Episode 1.2

Gebri sedikit tersentak. Selama ini, wanita paruh baya itu sangat jarang menyerukan suara lantang. Bisa dihitung jari. Tapi bila itu memang terjadi, berarti beliau dalam kondisi sedang sangat marah, mungkin sama seperti hari ini. Maka mau tak mau, dengan berat hati Gebri menjauh dari ruang inap Galang. Dan sejak hari itu, dia mulai menyadari sesuatu. Meskipun selama ini beliau tidak pernah menunjukkan secara gamblang, ternyata sang bunda membencinya. Mungkin sangat membenci dirinya dan semua berawal dari aib itu.

Lamunan Gebri membuyar saat ponsel di atas meja kembali bergetar. Balasan dari Galang. Kabar tentang bundanya dan beberapa kata di kalimat terakhir yang membuat bibirnya tersungging lebar.

 

 

[LINE 12:38 PM]Galang~~~~

Minggu nti ak ke kosan Mbak

 

 

Kalimat itu terkesan biasa, tetapi berbeda bagi Gebri. Kalimat singkat itu seperti penguat dirinya. Masih ada yang mau memedulikannya. Memberikan sedikit pelindungan untuknya. Setelah semua peristiwa kelam yang terjadi, tidak banyak orang yang mau berinteraksi dengannya, bahkan sanak saudara dari pihak ibu dan almarhum ayahnya tampak enggan untuk berdekatan.

Sejak ayah mereka meninggal, Galang memang selalu menjadi pelindung. Seperti perisai. Siap menangkis berbagai hantaman pedang yang hendak menghunus. Semakin beranjak usia, remaja itu semakin terlihat seperti pribadi ayah mereka. Galang selalu menjaganya dan memberikan kekuatan.

“Aku duduk di sini ya!”

Gebri memalingkan kepalanya dari ponsel, menghadap ke sosok perempuan yang telah duduk di sampingnya dan sedang menyesap cairan kuning dari dalam gelas. Gebri tampak terkejut menyadari gadis berkacamata dan berkemeja itu mau berdekatan dengannya. Beberapa jam lalu, ekspresi dan sikap tidak suka tampak jelas. Bahkan selama perkuliahan Pak Edy, mereka tidak saling duduk berdekatan. Gebri memilih duduk di depan, sedangkan Koning tetap di belakang seperti rencana awal. Padahal biasanya, kalau hanya ada satu kursi kosong di belakang, mereka pasti memutuskan untuk duduk di mana saja, yang penting berdua.

“Kenapa?” tanya Koning yang merasa sedikit risih dengan tatapan tak percaya dari perempuan di sebelahnya.

Gebri menggelengkan kepala. “Tidak. Hanya....”

“Aku minta maaf, mungkin sikapku pagi tadi keterlaluan.” Koning menghela napas sedikit. “Nenekku pernah berkata, seburuk atau sekelam apapun masa lalu kita, yang perlu diketahui adalah masa depan masih tetap suci dan akan baik,” lanjutnya dan kembali mengambil napas dan menghela. “Jadi tidak ada salahnya kita berteman dan menurutku, kamu adalah sosok teman yang baik selama sebulan ini,” kata Koning lagi sambil tersenyum lebar. “Dan besok maukah kamu menemaniku ke Hartono Mall lagi?” tanyanya sambil menyeruput lagi jus jeruk yang ada di hadapannya.

Gebri mesam-mesem melihat tingkah gadis di sampingnya, kemudian menganggukkan. Inilah sosok Koning yang dikenal selama sebulan ini, sosok yang sangat ceria dan mudah bergaul dengan orang lain tanpa melihat status apapun, bahkan mungkin latar belakang. Tapi sangat disayangkan, Koning memiliki sifat yang boros. Hal itu mungkin karena Koning terlahir dari keluarga yang sangat berada. Ayahnya merupakan anggota DPRD Provinsi Riau dan kakeknya memiliki kebun sawit yang berlimpah di sana. Jadi sangat wajar apabila Koning sedikit menghambur-hamburkan uang dengan berbelanja, membeli sesuatu yang menarik matanya meskipun barang tersebut tak terlalu berguna. Tak peduli seberapa mahalnya harga barang tersebut. Selama sebulan ini, hampir semua Mall dan Plaza di Yogyakarta telah dikunjungi. Sebenarnya Gebri beberapa kali ingin menolak, tetapi dia merasa tidak enak hati. Lagipula tidak ada salahnya juga menemani Koning, sembari mengenal kota yang menjadi tempat tinggal selama kurang lebih empat tahun ini.

“Kon!” panggil Gebri.

“Ya?” jawab Koning dengan mengerutkan kening.

“Terima kasih,” lanjut Gebri sambil merangkul lengan gadis bergigi gingsul itu.

Koning terkekeh kecil sebelum menimpali perkataan gadis berambut berekor kuda dan beralis hitam tebal di sampingnya kini. “Tidak perlu berterima kasih. Sudah sepatutnya aku bersikap seperti ini. Bukankah kita berteman?”

“Terima kasih,” ulang Gebri lagi seraya melepaskan rangkulannya, kemudian melanjutkan lagi kegiatan makan siang mereka yang sempat tertunda dan sesegera mungkin menghabiskannya. Sekitar sepuluh menit lagi, jarum panjang dari jam dinding di atas rak berisikan aneka lauk pauk tepat menunjukkan angka dua belas, menunjukkan bahwa mereka harus segera berada di dalam ruangan III-4 dan mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi dari Ibu Arum.

^_^

Mata Gebri melirik jam di atas bufet kecil di samping tempat tidur, tepat di samping figura foto yang menampilkan empat orang sosok berbeda umur yang memasang senyum lebar, foto yang diambil lebih kurang sepuluh tahun lalu. Sekarang sudah hampir jam 8 malam. Wajar suara lambungnya sekarang bergemuruh. Terakhir mulut Gebri menerima sesuatu saat berada di kantin kampus tadi, saat makan siang dengan Koning.

Gebri mengambil jaket berbahan parasut yang tergantung di pintu, mengambil dompet berwarna merah yang tergeletak di dalam tas dan ponsel android di atas kasur, kemudian membuka pintu kamar dan menjauh dari area kosan. Setelah menelusuri jalan aspal sepanjang lima ratus meter, akhirnya dia sampai di simpang empat lampu merah. Sebelah kiri apabila menghadap ke arah utara, ada sebuah gerobak dan ruangan kecil di belakangnya yang beralaskan karpet dengan beberapa meja kecil. Tampak Pak Otot–nama panggilannya karena memiliki otot-otot besar seperti pengulat profesional–terlihat sibuk di depan panci, mengaduk-aduk olahan nasi dengan spatula di tangannya.

“Nasi goreng satu, Pak. Pedes. Dibungkus,” ucap Gebri kemudian duduk di kursi kayu panjang yang ada di samping gerobak, tempat biasa orang-orang menunggu makanannya yang khusus untuk dibungkus.

Mata Gebri melirik ke dalam ruangan, menampakkan beberapa orang sedang membuat sebuah grup yang mengeliling meja, menikmati hidangan-hidangan yang terhampar di atasnya, dan Gebri sedikit terperanjat ketika menyadari seseorang sedang menatapnya intens, seseorang yang tadi pagi berdiri di depan ruang II-9 dengan kostum yang berbeda kini. Gebri sesegera mungkin menolehkan ke arah jalanan besar, melihat lalu-lalang sepeda motor dan mobil yang melintas, berharap dapat mengusir kebuncahan yang tiba-tiba hadir.

“Mbak.”

Gebri sedikit tersentak, ternyata tadi dia sempat melamun tadi. “Ya, Pak?”

“Pedes, kan?”

Gebri mengangguk, “Iya, Pak.”

“Bentar ya, Mbak,” ucap Pak Otot sebelum kembali beraktivitas di depan gerobak, menyiapkan beberapa bahan di sana.

Kepala Gebri kembali menghadap ke arah jalanan, menyibukkan diri dengan suara deruman dan cahaya-cahaya dari lampu sepeda motor dan mobil. Tiba-tiba Gebri merasakan sesuatu bergetar dari balik celana training, memaksa tangannya merogoh ke dalam saku. Sebuah pesan terlampir di aplikasi Line.

 

 

[LINE 08:11 PM]Askoning

Kpn kta bwt tgas mkalah dri Pk Hakim?

 

 

Jemari Gebri kemudian menyentuh huruf-huruf di touchscreen ponselnya, membalas pertanyaan Koning. Dan sesaat setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Pak Otot menghampiri dengan menenteng kantong plastik putih transparan. Dia segera membuka dompet, mengambil selembar uang sepuluh ribu, kemudian mengucapkan terima kasih dan beranjak menjauh dari gerobak.

Lima meter lagi, Gebri sudah bisa berada di dalam kosan dan bisa langsung menyantap nasi goreng buatan Pak Otot yang menurutnya sangat enak. Tapi mendadak lengannya merasa ditarik seseorang. Gebri langsung menoleh ke belakang dan matanya langsung terbelalak lebar. Tak menyangka sosok berambut  angular fringe itu akan berada di sini, di hadapannya yang hanya berjarak beberapa sentimeter.

“Bisa kita bicara sebentar?” pinta laki-laki di depannya kini dengan tatapan khasnya yang terkesan menjorok ke dalam, seperti tatapan mata elang.

Untuk apa? batin Gebri, mendadak mulutnya merasa terkunci.

“Bisakah?” ulang sang laki-laki itu lagi.

“Kalau yang ingin kamu bicarakan adalah agar aku tidak memberitahukan orang-orang tentang kejadian lima tahun lalu, kamu tidak perlu khawatir,” ucap Gebri cepat, seolah mengerti arah pembicaraan laki-laki yang suaranya sudah berubah dari lima tahun lalu, terdengar lebih parau dengan wajah yang mulai tampak dewasa.

“Tidak. Bukan tentang—”

“Aku harus pergi. Permisi,” potong Gebri tatkala matanya menangkap pintu kosan yang terbuka, mendapati salah satu penghuni di sana yang sedang keluar, lalu berniat untuk berlari, tidak ingin orang lain melihat interaksi diantara mereka, tapi lagi-lagi lengan kirinya ditarik, memaksanya untuk kembali menghadap laki-laki berambut angular fringe itu.

“Aku—”

“Please, biarkan aku pergi! Aku janji tidak akan memberitahu orang-orang,” tutur Gebri terburu-buru sebelum menghempaskan cengkraman itu dan segera berlari menuju gedung bertingkat dua yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.

Diletakkan kantong plastik yang dibawanya di atas bufet kecil, kemudian langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya mulai melayang-layang, mengusik dirinya dengan perumpamaan ‘seandainya’.

Seandainya dia tak bersekolah di SMP 216 Jakarta.

Seandainya dia tak menjadi petugas PMR sekolah.

Seandainya dia tak mengobati luka laki-laki itu.

Seandainya dia tak bertemu lagi di Mal Kelapa Gading.

Dan banyak lagi kata-kata ‘seandainya’ lainnya yang terus berputar-putar di benak Gebri, meskipun dia tahu kalau semua perumpamaan itu tidak bisa mengubah apa-apa. Kehidupan masa lalunya tetap terukir kata ‘aib’ untuk dirinya dan keluarga.

Huh! Gebri menghela napas panjang sebelum bangkit dari tempat tidur, berharap dapat meredakan rasa sesak yang tiba-tiba datang. Kakinya bergerak menuju bufet kecil, mengambil kantong transparan beserta piring plastik dan sendok stainless. Sudah saatnya lambung Gebri diisi. Sejak tadi cacing-cacing di dalam perut sudah membuat suara gemuruh penuh protes. Tapi baru sesuap sendok nasi goreng masuk ke dalam mulut, air matanya tiba-tiba menetes dan sesaat kemudian mulai mengalir membasahi kedua pipinya.

Tidak ada yang patut dipersalahkan atas kejadian lima tahun lalu. Tidak pula untuk laki-laki bermata setajam elang yang tadi menarik lengannya. Mereka suka sama suka melakukan perbuatan tak seharusnya dilakukan, dan inilah yang harus diterima olehnya, hukuman dari Sang Pencipta karena melanggar larangan-Nya dan tergoda atas kenikmatan sesaat.

Hingga sampai sekarang, Gebri tak sekalipun melupakan hari mengerikan itu, hari di mana dia dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah tepat tiga hari sebelum UN SMP. Hari di mana pula awal kerenggangan dengan bundanya dimulai dan segala caci maki dari orang-orang sekitar mulai terlontar. Semua bermula dari kehamilannya, kehamilan tanpa status sah di usia muda, usia lima belas tahun yang seharusnya masih mencecapi indahnya masa-masa remaja. Dan tragisnya, laki-laki itu tak mau mempertanggungjawabkan, meninggalkannya dalam kubangan penuh penyesalan hingga saat ini. Penyesalan yang selalu datang belakangan dan tidak ada gunanya lagi. [ ]

 

 

Terpopuler

Comments

Diyah 1212

Diyah 1212

anak nya mna..?

2022-02-23

0

Ami Rahmi

Ami Rahmi

lanjut ke sini setelah baca di wp.bahagia bgt dilanjut disini karna punya apli nya tanpa hrs donlot lgi...gratis lgi ...makasih kakak

2021-10-01

0

Indah Piway

Indah Piway

tapi seorang ibu itu harusnya slalu ada disaat anak sedang terpuruk.

2021-06-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!