Matahari terlihat malu-malu menampakkan diri dari sela-sela awan yang mulai mengkabut pada siang itu. Aralia berjalan bersama Ilir berbarengan, tujuan mereka setelah mata kuliah berakhir adalah pulang.
Aralia sesekali menampilkan senyumnya di kala Ilir mengomel tentang pria yang ia temui dua hari lampau.
"Kau tahu tidak? Dia tuh sok keren, sok pintar dan sok populer and Arrogant, segala hal yang menyebalkan diborong sama dia." Geram Ilir, dengan mimik gemes.
Aralia terkekeh, ini kali pertama baginya mendengar Ilir marah-marah perihal pria yang baru saja ia kenal.
"Aku benci bangat sama dia." Geramnya lagi, mengepalkan tangan penuh emosi. Melihat tingkah Ilir membuat Aralia tertawa. Ekspresi temannya itu terlalu berlebihan
"Kok kamu malah tertawa sih. Lucu ya?" Aralia langsung menggelengkan kepala, sembari menahan tawa, Ilir menatapnya kesal.
"Iss ... Ara!"
"Iya, iya. Siapa sih dia? Jadi pengen tahu." Kata Aralia di sela-sela tawanya. Ilir berdecak dan mencibir ke arahnya.
"Ara ...," Mendengar namanya di panggil Aralia berbalik dan melihat Cayrol dan Lea berlari kearah mereka.
"Ra ...," panggil Cayrol dengan napas masih terengah-engah.
"Apa?" Tanya Aralia tanpa suara.
"Benar kau mau nikah?" Cayrol bertanya dengan napas masih terengah. Aralia menghela napas, menatap ke arah Ilir yang ada di sebelahnya. Sudah pasti gadis itu yang membagi info itu.
"Mereka juga berhak tau, Ra." Kata Ilir begitu melihat tatapan Aralia padanya.
"Masih rencana." Sahut Aralia, meneruskan langkahnya.
"Serius kau mau nikah sama kakak Iparmu?" Kali ini Lea yang bertanya.
"Mmm ...,"
"Itu artinya kau turun ranjang, Ra."
"Ya ...," Angguk Aralia tersenyum simpul, hatinya berdenyut perih mendengarnya.
Turun ranjang? Kata-kata itu terdengar aneh baginya. Ia bahkan tidak pernah membayangkan hal itu terjadi pada dirinya.
Arali menghela napas panjang, ketiga temannya saling menyalahkan saat melihat Aralia kembali murung.
"Oh my ...," Sahut Cayrol, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Lea dan Ilir mengikuti tatapan Cayrol yang terlihat takjub. Saat ketiga orang itu menatap lurus dengan tatapan wao Aralia malah sibuk menatap ponselnya yang berdering.
"Angkat Ra brisik tahu? Lagi ada pemandangan indah ni." Seru Cayrol tanpa mengalihkan tatapannya sambil berjalan dan di ikuti Lea dan Ilir.
Aralia yang masih mematung, mematikan ponselnya yang masih berdering, dan dalam hitungan detik ponsel itu kembali berdering.
Aralia berdecak, mengabaikan panggilan itu dan berniat meneruskan jalannya, tapi saat kakinya bergerak ia melihat tak jauh darinya seorang pria mengenakan kaca mata hitam dengan kameja putih berdiri di samping mobilnya sedang menelpon seseorang.
Raut gadis itu masam, meremas ponselnya yang masih berdering sambil melangkah di belakang tiga temannya.
Mata pria itu mengitari sekelilingnya dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancunya. Ia tersenyum saat melihat empat gadis berjalan ke arahnya.
"Oh my ..., Dia turunan manusia tidak sih?" Cayrol berucap dengan gaya centilnya.
"Aku rasa dia titisan dewa," Timpal Ilir sementara Lea berupaya menjaga image nya yang terkenal pendiam dan angkuh.
Aralia? Ia dengan raut masamnya masih berjalan di belakang ketiga temannya yang sedang tergila-gila pada pria yang bernama Varga itu.
Varga melambaikan tangannya ke arah mereka, sontak Cayrol berantusias dan semakin mempercepat langkahnya.
"Hai ...," Sapa Varga menyunginkan senyum yang membuat ketiga orang itu meleleh.
Aralia, berdecak melewati ketiga temannya, "aku duluan ya." katanya berjalan ke arah pintu mobil penumpang. Ia tahu kedatangan pria itu tidak lain adalah menjemputnya.
Ketiga mata temanya terbelalak dengan mulut menganga, melihat Aralia yang kini sudah duduk di dalam mobil sana.
"Ara ...," Gumam Lea, menghela napas segera sadar kalau pria yang ada di hadapan mereka sudah pasti kakak ipar Aralia yang tak lagi berubah menjadi suaminya.
Menyadari Aralia sudah duduk di dalam mobil, Varga melambaikan tangan pada ketiga teman Aralia, lalu segera masuk ke dalam mobil dan mengemudi.
"Aku berharap Aralia menolak iparnya itu." Gumam Cayrol, begitu mobil Varga menjauh.
"Patah hati sebelum jadian." Sambung Ilir dan Lea hanya berdecak melihat tingkah kedua temannya itu.
Aralia memainkan ponselnya, sementara Varga menyetir dan sesekali melihat Aralia lewat spion.
"Mau makan duluan atau langsung pulang, Ra?" Tanya Varga, mengingat pesan ibu mertuanya lewat telpon saat memintanya menjemput Aralia.
"Hari ini tolong jemput Ara, ya."
"Iya Ma"
"Sekalian tanya kali aja dia mau makan di luar."
"Baiklah, Ma."
"Langsung pulang aja." jawab Aralia tanpa mengalihkan tatapan dari ponselnya.
"Ya sudah." kata Varga dengan nada lembut.
Untuk membunuh rasa bosannya Aralia memainkan game di dalam ponselnya, sementara mobil Varga melaju dengan lancar di tengah kota menerobos gerimis yang sudah turun.
Kedua orang itu saling sibuk dalam pikirannya masing-masing. Terlihat asing dan seperti tak saling kenal padahal dahulu sebelum Rena meninggal kedua orang itu akrab, tertawa bareng dan bahkan Aralia suka merayu Varga demi uang jajan di depan kakaknya, Rena.
Aralia adalah adik yang baik bagi Varga dan Varga adalah kakak yang loyal bagi Aralia. Tapi sekarang? Mereka seperti orang asing.
Mobil melesat memasuki gerbang rumah Aralia. Saat mobil sudah berhenti Aralia langsung keluar dan berkata.
"Besok-besok jangan jemput Ara lagi ya!" Nada perintah yang seolah tidak terpatahkan.
"Tapi kenapa, Ara?" Raut bingung.
"Tidak harus tahu kan alasannya." Kesal Aralia menutup pintu mobil dengan sangat keras.
Varga menarik napas lalu menghembuskanya berlahan.
"Sudah sampai, sayang?" Nisa yang baru saja turun dari tangga bertaya.
"Sudah Ma," gumam Aralia, menatap ke arah meja makan.
Melihat Aralia menoleh ke meja makan, ia mengerti kalau Varga gagal mengajak Aralia makan di luar.
"Langsung makan ya sayang." Nisa mengelus rambut Aralia dengan lembut. Aralia mengangguk. Nisa menghampiri Varga yang masih ada di luar.
"Bibi ...," Panggil Aralia, sambil menaiki anak tangga.
"Bi ...." Aralia meninggikan suaranya, Bibi yang jadi pelayan di rumah itu tak kunjung datang atau menjawab.
"Bibi Kinan!" Teriak Aralia dengan suara melengking membuat seisi rumah kaget. Nisa yang ada di ruang tamu menggelengkan kepala pada Varga yang baru saja masuk.
"Sikapnya sangat buruk," bisik Nisa dan di jawab dengan senyuman oleh Varga.
"Iya Nona ...," suara takut dan terdengar buru-buru menjawab.
"Kemana aja sih? Dipanggil diam aja."
"Maaf Nona."
"Bawain makanan buat Ara ke kamar." Suara Aralia terdengar ketus.
"Lauknya apa Nona?"
"Apa yang ada." Suara itu semakin kecil dan tiba-tiba terdengar pintu tertutup dengan sangat keras. Membuat Nisa dan Varga yang masih di ruang tamu menggelengkan kepala.
"Kau yakin mau menjadikan dia istrimu, Varga? Tanya Nisa dan di jawab kekehan ringan dari Varga.
"Masih jutek ya?"
"Nggak apa-apa, Ma. Varga ngerti kok." Jawab Varga berjalan mengikuti mertuanya ke ruang makan.
Disana terlihat wanita empat puluhan menyendok nasi dengan wajah merah, Nisa berdecak mengambil piring yang sudah berisi makanan yang akan di antar Bibi Kinan ke kamar Aralia.
"Biar aku aja," kata Nisa.
"Tapi nyonya." Kata pelayan Kinan tak enak hati.
"Nggak apa-apa, sekalian aku mau bicara sama Ara." Kata Nisa lembut.
"Varga, makan dulu sebelum pulang, ya." ujar Nisa pada Varga yang tengah berdiri di tempat itu sambil mengecek ponselnya.
"Tidak usah, Ma. Varga langsung pulang aja."
"Lah, kok gitu."
"Ada kerjaan yang harus di selesaikan hari ini."
"Ya sudah hati-hati ya."
"Iya, Ma. Varga pamit ya."
Nisa mengangguk dengan senyuman di wajahnya yang cantik, melihat Varga meninggalkan ruang makan di ikuti dengan Bibi Kinan yang akan menutup pintu. Nisa menaiki anak tangga menuju kamar Aralia lalu mengetuk pintu itu dan langsung masuk.
Aralia yang sedang duduk di meja belajarnya, menoleh dan sedikit kaget melihat Nisa membawakan makanannya.
"Kok mama yang bawain, Bibi Kinan mana?" Tanya Aralia, bangun dari duduknya.
"Ada di dapur. Makan dulu sayang."
"Makasih ma."
Aralia, menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, ia berhenti mengunyah saat menyadari Nisa menatapnya.
"Kenapa, Ma?" Tanya Aralia sambil mengunyah makanan di mulut.
Nisa hanya menggeleng, lalu mengambil piring dari tangan Aralia, menyendok nasi itu lalu menyuapkannya pada putrinya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Taengo
duh calon suami sbaar kaya gtu mala kgk mau
2020-09-07
1
Ety Purn@w@ty
Syukaaa
2020-08-26
5
Triyani Nur. Ayla
hemm biasa emak" klu ada maunya, 🙄
sm kyk emak gue pas minta bantuan buat si manja ono noh 😥😥😥
2020-07-28
1