenda miliknya. Menatap bergantian pada putri dan cucunya. Mereka kini berdiri di peron, menunggu kereta api yang sebentar lagi akan segera tiba.

"Ya, Mom. Tentu saja. Kalian juga harus baik-baik saja di sini." Davina menghela napas pendek. Mengeratkan mantel berbulu di tubuh mungil Baby El. Di bulan Desember pada musim salju seperti ini - udara dingin sangat menusuk ke kulit.

"Dengar, Nak. Setelah memberitahu siapa Baby El pada ayah kandungnya. Segeralah pulang kembali." Pesan ayahnya sambil membenahi topi rajut milik Baby El. Bayi mungil ini tertidur pulas dalam dekapan hangat Davina tanpa terganggu akan suara-suara berisik di sekitarnya.

Gadis manis ini mengangguk dan tersenyum tipis, disela-sela menahan hawa dingin di kulitnya. "Tentu saja, Dad. Aku takkan lama di ibukota. Setelah urusanku selesai, aku akan segera kembali."

"Kami tunggu, Nak. Pergilah, itu keretanya telah sampai." Suara Mr. Oswalden teredam oleh bunyi berdesis mesin kereta api listrik di belakang Davina. Sementara Ny. Oswalden semakin keras menangis memandang lekat Davina yang telah menaiki kereta api tersebut.

"Mom, Dad. Jangan cemas, aku dan Baby El akan secepatnya pulang ke desa."

Kepala Davina terjulur dari jendela, seraya melambaikan tangannya dan memberikan senyuman manis untuk kedua orang tuanya.

"Ya, tentu saja, Nak. Kami menunggumu ..." Isak Ny. Oswalden melambaikan saputangannya, sementara dirinya menangis dalam pelukan suaminya. Kedua sosok tua tersebut, menatap sayu kereta api listrik yang membawa putrinya ke ibukota.

Memori ini, seakan dejavu bagi keduanya. Ya, ini bukan pertama kalinya mereka melepas kepergian Davina ke kota Vancouver. Melainkan ini kedua kalinya. Dan pertama kalinya, ketika Davina dibawa pergi oleh seseorang untuk ....

 

 

*This Is Your Baby*

 

 

Davina menghela napas panjang. Duduk tenang di kursi penumpang di dalam kereta yang akan membawanya ke stasiun ibukota Vancouver.

"Putranya?"

"Eh?" Davina mendongak memandang lurus ke kursi penumpang di depannya, ternyata sepasang kakek dan nenek duduk manis di sana, memandang lekat pada Baby El yang tertidur dalam dekapannya.

"I-ini ..." Davina sejenak bingung, beberapa detik kemudian tersenyum manis. "Ya, di-dia putraku, Eleanor. Biasanya, saya memanggilnya dengan Baby El ..."

Davina menggigit bibir, lalu menghela napas. Lebih baik mengakui Baby El putranya, daripada mendapatkan pertanyaan yang aneh-aneh ke depannya.

"Wah, namanya sungguh manis, sesuai dengan wajahnya," ujar kakek itu tersenyum. "Benarkan, Nek?" lanjutnya menatap sosok nenek di sebelahnya.

"Ya, kau benar, Kek. Bahkan Baby El, mirip sekali denganmu, Nak. Ibunya. Manis sekali."

"Atau mirip ayahnya yang tampan," celetuk kakek tersebut.

Davina hanya tersenyum simpul, membenarkan kedua-duanya. Ibu kandung Baby El, Arlana, tentu saja cantik. Sedangkan untuk ayahnya, mungkin saja tampan namun berengsek. Diam-diam Davina mengepalkan tinjunya di dalam saku coat-nya.

"Maaf, Miss, tiketnya?"

"Eh?" Davina menengadah, menatap kondektur perempuan bertubuh tambun dengan seragam lengkapnya. Gadis ini segera merogoh saku coat-nya, mengambil tiket. Sedetik kemudian, kedua alisnya saling bertautan manakala tangannya tidak menemukan selembar tiket.

"Miss ..?"

"T-tunggu sebentar, Mrs ..." Davina tersenyum kikuk menenangkan, lalu kembali mencari tiketnya. Diraihnya tas kecilnya dan membongkarnya. Namun tetap tidak ketemu. Sosok manis ini mulai menggigiti bibir cerry-nya. Inilah hal yang dilakukannya bila kebingungan melandanya.

Akibat sifat pelupa dan terlalu polosnya gadis manis ini. Lagi-lagi lupa di mana meletakkan tiketnya. Davina mengembuskan napas pendek, berpikir keras dengan wajahnya telah dipenuhi rona kemerahan menahan malu akan kecerobohannya.

"Bagaimana, Nak? Sudah ketemu?" sela kakek itu menatap kasihan Davina. Sepasang nenek dan kakek itu ikut cemas akan kepolosan Davina.

"Eung ..." Davina mengelus keningnya, tersenyum aneh sekali lagi pada kondektur wanita tambun tersebut.

"Carilah sekali lagi," ujar kondektur tersebut sambil berlalu dari Davina - menagih tiket pada penumpang lainnya. Memberikan waktu untuk gadis itu mencari tiketnya kembali.

“Terima kasih.” Davina menghela napas lega, beruntung kondekturnya tidak beringas. Kalau tidak, matilah dia sekarang ini. Gadis itu kembali menggigiti bibirnya, di saat seperti ini mengapa sifat cerobohnya malah timbul. Sementara Davina merutuki kecerobohannya, tanpa disadariny Baby El telah bangun dari tidurnya.

"Ah, kau sudah bangun Baby El,” seru Davina “Kyaaa ... a-apa yang kau lak---" Gadis itu menghentikan ucapannya disaat berusaha menghalau tangan mungil Baby El dan seketika matanya membelalak terkejut. Ternyata benda yang dicarinya sedari tadi ada di bawah tumpukan minuman cokelat panasnya. Beruntung Baby El menggapai-gapai sesuatu di atas meja tersebut.

"Ketemu!" sorak Davina girang. Diikuti senyum semringah dan napas lega dari sepasang kakek dan nenek - sedari tadi terus memperhatikan tingkah lucu Davina.

"Bocah pintar, Baby El,” puji nenek diangguki oleh kakek di sebelahnya. Sementara Davina telah memberikan tiketnya pada sang kondektur.

"Astaga, manisnya kalau Baby El tersenyum," tambah kakek, terpesona akan senyuman manis Baby El - sama persis dengan senyuman milik Davina.

"Mau ke mana, Nak?" tanya nenek itu ingin tahu.

"Eung ... ke kota Vancouver."

"Oh, masih jauh perjalanannya." Kini kakek itu yang menimpali.

Davina mengangguk membenarkan. Iris coklatnya beralih menatap kosong pemandangan di luar jendela. Salju-salju tebal mulai menutupi seluruh jalanan di sekitarnya. Pikirannya segera melayang pada nama Mario Archielo.

Davina penasaran, bagaimana sikap ayah kandung Baby El, ketika menyodorkan Baby El tepat di depan wajah pria bejat itu nantinya. Di balik coat-nya, gadis ini mengepalkan tangan.

Awas saja bila ayah kandung Baby El, tak mengakui bayi mungil ini ...

 

 

 

 

 

Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.

Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.

 

 

Terpopuler

Comments

Anita noer

Anita noer

read again for fourth time...and still enjoy it

2023-12-10

0

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

ada apa sebenarnya 🤔🤔🤔🤔🤔

2021-06-20

0

Leni Ani

Leni Ani

kok org tua nya ngak kasih tahu ya kl eleanor anak devina

2021-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!