Episode 2.1

CTEK!

Ruang beraksen gelap dan berlantai kayu yang memberikan kesan maskulin seketika menjadi terang-benderang. Seorang laki-laki yang memiliki ciri khas dengan mata yang menjorok ke dalam seperti elang dan berambut angular fringe melangkah masuk, mendekat ke arah ranjang dan menghempas tubuhnya di sana hingga bunyi berderit. Jemari tangannya mulai memijit-mijit ujung pangkal hidung, sedikit pusing. Lalu tubuhnya tiba-tiba bangkit saat kedua maniknya menangkap sesuatu di pojok ruangan.

Rion–nama panggilannya–berjalan menuju ke sudut kiri ruangan. Bila diperhatikan dengan saksama, ada sebuah pintu yang terhalang sebuah rak buku setinggi badan dengan roda di bawahnya. Rion mendekat ke arah benda kubus itu, mendorong sedikit ke sebelah kanan hingga sebuah pintu kayu bisa terlihat jelas. Diputar knop pintu hingga tampaklah sebuah ruangan 2 m x 2 m dengan beberapa lukisan di dinding, maneken lengkap dengan rambut palsu, dan sebuah lemari pakaian yang terbuat dari kaca.

Kaki Rion mendekat ke sebuah maneken yang full body, tubuhnya berbalut baju terusan khusus ibu hamil yang semakin memperlihatkan perut buncit sang boneka. Awalnya maneken itu seperti boneka seluruh tubuh lainnya dengan tubuh berlekuk bak gitar spanyol. Namun sejak gangguan kepribadian yang disebut dengan OCD  itu muncul, Rion mengubah tubuh maneken-maneken tersebut menjadi berperut buncit dengan bantuan bola pantai yang sedikit kempes dan dilakban di sekitar perut, hingga boneka-boneka itu tampak seperti wanita-wanita dengan usia kehamilan empat bulanan lebih.

“Sehat-sehat di dalam perutmu Bundamu, nak,” lirih Rion sembari mengusap-ngusap perut sang maneken.

Beberapa minggu sejak menginjak kaki di negara dengan julukan Negeri Singa lima tahun silam, ucapan dan tingkah laku seperti itu mendadak timbul dan dia sering melakukannya. Mungkin orang yang melihatnya pasti menganggap gila. Tapi bagi Rion, semua tindakannya merupakan bentuk pelampiasan atas kebungkaman di hari itu, hari saat dia hanya bisa menundukkan kepala dan membiarkan kedua orang tuanya mengambil keputusan. Bahkan saat itu, tidak satu kata pun terucap dari mulutnya, apalagi sekedar untuk memandang ke arah gadis yang duduk di kursi santai dekat kolam renang.

Usia menuju enam belas tahun adalah masa-masa emas untuk mengembangkan bakat dan minat, tapi di usia tersebut Rion justru melakukan kesalahan besar. Brengseknya, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti semua keinginan kedua orang tuanya dengan segala kebungkaman. Ada rasa takut yang begitu menggerogoti, membuat dirinya enggan untuk menyerukan pendapat yang bisa mengancam kemewahan dan kesenangan yang didapat selama ini. Tidak peduli apakah sosok itu merasa terluka dan teraniaya. Hingga kemudian, dari tiga minggu saat berada di Singapura hingga sekarang, tanda-tanda penyesalan mulai menyerangnya dan menyebabkan gangguan pikiran itu mendadak menyeruak ke dalam otaknya. Rion menjadi terobsesi dengan barang-barang yang berbau kehamilan. Tidak ada yang mengetahui tentang hal itu, kecuali Riyan–kakak laki-lakinya–dan Bik Sumi yang sering membersihkan ruang tersebut.

Di dalam kamar itu, ada lima buah maneken dengan berbagai model baju hamil dan perut buncit yang disusun sejajar di tengah-tengah ruangan. Di pojok kanan terdapat sebuah lemari kaca dengan gantungan pakaian-pakaian hamil berbagai model di dalamnya, dari celana berbahan katun karet hingga terusan berbagai warna. Di setiap sisi dinding, terdapat lukisan-lukisan wanita hamil yang sengaja dipesan kepada pelukis terkenal asal Singapura dan Indonesia.

Rion menghentikan kegiatan mengelus-ngelus perut sang maneken, kemudian menggerakkan kakinya ke pojok kanan ruangan. Berdiri di depan lemari, mengamati sejenak sebelum membukanya. Jemari Rion menelusuri pakaian-pakaian yang tergantung, seolah menikmati serat-serat kain yang lembut. Kemudian kakinya menekuk, tubuhnya berjongkok di depan dua buah kotak hitam yang berukuran serupa. Dibukanya penutup kotak pertama, banyak terdapat tablet, botol-botol berisi obat-obatan, dan kotak-kotak yang berisi susu bubuk khusus ibu hamil dengan berbagai variasi rasa.

Bibir Rion sedikit menyungging senyum, menampakkan gigi putih bersih dan rapi, dan tangannya kembali membuka kotak berikutnya. Isi kotak ini berbeda dengan kotak pertama. Kotak ini berisi foto hitam putih yang di tengahnya terdapat selimut kerucut tanpa runcing di atasnya. Ada puluhan jumlah foto itu dari usia satu minggu yang hanya berbentuk titik hitam kecil hingga sudah berbentuk organ tubuh bayi yang lengkap.

Jemari Rion menggambil sebuah foto hasil USG favoritnya, foto janin berusia tujuh minggu, yang merupakan usia saat gadis itu memberitahukan tentang kehamilannya untuk pertama kali. Foto itu menunjukkan embrio yang mulai terbentuk yang diperkirakan berukuran 11-17 mm dengan jantung sudah terbentuk lengkap dan lebih sempurna, saraf dan ototnya pun mulai bekerja bersama, dan bagian hidung, bibir, lidah, dan gigi juga mulai terbentuk, serta cikal bakal mata yang terlihat berwarna hitam tanpa kelopak dan tuas-tuas lengan sudah menyiku, sementara jari-jari tangan sudah mengarah terpisah satu sama lain.

Tiba-tiba tubuh Rion yang semula berjongkok menjadi terduduk, dan perlahan-lahan suara isak pilu terdengar. Setiap melihat foto USG itu, Rion tak dapat menahan air matanya, selalu ingin keluar tatkala bayangan pertemuan keluarganya dengan keluarga perempuan itu menerobos otaknya, hingga sedikit demi sedikit membuat hatinya mengkerut perih. Sungguh, Rion sangat menyesal telah membiarkan sang gadis menanggungnya sendiri, padahal mereka melakukan dosa itu berdua.

“Maaf... Maaf...,” lirih Rion dengan kondisi menutup kepala dengan lutut. “Maafkan aku, nak! Maafkan  aku... Gebri!” ucapnya nyaris tak terdengar, tapi suara isakan kian jelas.

^_^

“Cieee... Cieee... Rion Michael Fernandez dan Lalisa Anastasya. Cie... cie... cie... Selalu berduaan ke mana-mana. Cie... cie... cie... ibarat lem dan perangko, nempel terusss...,” ledek Asep kepada dua sosok yang baru saja datang dengan raut yang berbeda, sang laki-laki tampak cuek dengan tatapan tajam yang menjadi ciri khasnya dan sang perempuan dengan wajah berseri-seri.

“Apaan sih? Jangan mulai deh! Kami cuma teman, kok,” jawab Lisa dengan sedikit bernada ketus, tapi tidak dapat menyembunyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya.

Rion tak terlalu menggubris, justru duduk di hadapan Asep, tepat di samping laki -laki berwajah baby face yang sering menjadi partner tongkrongannya dan partner beberapa tugas kuliah mereka, Kharisma. Tangan Rion mencomot tempe mendoan di atas mangkok plastik dan menikmatinya, tak mengindahkan perbincangan Lisa dan Asep yang menyangkut-pautkan namanya.

“Habis kuliah Komunikasi Bisnis?” tanya Kharisma sambil ikut mencomot tempe mendoan.

Rion hanya menganggukkan kepala dan kembali mengambil tempe mendoan Bu kantin yang memang terkenal enak. Suasana di kantin fakultas sekarang memang cukup ramai, meskipun pukul 1 siang telah berlalu beberapa menit lalu. Kebanyakan yang ada di sini hanya sekedar untuk duduk-duduk santai, mengistirahatkan lambung sejenak setelah diisi penuh sambil bercengkrama ria.

“Nanti ada kuliah lagi?”

“Ada. Jam setengah empat.”

“Kuliah pengganti Bu Siska?”

Sekali lagi, Rion menganggukkan kepala.

“Apakah kita tugas? Dua minggu lalu aku hanya titip absen,” nimbrung Asep sambil cengar-cengir tidak jelas.

“Ada,” jawab Rion yang kembali mengambil tempe mendoan ketiganya.

Sebelum datang ke tempat makan Delima yang terletak di samping parkiran dosen ini, dia dan Lisa memang sempat makan di kantin Fakultas Industri, karena ingin menikmati soto ayam Mang Asep yang selalu menggiurkan. Tapi tempe mendoan Bu Kantin ini memang tidak bisa diabaikan. Rasanya yang enak dan empuk bikin ketagihan.

“Di kumpul kapan?”

“Saat UTS.”

Asep mendengus sebentar, merasa sedikit kesal. “Tugasnya tentang apa?”

“Makalah berkelompok.”

“Yon, aku tahu kamu selalu irit bicara. Tetapi tidak bisakah kalau masalah kuliah seperti ini, dihilangkan sikapmu itu? Bikin aku kesel saja,” ucap Asep mendumel, kemudian matanya melirik ke samping kiri, ke arah gadis berambut sebahu. “Dan aku heran, kok bisa Lisa menyukai cowok sepertimu?” lanjutnya dengan memberikan tatapan geli ke arah gadis di sampingnya.

“Apaan sih lo, Sep? Aku tidak menyukai Rion, kami hanya teman,” celetuk Lisa meskipun semburat merah masih terlihat jelasnya di wajahnya.

“Teman tapi mesra yang ke mana-mana berdua. Di mana ada Rion, di situ ada Lisa,” timpal Asep lagi seraya mengedip-ngedip mata, berniat kembali menggoda gadis berbehel itu.

“Aish... Awas lo yah!” seru Lisa dengan ancang-ancang hendak menabok Asep yang masih mengedip-ngedipkan mata, masih menggodanya.

BAK... BIK... BUK... Lisa memukul tubuh Asep dengan sadis, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Kharisma yang ada di depan mereka hanya tertawa kecil. Pemandangan di depannya cukup menarik.

Terpopuler

Comments

Rika Anggraini

Rika Anggraini

kasihan dgn kisah mereka...

2020-09-01

0

Dewi Sinta

Dewi Sinta

Kasian jg Rion 😭😭😭😭😭

2020-08-29

2

Anggita Putri

Anggita Putri

la itu bayi gebri kmna Thor🤔kok GK di tampakin🙄

2020-08-14

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!