Bersanding dengan Gadis Lain

Di dalam pasar, Ning Kuni masih asyik berbelanja. Rubi dengan setia mengekor langkah putri sulung Kyai Hambali, seraya membawakan sebagian barang belanjaan.

"Sepertinya sudah semua ya, Bi?" tanya Ning Kuni, memastikan.

Wanita cantik yang memiliki dua orang anak itu meneliti kembali barang-barang yang ada di tangannya dan di tangan Rubi. Sementara Rubi hanya mengangguk karena sedari tadi, dia memang tidak dapat berkonsentrasi. Raganya memang menemani Ning Kuni berbelanja, tetapi pikiran Rubi entah pergi kemana.

Terdengar suara Ning Kuni memanggil seorang kuli panggul pasar dan berhasil menyeret Rubi dari lamunan.

"Bi. Kamu saja ya, yang antar Bapak ini ke mobil. Aku mau naik sebentar. Ada keperluan Naura yang harus dibeli." Ning Kuni menepuk lembut pundak Rubi, seraya tersenyum. Kakak sulung Gus Fattah itu kemudian segera berlalu, meninggalkan Rubi bersama kuli panggul yang sedang menata barang belanjaan agar lebih mudah dibawa.

Rubi lalu menuntun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun tersebut menuju mobil. Dari kejauhan, Rubi melihat Gus Fattah berusaha mendiamkan sang keponakan. Sepertinya, Naura sedang rewel dan menangis dalam gendongan sang paman.

Ketika melihat Rubi datang bersama kuli panggul pasar yang membawakan barang belanjaan, Gus Fattah nampak tersenyum lega.

"Rubi. Mbak Kuni, mana?" tanya Gus Fattah, melihat Rubi datang tanpa sang kakak.

"Ning Kuni masih mau belanja barang keperluan untuk Naura, Gus," balas Rubi, seperti yang dikatakan oleh Ning Kuni padanya tadi.

Gadis berhijab pasmina itu menjawab tanpa melihat ke arah Gus Fattah, tetapi tatapan Rubi tertuju pada Naura yang berwajah sembab. Sepertinya, gadis kecil itu sudah cukup lama menangis dalam gendongan Gus Fattah.

"Terima kasih, Pak," kata Rubi pada kuli panggul pasar, setelah semua barangnya dimasukkan dalam bagasi.

"Maaf, Gus. Biar Naura sama saya saja," pinta Rubi kemudian seraya mengulurkan tangan. Tentu saja Gus Fattah sangat senang karena sudah cukup lama sang keponakan rewel dan berada di gendongannya.

"Kebetulan, Bi. Tanganku rasanya juga sudah pegal. Dia rewel dari tadi," keluh pemuda kharismatik tersebut seraya memberikan Naura pada Rubi. "Dia nangis terus, nyari uminya," lanjut Gus Fattah.

"Mungkin, Naura haus, Gus. Nyuwun sewu, apa di mobil ada minuman?"

Gus Fattah menggeleng. "Tidak ada, Bi. Yuk, kita minum di sana saja," ajak Gus Fattah seraya menunjuk warung bakso.

Pemuda berhidung mancung itu segera berlalu menuju warung bakso, tanpa menunggu persetujuan Rubi. Sementara Rubi masih terdiam di tempatnya semula. Gadis belia itu sepertinya enggan mengikuti langkah Gus Fattah

Gus Fattah menghentikan langkah ketika menyadari Rubi tidak mengikutinya. Pemuda yang diam-diam disukai oleh Rubi itu lalu menoleh ke belakang. "Rubi. Ayo!"

Ragu, Rubi akhirnya melangkah mengikuti keinginan putra sang kyai. Dia berjalan dengan sangat pelan hingga jarak keduanya, cukup jauh. Gus Fattah tersenyum ketika menoleh ke arah Rubi. "Mau kugendong, biar cepat sampai?'

Rubi seketika menunduk. Gadis berwajah imut itu lalu mempercepat langkah agar bisa segera menyusul Gus Fattah. Senyuman di wajah Gus Fattah semakin lebar ketika jarak keduanya sudah dekat, membuat Rubi berdebar ketika sempat mencuri pandang pada putra bungsu sang kyai.

Gus Fattah segera memesan minuman untuk sang keponakan. Dia juga memesan bakso dan minuman untuk dirinya dan Rubi. Pemuda yang memiliki tatapan teduh itu memesan tanpa bertanya terlebih dahulu, apakah Rubi setuju atau tidak makan bareng dengannya di warung seperti ini.

"Bi. Duduk sini," pinta Gus Fattah seraya menepuk bangku kosong di sebelahnya, ketika melihat Rubi masih berdiri mematung. Kebetulan, hanya ada dua bangku itu yang kosong.

"Ndak usah, Gus. Nanti kalau minuman untuk Naura sudah jadi, biar saya bawa ke mobil saja dan Naura bisa minum di sana," tolak Rubi dengan halus.

"Hai. Kita mau makan bakso dulu, Bi. Aku sudah memesan dua mangkuk untuk kita dan kamu tidak boleh menolak."

Rubi nampak bingung dan dia masih berdiri mematung. Namun, ketika melihat bakso sudah tersaji di hadapan Gus Fattah dan pemuda itu menatap dirinya tanpa mau dibantah, Rubi hanya bisa pasrah. Dia lalu melangkah menuju bangku yang tadi ditunjuk Gus Fattah dan mendudukkan diri di sana dengan hati yang resah.

"Mau aku suapi?" goda Gus Fattah ketika melihat Rubi hanya diam saja dan tidak segera memakan bakso. Sementara Bakso di mangkuk pemuda itu, tinggal separuh.

"Ndak perlu, Gus. Saya bisa sendiri," tolak Rubi.

"Tapi kamu lagi mangku Naura, Bi. Kamu pasti kesulitan. Aku suapi saja, ya."

Rubi menggeleng cepat.

"Maaf, Bi. Aku hanya bercanda. Aku tahu, kita belum boleh melakukan hal itu."

Hening, sejenak menyapa meja tempat mereka makan. Gua Fattah belum memulai makan kembali. Sementara Rubi juga belum menyentuh mangkuk bakso miliknya.

"Tapi kalau kita sudah jadi mahrom, aku pasti akan menyuapimu." Suara Gus Fattah, mengurai keheningan.

Bukan, bukan hanya mengurai keheningan yang sejenak tercipta, tapi juga mampu memorak-porandakan perasaan Rubi. Gadis belia itu tidak mengerti, mengapa Gus Fattah berbicara demikian padahal lusa pemuda tersebut akan mengkhitbah gadis lain.

"Bisa, kok, Gus. Rubi 'kan bukan anak kecil," balas Rubi seraya tersenyum canggung, mendengar perkataan Gus Fattah yang membuatnya menjadi bingung.

Mereka berdua lalu makan bakso dalam diam. Tidak ada lagi yang bersuara. Gus Fattah yang biasanya pandai mencandai Rubi, kini seperti kehilangan kata-kata. Begitu pula dengan Rubi yang biasanya ceria, gadis belia itu lebih banyak diam, dan terlihat seperti menyimpan beban.

"Lusa, kamu bisa ikut, 'kan?" tanya Gus Fattah, kembali mengurai keheningan.

"Eh, iya, Gus. Maaf, tadi jenengan tanya apa?" Rubi yang larut dengan pikirannya sendiri, tidak dapat mendengar dengan baik pertanyaan putra sang kyai.

"Lusa keluarga kami akan sowan ke ndalem Kyai Bashori. Kamu bisa ikut 'kan, Bi?" ulang Gus Fattah menjelaskan.

"Maaf, Gus. Saya ndak bisa. Bukankah itu acara keluarga? Masak, saya yang orang lain ikut segala." Rubi tersenyum getir.

"Ndak apa-apa, Bi. Kamu 'kan, sudah biasa ikut pergi dengan keluarga kami. Aku senang, kok, jika kamu ikut," kekeuh Gus Fattah.

Ya. Rubi memang sering diajak bepergian oleh Nyai Aisyah. Terutama, jika ada pengajian di tempat lain yang mengundang uminya Gus Fattah tersebut. Sesekali, Nyai Aisyah juga mengajak Rubi berbelanja, atau kondangan ke tempat sahabat, atau kerabat.

'Tapi saya yang ndak senang, Gus, dan saya bersedih kalau harus melihat jenengan mengkhitbah gadis lain,' kata Rubi yang hanya berani dia ungkapkan dalam hati

"Bagaimana, Rubi? Kamu ikut, ya," paksa Gus Fattah.

Belum sempat Rubi menjawab, Ning Kuni sudah datang dan menyelamatkan Rubi dari permintaan Gus Fattah. "Kalian mbak cari-cari, ternyata di sini," protes Ning Kuni yang kemudian mengambil alih sang putri dari pangkuan Rubi.

"Maaf, ya, Bi. Kamu jadi kesulitan makan karena sambil momong Naura."

"Ndak apa-apa, Ning. Masih panas juga kalau langsung dimakan."

"Mbak mau bakso juga?" tawar Gus Fattah dan dibalas sang kakak dengan gelengan kepala.

"Kalian saja yang makan. Mbak takut gendut," balas Ning Kuni seraya terkekeh. "Mbak tunggu di mobil saja, ya. Enggak ada tempat duduk di sini," pamitnya kemudian dan segera berlalu meninggalkan warung bakso.

Menyisakan mereka berdua yang kemudian segera menyelesaikan makan agar Ning Kuni tidak kelamaan menanti.

Sore harinya, Rubi tiba-tiba pamit pada Nyai Aisyah. Dia bermaksud pulang ke rumah sang nenek, rumah tempat di mana dia dibesarkan oleh neneknya.

"Kenapa tiba-tiba kamu mau pulang, Bi? Ini 'kan, ndak ada libur hari besar atau apa?" cecar sang nyai.

"Nggih, Umi. Rubi juga ndak tahu, tiba-tiba pengin pulang. Perasaan Rubi dari semalam ndak enak, Mi, dan Rubi pengin ketemu emak," balas Rubi sejujurnya.

Ya. Dari semalam, setelah mengetahui bahwa Gus Fattah akan mengkhitbah wanita lain, perasaan Rubi memang tidak nyaman. Rubi juga tiba-tiba merindukan neneknya yang dia panggil emak. Sore ini, setelah tadi dia mendengar permintaan Gus Fattah agar Rubi ikut ke rumah gadis yang akan menjadi istri pemuda tersebut, gadis belia itu memantapkan hati pamit pulang ke kampung sengaja untuk menghindar.

"Ya sudah, kalau begitu. Jika sudah suci, segera kembali ke pondok," pesan sang nyai dan Rubi mengangguk dengan ragu.

Ya. Rubi merasa ragu, apakah dia sanggup balik ke pondok atau tidak setelah ini. "InsyaAllah, Mi," balas Rubi. 'Rubi akan kembali ke sini jika Rubi sudah benar-benar siap melihat Gus Fattah bersanding dengan gadis lain,' lanjutnya dalam hati.

🌹🌹🌹 bersambung ...

Terpopuler

Comments

Cah Dangsambuh

Cah Dangsambuh

sudah saling mengagumi dalam diam insya allah jodoh walaupun jalanya ga mulus

2024-07-15

1

Bilal Muammar

Bilal Muammar

sedih kak....🥺

2024-04-19

1

Ita rahmawati

Ita rahmawati

kok pengen nangis sih,,sllu aja gitu ,,knp gus² hrus sm ning gk bisa gtu sm santrinya atau org biasa aja 🤔🤔

2024-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!