Sejenak, keheningan tercipta. Rubi masih duduk bersimpuh di depan Nyai Aisyah. Sementara istri Kyai Hambali itu, nampak berat melepas kepergian santri kinasihnya.
"Kamu naik apa, Bi? Ini sudah sore, lho. Apa, kamu biar diantar Gus Fattah saja, sama Kang Santri?" Wanita yang memiliki tatapan teduh itu nampak mengkhawatirkan Rubi.
"Ndak perlu, Umi!" tolak Rubi, cepat. Dia saja pulang karena ingin menghindar dari Gus Fattah. Jadi, tidak mungkin Rubi mau menerima tawaran Nyai Aisyah.
"Rubi naik kereta yang jam lima, Umi. Setengah jam lagi, dari sekarang," lanjut Rubi, seraya melihat jam di dinding ruang keluarga sang kyai.
"Berarti sebentar lagi. Ya sudah, sana berangkat! Nanti kamu ketinggalan keretanya." Nyai Aisyah mengulurkan tangan.
Rubi segera menyambut dan mencium punggung tangan sang nyai dengan takdzim. "Assalamu'alaikum, Umi." Rubi bergegas meninggalkan kediaman sang kyai, setelah Nyai Aisyah menjawab salamnya.
Gadis belia itu sangat bersyukur karena tidak bertemu dengan Gus Fattah barusan. Dia memang sengaja menghindar dan pamitan pada Nyai Aisyah di saat putra bungsu sang kyai masih berada di masjid, mengajar ngaji santri putra.
Rubi berjalan dengan cepat menuju stasiun yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pesantren. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke sana. Setelah keretanya datang, Rubi memilih tempat duduk di dekat jendela.
Kereta yang membawa Rubi telah berangkat setengah jam yang lalu. Sepanjang perjalanan, gadis belia itu mengenang momen demi momen yang membuat rasa cintanya pada Gus Fattah semakin besar. Rubi menitikkan air mata, ketika sekarang baru menyadari bahwa apa yang dia simpulkan selama ini ternyata tidak benar.
'Kamu terlalu lancang, Rubi! Sekarang, kamu sendiri 'kan, yang merasakan sakitnya!' Rubi merutuki diri sendiri.
Gadis belia itu mencoba memejamkan mata. Mengusir bayangan Gus Fattah yang senantiasa hadir dan mengganggu pikirannya. Lambat laun, Rubi pun tertidur.
Kedatangan Rubi, disambut dengan tatapan heran oleh sang nenek yang sangat menyayanginya. "Nduk. Kenapa tiba-tiba pulang?" tanya sang nenek sambil memeluk cucu kesayangan. Cucu yang beliau rawat sejak masih bayi karena kedua orang tua Rubi meninggal dunia saat gadis belia itu berusia tiga bulan.
"Ndak apa-apa, Mak. Rubi kangen sama Emak," balas Rubi dengan netra yang telah berembun.
Menyadari kesedihan sang cucu, wanita tua itu mengerti bahwa saat ini cucunya pasti sedang menghadapi masalah. Mak Tinah tidak mau memaksa. Biarlah, Rubi menenangkan diri terlebih dahulu.
Beliau yakin, setelah cucunya itu merasa tenang, Rubi pasti akan bercerita sendiri. Sebab, memang seperti itulah kebiasaan Rubi yang senantiasa terbuka dalam segala hal pada neneknya.
Mak Tinah segera menyiapkan makan malam, setelah Rubi masuk ke dalam kamar sempit miliknya. Setelah makanan siap, wanita tua itu memanggil sang cucu agar segera makan. Sepanjang makan malam berlangsung, Rubi masih saja bungkam.
Mak Tinah hanya bisa menghela napas panjang, melihat perubahan Rubi. Wanita tua itu hanya bisa berharap, semoga sang cucu segera menemukan jalan keluar dari masalah yang dia hadapi.
"Tidurlah, Nduk. Kamu pasti lelah, setelah melakukan perjalanan cukup jauh tadi," titah Mak Tinah ketika Rubi hendak membantunya menyiangi sayuran yang akan dimasak untuk berjualan besok, setelah mereka selesai makan malam.
"Nanti saja, Mak. Rubi mau bantuin Em ...."
"Tidur!" potong Mak Tinah dengan tatapan teduhnya, membuat Rubi tidak dapat menolak perintah sang nenek.
"Baiklah, Mak. Emak juga harus tidur awal, ya. Jangan capek-capek!" Rubi memeluk sebentar sang nenek lalu bergegas menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Rubi tidak dapat memejamkan mata. Bayangan Gus Fattah kembali melintas dan itu membuat sesak di dada. Tanpa terasa, air mata Rubi menetes membasahi pipinya.
"Ya, Allah. Ternyata sesakit ini rasanya jika cinta kita tidak mendapat balasan." isak Rubi yang kini sudah menenggelamkan wajah di atas bantal.
Gadis belia yang mengambil posisi telungkup itu lalu menangis sejadi-jadinya dan menumpahkan semua kesedihan hati di sana. Dia sudah menahan tangis dari kemarin, ketika Ning Kuni mengabarkan tentang pertunangan Gus Fattah dengan seorang Ning, putri kyai pengasuh pondok pesantren di kota sebelah. Namun, baru kali ini Rubi memiliki kesempatan untuk melepaskan segala kesedihan yang mendera hatinya.
Di pondok, dia hanya bisa menangis sebentar ketika berada di dalam kamar mandi. Rubi tidak dapat berlama-lama menumpahkan kesedihan karena pasti akan ada temannya yang mengantre dan menggedor pintu kamar mandi jika dia tidak kunjung keluar dari sana. Lagipula, gadis belia itu tidak ingin santri lain tahu kesedihannya.
"Sanggupkah aku balik ke pondok lagi? Jujur, aku tidak sanggup melihat dan bertemu dia lagi. Apalagi, jika nanti dia sudah menikah," monolog Rubi, setelah tangisnya mereda.
Suara langkah kaki sang nenek, memaksa Rubi mengubah posisi. Dia tarik selimut tipis yang warnanya sudah pudar hingga menutup sebagian wajahnya. Rubi lalu memiringkan badan, membelakangi pintu.
Rubi terdiam dengan mata memejam untuk mengelabui sang nenek bahwa dia sudah tidur. Gadis yatim piatu itu dapat merasakan tangan kurus sang nenek mengusap kepalanya, lembut.
"Kamu pasti kelelahan, Nduk. Tidurlah dan buang segala keresahan yang saat ini kamu rasakan. Mak memang belum tahu masalah apa yang kamu hadapi, tetapi saran mak, ikhlaskan apa pun itu." Mak Tinah menghela napas panjang, kemudian segera berlalu dari kamar sang cucu.
Menyisakan Rubi yang kembali menangis dalam diam. "Ikhlaskan?" gumam Rubi, bertanya pada diri sendiri.
Rubi kembali mengubah posisi, menghadap ke langit-langit kamar yang warna catnya sudah usang. "Kenapa kata ikhlas itu mudah sekali diucapkan, tapi sangat sulit bagiku untuk melaksanakan?"
Rubi menghela napas berat. 'Rubi sudah mencobanya, Mak. Rubi sudah mencoba untuk ikhlas, tapi tetap saja rasanya sakit.' Air mata Rubi kembali mengalir dengan deras. Sederas air hujan di luar sana yang tiba-tiba turun, membasahi bumi.
Lelah menangis, membuat Rubi tertidur dan baru bangun ketika sang nenek membangunkan karena hendak berangkat berjualan. "Nduk. Mak berangkat dulu. Kamu jangan lupa sarapan."
"Mak, kok sudah mau berangkat. Jam berapa sekarang?" Rubi memicingkan mata dan segera beringsut. Gadis belia itu nampak terkejut ketika menyadari bahwa matahari telah muncul dari ufuk timur.
"Kenapa Mak ndak bangunkan Rubi? Rubi 'kan mau bantu Mak masak," protesnya, menatap lekat netra tua sang nenek.
Mak Tinah membalas dengan tatapan teduh. "Kamu pulas banget tidurnya, Nduk. Mak ndak tega mau bangunkan kamu. Memangnya, semalam kamu nangis sampai jam berapa?" Mak Tinah yang sudah mendudukkan diri di tepi pembaringan, memindai wajah sembab sang cucu.
Jantung Rubi berdetak lebih cepat. Dia sudah mencoba menahan suara tangisnya semalam agar tidak terdengar sampai luar kamar, tapi ternyata sang nenek tetap mengetahui bahwa dia menangis semalaman.
Rubi menundukkan kepala. Dia merasa tidak enak hati karena telah membuat orang tua yang mengasuhnya semenjak masih bayi itu, ikut bersedih. "Maafkan Rubi, Mak."
Mak Tinah membuang napasnya kasar. "Ndak perlu minta maaf, Nduk. Kamu ndak salah apa-apa. Mungkin, mak saja yang kurang peka."
Rubi menggeleng, mendengar perkataan neneknya. "Emak selalu mengerti Rubi, kok. Rubi saja yang berangan terlalu tinggi."
Mak Tinah lalu beranjak. "Ya, sudah, mak berangkat dulu. Kalau mau cerita masalah hati, nanti saja. Assalamu'alaikum," pamitnya seraya mengusap puncak kepala sang cucu dan kemudian segera berlalu, meninggalkan Rubi yang masih diam termangu.
"Masalah hati? Dari mana mak tahu, kalau yang aku hadapi ini masalah hati?"
🌹🌹🌹 bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Cah Dangsambuh
aku nyesek rubi.kalau aku jadi kamu pasti ga sanggup maka alhamdulillah merasakam jatuh cinta pertama gayung bersambut dan sekarang udah menua bersama alhamdulillah
2024-07-15
1
Bilal Muammar
ya...begitulah rubi rasanya....aq pernah berada di posisimu...m
2024-04-19
1
Ita rahmawati
pindah pesantren aj rubi biar gk sakit hati 🤭🤭
2024-03-29
1