Dermaga Lain

Rubi tetap menolak mengembalikan handuk milik Gus Fattah karena merasa bahwa itu tidaklah sopan. Mengingat, dia sudah memakai handuk tersebut untuk mengelap keringatnya. Namun, Gus Fattah kekeuh dengan pendirian dan tetap menginginkan handuknya sekarang.

"Ja-jangan, Gus! Saya ndak enak," tolak Rubi sangat pelan.

"Serahkan padaku, Rubi. Tidak mengapa. Sungguh," kekeuh putra bungsu Kyai Hambali.

"Ba-baiklah, Gus. Tapi maaf, tolong jenengan hadap sana dulu. Saya mau memakai jilbab," pinta Rubi, akhirnya mengalah karena tidak ingin berlama-lama berada pada situasi seperti sekarang.

Gus Fattah menurut dan segera berbalik badan. Rubi lalu mengenakan jilbab segi empatnya dengan cepat. Sebab, dia tidak ingin membuat putra sang kyai menunggu terlalu lama.

"Ini, Gus, handuknya. Maaf, Rubi tidak bermaksud kurang ajar. Gus Fattah sendiri yang memaksa." Rubi menyodorkan handuk tebal berwarna merah hati kepada putra bungsu sang kyai, tanpa berani menatap pemuda di hadapan.

Gus Fattah menerima handuk miliknya, masih dengan tersenyum. Senyuman yang benar-benar menambah pesona di wajahnya yang tampan dan meneduhkan. Sayang, Rubi melewatkan pemandangan yang langka tersebut.

Tentu saja pemandangan seperti itu langka karena Gus Fattah terkenal minim senyuman. Dia juga terkesan dingin jika bertemu dengan para santri putri di pesantren sang abah. Selain itu, di kalangan santri putri, Gus Fattah juga terkenal irit bicara.

"Terima kasih, Rubi," sindirnya kemudian, ketika melihat Rubi sudah membalikkan badan.

Rubi mengurungkan niat untuk melangkah lalu kembali berbalik. Gadis belia itu tersenyum malu, senyuman yang masih dapat dilihat oleh Gus Fattah meskipun gadis itu menunduk. "Terima kasih, Gus," kata Rubi dengan suaranya yang lembut.

"Apa begitu caramu berterima kasih, Rubi? Kamu tidak mau menatap orang yang telah memberimu bantuan." Gus Fattah tersenyum dikulum.

Gadis belia itu terpaksa mendongak lalu menatap pemuda yang tidak pernah berani Rubi impikan. Dahi gadis belia itu berkerut dalam, mendengar Gus Fattah sudah berbicara banyak padanya dan senantiasa mengumbar senyuman. Namun, Rubi tidak mau berpikir terlalu jauh.

"Terima kasih, Gus," ulang Rubi seraya tersenyum. Senyum yang mampu membuat para pemuda, meleleh melihatnya.

"Kembali kasih, Rubi," balas Gus Fattah, masih dengan senyumannya yang memikat, membuat Rubi benar-benar terpikat.

Gadis belia itu sampai melongo, mendengar suara Gus Fattah yang menggetarkan hatinya. Serta, melihat senyuman putra sang kyai yang mampu membuat Rubi melupakan dunia dan seisinya. Cukup hanya dengan memandang Gus Fattah tersenyum seperti itu, Rubi merasa telah memiliki segalanya.

'Ya, Tuhan. Ternyata makhluk ciptaan-Mu ini benar-benar sempurna. Dia lebih tampan dari yang kubayangkan,' batin Rubi, terpukau melihat pesona Gus Fattah.

Putra bungsu Kyai Hambali itu tersenyum, melihat ekspresi santri sang abah di hadapan. "Hai." Gus Fattah mengibaskan tangan di hadapan Rubi hingga membuat gadis belia tersebut tersadar.

"Ma-maaf." Rubi buru-buru menunduk. "Assalamu'alaikum," pamitnya kemudian yang bergegas meninggalkan ndalem sang kyai. Menyisakan Gus Fattah yang masih senyum-senyum sendiri.

Waktu bergulir begitu cepat. Pagi ini, Rubi yang telah menyanggupi ajakan Ning Kuni, telah bersiap. Gadis belia yang biasanya mengenakan sarung dan baju kurung itu, kini mengenakan stelan busana muslimah.

Rubi terlihat sangat anggun dan memesona. Wajahnya nampak semakin bersinar dalam bingkai hijab pasmina berwarna ungu muda. Gadis belia itu berjalan perlahan menuju ndalem sang kyai dengan menundukkan kepala.

"Bi, sudah siap?" tanya Ning Kuni, melihat kedatangan Rubi dari arah dapur dan gadis belia itu mengangguk memberikan jawaban.

"Sudah sarapan, belum?" tanya Ning Kuni kembali.

"Sudah, Ning."

"Sungguh? Tapi kenapa wajahmu nampak pucat?" Putri sulung Kyai Hambali itu nampak khawatir, ketika mendapati wajah Rubi sedikit pucat.

Tentu saja wajah Rubi terlihat pucat karena semalaman dia tidak dapat mengistirahatkan jiwanya yang lelah. Gadis belia itu terus saja memikirkan perkataan Ning Kuni yang telah membuat hatinya menjadi patah. Namun, Rubi hanya bisa menyesali kepercayaan dirinya yang begitu tinggi dan meratapi nasib yang harus patah hati, dalam diam.

"Sarapan dulu, Bi. Aku enggak mau kalau sampai kamu jatuh sakit," saran Ning Kuni kemudian, tetapi Rubi tetap menggeleng.

"Ya sudah, kalau begitu. Ayo, kita berangkat!" ajak Ning Kuni yang bergegas keluar menuju mobil, sambil menggendong sang putri. Rubi lalu mengekor langkah putri sulung sang kyai.

"Tapi kamu beneran kuat 'kan, Bi?" tanya Ning Kuni, ketika mereka sudah sampai di halaman dan lagi-lagi Rubi hanya mengangguk memberikan jawaban.

Ning Kuni sampai mengerutkan dahi melihat perubahan sikap Rubi. Dia yang biasanya selalu ceria, kini jadi minim bicara.

"Kamu beneran enggak apa-apa, Bi?" selidik Ning Kuni ketika Rubi telah membukakan pintu untuknya.

Rubi tersenyum. "Saya ndak apa-apa, Ning."

Ning Kuni mengedikkan bahu lalu segera masuk ke dalam mobil yang diikuti oleh Rubi. Gadis itu sangat terkejut, ketika baru saja duduk dan melihat sosok Gus Fattah sudah duduk dengan nyaman di bangku pengemudi.

'Kalau tahu bukan kang santri yang nyetir, aku pasti menolak ajakan Ning Kuni kemarin,' sesal Rubi yang tidak bertanya dulu, mereka akan pergi bersama siapa.

Rubi yang sedari semalam berusaha menyingkirkan bayangan Gus Fattah, justru pergi bersama pemuda yang ingin dia lupakan. Luka hati yang semalam berusaha dia obati sendiri, kini kembali menganga karena orang yang menjadi penyebabnya ada di depan mata. Hal itu membuat gadis belia tersebut, tidak mampu berkata-kata.

Sepanjang perjalanan menuju pasar, Rubi tidak banyak mengeluarkan suara. Dia hanya berbicara seperlunya saja, ketika Ning Kuni bertanya.

Begitu pula dengan Gus Fattah, pemuda yang biasanya senang menggoda Rubi itu, sepanjang perjalanan juga diam saja. Hanya suara Ning Kuni dan sang putri yang terdengar mendominasi, di kabin mobil sedan milik putri Kyai Hambali.

"Kalian berdua, lagi pada sariawan, ya?" tanya Ning Kuni, mengurai kebekuan. "Biasanya, kalian kalau bertemu suka rame," lanjutnya seraya menatap sang adik dan santri sang abah, bergantian.

"Ada apa, Bi?" Wanita beranak dua tersebut masih menatap Rubi dengan lekat.

"Mbak. Kita parkir di depan, apa di belakang saja?" tanya Gus Fattah, menyelamatkan Rubi dari tatapan sang kakak.

"Belakang saja, Dik."

Rubi segera turun, setelah mobil terparkir dengan sempurna. Gadis belia itu lalu mengambil Naura dari pangkuan Ning Kuni.

"Rubi. Berikan Naura pada pamannya. Kita masuk ke dalam," pinta Ning Kuni.

Rubi nampak kebingungan. Gadis berhijab ungu muda itu hendak memberikan Naura kembali pada Ning Kuni. "Maaf. Sebaiknya, Ning Kuni saja yang ...."

Melihat kebingungan Rubi, Gus Fattah tersenyum. "Sini, Cantik! Sama paman." Gus Fattah lalu mendekati Rubi, membuat gadis belia itu semakin salah tingkah.

Ragu, Rubi lalu memberikan Naura pada Gus Fattah. Tangan gadis berhidung mungil tersebut gemetaran. Apalagi ketika tidak sengaja, tangan mereka berdua bersentuhan.

"Ma-maaf, Gus." Rubi buru-buru memundurkan langkah seraya menunduk. Dia tidak mau melihat ekspresi Gus Fattah yang tengah tersenyum padanya.

"Mbak tinggal dulu, Dik. Takutnya kesiangan, Fatir keburu pulang sekolah nanti," pamit sang kakak yang bergegas menuju pintu masuk pasar sambil menggandeng tangan Rubi.

Gus Fattah masih menatap kepergian sang kakak dengan senyuman yang masih terukir jelas di bibir. Bukan, bukan menatap punggung Ning Kuni, tetapi memandangi punggung Rubi hingga tubuh mungil gadis itu menghilang di kejauhan.

"Aku memang bisa memilih ke mana kapalku hendak berlabuh, tapi aku juga tidak dapat menolak ketika arah angin menggiringku untuk berlabuh di dermaga lain." Gus Fattah menghela napas, gusar.

'Tapi, aku akan terus berusaha agar kapalku bersandar di dermaga yang kupilih dengan sadar,' lanjutnya bergumam dalam hati.

Sambil menunggu sang kakak, pemuda itu memangku sang keponakan yang baru saja bangun tidur dan masih malas-malasan, sambil membuka ponselnya. Iseng, dia membuka-buka sosial media lalu terbersit keinginan untuk mengintip akun milik Ning Naili.

Wajah Gus Fattah yang tadinya datar, kini nampak serius. Sesekali, dahi pemuda itu berkerut ketika membaca komentar di setiap postingan gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya tersebut. Sedetik kemudian, senyuman kembali terbit di wajahnya yang teduh.

"Aku semakin yakin dengan perasaanku sekarang," gumamnya kemudian seraya menutup layar ponsel.

🌹🌹🌹 tbc ...

Terpopuler

Comments

Bilal Muammar

Bilal Muammar

perasaanmu sebenernya ke rubi kan gus...tpi karna ga bisa nolak keinginsn ortu...

2024-04-19

1

Ita rahmawati

Ita rahmawati

masudnya gmna gus 🤭
klo baca yg gus² gini sllu inget sm author waktu blg gus ditambahin huruf a depannya 🤣🤣🤣

2024-03-29

1

Mamah Kekey

Mamah Kekey

lanjut tambah

2023-12-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!