Pernahkah kamu mendengar dan bertemu seseorang seperti ini: dia yang menceritakan aib orang lain kepadamu adalah orang yang memiliki kesempatan besar untuk menceritakan aibmu juga kepada orang lain? Mungkin jawabannya pernah, beberapa kali. Tapi Gebri cukup merasa lega dan tidak perlu cemas dengan gadis di depannya sekarang. Selama mereka berteman lebih dari sebulan ini, Koning bukan tipikal yang suka nyinyir mengenai orang lain. Dia lebih puas membahas toko-toko yang menjual tas bermerek dan tempat tongkrongan yang asyik, lalu mengunjung tempat-tempat tersebut. Koning juga bukan sosok yang suka kepo, suka serba ingin tahu dan bertanya terus-menerus. Dia hanya lebih suka baper terutama dengan senior jurusan mereka bernama Baim.
Setelah kejadian di mana Koning melihatnya berinteraksi dengan Rion bak melakoni adegan sinetron, tidak sekalipun dara cantik itu mengungkit-ungkitnya. Koning tetap bersikap seperti biasa, seolah matanya tak pernah melihat serangkaian fragmen-fragmen itu. Bahkan Sabtu malam seperti ini, Koning masih mengajaknya untuk mengunjungi sebuah kafe yang berada di jalan Gejayan. Tidak terlalu jauh dari toko buku Togamas. Tepat di samping kiri distro yang menjual pakaian-pakaian bermerek Adidas.
“Kamu mau pesan apa, Geb?” tanya Koning yang matanya masih mengamati daftar menu.
Gebri menengok sebentar sebelum bersuara. “Terserah saja, Kon. Aku ngikut.”
“Bagaimana kalau jus alpukat dan nasi goreng bumbu geprek?”
“Boleh,” sahut Gebri sambil mengambil nota dan menulis pesanan mereka. “Diserahkan ke mana?” tambahnya dengan menengadah dan mendapati Koning yang sedang asyik memainkan ponsel.
“Ke meja samping kasir dan biar aku saja yang ke sana.”
Koning beringsut dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke sebuah antrian yang lumayan panjang. Libur akhir pekan seperti ini memang sangat ramai. Sudah tidak ada kursi yang kosong sekarang, bahkan mereka hampir tidak mendapatkan tempat duduk tadi. Kebanyakan dipenuhi pasangan muda-mudi yang menikmati malam minggu mereka. Menu-menu di sinipun sedikit berbeda dari tempat-tempat makan yang lain. Bagi yang menyukai makanan yang pedas-pedas, maka disinilah tempatnya. Menu yang disediakan kebanyakan menggunakan bumbu geprek, sesuai nama tempatnya: Cinta Geprek 1. Selain itu, tempat yang dominan dengan warna merah ini didesain mengikuti tren anak muda. Ditambah lagi terdapat panggung kecil yang sedang menampilkan live music dan jug ada wifi gratis, semakin memberikan nilai plus bagi kepuasan dan kenyamanan para pelanggan. Pelayanan yang diberikan pun tidak pernah mengecewakan. Jadi sangat wajar banyak laki-laki dan perempuan berusia dua puluhan betah duduk berjam-jam di sini.
“Udah dibayar?”
“Nanti. Selesai makan,” jawab Koning seraya duduk di tempat semula, kemudian menoleh ke arah panggung, sedikit mengangguk-angguk kepala, menikmati improvisasi melodi dari vokalis dan harmonisasi yang progresif dari bunyi alat-alat musik di atas panggung.
“Tempat ini enak. Dapat rekomendasi dari mana, Kon?”
Koning tidak mengatakan apa-apa, justru kepalanya mulai celingak-celinguk, dan lantas mengisyaratkan dengan bibir agar mengikuti arah pandangannya.
“Tuh! Dari dia, yang menyandar di dekat dinding. Tempat ini usaha miliknya,” ungkap Koning sambil menjurus tatapan pada laki-laki berwajah seperti anak kecil yang sedang berbincang-bincang dengan teman semejanya. “Namanya Kharisma, anak Manajemen 2014. Dulunya dia senior SMA-ku waktu di Riau,” sambung Koning lagi.
“Oh...,” Gebri manggut-manggut.
“Tadi dia nge-chat. Katanya dia akan mampir ke sini nanti.”
Sekali lagi Gebri hanya mengangguk-angguk kepala. Dan selang beberapa menit kemudian–seperti perkataan Koning–laki-laki berwajah baby face itu menyambangi meja mereka, yang sekali-kali tampak membalas teguran beberapa pelanggan.
“Hai!” sapa Kharisma.
“Hai juga, Kak! Duduk, Kak!” timpal Koning dengan menarik kursi di samping kirinya, sementara Gebri hanya memasang senyum ramah. “Oh iya, perkenalkan Kak. Namanya Gebri, teman sejurusanku.”
“Kharisma,” tuturnya dengan mengulurkan tangan.
Gebri menyambut baik uluran tangan itu sebelum menyebutkan namanya. “Gebri Adinda, Kak.”
“Udah pesen?” tanya Kharisma yang melihat meja masih kosong.
“Udah Kak, tapi belum diantar,” ucap Koning menyahut, kepalanya menoleh ke arah belakang di mana tempat berlalu lalang pelayan dari dapur, berharap ada salah satu pelayan berpakaian serba merah itu membawa pesan mereka.
“Sabar ya. Maklum, banyak antrian.”
Mata Koning kembali celingak-celinguk, namun kini terkesan menjelajahi setiap sisi ruangan sebelum suara cemprengnya kembali terdengar. “Sepertinya usaha Kakak sangat sukses, ya? Bagi tipsnya dong, Kak! Siapa tahu aku bisa buat usaha seperti ini juga.”
Kharisma sedikit tertawa kecil. “Begitulah. Tapi sebenarnya usaha ini bisa dikatakan bukan milikku. Aku hanya menanam modal sekitar 20% saja untuk memenuhi kekurangan modal awal, tapi tidak untuk cabang-cabang yang lain seperti yang di jalan Kaliurang Km 15 dan jalan Palagan Km 10. Semua usaha-usaha itu milik temanku.”
“Anak manajemen juga, Kak? Siapa?”
“Biasanya kalau malam minggu seperti ini, dia suka juga datang ke sini sekedar untuk nongkrong dan melihat usahanya,” kata Kharisma dengan menilik ke arah pintu masuk. Tubuh menjulangnya segera berdiri ketika melihat dua orang laki-laki dan seorang perempuan baru saja melewati pintu kaca. “Rion!” serunya.
Merasa kalau namanya dipanggil, Rion memberhentikan langkahnya diikuti laki-laki dan perempuan yang mengapitnya. Tangan kanan Rion terangkat ke atas, membalas sapaan Kharisma. Sesaat–hanya sekian detik–wajah laki-laki berkemeja abu-abu dipadu dengan celana jeans hitam terlihat terkesiap, tatkala menyadari keberadaan gadis beralis tebal yang juga menunjukkan raut wajah yang sama. Kendati begitu, Rion tetap berjalan menghampiri meja bernomor 15 itu.
“Kon, Geb, ini Big Boss tempat ini,” ucap Kharisma yang telah merangkul pundak Rion. “Yang berwajah bodoh ini, namanya Asep dan di sampingnya, yang pakai behel berwarna pink norak itu adalah Lisa,” lanjutnya yang direspon dengusan kasar dari Asep dan delikan tajam dari Lisa.
Koning mengulurkan tangan ke arah Rion, disusul ke arah laki-laki berwajah jenaka dan perempuan berambut sebahu. Tak ingin menimbulkan kecanggungan, Gebri mengikuti gerak-gerik Koning, menganggap tidak pernah ada kisah diantara dirinya dan Rion, pula perempuan yang secara tak langsung menjadi saksi adegan mereka di tengah-tengah hujan di hari itu.
“Kalian mau duduk di tempat biasa?” tanya Kharisma selepas memperkenalkan diri.
“Ya, dan memang di mana lagi kami duduk selain di sana. Semua tempat di sini sudah penuh,” sekarang ini suara Asep bergema.
“Aku nanti nyusul.”
Asep mengangkat jempol, menyetujui. Kemudian ketiganya mulai pergi menjauh, menuju sebuah meja berukuran sedikit lebih besar dari meja lainnya tanpa nomor. Ada sekitar empat orang, dua pasang laki-laki dan perempuan yang sudah menunggu di sana. Rion hanya singgah sebentar, membalas singkat beberapa pertanyaan yang terlontar, kemudian berjalan menuju sebuah ruangan yang khusus untuknya.
“Aku tahu kalau Rion memang ganteng tetapi tak perlu memandang setiap pergerakannya. Dia tak menyukai cewek yang hobi belanja sepertimu,” sungut Kharisma yang langsung memutuskan kontak mata Koning dan kedua manik di balik kacamata itu lantas menatap sengit ke arahnya. “Btw Geb, udah punya pacar belum?” Kharisma sekarang memfokuskan pandangannya ke arah dara yang sejak tadi hanya menjadi penonton, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali saat dia menyebutkan namanya tadi.
Gebri hendak menjawab tetapi Koning mendahuluinya.
“Kalau kak Kharisma mengajak PDKT, jangan mau Geb. Dia itu playboy.”
“Playboy?” Kharisma mengernyitkan dahi. “Nggak salah tuh. Bukannya kamu. Waktu SMA saja, masa pacaranmu tidak ada yang lebih dari tiga bulan dan sekarang siapa yang menjadi korbanmu?” tuding Kharisma sedikit tatapan mengejek.
“Apaan sih, Kak? Jangan buka aibku.”
“Aku tidak membuka aibmu. Memang begitulah kenyataannya,” tukas Kharisma dengan sedikit kekehan kecil yang keluar dari mulutnya.
“Permisi, ini pesanan Anda!”
Koning yang berniat untuk melontarkan beberapa kata pembalasan, terpaksa mengurungkan niatnya saat seorang pelayan laki-laki menginterupsi percakapan mereka sambil membawa sebuah baki besar berisi dua piring nasi goreng dan dua jus alpukat.
“Aku mau menghampiri teman-temanku dulu. Kalian nikmati saja makanannya. Kalau ada yang kurang enak atau pelayanannya kurang puas, bilang saja padaku,” ucap Kharisma setelah pelayan berseragam itu beranjak menjauh, kemudian beralih pelan dari kursinya. Tetapi baru selangkah kakinya berjalan, Kharisma kembali membalikkan badan. “Geb, boleh aku bertanya sesuatu. Kok kamu mau berteman dengan gadis manja dan penggila belanja seperti dia?” ucapnya lagi seraya cengar-cengir, lalu dia langsung mengacir. Takut kalau Koning yang sedang memberikan tatapan membunuh akan melemparkan ponselnya yang sudah terangkat ke udara.
“Kalian akrab, ya?” Gebri memandang ke arah Kharisma sebentar sebelum memandang ke arah sosok yang sedang menggeram kecil. Tampak begitu kesal.
“Akrab dari mana? Sejak kecil dia selalu menggangguku.”
“Sejak kecil?”
“Selain dia senior SMA-ku, sebenarnya dia juga kakak sepupuku. Dia anak dari adik mama. Dan sudahlah, jangan membahas laki-laki berwajah bayi itu lagi! Sebaiknya kita sekarang makan, aku sudah sangat lapar,” ucap Koning sebelum menyendok nasi goreng yang terpampang di hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Romayanti Dewi
Adik sepupu kalau begitu.. bukan kakak sepupu..
2021-12-12
0
As Hen
cow tow . kirain kharisma itu cew
2021-12-10
0
fitrie
awal baca masih B aja...,semakin kesini semakin baguuuss ceritanya...👍👍👍
2020-09-17
6