Menikahi Sampean, Atau...

Sebelum lanjut baca, pastikan kalau kamu sudah kasih cerita ini rate bintang lima, yah 🥰🙏

🌹🌹🌹

Matahari terus merangkak naik. Rubi yang berada di rumah sendirian lalu membantu meringankan pekerjaan sang nenek dengan merapikan rumah. Dalam waktu sekejap, rumah dan area sekitar yang tidak seberapa luas itu pun telah rapi dan bersih.

Tiba-tiba, Rubi merasakan kepalanya sangat pening dan gadis belia yang masih memegang sapu itu pun merebahkan diri di balai bambu, di ruang tengah. Semakin lama, rasa pening di kepalanya semakin menjadi. Rubi mencoba memejamkan mata untuk mengusir rasa pening di kepala.

Lama-lama, kesadarannya menghilang. Entah berapa lama dia tertidur karena ketika terbangun, Rubi sudah berada di dalam kamarnya yang sempit. Gadis belia itu beringsut hendak turun, tetapi rasa pening di kepala, kembali menyerang.

"Nduk. Kamu mau ke mana? Istirahat dulu, Nduk, badan kamu masih lemah." Perkataan sang nenek yang baru saja masuk ke dalam kamar Rubi, mengurungkan niat gadis belia itu untuk bangun.

"Mak. Siapa yang memindahkan Rubi ke kamar?"

"Pak Mantri, Nduk. Tadi ketika emak pulang, kamu tidur di balai dan wajahmu pucat. Ternyata, suhu tubuhmu sangat tinggi. Emak lalu minta tolong Pak Mantri karena kamu ndak bangun-bangun ketika mak bangunkan. Kamu pingsan, Nduk," terang Mak Tinah dengan raut wajah khawatir.

"Ada apa, tho, Nduk, sebenarnya?" tanya Mak Tinah kemudian.

Rubi terdiam. Lagi-lagi, Mak Tinah hanya bisa menghela napas panjang. Wanita tua itu lalu melangkah keluar.

"Istirahatlah, Nduk. Jangan mikir macam-macam dulu," saran Mak Tinah, sebelum benar-benar meninggalkan kamar Rubi.

Rubi masih betah berada di dalam kamarnya hingga larut malam menyapa. Mak Tinah dengan sangat telaten meladeni sang cucu yang sedang sakit. Wanita tua itu pun tidak menanyakan lagi, tentang masalah yang saat ini dihadapi Rubi.

"Mak. Memangnya, Mak besok ndak jualan?" tanya Rubi, ketika sang nenek baru menyelesaikan tadarus di kamarnya.

"Tidak, Nduk. Kamu masih sakit, mana tega mak ninggalin kamu." Wanita tua itu lalu duduk di tepi ranjang dan mulai memijat kepala sang cucu yang sedari siang mengeluhkan pening di kepalanya.

"Maafkan Rubi ya, Mak. Rubi pulang, malah bikin Mak jadi khawatir." Rubi mengambil tangan sang nenek dari kepalanya lalu menggenggam tangan keriput itu, erat.

Mak Tinah menggeleng.

"Mak. Boleh ndak, kalau Rubi pindah ke pesantren lain?" Rubi menatap sang nenek dengan perasaan berkecamuk. Antara rasa takut, sedih, dan bingung. Rubi takut mengecewakan sang nenek yang telah berjuang membanting tulang untuk membiayainya.

Mak Tinah tersenyum. "Apa sudah kamu pikirkan dengan matang?"

Melihat ekspresi sang nenek yang sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan atau kemarahan, Rubi malah menangis. Dia menyesali sikapnya yang kekanak-kanakan dan mudah menyerah. Hanya karena patah hati, Rubi ingin pindah pesantren dan lari dari kenyataan.

Gadis belia itu lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Ndak, Mak. Rubi ndak jadi pindah."

Mak Tinah kemudian memeluk sang cucu. "Cerita pada Mak, Nduk. Mak memang ndak pandai dan mungkin ndak bisa memberikan jalan keluar dari masalahmu, tapi setidaknya bebanmu akan sedikit berkurang."

Rubi melepaskan pelukan neneknya. Terbata, gadis belia itu mulai bercerita. Sang nenek mencoba mendengar cerita Rubi dengan seksama. Sesekali, wanita tua itu menganggukkan kepala.

"Ini salah Rubi sendiri, Mak. Salah Rubi yang sudah mengartikan lain perhatian Gus Fattah dan umi nyai," pungkas Rubi, seraya menyusut air mata yang tidak mau berhenti mengalir.

"Ndak terasa ya, Nduk, kamu sudah besar sekarang. Sudah menjadi gadis yang seutuhnya. Mak pikir, kamu masih gadis ingusan, tapi ternyata kamu sudah mengenal apa itu cinta," tutur Mak Tinah seraya terkekeh, mencoba menghibur sang cucu. Benar saja, candaan Mak Tinah berhasil membuat mood Rubi membaik.

"Mak. Kenapa Mak malah godain Rubi?" protes Rubi, tersipu malu.

Sejenak keheningan tercipta di kamar sederhana milik Rubi. Mak Tinah nampak mengerutkan dahi, mencoba merangkai kata untuk menasehati. Sementara Rubi sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Tidak salah memiliki rasa cinta pada lawan jenis yang masih sendiri." Suara lembut sang nenek, mengurai lamunan Rubi.

"Jika cinta kamu bersambut, itu rizqimu, Nduk. Namun jika tidak, berarti kalian belum berjodoh, dan kamu harus berusaha untuk menghentikan rasa itu. Lupakan meskipun itu sulit dan sakit." Mak Tinah menatap netra sang cucu dengan lekat dan Rubi mengangguk seraya menggigit bibir bawah dengan kuat.

Rubi mencoba untuk menekan rasa sakit di dada. Dia tidak ingin kembali menangis di hadapan neneknya. Gadis itu bertekad, akan mengubur rasa cinta pada Gus Fattah dan melupakan pemuda kharismatik yang telah mencuri hatinya.

Sementara di tempat lain, Gus Fattah nampak termenung. Pemuda itu masih duduk di atas sajadah, tempat dia menjalankan sholat malam barusan.

"Apa langkah yang aku ambil ini, benar?" gumamnya, bertanya pada diri sendiri. "Tapi aku mencintainya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya." Gus Fattah menghela napas panjang kemudian.

Pemuda berkulit putih bersih itu lalu beranjak dari tempatnya sholat. Dia rebahkan tubuhnya di atas pembaringan dan mencoba memejamkan mata. Gus Fattah ingin sejenak melupakan kegundahan hatinya.

Masih ada waktu cukup lama baginya untuk kembali tidur, sebelum adzan shubuh berkumandang. Namun, bayangan gadis yang terus muncul di setiap mimpi usai Gus Fattah menjalankan sholat istikharah, membuat putra bungsu kyai Hambali itu kembali bangkit dari pembaringan.

"Aku harus memastikan, kalau besok dia jadi datang." Gus Fattah lalu menelepon seseorang, tak peduli meski saat ini masih dini hari.

Waktu berlalu terasa begitu cepat bagi putra bungsu Kyai Hambali. Tahu-tahu, sinar mentari telah menerobos masuk melalui celah jendela kamar dan membangunkannya dari lelap, usai sholat shubuh tadi. Ya, Gus Fattah memutuskan tidur lagi usai melaksanakan sholat shubuh karena setelah sholat malam dia tidak dapat memejamkan matanya kembali.

Gus Fattah segera bangkit dari pembaringan. Tepat di saat yang sama, terdengar pintu kamarnya diketuk dari luar.

"Gus, bangun. Sudah jam enam lebih, Nak. Kita harus segera bersiap." Suara Nyai Aisyah, terdengar membangunkan sang putra dari luar pintu kamar Gus Fattah.

Pemuda tampan itu bergegas menuju pintu lalu membukanya. "Nggih, Umi."

"Apa kamu kurang enak badan, Gus?" tanya Nyai Aisyah ketika mendapati wajah sang putra sedikit pucat, seperti kurang istirahat.

"Tidak, Mi. Fattah baik-baik saja. Hanya sedikit kurang tidur, Mi. Jadi, bawaannya agak lesu," balas Gus Fattah, jujur.

Memang benar adanya, semenjak sang abah mengutarakan maksud untuk meneruskan perjodohan yang beberapa tahun lalu pernah disampaikan pada Gus Fattah, pemuda itu jadi sering melamun jika malam-malam. Bayangan gadis cantik, teman kuliah, yang akan dijodohkan dengan Gus Fattah dan menatapnya dengan tatapan memohon, membuat pemuda berkharisma itu bingung sendiri untuk menentukan sikap.

"Aku enggak tahu lagi harus ngomong apa, Gus? Semua keputusan, ada di tangan sampean sebagai calon imam," kata Ning Naili seraya menatap Gus Fattah dengan tatapan sendu, ketika mereka berdua bertemu di aula kampus setelah gladi bersih acara wisuda sebulan lalu.

"Sebaiknya, kita sama-sama sholat istikharah, Ning. Aku juga tidak berani mengambil keputusan secara sepihak." Gus Fattah lalu beranjak.

"Oh, ya. Katakan padaku, bagaimana hasil istikharah sampean nanti. Apa pun itu, InsyaAllah aku siap untuk melaksanakannya. Menikahi sampean, atau ...."

Gus Fattah menggeleng-gelengkan kepala sendiri dan tidak melanjutkan kalimatnya. Pemuda kharismatik itu kemudian segera berlalu, meninggalkan Ning Naili yang masih duduk dengan lemas di salah satu bangku.

"Ya, sudah. Buruan bersihkan tubuhmu, setelah itu sarapan biar kamu kelihatan lebih segar, Gus. Masak mau ke rumah calon istri, wajahnya kusut begitu." Suara lembut sang umi, menyeret Gus Fattah dari lamunan.

🌹🌹🌹 bersambung ...

Terpopuler

Comments

Ita rahmawati

Ita rahmawati

masa berakhir sm kyk yg watu itu,,dpt dudanya gus² 🤦‍♀️🤦‍♀️🤣🤣
tp penasaran kelanjutan dari atau... nya ning naili itu apa ya 🤔🤔

2024-03-29

1

Rini

Rini

siapa Gus yg ada dalam mimpi mu, semoga Rubi tapi kayaknya seperti Gus Umar yg tidak mampu melawan perjodohan...

2023-09-12

2

Mulaini

Mulaini

Jadi penasaran siapa nih yang dipilih sama gus Fattah.

2023-09-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!