Nisa menyadari perubahan Aralia semenjak meninggalnya Rena. Hembusan napas panjang Nisa berubah menjadi uap di udara, dingin makin menjadi seiring larutnya malam. Wanita itu tak kunjung mengantuk, ia berulang kali menatap photo Rena yang ada di ponselnya hingga membawa ingatannya pada putrinya itu sebelum meninggal.
Tiga jam sebelum Rena meninggal
Nisa, mengemas beberapa kotak makan ke dalam tas yang akan dibawahnya ke rumah Rena yang berjarak tempuh satu jam. Dalam perjalanan wanita itu menelpon tapi tak kunjung diangkat, Nisa merasa khawatir mengingat putrinya itu hamil tua, delapan bulan.
Beruntung jalanan tidak terlalu macet hingga Nisa sampai dengan cepat. Nisa turun dari taksi yang membawanya ke tempat itu dan menekan bel rumah. Tak ada jawaban, hingga akhirnya Nisa mencoba membuka pintu dan berhasil.
Nisa lega pintu rumah putrinya itu tak terkunci, Nisa memanggil sambil meletakkan tas berisi makanan yang ia bawakan di atas meja.
Nisa menaiki anak tangga menuju kamar Rena.
"Rena apa kau tidur sayang?" Tanya Nisa sambil memasuki kamar namun tak menemukan keberadaan Rena di sana. Nisa berdecak begitu mendengar suara air dari dalam kamar mandi yang ada di kamar itu juga.
"Rena, ini mama apa kau sedang mandi?" Tanya Nisa dengan suara keras, sambil merapikan kasur Rena yang terlihat berantakan.
"Sayang ...," Panggilnya lagi, namun tak mendapat jawaban. Nisa meletakkan ponselnya dan melangkah ke kamar mandi.
"Astaga Rena ...," Nisa histeris melihat Rena yang sedang tergeletak di kamar mandi dengan darah segar. Nisa panik menganggkat Rena keluar dari sana dan meletakkan di lantai kamar. Mengambil ponsel dan menghubungi gawat darurat.
"Tolong kirimkan ambulance, putriku terjatuh di kamar mandi dengan kondisi hamil tua. Pendaharan. Tolong secepatnya," Nisa meletakkan ponselnya dan berusaha menyadarkan Rena.
"Rena sayang buka matamu, bangun sayang mama datang. Mama datang cepat buka matamu." Isak Nisa, kembali mengambil ponselnya dan menghubungi Varga.
"Halo ma," sapa Varga dari ujung telpon sana.
"Rena terjatuh di kamar mandi, dan sekarang belum sadarkan diri. Mama sudah menelpon gawat darurat." Ucap Nisa sembari menangis.
Rena di larikan ke rumah sakit terdekat setelah ambulance dari kepolisian tiba.
"Mama, Rena dimana?" Tanya Varga dengan panik setelah sampai.
Nisa memeluk Varga, tubuhnya gemetaran. "Varga, mama temukan Rena di kamar mandi, ia tergelatak begitu saja banyak darah dan Rena putriku sama sekali tak bergerak." ucap Nisa sesunggukan.
"Kata dokter yang memberi pertolongan di ambulance, detak jantung Rena lemah dan juga detak jantung bayi kalian. Varga, bagaimana ini? Tolong selamatkan Renaku sayang. Aku mohon..., Ya Tuhan." Isak Nisa, lututnya gemetar tubuhnya lunglai.
Air mata Varga berurai, pria itu mendudukkan Nisa di bangku panjang yang ada di ruang tunggu. Varga berusaha tegar dan setiap gumanan yang keluar dari mulutnya adalah 'Doa' meminta keselamatan untuk kedua orang yang ia cintai.
Ada pendarahan hebat di dalam rahim pasien, dan juga komplikasi pada persalinannya. Kami masih berusaha dan semoga bisa ditangani. Dokter memberi penjelasan pada Nisa dan Varga.
Ingatan itu terputar kembali dalam ingatan Nisa malam itu, ia tidak menyadari malam sudah semakin tua dan dingin semakin menusuk.
Air matanya menitik, setiap hari dalam keheningan Nisa selalu mengingat kenangan buruk itu.
Nisa menarik napas lalu menghembuskannya ke udara, menenangkan diri di Balkon kamarnya menjadi kebiasaannya saat ini.
_____________________________________________
Aralia, mengecup pipi ibunya saat mau berangkat ke kampus.
"Hati-hati sayang," kata Nisa melambaikan tangan saat Aralia menaiki taksi online yang ia pesan. Hari ini gadis bertubuh mungil itu sedikit buru-buru. Mata kuliahnya akan segera di mulai.
"Pak lebih cepat ya," ujar Aralia pada pengemudinya dan di jawab dengan anggukan sopan pemilik taksi.
Sesampainya di gerbang kampus, Aralia berlari kecil memasuki kampus, mata kuliah kini sudah berlangsung dan ada di lantai tiga. Aralia menaiki tangga saat melihat mahasiswa lainya tengah antri di depan lift.
Aralia, buru-buru menaiki anak tangga dan tak sengaja kakinya terpeleset hingga membuatnya terjatuh ke belakang, beruntung seseorang yang ada di belakangnya menangkapnya dan.
Darr ...
Suara benda terjatuh membanting lantai terdengar. Aralia menstabilkan posisinya setelah orang yang menangkap tubuhnya itu melepasnya.
"Maaf, " ucap Aralia, merasa bersalah pada sosok yang menolongnya.
"Tidak apa-apa, " suara Barito yang terdengar seksi membuat detak jantung Aralia berdegub. Pria itu tersenyum lalu menuruni anak tangga, mengambil ponsel yang terjatuh dari tangannya saat menolong Aralia.
Pria itu, menggigit bibirnya saat melihat layar ponselnya retak.
Sementara Aralia, masih terkesima ini pertama kalinya degub jantung gadis itu berlomba saat melihat pria tampan.
"Oh my ..., " Geleng Aralia menyadari betapa dirinya terlihat bodoh. Ia segera menuruni anak tangga dan mengambil ponsel dari tangan pria yang memiliki leher jenjang itu.
"Apa ponselnya rusak?" Tanya Aralia memperhatikan benda itu dengan teliti. Kerutan di dahinya tercetak dan sesaat bibir mungil gadis itu menyengir.
"Maaf, aku akan menggatinya." Katanya, pria itu menggelengkan kepala menolak.
"Tidak apa-apa, ini hanya retak masih bisa di gunakan."
"Tetap saja sudah rusak."
"Tidak apa-apa, santai saja."
Apa? Santai bagaimana ponsel itu pecah gara-gara aku.
"Berikan! Akan aku bawa ke service." Kata Aralia, menarik kembali ponsel itu.
"Aku bilang tidak apa-apa. Lagipula spare part ponsel ini belum ada di perjual belikan." Ujar Pria itu, mengambil kembali ponselnya, lalu menunjukkan tipenya.
Astaga, itu kan ponsel seharga 85 juta, dan hanya ada tiga unit di negara ini.
Pria itu tersenyum, melihat gadis di depannya itu terdiam dengan mulut menganga.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanya Aralia, melirik arloji yang ada di pergelangan tangannya.
Persetan dengan jam kuliah, masalah ini lebih penting.
"Tidak ada, lagian kau sudah minta maaf itu sudah cukup."
Baik bangat sih ... Sudah baik ganteng lagi. Dia dewa atau apa yah?
"Halo ...," Desis pria itu melambaikan tangan tepat di hadapan Aralia, menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"Ah maaf, aku jadi tidak enak. Kalau begitu bagaimana kalau aku mentraktirmu makan atau minum kopi?"
Pria itu tersenyum, lalu seperti memikirkan sesuatu kemudian mengangguk.
"Oke, ide bagus."
"Baiklah, kapan?" Aralia terlihat antusias.
"Yang pasti bukan sekarang, aku mau bertemu temanku di sini."
"Kau bukan mahasiswa di sini?"
"Aku kuliah disini tapi jurusan hukum."
"Oh, "
"Namaku Reven, panggil saja Re." Pria itu mengulurkan tangan, dan tanpa ragu Aralia menyambutnya.
"Aralia, panggil saja Ara." Kata Aralia, keduanya saling berjabat.
"Baiklah, bagaimana caraku untuk menagih tawaranmu itu?"
"Tawaran?" Aralia terlihat bingung dan Reven terkekeh.
"Traktir." ujar Reven mengingatkan
Aralia menbulatkan mulutnya, bagaimana bisa gadis muda itu melupakan tawarannya.
Aralia, terlihat berpikir dan lagi-lagi pria itu terkekeh.
"Berikan ponselmu." Katanya pada Aralia. Gadis itu segera mengeluarkan ponselnya dan memberinya pada Reven.
Reven, mengetik di layar tipis itu lalu menekan tanda panggil, ponselnya yang retak itu berdering.
"Aku akan menghubungimu saat ada waktu." Ujar Reven dengan senyumnya yang manis sembari mengembalikan ponsel Aralia.
"Iya, aku tunggu."
Reven, melambaikan tangan ke arah atas tangga dimana temannya datang dengan sebuah buku di tangan.
Reven, menaiki anak tangga menghampiri seorang pria yang sedang berdiri di tengah tangga. Sesekali ia mencuri pandang pada Aralia yang masih menatapnya dari bawah tangga. Reven tersenyum, gadis itu seperti bunga mawar yang baru saja mekar dan aromanya menarik perhatiannya.
Kenapa aku masih disini? Bodohnya. Batin Aralia menyadari dirinya masih mematung di tempat.
Aralia, berlari kecil menuju lift menuju lantai atas.
"Kamu lihatin apa sih, Re?" Tanya teman Reven menyadari tatapan Reven kebawah sana. Dimana gadis mungil itu berlari kecil.
"Tidak lihat apa-apa." Jawab Reven tersenyum.
Aralia, menopang dagungnya dengan satu tangan, tatapannya terarah ke depan dan senyum-senyum sendiri. Gadis itu mengingat bagaimana sempurnanya pria yang baru saja ia kenal.
Seketika senyuman Aralia hilang karena ulah Cayrol, Lea dan Ilir yang tiba-tiba datang dan menyenggol tangan Aralia.
"Ra, kirain kamu tidak kuliah?" Kata Ilir, mengambil posisi duduk di sebelah Aralia.
"Telat ..., Tapi ada untungnya aku telat."
"Untung? Eh yang ada rugi tahu, melewatkan mata kuliah yang paling penting." Sahut Cayrol, mencibirkan bibir.
"Tidak apa-apa." Jawab Ara santai dengan senyum diwajahnya, ketiga temannya itu menatapanya dengan heran.
Tidak masuk kuliah pertama dan itu tidak apa-apa?
"Kamu lagi sakit ya?" Tanya Lea penasaran. Heran.
"Sama sekali tidak." Senyum Aralia
"Terus?"
"Aku ketemu pria tampan."
Ketiga temanya itu, saling tatap lalu tertawa.
"Kalian tidak percaya."
"Percaya, Ra. Aku percaya kok. Ipar kamu ya?" Tanya Cayrol dan seketika merubah raut Aralia, Masam.
"Tidak"
"Terus siapa?" Tanya Ilir penasaran.
Wajah Cayrol berbinar sementara Aralia hanya menyunginkan senyum cantiknya.
"Ra, bagi nomer ponsel iparmu dong," Cayrol dengan segala ketidak warasnya menyunginkan senyum seperti anak kecil.
"Minta aja sendiri." Ketus Aralia, dan Lea langsung menarik rambut Cayro hingga gadis itu menjerit.
"Ra, jodohin aku aja ama iparmu kalau kamu tidak mau nikah sama dia," kata Cayrol setelah berhasil melepaskan tangan Lea dari rambutnya.
"Cayrol ..., bisa nggak sih nggak bahas dia!" Kesal Aralia, gemes melihat temannya yang satu itu. Aralia mendegus kesal dan mencibir ke arah Cayrol, melipat kedua tangan di atas dadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Asmawatikadri Wati
Apakah Reven cowok yang baik yach Thor atau jangan2 cowok playboy cap kadal
2022-09-05
0
Ani you
sampai di sini dulu bacanya.
2020-07-08
2
moemoe
85 jt, jatuh pecah jg rupanya ya???gk beda sma yg 900rb 😂
2020-06-05
5