Seperti Bekas Paku

Seperti Bekas Paku

Episode 1.1

“Diakah gadis itu?” tanya gadis berkemeja merah kotak-kotak sambil menyenggol siku teman di sampingnya.

“Kok masih pergi ke kampus, ya? Apa nggak malu?” timpal sosok yang disenggol tadi.

“Sungguh nggak nyangka. Padahal penampilannya seperti cewek baik-baik,” ujar si kemeja merah lagi.

“Namanya Gebri Adinda, kan?”

TAP. Kaki Gebri seketika berhenti. Terpaku sejenak sebelum menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kakinya. Mencoba tak menghiraukan. Sebenarnya dia sudah menduga–apalagi sejak melihat salah satu teman di sekolah menengah pertamanya dahulu yang menjadi panitia OSPEK–berita itu akan terkuak, terungkap dari mulut ke mulut dengan sedikit bumbu-bumbu tambahan. Namun Gebri tidak menduga akan secepat ini. Baru saja satu bulan berlalu sejak orientasi studi dan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru dimulai. Hanya selang waktu dua minggu sejak berhadapan mata kuliah ber-SKS dan bertemu dengan para dosen yang mengampunya.

Kaki Gebri terus bergerak menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ada mata kuliah Pengantar Akuntasi 1 hari ini.

“Geb!”

Gebri membalikkan badan saat suara familiar tertangkap telinganya, mendapati seorang gadis berkacamata dengan baju kemeja biru polos dan celana hitam pensil yang sedang tersenyum. Gadis itu sedikit berlari-lari kecil mendekatinya.

“Di ruang II-7, kan?”

Gebri hanya menganggukkan kepala.

“Yuk!” ucap gadis bernama Koning itu yang mendahului Gebri menapaki anak tangga.

Gebri bergeming. Kembali terpaku di tempatnya dan merasa sedikit aneh. Apakah Koning tidak menghindarinya, atau berbisik-bisik seperti yang lain, menyebut-nyebut namanya dengan berbagai spekulasi-spekulasi negatif, bukan dekat-dekat dengannya apalagi menyapa dengan santai seperti ini?

“Geb, yuk! Kita harus cepat, supaya dapat kursi di belakang. Aku sedang malas berada di depan, apalagi di mata kuliah Pak Edy ini.” Koning melambai-lambaikan tangannya, menyuruh Gebri untuk segera menyusul.

“Kamu tidak malu berjalan di sampingku?” tanya Gebri ketika sudah berada di samping Koning, sesekali dia membetulkan letak tali tas ransel hitam yang hendak turun ke lengan.

“Memangnya kenapa?”

“Tentang kabar kalau aku....”

“Itu hanya gosip, kan? Tidak mungkin kamu seperti itu. Wajahmu terlihat anak baik-baik,” sambung Koning dengan cengiran khasnya yang menampakkan gigi gingsul sebelah kiri.

“Ehm... Itu Fakta. Aku memang pernah....” Gebri tak sanggup melanjutkannya, lidahnya mendadak seperti bertulang. Sangat susah untuk melontarkan.

Peristiwa masa lalunya itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Ditambah lagi ekspresi ceria Koning kini sedikit redup, semakin membuat Gebri enggan untuk mengucapkannya. Ah, mungkin inilah cerita masa-masa kuliahnya. Sendiri dan menjadi sosok terbuang. Koning–gadis yang menjadi teman pertama saat hari pertama OSPEK–pasti akan menjauhinya. Siapa yang mau berteman dengan sosok hina sepertinya, pernah melakukan kesalahan fatal di masa remaja, di usia lima belas tahunnya. Huh! Gebri menghela napas, lalu memegang pangkal hidungnya. Sedikit pusing.

Dahulu saat melanjutkan SMA di Solo, kisah tragis itu tidak terungkap sedikit pun. Masa SMA berjalan dengan lancar. Tapi kini situasinya sudah berbeda, masa SMA berbeda jauh dengan masa kuliah. Di masa ini mereka bisa bertemu dengan orang-orang di belahan provinsi manapun, tak terkecuali kota Metropolitan itu. Pasti ada peluang bahwa orang-orang pernah mengenalnya, bahkan mengetahui kisah kelamnya lima tahun lalu.

“Yuk, kita ke kelas! Keburu Pak Edy datang nanti,” seru Gebri membuyarkan keheningan yang tiba-tiba hadir dan melangkahkan kaki terlebih dahulu, menjauh dari sosok Koning yang masih tercengang di undakan tangga.

Namun belum sampai di depan pintu kelas, langkah kakinya kembali terhenti. Tubuh Gebri kembali terpaku untuk kesekian kalinya pagi ini. Matanya menatap sedikit tak percaya pada sosok berambut model angular fringe yang juga sedang menatapnya.

Sepertinya pepatah lama yang mengatakan dunia tak selebar daun kelor tak selamanya benar. Dari wilayah Indonesia yang memiliki 13.000 lebih pulau, Gebri dan sosok laki-laki yang masih berdiri di depan ruang II-9 dengan massenger bag branded masih tergantung di bahunya, bertemu dan saling bertatap muka di kota ini, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar. Laki-laki itu tidak banyak berubah, masih tampak angkuh dan mengintimidasi dengan kedua mata yang setajam elangnya. Sudah bertahun-tahun tak melihatnya dan bahkan Gebri menduga mereka tak akan pernah bertemu lagi. Terakhir kabar yang terdengar, laki-laki itu melanjutkan SMA-nya di Singapura, negara kelahiran ayahnya.

Gebri cepat-cepat memutuskan kontak mata diantara mereka, menarik langkahnya masuk ke dalam kelas. Tidak mau terpengaruh sedikit pun. Masa lalu tetaplah menjadi masa-masa yang tak bisa diubah, tak perlu disesali ataupun ditakuti apalagi sampai diajak ke masa kini. Biarlah masa lalu menjadi sejarah dan bukti kisah hidupnya dahulu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah fokus kuliah, cepat wisuda, lalu mendapat pekerjaan yang layak dan bisa membahagiakan Bunda juga adik laki-lakinya.

^_^

“Berapa mbak?” tanya Gebri sambil menyodorkan sepiring nasi beserta lauk pauknya.

Wanita yang berdiri di depan meja kasir melihat-lihat isi piring, kemudian mendongakkan wajahnya ke arah Gebri. “Minumnya apa Mbak?” tanyanya.

Gebri menggelengkan kepala. “Tidak usah, Mbak.”

“Semuanya delapan ribu, Mbak.”

“Ini uangnya, Mbak,” ucap Gebri sambil menyerahkan selembar uang berwarna ungu kebiruan dengan desain gambar tokoh pahlawan nasional Sultan Mahmud Badaruddin II.

“Kembaliannya dua ribu. Matur suwun, Mbak.”

“Sami-sami, Mbak.”

Gebri mengambil piringnya kemudian mengedarkan padangan. Matanya menelusuri ruangan yang tidak terlalu besar, hanya berukuran sekitar empat puluh meter persegi. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Tak dihiraukannya beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang sedang memandang sinis, sembari berbisik-bisik pula. Saat ini dia hanya perlu tempat duduk, menyelesaikan makan siangnya, dan kembali ke kelas sebelum pukul satu siang untuk mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi.

Gebri sedikit bernapas lega ketika mendapatkan sebuah tempat duduk di pojok ruangan. Tempat yang strategis untuk makan sendiri seperti dirinya kini, dan baru beberapa suap, ponsel android yang berada di saku ransel hitamnya bergetar. Gebri menyendokkan nasi ke dalam mulut sebelum mengambil ponselnya, dan melihat sebuah pesan yang terpampang di kotak dialog berwarna hijau.

Dari Galang. Adik laki-lakinya. Laki-laki remaja itu pasti menanyakan keadaannya, seperti hari-hari biasa sejak menginjak kaki di Yogyakarta.

Gebri segera membalas pesan Line-nya. Memberitahukan kalau dia sedang baik-baik saja, dan tak lupa menanyakan tentang wanita paruh baya bernama Rasti yang telah melahirkannya. Apa kabar wanita itu? Sudah lama mereka tidak pernah saling bercanda ria. Sejak lima tahun yang lalu, mungkin sejak peristiwa memalukan itu. Tentang sesuatu hal yang orang-orang sebut dengan ‘aib’.

Pikiran Gebri menerawang jauh. Mengingat masa-masa seminggu setelah keputusan dari kedua keluarga. Saat itu dia sedang duduk lesehan di lantai sambil berselonjor. Di tangannya telah terbentang sebuah koran. Baru dibelinya ketika mau pergi ke rumah sakit. Sekali-kali matanya melirik ke sosok laki-laki yang beranjak remaja dengan mata terpejam. Tali infus mengalir dan berakhir di sebelah tangan kiri. Kondisinya sekarang sudah cukup stabil.

KRIEEET...

Gebri menolehkan ke arah pintu, terlihat seorang wanita berpakaian terusan sebatas lutut dan kacamata yang bertengger di hidungnya. Wajah itu terlihat lebih tirus dari sebulan yang lalu dengan lingkaran hitam mengelilingi kedua maniknya. Terlihat jelas raut kelelahan di sana.

“Apa kata dokter, Bun?”

Wanita paruh baya itu tak menggubris. Pandangannya terus tertuju ke arah tempat tidur, memandang sosok Galang yang masih senang memejamkan mata.

Gebri bangkit dari tempat duduknya. Beranjak mendekati Rasti. “Bun, apa yang dokter katakan?” Gebri mengulang kembali pertanyaannya, mungkin tadi sang bunda tidak mendengarkannya.

“Cukup baik.”

“Tapi kenapa Galang belum sadar-sadar, Bun?” Gebri kembali melontarkan pertanyaan, merasa jawaban itu belum memuaskan.

Seperti tadi. Rasti kembali tak acuh.

“Bun—”

“Pulanglah! Kamu tak dibutuhkan lagi di sini,” ucap Rasti yang masih belum mau mengalihkan pandangannya dari Galang.

“Tapi aku ingin menemani—”

“PULANGLAH!” potong Rasti lagi yang kini menaikkan nada suaranya menjadi beberapa oktaf.

Gebri sedikit tersentak. Selama ini, wanita paruh baya itu sangat jarang menyerukan suara lantang. Bisa dihitung jari. Tapi bila itu memang terjadi, berarti beliau dalam kondisi sedang sangat marah, mungkin sama seperti hari ini. Maka mau tak mau, dengan berat hati Gebri menjauh dari ruang inap Galang. Dan sejak hari itu, dia mulai menyadari sesuatu. Meskipun selama ini beliau tidak pernah menunjukkan secara gamblang, ternyata sang bunda membencinya. Mungkin sangat membenci dirinya dan semua berawal dari aib itu.

Terpopuler

Comments

Daryanti Sulanjari

Daryanti Sulanjari

baca ulang untuk yg kesekian kali

2021-12-15

0

Seri Wahyuni

Seri Wahyuni

kamu pindh lapak disini ternyata thor untg gratis

2021-09-20

0

TakeNi

TakeNi

oke, awal yg bagus... lanjut..

2021-05-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!