Episode 2.2

“Aish... Awas lo yah!” seru Lisa dengan ancang-ancang hendak menabok Asep yang masih mengedip-ngedipkan mata, masih menggodanya.

BAK... BIK... BUK... Lisa memukul tubuh Asep dengan sadis, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Kharisma yang ada di depan mereka hanya tertawa kecil. Pemandangan di depannya cukup menarik.

“Sudah! Sudah, Lis! Ini sakit!” Asep menangkap lengan Lisa, mencoba menahan lengan-lengan kurusnya tapi sangat bertenaga itu agar tidak kembali bersentuhan dengan tubuhnya. “Cukup Lis! Aku minta maaf. Sorry!” imbuh Asep lagi saat Lisa bakal mengayunkan kepalan tangannya lagi.

“Sudahlah, Lis. Kasihan Asep,” timpal Kharisma yang mengiba melihat ekspresi Asep yang mengaduh.

“Habisnya dia yang mulai duluan, Ris,” ucap Lisa dengan mengerucutkan bibirnya.

“Tapi kenyataannya memang—”

“Mau ditonjok?” potong Lisa sambil menunjukkan lagi kepalan tangannya.

“Sorry! Sorry!”

“Jangan ganggu dia lagi, Sep,” peringat Rion yang mulai terusik dengan pertengkaran mereka.

“Sorry!” Sekali lagi Asep mengucapkan permintaan maaf, merasa tidak enak atas sikapnya, hingga membuat laki-laki yang terkenal dengan irit berbicara itu mengeluarkan suara peringatan. “Dan apakah kalian sudah mendengarkan gosip terhangat di fakultas kita?” alih Asep saat matanya menangkap dua orang gadis yang baru masuk ke dalam kantin, mencoba mencari topik yang bisa memecahkan kecanggungan yang tiba-tiba menyeruak.

Rion, Lisa, dan Kharisma mengikuti arah pandangan Asep, mendapatkan gadis berambut panjang ekor kuda dan gadis berkacamata. Mereka tampak berbincang-bincang sembari berjalan pelan mendekati rak-rak yang menghidangkan lauk-pauk.

“Tentang maba jurusan akuntansi itu?” tanya Kharisma memastikan.

“Katanya dia pernah hamil saat SMP,” jelas Asep masih dengan memperhatikan gerak-gerik Gebri dan Koning.

“Laki-laki kok penggosip!” celetuk Lisa ketus, masih marah.

“Nggak gosip, ini fakta. Banyak yang membenarkannya, dan aku pun sudah menanyakan ke Rethy kelas C untuk lebih memastikan,” papar Asep tidak terima dengan perkataan Lisa. “Dulunya Rethy di SMP 216 Jakarta, kan? Berarti satu sekolah denganmu dulu, Yon? Apakah dia benar-benar pernah hamil?” tanya Asep beruntun dengan menampakkan wajah penasaran.

Tubuh Rion menegang sebentar sebelum kepalanya mengangguk sedikit. Ragu-ragu.

Asep meluruhkan badannya. “Ah, sayang sekali. Padahal Gebri sangat cantik dan terlihat seperti gadis baik-baik.”

“Don’t judge a book by its cover. Orang yang terlihat baik itu belum tentu baik dan orang yang terlihat buruk itu belum tentu buruk,” ucap Lisa sambil mengikuti gerak-gerik Gebri dan Koning yang sedang melihat-lihat tempat yang kosong.

“Yon, apakah Gebri hamil karena pacarnya atau diper—” Kharisma tidak jadi melanjutkan ucapannya saat melihat Rion menggeserkan kursi, kemudian mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan. “Mau ke mana? Kuliah Bu Siska masih dua jam lagi, kan?” tanyanya sambil melirik jam yang ada di pergelangan tangan.

“Aku mau ke akademik dulu, dan tolong bayarin ya?!” ucapnya, kemudian melangkah menjauh dan meninggalkan enam pasang mata yang sedang menatap heran kepadanya.

“Yon, tunggu!” Lisa buru-buru bangkit dari tempat duduk dan menyusul Rion.

“Katanya tak suka, tapi selalu mengekor Rion kemana-mana,” tukas Asep sambil mendengus.

¬^_^

Gebri mendongakkan kepala, memandang langit yang baru saja menjatuhkan titik-titik air dari proses penguapan di atas awan. Padahal sepuluh menit yang lalu, tidak terlihat langit kelabu yang merupakan tanda-tanda umum dari turun hujan. Tapi kini dia terpaksa berteduh di sebuah pertokoan kosong–bekas koperasi mahasiswa yang sudah pindah ke gedung baru di samping rektorat–dengan mahasiswa pejalan kaki lainnya, menunggu rintik-rintik itu sedikit reda atau volumenya tidak sederas sekarang.

Seperti halnya beberapa hari ini, setiap mahasiswa yang melihat Gebri pasti akan berbisik-bisik diiringi dengan tatapan menilai. Awalnya dia merasa risi dan khawatir, tapi kini dia tidak terlalu memedulikan dan lebih memilih memamerkan senyum saat suara-suara yang menyebutkan namanya itu mulai terdengar.

Tangan Gebri merogoh ke dalam tas, mengambil ponsel merek Samsung-nya. Saat keluar dari pintu perpustakaan tadi, ada sebuah getaran yang menunjukkan pesan masuk.

 

 

[LINE 05:01 PM]Askoning

Kmu dmn?

Aku udh d dpn kosanmu

 

 

Gebri sedikit terkekeh kecil, membayangkan wajah Koning kini. Sudah dua puluh menit berlalu sejak chat ini masuk, pasti sekarang dia sedang memasang wajah cemberut dengan bibir dimonyong-monyongkan. Terlihat jelek menurutnya, dan karena tidak ingin membuat Koning semakin jengkel dan terus memasang wajah masam, Gebri segera memasukkan ponsel androidnya ke dalam tas, memperbaiki posisi ransel hitam yang berada di punggung menjadi di depan dada. Kemudian membuat lengannya merangkul tubuh depannya, berupaya melindungi tas beserta isinya, sebelum menerobos hujan yang masih jatuh dengan deras yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan teduh. Dia berlari dengan sangat cepat, berharap segera sampai di kosan agar terhindar dari rintik-rintik yang semakin membasahi tubuhnya dan segera bertemu dengan Koning.

Tiba-tiba sebuah mobil Toyota Yaris berwarna super white berhenti, memaksa Gebri memberhentikan gerakan kakinya. Pintu di samping kemudi terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki bermata setajam elang yang memasang tatapan khawatir. Dan di posisi berdiri inipun, Gebri dapat melihat ada seorang perempuan berambut sebahu yang memasang tatapan menyelidik di samping kemudi. Bahkan dia juga bisa mendengarkan perempuan itu menyerukan nama “Rion, kamu mau apa?”.

“Ayo masuk! Aku antar kamu pulang,” ajak Rion sambil membuka pintu mobil. “Ayo!” Rion hendak memegang pergelangan tangan Gebri, berniat menuntunnya masuk ke dalam mobil, tetapi gadis yang sudah basah kuyup itu segera menepis tangannya.

“Ti-Tidak. Terima kasih.”

Gebri tergesa-gesa kembali berlari, tetapi sebelum sampai ketikungan terakhir menuju kos Wisma Bestari, sebuah tangan menariknya lagi. Rion ternyata mengejarnya, dan sekarang sedang memaksa Gebri memakai jaket kulit yang dibawanya. Gebri terus mencoba menolak, tetapi laki-laki berambut model angular fringe yang sudah lepek itu terus memaksa, hingga jaket di tangannya hampir menyelubungi tubuh atas Gebri.

“BERHENTI!” teriak Gebri yang masih mencoba menolak.

“Kamu harus memakainya, Geb.” Rion terus berusaha memakaikan lengan jaket ke lengan Gebri. “Kalau kamu tidak memakainya, kasihan bayi kita. Dia akan kedinginan,” ucapnya setelah baju luar itu terpasang sempurna dan sekarang sedang membuka payung yang tadi juga dibawanya.

“A-Apa ma-maksudmu?” lirih Gebri hampir tak terdengar, ditambah suara rintih-rintih yang semakin menenggelamkannya.

“Kamu harus memakai jaket dan payung ini agar anak kita tidak kedi—”

“APA MAKSUDMU, HAH?” teriak Gebri dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia mendadak merasa terhina. Ucapan dan tindakan Rion seolah sedang mencemoohnya, sedang mengejek dirinya.

Rion tersentak, sadar dari ilusi sesaatnya. Sosok itu bergeming di tempatnya. Cukup lama, sebelum berlari lagi mengejak Gebri yang menjauh, dengan jaket kulit yang sudah tergeletak di jalan aspal. Dia kembali menarik lengan dara beralis tebal itu, memaksa Gebri untuk menghadapnya.

“Tolong terima payung ini.” Rion mengulurkan sebuah payung berwarna hitam yang sudah terbuka sempurna.

“Tidak perlu. Te-Terima kasih,” tolak Gebri yang kemudian membalikkan badan, hendak berlari lagi.

Lagi-lagi Rion menarik tangan Gebri, membuat sang empu menolehkan wajahnya. “Tolong terimalah ini. Aku mohon,” ucapnya kembali menyerahkan payung hitam itu. “Pergilah! Tidak baik lama-lama dengan pakaian basah kuyup seperti ini. Kamu bisa sakit,” sambung Rion lagi seraya sedikit mendorongnya agar sang dara kembali berjalan.

Gebri melangkah kakinya pelan, dengan payung yang sekarang melindunginya dari rintik-rintik hujan. Matanya yang tadi sempat berkaca-kaca, kini sudah mengalir bersama tetesan-tetesan air hujan yang jatuh dari poninya. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus dirinya? Kenapa? Setelah lima tahun berlalu, dia sungguh tidak berharap bisa bertemu dengan laki-laki itu lagi, apalagi dalam kondisi yang cukup damai yang susah payah dibangunnya.

Apakah Tuhan masih belum cukup menghukumnya? Apakah Tuhan masih begitu marah kepada dirinya? Dan laki-laki bermata setajam elang itu.... Sikapnya tadi seolah sedang mengolok-olok dirinya, bak sedang mentertawakannya. Apakah masih belum cukup pria muda itu meninggalkannya dulu? Apakah masih belum cukup saat dia hanya bungkam, membiarkan Rion hidup tenang tanpa tatapan-tatapan hina dari orang lain? APAKAH MASIH BELUM CUKUP? Untuk apa dia mengungkit-ungkit prahara lima tahun lalu. UNTUK APA?

Saat sudah tiba di depan kosan, Gebri langsung memeluk tubuh Koning, lalu menangis tersedu-sedan hingga napasnya sedikit tersengal-sengal, menumpahkan segala rasa sesak yang sejak tadi dipendamnya. Sementara Koning hanya mengelus-ngelus punggung rapuh itu, mencoba menenangkan. Hanya itu yang dapat dilakukannya saat ini.

Terpopuler

Comments

Febrian Saputra

Febrian Saputra

anaknya kemanaa

2022-08-18

0

Cita Solichah

Cita Solichah

kq awalnya bagus y.. aq suka cerita yg awalnya pas di cerita inti gl trlalu bertele2

2021-05-24

0

Istiqomah

Istiqomah

Kasian rion nya juga thor dia sampai dia punya kelainan sendiri

2020-10-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!